MITIGASI BENCANA TERHADAP BAHAYA LONGSOR (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan mereka, termasuk pengetahuan bencana longsor lahan.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

KAPASITAS MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI RESIKO BENCANA TANAH LONGSOR: Kasus di Beberapa Desa di Kabupaten Tasikmalaya

2016 KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA KEBAKARAN PADA PERMUKIMAN PADAT PENDUDUK DI KECAMATAN BOJONGLOA KALER

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

BAB I PENDAHULUAN. morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) berdasarkan Undang-Undang Republik

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang. serta melampaui kemampuan dan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Pasirmunjul, Kabupaten Purwakarta, masuk ke dalam zona

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, terutama Pulau Jawa. Karena Pulau Jawa merupakan bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan manusia. Dalam hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang terdapat zona subduksi atau zona pertemuan antara 2 lempeng

penghidupan masyarakat (Risdianto, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

2015 KONDISI MASYARAKAT KORBAN BENCANA GERAKAN TANAH SEBELUM DAN SETELAH RELOKASI PEMUKIMAN DI KECAMATAN MALAUSMA KABUPATEN MAJALENGKA

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

KERENTANAN PENDUDUK DESA NGABLAK DAN DESA NGULANAN KECAMATAN DANDER KABUPATEN BOJONEGORO TERHADAP BANJIR BENGAWAN SOLO.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia di. tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

BAB V TINGKAT KEINGINAN PINDAH PENDUDUK DI DAERAH RENTAN BAHAYA LONGSOR

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Kota Surakarta merupakan kota dengan wilayah yang berbatasan dengan

Siaran Pers BNPB: BNPB Menginisiasi Pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana Selasa, 25 April 2017

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

GERAKAN TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR

PERAN PEMERINTAH DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KELURAHAN NUSUKAN KECAMATAN BANJARSARI SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB I PENDAHULUAN. pusat aktivitas dari penduduk, oleh karena itu kelangsungan dan kelestarian kota

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

MITIGASI BENCANA BENCANA :

BAB I PENDAHULUAN. Surakarta yang merupakan kota disalah satu Provinsi Jawa Tengah. Kota

- : Jalur utama Bandung-Cirebon BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di 6 LU - 11 LS dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dikenal dengan sebutan bencana. Upaya meminimalisasi resiko. atau kerugian bagi manusia diperlukan pengetahuan, pemahaman,

Arahan Adaptasi Kawasan Rawan Tanah Longsor Dalam Mengurangi Tingkat Kerentanan Masyarakat Di KSN. Gunung Merapi Kabupaten Sleman

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

Transkripsi:

MITIGASI BENCANA TERHADAP BAHAYA LONGSOR (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat) Nur Ainun Jariyah dan Syahrul Donie Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, Surakarta E-mail: nurainun_2513@yahoo.co.id ABSTRAK - Bahaya longsor masih mengancam beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Kuningan yang memiliki wilayah dengan kondisi lereng terjal, terutama pada musim hujan. Karena musim hujan sering mengalami perubahan maka kejadian tanah longsor sulit diprediksi sehingga sering menimbulkan bencana. Kondisi ini tentu saja membuat prihatin semua pihak. Hal menarik adalah mengapa mereka tetap bermukim di daerah tersebut dan bagaimana cara mereka mengantisipasi sehingga tidak menjadi korban selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor penyebab masyarakat tetap bertahan tinggal di areal rawan longsor dan mengidentifikasi teknik mitigasi yang digunakan masyarakat. Penelitian dilakukan tahun 2015 di beberapa desa yang tingkat kerawanannya tinggi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling yaitu desa yang masuk kategori rawan longsor dan penduduk cukup padat serta pernah terjadi bencana dan menimbulkan korban harta dan korban jiwa. Lokasi penelitian terpilih adalah desa Tugumulya (Kecamatan Darma) dan desa Cantilan, kecamatan Selajambe.(Kabupaten Kuningan). Pengambilan data menggunakan metode wawancara (kuisoner terbuka) dan diklarifikasi dengan diskusi kelompok terarah.. Responden adalah masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan tokoh kunci seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, Penyuluh, dan petugas BPBD Kabupaten Kuningan. Data sekunder diperoleh dari dinas terkait seperti BPBD, BPS dan Monografi Desa. Data dideskripsikan dan dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kenapa masyarakat tetap bertahan di areal berpotensi longsor. Faktor tersebut adalah (1) harus mempertahankan warisan nenek moyang, (2) tidak ada biaya, (3) tidak ada pilihan tempat lain, (4) mata pencaharian sudah ada di tempat tinggalnya, (5) sudah betah karena merupakan tanah kelahiran. Diperoleh pula informasi bahwa teknik mitigasi yang dilakukan masyarakat untuk tetap bertahan di daerah rawan longsor adalah (1) melakukan perbaikan dan pembersihan saluran air setiap memasuki musim hujan, (2) melakukan pengalihan saluran air jika saluran air sudah tidak layak, (3) melakukan pembangunan TPT (Tembok Penahan Tebing) dengan memasang batu atau bronjong kawat, (4) pindah sementara ke tempat yang lebih aman (balai desa, saudara, atau tetangga), (5) melakukan penutupan empang, (6) melakukan penutupan retakanretakan tanah sebelum musim hujan datang. Agar masyarakat selalu siap maka pemahaman bahwa mereka tinggal di areal berpotensi longsor perlu ditingkatkan, selain itu tanda-tanda tanah akan mengalami longsor perlu disosialisasikan. Kata kunci: daerah rawan longsor, mitigasi, faktor penyebab, Kabupaten Kuningan 132

PENDAHULUAN Latar Belakang Longsor bisa terjadi kapan saja, terutama terjadi pada musim penghujan. Longsor merupakan salah satu bencana yang sering menimbulkan korban baik harta maupun korban jiwa. Hal ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang masih tetap tinggal di daerah rawan longsor. Bahaya longsor masih banyak mengancam beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Kuningan yang memiliki wilayah dengan kondisi lereng terjal. Kabupaten Kuningan merupakan salah satu dari beberapa kabupaten di Jawa Barat yang dengan tingkat kejadian longsor tinggi. Ketika memasuki musim hujan sering mengalami perubahan maka kejadian tanah longsor sulit diprediksi sehingga sering menimbulkan bencana. Kondisi ini tentu saja membuat prihatin semua pihak. Sudah banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk mengajak warganya untuk berhati-hati ketika memasuki musim penghujan, terutama untuk daerah yang berpotensi longsor. Hal menarik yang perlu kita ketahui adalah mengapa mereka tetap bermukim di daerah tersebut dan bagaimana cara mereka mengantisipasi sehingga tidak menjadi korban selanjutnya. Pada penelitian ini peneliti mencoba untuk mengkaji faktor penyebab masyarakat tetap tinggal di areal rawan longsor dan mengindentifikasi teknik mitigasi yang digunakan masyarakat agar mereka tidak terkena longsor. Diharapkan penelitian ini berguna untuk instansi terkait dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor agar bisa mengantisipasi ketika memasuki musim penghujan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor penyebab masyarakat tetap bertahan tinggal di areal rawan longsor dan mengidentifikasi teknik mitigasi yang digunakan masyarakat. METODE Penelitian ini dilakukan pada tahun 2015 di beberapa desa yang tingkat kerawanannya tinggi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling yaitu desa yang masuk kategori rawan longsor, penduduk cukup padat serta pernah terjadi bencana dan menimbulkan korban harta dan jiwa. Lokasi penelitian terpilih adalah desa Tugumulya, kecamatan Darma dan desa Cantilan, kecamatan Selajambe (Kabupaten Kuningan). Pengambilan data menggunakan metode wawancara (kuisoner terbuka) dan diklarifikasi dengan diskusi kelompok terarah. Responden adalah masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan tokoh kunci untuk klarifikasi data seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, Penyuluh, dan petugas BPBD Kabupaten Kuningan. Selain itu juga dilakukan pengambilan data sekunder dari dinas terkait seperti BPBD, BPS dan Monografi Desa. Data dideskripsikan dan dianalisis dengan deskriptif kualitatif. 133

HASIL Berdasarkan penelitian di peroleh bahwa faktor penyebab masyarakat masih tetap tinggal di daerah longsor adalah karena (1) mereka masih harus mempertahankan warisan nenek moyang, (2) tidak ada pilihan tempat lain, (3) tidak ada biaya, (4) mata pencaharian sudah ada tempat tinggalnya, (5) sudah betah karena tanah kelahiran, (6) tempat relokasi kurang sarpras. Mitigasi yang telah dilakukan oleh masyarakat agar terhindar dari bahaya adalah telah dilakukan (1) perbaikan dan pembersihan saluran air, (2) pengalihan saluran air jika saluran sudah tidak layak, (3) pembangunan Pembentengan TPT (Tembok Penahan Tebing) dengan pemasangan batu atau bronjong kawat, (4) perbaikan dan pembersihan saluran air, (5) pengalihan saluran air jika saluran air sudah tidak layak, (6) menutup retakan-retakan sebelum musim hujan. PEMBAHASAN Gambaran lokasi penelitian Kabupaten Kuningan secara administratif dibatasi oleh (a) sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Cirebon, (b) sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, (c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, (d) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes (Jateng). Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. (Gambar 1. Peta adminstratif Kabupaten Kuningan) Luas Kabupaten Kuningan 1.195,71 km2, dengan jumlah kecamatan 32 kecamatan. dan kepadatan penduduknya 931 jiwa/km2. Wilayah tersebut 134

merupakan wilayah yang padat penduduknya. Kabupaten Kuningan merupakan salah satu kabupaten yang sering terjadi bencana longsor, dimana semua kecamatan berpotensi longsor. Hal ini terlihat dari hasil laporan dari BPBD Jawa Barat (Gambar 2). Kabupaten Kuningan merupakan kabupaten tertinggi di Jawa Barat dengan kejadian jumlah bencana longsor. Gambar 2. Jumlah Kejadian Tanah Longsor di Propinsi Jawa barat (Sumber: http://bpbd.jabarprov.go.id/) Karakteristik responden Responden yang dipilih adalah masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor. Pada umumnya mereka bermatapencaharian sebagai petani sebesar 48% dengan pendidikan di dominasi SD sebesar 64%. Secara lebih lengkap identitas responden dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik responden di daerah rawan longsor Desa Kecamatan Pedidikan Pekerjaan Status masyarakat Uraian prosentase utama prosentase sampingan prosentase Tugumulya Darma SD 64% petani 48% ternak 18,18% pamong desa 28% Cantilan Selajambe SMP 24% perangkat 12% petani 63,64% masyarakat biasa 68% SMA 12% ibu rumah tangga 20% pedagang 9,09% tokoh masyarakat 4% pengemudi 4% pengamat 9,09% pensiunan 4% pedagang 4% buruh tani 8% Sumber : Analisis data primer Melihat mata pencaharian penduduk yang didominasi petani, memungkinkan petani untuk tetap tinggal di daerah tersebut dan tidak mempunyai keinginan untuk pindah. Keahlian mereka khusus di bidang pertanian, sehingga hidupnya adalah di tempat mereka bekerja. Untuk pindah ke daerah lain ada kemungkinan, tetapi peluangnya kecil. Begitu juga di lihat dari 135

tingkat pendidikan yang didominasi pendidikan SD. Tingkat pendidikan menunjukkan cara pandang mereka akan bahaya tentang longsor pada umumnya rendah, walaupun tidak selamanya tingkat pendidikan rendah, cara pandang juga rendah. Faktor penyebab masyarakat tetap tinggal di daerah longsor Hal yang menjadi miris sekarang ini adalah masih banyaknya masyarakat tinggal di daerah rawan longsor. Pada umumnya lahan area tinggal masyarakat merupakan daerah yang labil, selain itu kondisi berlereng-lereng. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh fakta, faktor penyebab masyarakat masih tetap tinggal di daerah longsor adalah karena (1) mereka masih harus mempertahankan warisan nenek moyang, (2) tidak ada pilihan tempat lain, (3) tidak ada biaya, (4) mata pencaharian sudah ada tempat tinggalnya, (5) sudah betah karena tanah kelahiran, (6) tempat relokasi kurang sarpras. Faktor utama penyebabkan mereka tetap tinggal di daerah rawan longsor adalah karena mereka masih ingin mempertahankan warisan orang tua mereka. Pada umumnya masyarakat tersebut adalah penduduk asli sehingga mereka merasa berat jika harus meninggalkan tumpah darah mereka. Sebagian besar (> 65%) masyarakat di lokasi penelitian adalah petani, dimana lahan (tempat bekerja) mereka berlokasi di sekitar tempat tinggal mereka. Faktor lainnya adalah ketersediaan biaya sehingga menyebabkan mereka tetap bertahan tinggal di daerah tersebut. Pada umumnya kondisi ekonomi masyarakat berada pada lapisan menengah kebawah, sehingga biaya merupakan salah satu kendala terbesar bagi mereka untuk pindah. Rata-rata penghasilan responden mencapai kurang dari Rp 1 juta,- per bulan, sehingga dengan penghasilan sebesar tersebut tidak memungkinkan responden untuk memperoleh lahan yang lebih baik atau pindah ke tempat yang lebih aman. Faktor sosial budaya juga menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari zona bahaya. Pada umumnya masyarakat sudah merasa nyaman dan betah tinggal di lokasi tersebut walaupun mereka tahu bahwa lahan yang mereka tinggali rawan longsor. Mereka takut kehilangan suasana keakraban budaya yang mereka peroleh di tempat mereka berada sejak lahir. Hasil penelitian ini juga ditemukan oleh Redfield (1982) dalam Donie (2014) bahwa kehidupan masyarakat desa masih terikat oleh habitatnya dan memiliki sikap pasrah diri dan memiliki keterkaitan pribadi dengan tanah dan lingkungan tempat tinggal dan desa kelahirannya, sebagaimana ditemukan juga oleh Minsarwati (2004) dalam Donie (2014) pada masyarakat yang tinggal di daerah bencana gunung api. Sebagaimana pemahaman masyarakat Jawa, yaitu mangan ora mangan asal kumpul, di lokasi penelitian juga ditemukan hal serupa, yaitu kumpul ngariung, bongkok ngaronyok. Mereka sulit membayangkan seperti apa suasana yang akan mereka hadapi apabila mereka pindah. Mereka hanya mau pindah jika tempat tinggal yang baru (relokasi) masih sekitar daerah tempat tinggal mereka. Padahal tempat tinggal sekitar mereka pun masih termasuk lokasi rawan longsor, dan kondisi sarana prasarananya pun tidak lebih baik dari tempat sebelumnya. Kasus yang terjadi di Desa Cantilan, pada tahun 2007/2008 sudah dilakukan 136

pemindahan penduduk dari Dusun Belah yang terkena longsoran tahun 2002, namun 2 tahun kemudian mereka yang pindah kembali lagi ke tempat semula (Kepala Desa Cantilan, 2015). Alasan mereka kembali adalah kondisi tempat relokasi tidak lebih baik dari tempat lama, termasuk fasilitas air dan ukuran rumah yang dibangun. Mitigasi bencana oleh masyarakat di daerah longsor Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU RI no 24 tahun 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa upaya yang dilakukan masyarakat dalam rangka mitigasi kejadian tanah longsor. Hasil penelitian menunjukkan juga bahwa upaya mitigasi yang dilakukan masyarakat di setiap desa penelitian relatif hampir sama, diantaranya (1) melakukan perbaikan dan pembersihan saluran air setiap memasuki musim hujan, (2) melakukan pengalihan saluran air jika saluran air sudah tidak layak, (3) melakukan pembangunan TPT (Tembok Penahan Tebing) dengan memasang batu atau bronjong kawat, (4) pindah sementara ke tempat yang lebih aman (balai desa, saudara, atau tetangga), (5) melakukan penutupan empang, (6) melakukan penutupan retakan-retakan tanah sebelum musim hujan datang. Perbaikan dan pembersihan saluran air, serta pengalihan saluran air biasanya dikerjakan ketika memasuki musim penghujan. Pekerjaan tersebut dilakukan secara rutin dan gotong royong. Masyarakat sudah menyadarinya, sehingga ketika memasuki musim penghujan masyarakat cepat-cepat melakukannya. Selain itu juga dilakukan penutupan retak-retakan tanah agar tanah tidak mudah dimasuki air secara cepat. Sehingga tanah tidak mudah longsor. Sementara pembangunan tembok penahan tebing biasanya mendapat bantuan dari instansi terkait pada tempat-tempat yang potensial longsornya tinggi. Retakan-retakan tanah yang membuat dinding rumah menjadi retak dan pembuatan Tembok Penahan Tebing (TPT) dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Gambar 3. Retakan tanah yang menyebabkan dinding rumah retak Gambar 4. Pembuatan Tembok Penahan Tebing 137

KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kenapa masyarakat tetap bertahan di areal berpotensi longsor. Faktor tersebut adalah (1) harus mempertahankan warisan nenek moyang, (2) tidak ada biaya, (3) tidak ada pilihan tempat lain, (4) mata pencaharian sudah ada di tempat tinggalnya, (5) sudah betah karena merupakan tanah kelahiran, (6) tempat relokasi kurang sarpras. Diperoleh pula informasi bahwa teknik mitigasi yang dilakukan masyarakat untuk tetap bertahan di daerah rawan longsor adalah (1) melakukan perbaikan dan pembersihan saluran air setiap memasuki musim hujan, (2) melakukan pengalihan saluran air jika saluran air sudah tidak layak, (3) melakukan pembangunan TPT (Tembok Penahan Tebing) dengan memasang batu atau bronjong kawat, (4) pindah sementara ke tempat yang lebih aman (balai desa, saudara, atau tetangga), (5) melakukan penutupan empang, (6) melakukan penutupan retakan-retakan tanah sebelum musim hujan datang. Agar masyarakat selalu siap maka pemahaman bahwa mereka tinggal di areal berpotensi longsor perlu ditingkatkan, selain itu tanda-tanda tanah akan mengalami longsor perlu disosialisasikan. PENGHARGAAN (acknowledgement) Terima kasih kami ucapkan kepada tim sosial ekonomi (Bapak Syahrul Donie dan Siswo) yang telah membantu terlaksananya penelitian ini dan menjadi tim yang solid. Terima kasih juga kami ucapkan kepada tim BPBD Kabupaten Kuningan sehingga penelitian berjalan dengan lancar. Semoga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan. REFERENSI BPBD Jabar, 2014. http://bpbd.jabarprov.go.id/.., di download: Agustus 2015. Badan Geologi, 2015. Prakiraan Wilayah Potensi Terjadi Gerakan Tanah/Tanah Longsor dan Banjir Bandang di Seluruh Indonesia, Periode Desember 2015. Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. BNPB, 2007. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Donie, Syahrul, 2014. Strategi Pengurangan Resiko Bencana di Areal Berpotensi Tanah Longsor: Perspektif Ilmu Sosial Kelembagaan. Makalah sosialisasi Hasil Penelitian di Pemerintahan Daerah Banjarnegara, 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Gramedia Pustaka Utama, Edisi Keempat Jakarta. Kepala Desa Cantilan, 2015. Informasi personal dengan Kepala Desa Cantilan tanggal...tahun 2015. Undang-Undang Republik Indonesia. No 24 Tahun 2007. Tentang Penanggulangan Bencana 138