BAB V PENUTUP. dalam bab sebelumnya, Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama,

dokumen-dokumen yang mirip
Eksistensi dan Karakteristik Putusan Bersyarat Mahkamah Konstitusi Existence and Characteristics of Conditional Decision of The Constitutional Court

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

JIME, Vol. 3. No. 2 ISSN Oktober 2017 PROBLEMATIK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTIUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. 1 Konsekuensi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. MK di beberapa negara juga ditempatkan sebagai pelindung (protector)

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:


Direktorat Litigasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XVI/2018 Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Garam

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

BAB IV PEMBAHASAN. A. Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Putusan Konstitusional Bersyarat.

BAB V KESIMPULA DA SARA

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

PUTUSAN Nomor 23/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

dan

Pandecta. Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dalam Penegakan Hukum Tata Negara

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PUTUSAN.

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan

NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 101/PUU-XV/2017 Peralihan Hak Milik atas Tanah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Menggagas Constitutional Question Di Indonesia Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

KUASA HUKUM Dra. Endang Susilowati, S.H., M.H., dan Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 September 2013.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 82/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 13/PUU-XIV/2016 Penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak

PUTUSAN Nomor 8/PUU-VI/2008

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 31/PUU-XIV/2016 Pengelolaan Pendidikan Tingkat Menengah Oleh Pemerintah Daerah Provinsi

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

PUTUSAN NOMOR 18/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004).

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

PUTUSAN Nomor 61/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 108/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 28/PUU-XIII/2015 Materi Kesehatan Reproduksi Dalam Sistem Pendidikan Nasional

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 28/PUU-XIII/2015 Materi Kesehatan Reproduksi Dalam Sistem Pendidikan Nasional

BAB III PENUTUP. pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

PUTUSAN NOMOR 52/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

EKSISTENSI PUTUSAN JUDICIAL REVIEW OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh: Fista Prilia Sambuari 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 49/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XV/2017

Oleh: FAISAL MUHAMMAD SAFI I C

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penerimaan Pajak Diperkirakan Rp 604 Triliun, diunduh tanggal 30 Mei 2010.

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, berdasarkan penelusuran yang dilakukan Penulis melalui direktori putusan Mahkamah Konstitusi, dari 858 putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang dijatuhkan dalam kurun waktu 2003 2015, terdapat +11% (sebelas persen) atau sejumlah 103 putusan diantaranya adalah putusan bersyarat, yang mana 17 putusan dikategorikan sebagai putusan konstitusional bersyarat, dan 86 putusan dikategorikan sebagai putusan inkonstitusional bersyarat. Dalam putusan bersyarat baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat, Mahkamah memberikan tafsir atau syarat-syarat tertentu terhadap konstitusionalitas suatu ketentuan undang-undang, apabila tidak dilaksanakan sesuai tafsir tersebut maka ketentuan tersebut menjadi inkonstitusional. Ciri-ciri dari putusan bersyarat adalah adanya klausula sepanjang dimaknai atau sepanjang tidak dimaknai atau klausula yang sejenis itu baik dalam pertimbangan maupun dalam amar putusan. Putusan bersyarat muncul dikarenakan beberapa hal, yaitu: (1) rumusan bersifat sangat umum dan belum tentu pelaksanaannya bertentangan dengan konstitusi; dan (2) untuk mencegah adanya kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan norma yang diujikan.

Terdapat 5 karakteristik dari putusan konstitusional bersyarat, yaitu: (1) Mahkamah memberikan tafsir atau syarat tertentu agar ketentuan yang diuji tetap konstitusional sepanjang dilaksanakan sesuai syarat yang ditentukan Mahkamah Konsitusi; (2) mensyaratkan adanya pengujian kembali apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang ditentukan dalam putusan; (3) putusan konstitusional bersyarat didasarkan pada amar putusan menolak, karena pada prinsipnya norma yang diujikan adalah konstitusional, namun dengan syarat-syarat tertentu; (4) klausula konstitusional bersyarat dapat ditemukan hanya pada pertimbangan Mahkamah, atau dapat ditemukan pada pertimbangan dan amar putusan; (5) dalam pelaksanaannya melibatkan unsur pembentuk undang-undang dalam rangka legislative review serta unsur eksekutif dalam rangka pelaksanaan norma tersebut. Terdapat 4 karakteristik putusan inkonstitusional bersyarat, yaitu: (1) putusan inkonstitusional bersyarat dalam amar putusannya pasti terdapat klausula inkonstitusional bersyarat; (2) amar putusan inkonstitusional bersyarat dapat berupa pemaknaan atau penafsiran terhadap suatu norma, atau memberikan syarat-syarat inkonstitusional norma tersebut; (3) putusan inkonstitusional bersyarat didasarkan pada amar putusan mengabulkan baik sebagian atau seluruhnya, karena pada prinsipnya norma yang diujikan adalah inkonstitusional, namun dengan syaratsyarat tertentu; (4) secara substantisal klausula inkonstitusional bersyarat tidak berbeda dengan klausula konstitusional bersyarat, karena apabila tidak terpenuhi membuat norma tersebut menjadi inkonstitusional.

Kedua, secara legalistik formal, Putusan bersyarat tidak serta merta menderogasi sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut didasarkan pada 4 (empat) aspek, yaitu: Aspek Pertama, ketentuan dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, serta memiliki kekuatan hukum mengikat, ketentuan ini tidak membedakan antara putusan bersyarat dengan yang tidak bersyarat, sehingga dalam putusan yang bersyarat pun sifat putusannya tetap final dan mengikat. Aspek Kedua, putusan bersyarat sendiri didasarkan pada amar putusan menolak atau amar putusan mengabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 56. Aspek Ketiga, pengujian terhadap norma yang telah diputus bersyarat tidak serta merta menderogasi sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, hal tersebut dikarenakan memang dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap norma yang sama, dengan syarat batu uji Undang-Undang Dasar yang digunakan berbeda. Aspek Keempat, pengujian kembali norma yang telah diputus bersyarat bukanlah bentuk upaya hukum terhadap putusan sebelumnya, melainkan dikarenakan bahwa undang-undang tersebut tidak sesuai dengan penafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya, yang mana menimbulkan adanya kerugian konstitusional dalam pelaksanaan norma yang telah diputus bersyarat tersebut.

Secara substantif, melalui putusan bersyarat Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung telah menggeser fungsinya sebagai negative legislator menjadi positive legislator. Hal tersebut dikarenakan dalam putusan yang telah dibuatnya, terdapat pula norma baru yang merupakan hasil penafsiran terhadap norma yang diujikan, yang mana norma tersebut merupakan satu kesatuan dari putusan tersebut. Diskursus yang muncul kemudian disini adalah bagaimana apabila norma baru yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi diuji konstitusionalitasnya kepada Mahkamah Konstitusi sendiri? Sehingga pertanyaan lanjutan yang muncul adalah, apakah sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi ini hanya terhadap putusannya, ataukah juga berkaitan dengan substansinya? Hal ini menunjukkan adanya over checks yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga legislatif dikarenakan terlalu masuk ke dalam ranah legislatif dengan bertindak sebagai positive legislator dalam pengujian undang-undang, dan juga menunjukkan less balances karena norma Undang-Undang yang mengatur mengenai Mahkamah Konstitusi dapat dengan mudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi sendiri. B. Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Mahkamah Konstitusi harus lebih tegas dalam menjatuhkan putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, hal tersebut dilakukan guna melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang terlanggar akibat keberlakuan suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan

konstitusi, serta untuk menjaga wibawa Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution. 2. Apabila norma diputus secara bersyarat, pembentuk undang-undang haruslah sesegera mungkin melakukan penyesuaian melalui mekanisme legislative review dengan mendasarkan pada pertimbangan atau syarat-syarat konstitusional yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan kerancuan terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut dan pelaksanaannya tetap sesuai dengan konstitusi. 3. Perlu dibuat adanya suatu formulasi putusan bersyarat yang baku. Hal ini perlu dilakukan melihat implementasi putusan bersyarat yang ada selama ini berbeda-beda. Selain itu formulasi ini dibutuhkan agar tidak menimbulkan kerancuan dan keragu-raguan terhadap pelaksanaan putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Penerapannya yang palik efektif dapat dilakukan melalui revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.