Mudzakarah Perhajian Nasional HASIL MUDZAKARAH PERHAJIAN NASIONAL TENTANG BADAL HAJI

dokumen-dokumen yang mirip
Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah. Serta Hukum Melaksanakan Umrah Berkali-Kali Bagi Jama'ah Haji Saat Berada di Makkah

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 40 Tahun 2011 Tentang BADAL THAWAF IFADHAH (PELAKSANAAN THAWAF IFADHAH OLEH ORANG LAIN)

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

UMROH Oleh : Agus Gustiwang Saputra

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 33 Tahun 2011 Tentang HUKUM PEWARNA MAKANAN DAN MINUMAN DARI SERANGGA COCHINEAL

Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia menyukai hendak membaktikannya (mengaqiqahinya), maka hendaklah ia melakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

Masih Ada Hutang, Bagaimana Nasib Almarhum Ayah Kami?

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

Kewajiban Haji dan Beberapa Peringatan Penting dalam Pelaksanaannya

BAB II KERJASAMA USAHA MENURUT PRESPEKTIF FIQH MUAMALAH. Secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (bercampur), yakni

KEPUTUSAN KOMISI B-1 IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA MUI SE INDONESIA III tentang MASAIL FIQHIYYAH MU'ASHIRAH (MASALAH FIKIH KONTEMPORER)

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV YANG BERHUTANG. dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 4 Tahun 2003 Tentang PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)

Tidaklah itu menjadi asas untuk mewajibkan keatasnya haji dengan merentas lautan jika ia mampu melakukannya.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

Ceramah Ramadhan 1433 H/2012 M Orang-orang yang Berhalangan Puasa

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

Isilah 10 Hari Awal Dzul Hijjah dengan Ketaatan

karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. 3. Firman Allah SWT

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

FATWA DEWAN SYARI AH NASIONAL

HIBAH, FUNGSI DAN KORELASINYA DENGAN KEWARISAN. O l e h : Drs. Dede Ibin, SH. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung)

Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain. Oleh: Muhsin Hariyanto

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

JENIS HAJI DAN PERMASALAHANNYA

Umrah dan Haji Sebagai Penebus Dosa

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

E٤٨٤ J٤٧٧ W F : :

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orangorang yang ruku (Al Baqarah : 43)

Puasa Sunah Asyura: Waktu dan Keutamaannya

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 14 Tahun 2011 Tentang PENARIKAN, PEMELIHARAAN, DAN PENYALURAN HARTA ZAKAT

Sekretariat : Gedung MUI Lt.3 Jl. Proklamasi No. 51 Menteng - Jakarta Telp. (021) Fax: (021)

Menyikapi Fenomena Gerhana. Oleh: Muhsin Hariyanto

BAB IV ANALISIS DATA

Keutamaan Bulan Dzul Hijjah

BAB II KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM.. yang berarti jual atau menjual. 1. Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab

Berbakti Sepanjang Masa Kepada Kedua Orang Tua

dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus be

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

BAB I PENDAHULUAN. Syariat Islam adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KOMERSIALISASI DOA DI PEMAKAMAN UMUM JERUK PURUT JAKARTA

ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG THALAK PAKSAAN S KRIPSI

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

2. Jika memang ada haditsnya, Kenapa dosa meratapi mayit ditimpakan ke mayit, padahal yg melakukan kesalahan itu adalah orang lain.

ZAKAT PENGHASILAN. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 3 Tahun 2003 Tentang ZAKAT PENGHASILAN

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB I PENDAHULUAN. Ibadah haji merupakan syari at yang ditetapkan oleh Allah kepada. Nabi Ibrahim. Dan hal ini juga diwajibkan kepada umat Islam untuk

Tanya Jawab Edisi 3: Warisan Anak Perempuan: Syari'at "Satu Banding Satu"?

FIQH THAHARAH. (Bersuci) Oleh : Agus Gustiwang Saputra. Bersuci (menurut Bahasa) adalah : Bersih (Suci) dan terlepas dari kotoran

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG

Secara bahasa haji berarti kunjungan, perjalanan, atau ziarah. Secara istilah haji berarti berkunjung atau berziarah ke

RISALAH AQIQAH. Hukum Melaksanakan Aqiqah

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN ULAMA AMUNTAI SEBAGAI KEWAJIBAN YANG HARUS DITUNAIKAN SEBELUM

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 8 Tahun 2011 Tentang AMIL ZAKAT

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV ANALISIS A. Pelaksanaan Pembayaran Upah Buruh Tani Oleh Pemberi Kerja

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

HADITH-HADITH BERKAITAN HAJI. 1. Perkara yang dibenarkan dan tidak dibenarkan semasa ihram

AMALIYYAH KHUSUS HARI ASYURA (10 Muharram) Oleh : Agus Gustiwang Saputra

Pendidikan Agama Islam

Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kep

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

Hukum Menunaikan Haji dan Umrah Dengan Pembayaran Melalui Kartu Kredit

Adab Membaca Al-Quran, Membaca Sayyidina dalam Shalat, Menjelaskan Hadis dengan Al-Quran

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

MENGGAPAI BERKAH IBADAH HAJI DAN IBADAH QURBAN 1438 H/ 2017 M

Proposal Ke-11 Permintaan Opini Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tentang Pengolahan Daging Qurban Menjadi Sosis atau Kornet

waka>lah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan

Hak Cipta Terpelihara :

BAB IV ANALISIS JUAL BELI MESIN RUSAK DENGAN SISTEM BORONGAN DI PASAR LOAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

LAMPIRAN TERJEMAH. NO HAL BAB TERJEMAH 1 2 I Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci. (HR. Muslim)

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2): dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):27

BAB II WAKAF DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i

Kewajiban berdakwah. Dalil Kewajiban Dakwah

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 15 Tahun 2011 Tentang PENARIKAN, PEMELIHARAAN, DAN PENYALURAN HARTA ZAKAT

DAFTAR TERJEMAH No. BAB Hal Terjemah

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 13 Tahun 2011 Tentang HUKUM ZAKAT ATAS HARTA HARAM

Khitan. 1. Sejarah Khitan

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

Transkripsi:

HASIL MUDZAKARAH PERHAJIAN NASIONAL TENTANG BADAL HAJI KEMENTERIAN AGAMA RI DIREKTORAT JENDERAL PENYELENGGARAAN HAJI DAN UMRAH TAHUN 2016 1

HASIL MUDZAKARAH PERHAJIAN NASIONAL TENTANG BADAL HAJI Cetakan I, Desember 2016 Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Jln. Lapangan Banteng No. 1-2, Jakarta, 10710 Telp. 021-3509177, 021-3509178, 021-3509179, 021-3509180, 021-3509181 Fax. 021-3800201 Website: http://haji.kemenag.go.id 2

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENYELENGGARAAN HAJI DAN UMRAH Assalamu alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas pertolongan- Nya, maka penyelenggaraan ibadah haji dari tahun ke tahun semakin baik. Dalam berbagai kesempatan, kita menyadari, bahwa penyelenggaraan ibadah haji tak luput dari masalah. Tentu saja, karena haji merupakan aktivitas yang nyata (actual activities), yang dapat dikaji dari berbagai perspektif ibadah, sosial, budaya, dan bahkan ekonomi. Dalam konteks melakukan haji bagi orang lain, yang dikenal dengan istilah badal haji, menjadi kajian tersendiri, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Untuk itu, telah dilakukan mudzakarah tentang Dinamika Badal Haji di Indonesia. Rumusan hasil mudzakarah dan rekomendasinya telah disusun dalam bentuk buku saku ini. 3

Kami mengharapkan hasil mudzakarah ini dapat menjadi acuan sekaligus sarana tindak lanjut dalam menetapkan langkah-langkah pelaksanaan badal haji yang lebih baik, tertib, dan sah sesuai ketentuan syariat Islam. Jakarta, Desember 2016 Direktur Jenderal, Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA 4

HASIL MUDZAKARAH PERHAJIAN NASIONAL TENTANG BADAL HAJI Mudzakarah Perhajian Nasional Tahun 2016 yang diikuti unsur Kementerian Agama, instansi terkait, dan Ormas Islam dengan tema Dinamika Pelaksanaan Badal Haji dilaksanakan di Hotel Aryaduta Jakarta pada tanggal 1 s.d. 3 Agustus 2016 merumuskan beberapa hal sebagai berikut: A. Pendahuluan Pengertian 1. Badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh. 2. Badal haji adalah pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal (sejak di embarkasi dan 5

sebelum pelaksanaan wukuf). Juga bagi jemaah haji yang udzur jasmani dan rohani (tidak dapat diharapkan kesembuhannya menurut medis, sakit tergantung dengan alat, dan gangguan jiwa), sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah. Landasan Hukum Badal haji didasarkan pada: 1. Hadis Nabi SAW. Artinya: Dari Ibnu Abbas dari al-fadl: Seorang perempuan dari kabilah Khats am bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?. Jawab Rasulullah: Kalau 6

begitu lakukanlah haji untuk dia! (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain). Artinya: Dari Ibnu Abbas ra: Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang kepada Nabi SAW., dia bertanya: Wahai Nabi SAW., Ibuku pernah bernazar ingin melaksanakan ibadah haji hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya? Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi (HR. Bukhari dan Nasa i). 7

Artinya: Dari Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW. mendengar seorang lelaki berkata: Labbaika an Syubrumah (Labbaik/aku memenuhi pangilan- Mu ya Allah, untuk Syubrumah). Lalu Rasulullah bertanya: Siapa Syubrumah?. Dia saudaraku atau kerabatku, wahai Rasulullah, jawab lelaki itu. Apakah kamu sudah pernah haji? Rasulullah bertanya. Belum jawabnya. Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah, lanjut Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). 2. Peraturan Perundang-Undangan a. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, 8

Pasal 28 huruf b dan Pasal 42 ayat (3) huruf b. b. Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitha ah Kesehatan Jemaah Haji. d. Keputusan Dirjen Nomor 456 Tahun 2015 tentang Pedoman Safari Wukuf dan Badal Haji. B. Pelaksanaan Badal Haji Jenis Badal haji diperbolehkan pada 2 (dua) kelompok, yaitu: al-ma dlub dan al-mayyit. 1. Al-Ma dlub, yaitu orang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berangkat ke Tanah Suci, sehingga memerlukan jasa orang lain untuk melaksanakan ibadah haji. Al- Ma dlub yang memiliki kemampuan finansial wajib/boleh dibadalkan jika 9

tempat tinggalnya jauh dari Tanah Haram Makkah dengan jarak lebih dari masafatul qashr. Sedangkan alma dlub yang sudah ada di Tanah Haram Makkah atau tempat lain yang dekat dari Tanah Haram Makkah tidak boleh dibadalhajikan, melainkan harus haji sendiri atau dibadalhajikan setelah meninggal. Tetapi jika kondisinya benar-benar tidak memungkinkan untuk melaksanakan sendiri, maka menurut sebagian pendapat, dia boleh dibadalhajikan di saat dia masih hidup (Hasyiatul Jamal, Juz II, hlm. 388). 2. Al-Mayyit adalah haji yang tidak terlaksana atau tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal lebih dulu. Hal ini terbagi dalam 2 (dua) macam, yaitu; Haji Wajib (haji Islam, haji nazar, dan haji wasiat) dan Haji Sunnah. Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama tentang yang 10

berkewajiban haji dan meninggal sebelum melaksanakannya: a. Wajib dibadalhajikan dengan beban biaya dari tirkah/ peninggalannya. Menurut mazhab Imam Syafi i dan Imam Ahmad dan ini merupakan pendapat dari Imam Hasan, Thawus, al-auza i, al- Tsauri, dan Ishaq. b. Ulama Syafi iyah sendiri dalam masalah ini men-tafsil dengan membedakan antara orang yang meninggal sebelum tamakkun (adanya peluang untuk melakukan perbuatan-perbuatan haji) dan orang yang meninggal sesudah tamakkun. Bagi yang pertama, kewajiban haji menjadi gugur, sehingga tidak wajib dibadalkan. Sedangkan bagi yang kedua, beban kewajiban haji tetap ada, maka wajib dibadalhajikan. Orang yang sudah tamakkun, maka kewajiban hajinya menjadi 11

kewajiban tetap (wajib mustaqir). Seseorang yang setelah nisfu lailatun nahr memiliki peluang untuk melakukan ramyu, tawaf, dan sa i. Kalau dia tidak menggunakan peluang itu kemudian meninggal dunia, maka dia berdosa dan mempunyai hutang haji, sehingga wajib dibadalhajikan dari tirkah-nya (Fathul Wahab Ma a Hasyiatul Jamal/2/387; Mughnil Muhtaj/I/468). c. Imam Nawawi dalam Majmu -nya (Juz V/135) membahas tentang orang yang meninggal di saat sedang melakukan haji. Beliau mengemukakan, bahwa dalam hal tersebut, ada 2 (dua) qaul, yaitu: 1) Qaul jadid dan ini yang ashah: bahwa tidak boleh ada niyabah/pengganti untuk melanjutkan perbuatan haji yang belum selesai itu, karena apa yang sudah dilakukan oleh 12

yang meninggal menjadi batal dengan terjadinya kematian. Dia wajib dibadalhajikan dari tirkah-nya, jika kewajiban haji baginya telah menjadi kewajiban tetap (wajib mustaqir); dan tidak wajib dibadalkan jika haji yang dilakukan adalah haji sunnah atau haji wajib yang belum menjadi kewajiban tetap, karena baru saat itu dia memiliki istitha ah berhaji. 2) Qaul Qadim, bahwa dalam kasus seperti ini, boleh ada niyabah untuk melanjutkan haji mayyit yang belum selesai. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh membadalkan haji sunnah untuk orang yang sudah meninggal, baik oleh ahli waris maupun lainnya, kecuali ada wasiat dari yang meninggal 13

dunia (Hasyiyah Jamal/2/387). Orang meninggal dunia, ketika di masa hidupnya tidak pernah memiliki istitha ah berhaji, boleh dihajikan oleh siapa pun (Hasyiayah Jamal/ 2/387). d. Dari rincian pembahasan haji bin niyabah menurut Syafi iyah di atas dapat disimpulkan, bahwa haji wajib yang tidak terlaksana/tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal dunai terlebih dulu, hal ini ada yang wajib dibadalkan dan ada yang tidak wajib dibadalkan. Adapun haji wajib yang wajib dibadalkan biayanya menjadi beban tirkah si mayyit. Perlu dijelaskan pula, bahwa jika si mayyit tidak meninggalkan tirkah yang cukup untuk membiayai badal hajinya, maka tidak ada yang harus menanggung beban-beban biaya itu, baik ahli warisnya maupun yang lain. Namun ahli waris atau 14

lainnya sunnah menghajikan/ membiayai hajinya mayyit tersebut (Hasyiyah Jamal/2/388). Syarat Orang yang membadalhajikan harus sudah pernah haji terlebih dahulu, sebagaimana pendapat mazhab Syafi i dan mazhab Hanbali, bahwa orang yang akan menghajikan orang lain harus sudah haji untuk dirinya. Jika dia belum haji, maka tidak sah menghajikan orang lain, sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas menyatakan: Artinya: Dari lbnu Abbas ra., bahwasannya Nabi SAW. mendengar lelaki berkata: Ya Allah, aku penuhi panggilan-mu untuk Syubramah. 15

Nabi SAW. bertanya: Siapa Syubramah? Dia menjawab: Syubramah adalah saudaraku atau kerabatku. Nabi SAW. bertanya: Apakah engkau berhaji untuk diri Anda? Dia berkata: Bukan. Lalu Nabi SAW. bersabda: Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhaji untuk Syubramah. (HR. Abu Daud, lbnu Hibban, dan Hakim). Meski demikian, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan (membadalhajikan) orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya (Muhammad Ahmad, Fiqh al-haj wa al- Umrah wa al-ziyarah, hlm. 39). Jumhur sepakat, bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu (istitha ah), sekali dalam seumur hidupnya. Istitha ah itu meliputi: istitha ah binafsih, yakni kemampuan melaksanakan haji sendiri karena yang bersangkutan selain memiliki kemampuan finansial juga kemampuan fisik; dan istitha ah bighairihi, 16

yaitu kemampuan melaksanakan haji dengan jasa orang lain (badal haji), yang berlaku bagi jamaah yang dalam kondisi al-ma dlub dan al-mayyit. Ulama berbeda pendapat dalam hal, boleh tidaknya melaksanakan badal haji. Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj an al-ghair. Di antara ulama empat mazhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi i, dan Imam Hanbali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan, ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya (Abd al-rahman al-jazairi, Al-Fiqh ala al-madzahib al- Arba ah, Vol.I (Dar al-fikr, 1986), 706-710; Wahbah al-zuhaili, al-fiqh al-islami wa Adillatuh, III/426.). 17

Tata Cara 1. Tata cara/kaifiyah pelaksanaan badal haji sama dengan pelaksanaan haji untuk diri sendiri kecuali ketika niat harus niat badal untuk seseorang (alhajju an...). Namun terkait miqat badal haji, para fuqaha berbeda pendapat, antara lain: a. Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa orang yang membadalkan haji, wajib memulai ihramnya dari miqat negeri orang yang dibadalkan, kecuali biaya untuk badal haji tidak mencukupi, maka boleh dari miqat mana saja yang mudah, sebagaimana hadis Nabi SAW: Artinya: Apabila diperintahkan kepada kamu dengan suatu urusan, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuanmu (HR. Bukhari) 18

Pendapat ini dikuatkan oleh al-hasan, Ishaq bin Rahawaib, dan Malik. b. Imam Atha bin Rabah berpendapat, jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari miqatnya. c. Imam Syafi i menyatakan, bahwa orang yang berkewajiban haji pertama kali (hijjatul Islam), tetapi diupahkan kepada orang lain, maka orang yang membadalkan harus berniat dari miqatnya orang yang dibadalkan (Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-maqdisi, al- Mughni, Juz V, hlm. 120-123). 2. Dalam masalah badal haji, peran negara dapat disamakan dengan peran ahli waris. Ketika ahli waris berkewajiban menghajikan atau membiayai haji mauruts-nya, maka negara pun berkewajiban 19

menghajikan/membiayai haji jemaah haji yang wajib dibadalhajikan. 3. Dalam hal pelaksanaan badal haji yang dilaksanakan pemerintah sesuai dengan ketentuan PMA Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. C. Rekomendasi 1. Pelaksanaan badal haji yang dilakukan oleh pemerintah sebagai fungsi pelayanan sudah memenuhi ketentuan syariat, karena pemerintah telah berperan sebagai ahli waris terhadap mauruts-nya. Walaupun demikian, pemerintah masih perlu menyempurnakan regulasi yang mengatur pelaksanaan badal haji, dalam hal standarisasi dan biaya. Di samping itu, pemerintah segera menyusun standar pelayanan badal haji bagi masyarakat. 2. Penyempurnaan regulasi badal haji oleh pemerintah dan penyusunan standarisasi pelayanan badal haji bagi masyarakat perlu memperhatikan aspek 20

kemaslahatan, kemudahan, dan tidak memberatkan. Berdasarkan firman Allah SWT. dalam Al-Qur an dan hadis Nabi SAW., di antaranya: Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. al-baqarah [2]:185). Artinya: Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. al- Hajj [22]: 78). Artinya: Dari Muhjin bin al-adra: Sesungguhnya Allah SWT. menghendaki kemudahan kepada umat ini dan tidak menghendaki kesulitan padanya (HR. Ibnu Murdawiyah). 21

Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW. tidak memilih di antara dua masalah kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara kedua hal tersebut, selagi bukan hal yang mendatangkan dosa (HR. al-bukhari dan Muslim). Artinya: Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya Allah SWT. telah mensyariatkan agama, maka Allah SWT. menjadikannya mudah, toleran, dan lapang serta tidak menjadikannya sempit (HR. al-thabrani). 22

Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor: D/333/2016 Tentang Penyusunan Rumusan Hasil Mudzakarah Perhajian Penanggung Jawab : Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Anggota Tim : 1. Dr. H. Muhajirin Yanis, M.Pd.I 2. Dr. H. Ali Rokhmad, M.Pd 3. Dr. H. Yusharmen, D.Comm.H., M.Sc 4. Dr. dr. Eka Jusuf Singka, M.Sc 5. H. Khairizi HD., S.Sos., MM 6. H. Subhan Cholid, Lc., MA 7. H. Qasim Shaleh, Lc., MA 8. Drs. H. Azam Zubaedi, M.Pd 9. Drs. H. Abdul Hamid Ibrahim, M.Pd 10. Drs. H. Rachmat E. Sulaeman, MM 11. H. Sarmidi Husna, M.Ag 12. H. Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH 13. H. Affan Rangkuti, SPd.I., M.E.I 14. Hj. Wahyu Dewarini, SE 15. H. Syahlan Rosidi 16. H. Faried Anfasa, ST 17. Hj. Risa Ariyani, S.Sos 18. H. Irwan Syarief 19. H. Roedie Hariyanto 20. dr. Hj. Innas Ericca 23

24