BAB I PENDAHULUAN I.1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

Citra Satelit IKONOS

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

JENIS CITRA

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

Bab III KAJIAN TEKNIS

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN I.1

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

SIDANG TUGAS AKHIR RG

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

BAB IV PENGOLAHAN DATA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra


REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN:

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

Bab II Tinjauan Pustaka

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

ASPEK GEOSPASIAL DALAM DELINEASI BATAS WILAYAH KOTA GORONTALO: Studi Kasus dalam Pemutakhiran Data Batas Wilayah

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TINJAUAN PUSTAKA. ini didefenisikan oleh Parker pada tahun 1962, pada symposium pertama tentang

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah

Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi Teknik Geomatika, FTSP-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan negara dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Desentralisasi berkembang menjadi isu yang penting dalam berbagai diskusi tentang sistem pemerintahan yang efektif dan efisien, baik di negara berkembang maupun negara maju. Untuk memperkuat asas desentralisasi tersebut, hal terpenting yang harus diperhatikan yaitu batas-batas kekuasaan daerah tersebut. Dengan adanya penegasan dan penetapan batas ini, maka pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun desa dapat mengatur daerahnya sendiri berdasarkan asas otonomi daerah. Isu batas wilayah daerah muncul dengan diterbitkannya UU No. 22/1999 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa perlunya penetapan dan penegasan batas daerah, dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota. Selain penetapan dan penegasan batas daerah di kabupaten/kota, penetapan dan penegasan batas juga perlu dilakukan untuk wilayah desa. Batas wilayah desa satu dengan lainnya harus sesuai dan harus ditetapkan oleh banyak pihak yang kemudian dituangkan dalam suatu peta batas desa. Penetapan dan penegasan batas desa dapat mempertegas cakupan wilayah administrasi yakni memberi pemerintah daerah suatu cakupan wilayah kewenangan. Hal ini juga dapat memberikan banyak manfaat seperti menghindari adanya overlapping pengaturan tata ruang daerah, memberi kejelasan daftar pemilih untuk pemilu, hingga memberikan kejelasan perijinan pengelolaan sumber daya alam. Salah satu metode di dalam penetapan dan penegasan batas wilayah yaitu dengan menggunakan metode kartometrik. Mengacu kepada Permendagri No.76 tahun 2012, metode kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran/penghitungan posisi titik, jarak dan luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Peta dasar 1

2 yang digunakan dapat berupa citra atau foto daerah yang bersangkutan, oleh karena itu diperlukan ketelitian di dalam penginterpretasian citra. Dewasa ini, citra/foto memiliki banyak jenis mulai dari yang memiliki resolusi spasial yang tinggi hingga resolusi spasial yang rendah, harga yang tinggi atau bahkan yang dapat diunduh secara gratis. Citra/foto sebagai peta dasar dengan metode kartometrik ini sangat memiliki peranan penting di dalam menentukan hasil ketelitian batas yang ditentukan. Metode kartometrik ini diharapkan dapat mempercepat penetapan dan penegasan batas desa, dikarenakan metode ini dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama, khususnya pada daerah yang luas dan berbukit serta memiliki segmen batas wilayah yang cukup panjang. I.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat dirangkum beberapa identifikasi masalah pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Banyaknya jenis peta dasar yang digunakan pada deliniasi batas menjadi pertimbangan di dalam pemilihan penggunaan wahana peta dasar untuk efektivitas dan efisiensi pekerjaan. 2. Perlu adanya pembaharuan batas desa pada daerah penelitian, mengingat sering terjadi bencana alam yang dapat mengakibatkan perubahan/pergeseran titik-titik batas desa. 3. Daerah penelitian yang luas serta memiliki segmen batas yang panjang ini sangat cocok sebagai bahan penelitian untuk penerapan metode kartometrik untuk penegasan dan penetapan batasnya. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar pengaruh ketelitian spasial dari dua wahana peta dasar (peta orthophoto dan citra satelit) yang digunakan? 2. Seberapa besar perbedaan titik-titik batas yang dihasilkan dari kedua wahana peta dasar yang digunakan?

3 I.4. Cakupan Penelitian Cakupan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Deliniasi batas dilakukan secara langsung di atas peta, dengan membandingkan garis batas yang dihasilkan dari dua wahana peta dasar (peta orthophoto dan citra satelit) yang digunakan. 2. Perbedaan batas yang diteliti hanya pada daerah perbatasan kedua desa. 3. Pekerjaan yang dilakukan meliputi penentuan batas desa, pengecekan titik batas di lapangan, hingga pembuatan peta batas desa. I.5. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Mengetahui seberapa besar perbedaan titik-titik batas dari hasil deliniasi batas dengan menggunakan peta orthophoto dan citra GoogleEarth sebagai peta dasar. 2. Menghasilkan peta batas desa. I.6. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan di dalam penentuan batas secara kartometrik, khususnya batas desa. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan oleh pihak yang berwenang untuk pengelolaan desa seperti Camat, Bupati, Gubernur dan pihak lainnya. Diharapkan pula pekerjaan ini dapat memberikan peta batas desa terbaru. I.7. Landasan Teori I.7.1. Batas Daerah Mengacu pada undang-undang nomor 32 tahun 2004 pasal 4 ayat (2), bahwa daerah dibentuk dengan undang-undang pembentukan daerah yang di dalamnya mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintah, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah. Pada Permendagri Nomor 27 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

4 batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Permendagri No. 76 tahun 2012, batas daerah di darat adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tandatanda alam seperti punggung gunung atau pegunungan (watershed), median atau as sungai dan/atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Penegasan batas daerah di darat dapat dilakukan melalui tahapan: 1. Penyiapan dokumen, meliputi: a. Peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah; b. Peta dasar; dan/atau c. Dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. 2. Pelacakan batas, dapat dilakukan dengan metode kartometrik yang dapat disertai dengan survei lapangan. Hasil dari pelacakan batas ini dapat berupa daftar titik-titik koordinat batas. 3. Pengukuran dan penentuan posisi batas, tahapan ini dapat dilakukan melalui pengambilan/ekstraksi titik-titik koordinat batas dengan interval tertentu pada peta kerja dan/atau hasil survei lapangan. 4. Pembuatan peta batas, dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Pembuatan kerangka peta batas dengan skala dan interval tertentu yang memuat minimal 1 segmen batas; b. Melakukan kompilasi dan generalisasi dari peta RBI, hasil survei lapangan, serta data citra dalam format digital; dan c. Penambahan informasi isi dan tepi peta batas. Penggambaran peta batas merupakan rangkaian kegiatan penetapan batas yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Penggambaran peta batas desa dilakukan setelah seluruh rangkaian deliniasi batas desa telah disepakati oleh pihak yang berbatasan dengan desa tersebut. Penggambaran peta batas desa dapat dilakukan melalui prosedur berikut (Handoyo, 2003): 1. Asumsi pertama adalah bahwa telah tersedia Peta Dasar Wilayah Desa.

5 2. Jika peta dasar tersebut belum tersedia, maka perlu dilakukan pengadaan terlebih dahulu dengan cara: a. Penggambaran ulang dari peta rupa bumi wilayah desa atau peta dasar lain yang ada; atau b. Pengukuran terestris wilayah desa; atau c. Penggambaran dengan media foto udara; atau d. Penggambaran dari interpretasi citra atau foto udara. 3. Urutan tahapan penggambaran adalah: a. Penggambaran lembar grid. b. Penggambaran detail rupa bumi. c. Penggambaran batas desa: i. Batas berupa unsur-unsur alam atau buatan ditegaskan melalui penggambaran delineasinya, ii. Batas berupa titik-titik terukur koordinatnya, dan diberi simbol yang sesuai, iii. Peta batas desa selesai. 4. Penggambaran dilakukan bersama atau disetujui bersama oleh kedua desa yang berbatasan. 5. Verifikasi peta batas desa oleh Camat. Pemasangan pilar batas merupakan salah satu rangkaian kegiatan penegasan batas. Pemasangan pilar batas diperlukan untuk kepentingan pemastian koordinat batas. Berdasarkan Permendagri nomor 76 tahun 2012 menyebutkan bahwa pilar batas atau pilar batas utama (PBU) adalah bangunan fisik di lapangan yang menandai batas daerah. Berdasarkan fungsinya, pilar batas dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1. Pilar batas tipe A, merupakan pilar batas untuk wilayah provinsi, 2. Pilar batas tipe B, merupakan pilar batas untuk wilayah kabupaten/kota, dan 3. Pilar batas tipe C, merupakan pilar batas untuk wilayah kecamatan. Tiap tipe pilar batas memiliki ukuran konstruksi yang berbeda-beda. Mengacu pada Permendagri nomor 76 tahun 2012, bentuk dan ukuran pilar batas adalah sebagai berikut:

6 1. Pilar batas tipe A memiliki ukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm di atas tanah dan kedalaman 150 cm di bawah tanah. 2. Pilar batas tipe B memiliki ukuran 40 cm x 40 cm x 75 cm di atas tanah dan kedalaman 100 cm di bawah tanah. 3. Pilar batas tipe C memiliki ukuran 30 cm x 30 cm x 50 cm di atas tanah dan kedalaman 75 cm di bawah tanah. Sebagai tanda pemisah batas desa digunakan pilar batas tipe D yang marupakan pilar perapatan. Berdasarkan Permendagri nomor 1 tahun 2006, pilar batas tipe D memiliki ukuran 20 cm x 20 cm x 25 cm di atas tanah dan kedalaman 75 cm di bawah tanah. Gambar I.1 merupakan contoh gambar pilar batas tipe D. Gambar I.1. Ilustrasi pilar batas tipe D (Sumber: Lampiran Permendagri nomor 1 tahun 2006) Gambar I.2. Ilustrasi konstruksi pilar batas antara (PBA) (Sumber: Lampiran Permendagri nomor 1 tahun 2006)

7 Pada pengaplikasiannya, pilar batas tidak selalu dapat dipasang sesuai rencana. Pemasangan pilar batas dapat dilakukan perapatan antara PBU dengan memasang pilar batas antara (PBA) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan. PBA dipasang dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm di atas tanah dan kedalaman 50 cm di bawah tanah. Ilustrasi konstruksi PBA dapat dilihat seperti Gambar I.2. I.7.2. Metode Kartometrik Mengacu pada Permendagri No. 76 tahun 2012, metode kartometrik adalah penulusuran/penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Pengukuran dan pelacakan batas dengan menggunakan metode kartometrik dilakukan secara langsung di atas peta dasar dengan cara menarik garis batas daerah secara manual dan melakukan survei lapangan jika diperlukan. Survei lapangan dapat dilakukan untuk obyek batas di peta yang sulit untuk diidentifikasi, hal ini berguna untuk memastikan kevalidasian hasil pengukuran. Maling (1989) menyampaikan bahwa terdapat empat jenis pengukuran yang menjadi dasar teknik kartometrik sebagai berikut: 1. Pengukuran jarak, 2. Pengukuran luas, 3. Penentuan arah, dan 4. Penghitungan jumlah obyek yang terdapat pada peta. Suatu pengukuran dapat dibedakan menjadi dua jenis. Maling (1989) menyampaikan terdapat dua jenis pengukuran berdasarkan cara mengukurnya, yaitu: 1. Metode klasik, pengukuran yang menggunakan alat bantu ukur untuk pengukuran obyek di peta. 2. Metode probabilitas, pengukuran yang menggunakan landasan-landasan teori dan penerapan sampling menggunakan metode statistik. Peta dasar yang digunakan untuk identifikasi titik-titik batas secara kartometrik harus memiliki sistem proyeksi yang sama, sehingga dapat mengurangi resiko timbulnya konflik batas antara daerah-daerah yang berbatasan. Permendagri nomor 76 tahun 2012 memberikan standarisasi secara nasional untuk datum geodetik, elipsoid referensi, sistem proyeksi serta skala peta dasar yang akan digunakan untuk penetapan batas daerah seperti terlampir pada tabel I.1.

8 Tabel I.1 Standarisasi nasional teknis penetapan batas daerah No. Sistem Spesifikasi 1 Datum horizontal DGN 95 2 Elipsoid referensi WGS 1984 3 Skala peta 1:3.500 1:10.000 4 Sistem proyeksi peta Transverse Mercator (TM) 5 Sistem grid Universal Transverse Mercator 6 Ketelitian Planimetris 0.5 mm (diukur di atas peta) (Sumber : Permendagri Nomor 76 Tahun 2012) I.7.2.1. Batas alam. Batas alam merupakan detil-detil alam pada peta yang dinyatakan sebagai batas daerah. Penggunaan detil batas alam pada peta akan memudahkan penegasan batas daerah. Detil pada peta yang dapat digunakan sebagai batas alam ialah sungai, danau/kawah, dan perbukitan/pegunungan. Penarikan garis batas dapat diasumsikan untuk mendapatkan garis batas awal. Sebagai contoh, untuk obyek sungai yang menjadi batas daerah, dapat diasumsikan dengan penarikan batas pada as sungai seperti pada Gambar I.3. T.3 T.1 Keterangan: Gambar I.3. Penggambaran sungai sebagai batas daerah (Sumber: Lampiran Permendagri Nomor 76 Tahun 2012) Titik batas Garis batas Jika garis batas memotong tepi sungai, maka perlu dilakukan pengukuran koordinat titik batas pada tepi sungai tersebut (T.1 dan T.3) dan untuk as sungai yang menjadi batas dua daerah atau lebih, maka perlu dilakukan pengukuran koordinat

9 titik batas pada tengah sungai (T.2). Pengukuran koordinat titik-titik batas tersebut dapat dilakukan secara kartometrik. I.7.2.2. Batas buatan. Batas buatan merupakan unsur-unsur buatan manusia pada peta yang digunakan sebagai batas daerah. Selain penggunaan detil batas alam, penegasan batas daerah juga dapat menggunakan unsur-unsur buatan manusia, seperti: jalan, rel kereta api, saluran irigasi, pilar dan sebagainya. Penentuan garis batas dengan unsur buatan juga memiliki prinsip yang sama pada batas alam. Sebagai contoh, untuk batas daerah berupa jalan dapat diasumsikan dengan penarikan garis batas pada as jalan maupun tepi jalan seperti pada Gambar I.4. DAERAH A DAERAH B T DAERAH C (a) DAERAH A DAERAH C DAERAH B Keterangan : T Titik batas (simpul) T -------- Garis batas (b) Gambar I.4. (a) Penggambaran as jalan sebagai batas daerah; (b) Pengambaran tepi jalan sebagai batas daerah (Sumber: Lampiran Permendagri Nomor 76 Tahun 2012)

10 I.7.3. Data Penginderaan Jauh Penginderaan jauh atau remote sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu obyek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan obyek yang dikajinya (Lillesand dan Ralph, 2002). Penginderaan jauh menggunakan alat (sensor) dan wahana (platform) untuk menganalisis atau mengindera obyek yang ada di bumi dari jarak yang jauh. Wahana (platform) yang digunakan biasanya seperti satelit, pesawat udara, balon udara dan lainnya. Data hasil penginderaan atau perekaman merupakan data yang masih mentah (raw) yang perlu dianalisis terlebih dahulu untuk dapat menjadi suatu informasi. Data penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaran planimetriknya, bersifat miltiguna atau multi-disiplin. Data penginderaan jauh dapat digunakan dalam berbagai bidang pengguna seperti kependudukan, pemetaan, pertanian, kehutanan, industri, serta penggunaan lain yang berhubungan dengan kondisi fisik permukaan bumi. I.7.3.1. Foto udara. Aspek fotogrametri, yang penting diketahui dalam foto udara adalah ukuran dan tanda tepi foto udara, skala foto udara, jalur terbang, serta besarnya tampalan (overlap dan sidelap) dengan foto lainnya. Purwadhi dan Tjaturahono (2008) mengatakan bahwa skala foto udara dapat diperhitungkan dengan cara: 1. Membandingkan obyek pada foto udara dengan obyek di lapangan. 2. Membandingkan obyek yang sama dengan peta yang sudah mempunyai skala. 3. Skala foto udara dapat dihitung berdasarkan rumus: S = f : H...(I.1) Keterangan: S : skala foto udara f : panjang fokus H : tinggi terbang pesawat Skala pada foto udara merupakan skala rata-rata, hal ini dikarenakan foto udara menggunakan proyeksi sentral sebagai akibat adanya fokus kamera. Selain foto udara dengan wahana perekaman foto udara, data penginderaan jauh lainnya dapat

11 berupa citra satelit dengan wahana perekaman satelit. Gambar I.5 mengilustrasikan teknologi perekaman data penginderaan jauh. B A Gambar I.5. Ilustrasi penginderaan jauh (Qi, 1996) Keterangan : A Ilustrasi perekaman menggunakan pesawat udara B Ilustrasi perekaman menggunakan citra satelit Berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan pada saat perekaman obyek di permukaan bumi, citra foto udara dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Foto pankromatik Foto udara ini sering disebut foto udara konvensional. Ciri foto pankromatik adalah menggunakan spektrum warna yang memiliki kesamaan dengan mata manusia, sehingga baik untuk mendeteksi pencemaran air, kerusakan banjir, penyebarab air tanah, dan air permukaan. 2. Foto ultraviolet Foto udara ini menggunakan spektrum ultraviolet dekat dengan panjang gelombang 0,29 mikrometer. 3. Foto ortokromatik Foto udara ini menggunakan spektrum tampak dari saluran biru hingga sebagian hijau (0,4 0,56 mikrometer). Ciri foto ortokromatik adalah banyak objek yang tampak lebih jelas. Foto ini bermanfaat untuk studi pantai karena memiliki film yang peka terhadap objek di bawah permukaan air hingga

12 kedalaman kurang lebih 20 meter, sehingga baik untuk survei vegetasi karena daun hijau tergambar dengan kontras. 4. Foto inframerah asli Foto udara ini menggunakan spektrum inframerah dekat dengan panjang gelombang 0,9 1,2 mikrometer. Ciri foto inframerah asli adalah dapat mencapai bagian dalam daun, sehingga rona pada foto inframerah tidak ditentukan warna daun tetapi oleh sifat jaringannya, sehingga baik untuk mendeteksi berbagai jenis tanaman termasuk tanaman yang sehat atau yang sakit. 5. Foto inframerah termodifikasi Foto udara ini menggunakan inframerah dekat dan sebagia spectrum tampak pada saluran merah dan sebagian saluran hijau. I.7.3.2. Citra satelit. Teknologi penginderaan jauh satelit memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan teknik fotogrametri. Purwadhi dan Tjaturahono (2008) menyampaikan karakteristik data penginderaan jauh satelit meliputi: 1. Resolusi spasial, yaitu ukuran obyek terkecil yang masih dapat terdeteksi atau jarak minimum dua obyek agar kedua obyek tersebut dapat terdeteksi terpisah oleh sensor. 2. Lebar sapuan (Swath Width), yaitu lebar permukaan bumi yang direkam secara sekaligus pada satu saat perekaman. 3. Resolusi spektral, yaitu jumlah kanal spektral dan makin sempitnya tiap-tiap kanal spektral tersebut. 4. Resolusi temporal, yaitu periode waktu (standar) satelit kembali berada di atas tempat yang sama di bumi. 5. Resolusi radiometrik, yaitu menyatakan tingkat kedetilan data yang pada umumnya adalah 8-bit atau berjenjang dari tingkat 0 sampai tingkat 255. Resolusi spasial merupakan kemampuan sensor mendeteksi ukuran terkecil obyek di bumi untuk membedakan diantara dua obyek yang berdekatan pada citra (Sabins, 1997). Obyek terkecil ini disajikan dalam sebuah piksel. Setiap piksel diwakili oleh luas persegi empat pada citra yang tergantung pada kemampuan sensor untuk memisahkan obyek yang berbeda ukurannya. Apabila suatu obyek dilakukan pengambilan gambar yang mempunyai ukuran luas aslinya 30 m x 30 m dan ditampilkan pada citra satelit dengan ukuran 1 piksel maka citra satelit tersebut mempunyai resolusi spasial 30 m, dengan kata lain apabila citra mempunya resolusi

13 spasial 30 m, maka 1 piksel pada citra satelit mewakili luasan 30 m x 30 m. Terdapat beberapa jenis citra satelit sebagai berikut (Sabins, 1997): 1. Satelit Landsat Satelit ini terbagi dalam dua generasi yakni generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3, generasi ini merupakan satelit percobaan (eksperimental) sedangkan satelit generasi kedua (Landsat 4 dan Landsat 5) merupakan satelit operasional. Satelit Aster 2. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Konfigurasi satelit NOAA adalah pada ketinggian orbit 833-870 km, inklinasi sekitar 98,7 98,9, mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah 2 x dalam 24 jam (sehari semalam). 3. Satelit Ikonos Ikonos adalah satelit milik Space Imaging (USA) yang diluncurkan bulan September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial. 4. Satelit Quickbird Satelit ini memiliki dua sensor utama yaitu pankromatik dan multispektral. Quickbird diluncurkan pada bulan Oktober 2001 di California AS. Quickbird memiliki empat saluran (band). 5. Satelit SPOT Satelit ini mengusung pengindera HRV (SPOT 1,2,3,4) kemudian dikembangkan menjadi HRG (SPOT 5). Satelit ini mengorbit pada ketinggian 830km, dengan inklinasi orbit 80 o. 6. Satelit ALOS ALOS (Advanced Land Observing Satellite) diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 oleh Jepang. ALOS adalah satelit pemantau lingkungan yang busa dimanfaatkan untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam dan survey sumberdaya alam. 7. Satelit GeoEye GeoEye-1 merupakan satelit pengamat bumi yang pembuatannya disponsori oleh Google dan National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang diluncurkan pada 6 September 2008 dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit ini mampu memetakan gambar dengan resolusi

14 gambar yang sangat tinggi dan merupakan satelit komersial dengan pencitraan gambar tertinggi yang ada di orbit bumi saat ini. 8. Satelit WorldView Satelit WorldView-2 adalah satelit generasi terbaru dari Digitalglobe yang diluncurkan pada tanggal 8 Oktober 2009. Citra Satelit yang dihasilkan selain memiliki resolusi spasial yang tinggi juga memiliki resolusi spectral yang lebih lengkap dibandingkan produk citra sebelumnya. Resolusi jenis-jenis citra diatas tertera pada Tabel I.2. Satelit Landsat Aster Ikonos Quickbird SPOT ALOS GeoEye WorldView Tabel 1.2. Jenis citra satelit dan resolusinya Resolusi Spektral Spasial Temporal Radiometrik TM1 TM5 30 m TM7 16 hari 8-bit TM6 120 m VNIR 15 m 8-bit SWIR 30 m 16 hari TIR 90 m 12-bit Multispektral 4 m Pankromatik 1 m 3 hari 16-bit Band1 (0.45 0.52) µm Band 2 (0.52 0.60) 2,5 m µm Band 3 (0.63 0.69) 3 hari 16-bit µm Band 4 (0.76 0.90) 0,6 m µm Pan (0.45 0.90) µm Multispektral 20 m Pankromatik 10 m 26 hari 8-bit Multispektral 10 m Pankromatik 2,5 m 2 hari 8-bit Multispektral 1,65 m Pankromatik 0,41 m 98 menit 16-bit Multispektral 1,84 m Pankromatik 0,46 m - 0,5 3,7 hari 11-bit m (Sumber: Sabins, 1997)

15 Skala peta merupakan hal terpenting di dalam penggunaan citra satelit. Tobler (1987) menyebutkan bahwa terdapat hubungan matematis antara skala dengan resolusi citra itu sendiri, bahwa dengan membagi penyebut dari skala peta dengan 1000, maka nilai tersebut merupakan resolusi spasial citra. Ukuran piksel dari citra merupakan setengah dari hasil perhitungan resolusinya. Secara matematis dapat ditulis dengan rumus: S = p*2*1000...(i.2) Keterangan: S: skala citra p: ukuran piksel (meter) Secara umum, analisis citra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis secara visual dan analisis secara digital. Este (1974) menyatakan bahwa analisis citra atau yang biasa disebut interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Interpretasi secara visual (menggunakan mata manusia) menggunakan unsur-unsur interpretasi, diantaranya rona/warna, bentuk, ukuran, pola, tekstur, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. I.7.4. Peta Dasar Berdasarkan Permendagri No. 27 Tahun 2006, Peta dasar adalah peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan manusia yang berada di permukaan bumi digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala penomoran, proyeksi dan georeferensi tertentu. Peta dasar dapat digunakan sebagai wahana penarikan garis batas wilayah. Peta dasar yang dapat digunakan dalam penentuan batas di daerah darat dapat berupa peta rupa bumi Indonesia (RBI), peta pendaftaran tanah, peta blok, atau berdasarkan foto udara dan citra satelit. Mangacu kepada Permendagri No. 76 Tahun 2012, peta dasar yang digunakan untuk penentuan batas daerah laut dapat berupa: 1. Peta Rupa Bumi Indonesia (Peta RBI), 2. Peta Lingkungan Laut Nasional (Peta LLN), 3. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (Peta LPI), serta 4. Peta Laut

16 Pada penentuan batas daerah provinsi di laut menggunakan Peta LLN dan Peta Laut, sedangkan untuk batas daerah kabupaten/kota di laut menggunakan Peta LPI dan Peta Laut. Pada daerah yang belum tercakup Peta LLN maupun Peta LPI, menggunakan Peta RBI dan Peta Laut dengan skala terbesar yang tersedia bagi daerah yang bersangkutan. I.7.5. Koreksi Geometrik Citra digital memiliki kesalahan-kesalahan geometrik sehingga tidak dapat digunakan secara langsung sebagai peta dasar tanpa dilakukan koreksi terlebih dahulu. Lillesand dan Ralph (2002) menyampaikan bahwa koreksi geometrik diimplementasikan ke dalam dua langkah prosedur. Pertama, kesalahan sistematik atau kesalahan yang dapat diprediksi dan harus dipertimbangkan. Kedua, kesalahan acak atau kesalahan yang tidak dapat diprediksi dan harus dipertimbangkan. Kesalahan sistematik dapat dikoreksi dengan cara mengaplikasikan rumus yang dapat dimodelkan dari sumber kesalahan itu sendiri secara matematik. Sedangkan kesalahan acak serta residu dari kesalahan sistematik yang tidak diketahui dapat dikoreksi dengan mendistribusikan titik kontrol tanah (GCP) secara baik ke dalam peta. Ilustrasi distribusi GCP tertera pada Gambar I.6 (Kumar, 1997). (a) (b) (c) Gambar I.6. (a) Distribusi GCP yang menyebar tetapi tidak cukup; (b) Distribusi GCP yang tidak menyebar dan buruk; (c) Distribusi yang menyebar dengan baik Keterangan : GCP (Ground Control Point)

17 GCP merupakan titik yang telah diketahui lokasinya yang dapat dicantumkan dalam citra digital secara akurat. Koordinat GCP dapat diketahui dengan mengukur dari peta atau melakukan pengamatan GPS di lapangan. Data lokasi GCP tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan nilai koreksi atau root mean square error (RMSE). Rumus untuk menghitung nilai RMSE adalah sebagai berikut (Pouncey dkk, 1999): RMSE = Keterangan:...(I.3) RMSE = root mean square error X,Y = Koordinat tujuan X o,y o = Koordinat asal I.8. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah deliniasi menggunakan peta orthophoto sebagai peta dasar dapat menghasilkan posisi titik batas yang lebih akurat daripada citra GoogleEarth jika dibandingkan dengan peta batas desa yang telah ada sebelumnya.