BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang-

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN

KERANGKA ACUAN KERJA TAHUN 2016 PENGADAAN DATA SATELIT RADAR COSMO-SKYMED

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

8 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

pemerintah pusat yang diharapkan segera diwujudkan di kawasan kepulauan Natuna Barat. ILyas sabli

ANALISA SWOT DALAM PENERAPAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) UNTUK KAPAL PENANGKAP IKAN DI INDONESIA

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

BAB.III AKUNTABILITAS KINERJA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN. Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

Lampiran 1 Perhitungan analisis usaha pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Daerah. Era Otonomi Daerah ditafsirkan sebagai penambahan. pelayanan prima kepada masyarakat.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Batas Zona Tambahan. Batas Laut Teritorial

- l~ r C.r C. ~,J:: ')!; "f ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DYAH HARINI

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

3 METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari s/d Juli 2007 di Kabupaten Jayapura dan Merauke Provinsi Papua.

5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

CAPAIAN IMPLEMENTASI 4 FOKUS AREA RENCANA AKSI Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia Provinsi Kalimantan Utara

IMPLEMENTASI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG ILLEGAL UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING OLEH INDONESIA SEBAGAI NEGARA BENDERA SHARIFA AYU RAISA MAGIS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN PENETAPAN ACCESS RIGHT DI ZEE INDONESIA

Potensi penangkapan ikan dari tahun ke tahun cenderung mengalami

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

NOMOR : KEP.44/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN/KOTA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

BAB II PERMASALAHAN IUU FISHING DI LAUT ARAFURA DAN UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANINYA

MAKALAH PENYULUHAN PERIKANAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI JUWANA, PATI

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) dengan

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH KAPAL ASING DIPERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF BERDASARKAN UNDANG-

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu dengan berbagai kenyataan, di antaranya moratorium kehutanan dan banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi hunian dan peruntukan lain, sehingga mempersempit luas lahan daratan yang produktif. Sampai saat ini, potensi sumberdaya kelautan yang pemanfaatannya telah dilakukan secara proporsional adalah sektor perikanan. Karena sektor ini memiliki berbagai keunggulan, diantaranya dapat diberbaharui (renewable resources), memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki keterkaitan dengan perkembangan sektor-sektor pembangunan lainnya yang sangat erat. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah maraknya praktek-praktek Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menerapkan Vessel Monitoring System (VMS) pada kapal-kapal perikanan yang diberikan izin, sehingga memudahkan pengawasan terhadap pengawasan kapal-kapal yang tidak berizin. Dalam penerapan VMS, pemilik kapal perikanan diwajibkan memasang transmitter pada kapal mereka yang pelaksanaannya dibantu dan dilayani oleh petugas pemasang transmitter VMS DKP. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan pemilik kapal terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas pemasangan transmitter VMS, perlu dilakukan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Pengawasan merupakan bagian integral dari proses pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang kehadiranya sangat diperlukan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya. Tantangan utama yang dihadapi dalam pengawasan sumberdaya perikanan adalah praktek-praktek penangkapan ikan secara ilegal terutama yang dilakukan oleh Kapal Ikan Asing (KIA). 1

Dampak yang timbul karena praktek-praktek IUU Fishing di Indonesia secara ekonomis adalah hilangnya pendapatan negara karena sumberdaya ikan yang dicuri, serta menurunnya pendapatan nelayan karena berkurangnya peluang untuk mendapatkan ikan hasil tangkapan. Secara politis dunia internasional telah memandang Indonesia sebagai negara yang tidak mampu menjaga kelestarian sumberdaya perikanannya yang mengakibatkan ancaman embargo dari negara importir produk ikan Indonesia, karena dianggap telah membiarkan praktek-praktek penangkapan/pemanfaatan ikan yang membahayakan kelestariannya. (Sumber data : DKP.2004. Laporan Penyusunan data Investasi Sektor kelautan dan Perikanan ) Penangkapan ikan secara ilegal adalah kegiatan penangkapan ikan diperairan teritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara, tanpa izin dari negara pantai bersangkutan. Penangkapan ikan yang tidak memenuhi ketentuan/peraturan perundangan (unregulated fishing) adalah kegiatan penangkapan ikan diperairan teritorial atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. Penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan teritorial atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya kepada negara bersangkutan. Modus operandi kegiatan IUU Fishing di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam 4 golongan, (Sumber : Nominatif Data Perkara pelanggaran, Pangkalan Utama TNI-AL I, Dinas Hukum, 2000 ) meliputi : (1) Kapal Ikan Asing (KIA), kapal murni berbendera asing melaksanakan kegiatan penangkapan di perairan Indonesia tanpa dilengkapai dokumen dan tidak pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia. Golongan ini jumlahnya cukup besar, berdasarkan perkiraan FAO ada sekitar 1 juta ton per tahun dengan jumlah kapal sekitar 3000 kapal. Kapal-kapal tersebut berasal dari Thailand, RRC, Philipina, Taiwan, Korsel dll; (2) Kapal ikan berbendera Indonesia eks KIA yang dokumennya aspal (asli tapi palsu) atau tidak ada dokumen ijin; (3) Kapal ikan Indonesia (KII) dengan dokumen aspal (pejabat yang mengeluarkan bukan yang berwenang, atau dokumen palsu); (4) KII tanpa dilengkapi dokumen sama sekali, artinya menangkap ikan tanpa ijin. 2

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya IUU fishing antara lain: (1) Terjadinya over fishing di negara-negara tetangga yang kemudian mencari daerah tangkapan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pemasarannya; (2) Sistem penegak hukum di laut masih lemah, terutama dilihat dari aspek legalnya maupun kemampuannya yang tidak sebanding antara luas laut dan kekuatan yang ada, sehingga para pelanggar leluasa dalam melaksanakan kegiatannya; (3) Potensi ikan di Indonesia masih menjanjikan (MSY = 6.4 juta ton pertahun) sementara potensi tersebut (terutama di ZEE) belum mampu dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia sendiri; (4) Mental oknum aparat penegak hukum dan pemberi ijin yang sama-sama mengeluarkan perijinan yang bukan menjadi wewenangnya dan juga upaya melindungi kegiatan IUU demi kantong sendiri; (5) Mental pengusaha Indonesia yang lebih senang sebagai broker tanpa harus membangun kapasitas usahanya dan bekerja keras, mengingat dengan kondisi demikian sudah cukup menikmati; (6) Peraturan dan kebijakan dalam pengaturan usaha perikanan masih belum kondusif dan menghasilkan kontrol yang efektif, sehingga celah-celah selalu dimanfaatkan oleh orang-orang yang nakal; (7) Peluang pasar produk perikanan di luar negeri masih sangat potensial sumber daya ikan di Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan dengan negara lain; (8) Industri kapal di Indonesia masih tergolong mahal termasuk sarana dan prasaranannya sehingga nelayan Indonesia tidak mampu memiliki kapal yang efektif dan efisien. Kapal ikan buatan dalam negeri yang kebanyakan tradisional tidak dapat menghasilkan tangkapan secara optimal; (9) Kualitas SDM masih rendah terutama kemampuan teknologi, sehingga sebagian besar armada kapal ikan dikuasai skala kecil dengan kemampuan jangkauan pendek dan waktu berlayar tidak lama. Kebijakan yang diterapkan dalam pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah sistem Monitoring, Controlling dan Surveillance (selanjutnya disingkat dengan MCS). Sistem ini merupakan sistem terpadu dari unsur pengawasan dengan memanfaatkan peralatan yang didukung teknologi maju Vessel Monitoring Sistem (VMS), alat komunikasi (Alkom), Kapal Patroli, Pesawat Udara (Marine Surveillance Aircraft) serta SDM 3

Pengawasan baik dari tenaga pengawasan maupun pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS). Sistem yang dapat memantau seluruh kapal sekaligus dengan kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah Vessel Monitoring System (VMS), dan FAO (Smith, 1999) juga merekomendasikan penggunaan VMS apabila jumlah kapal yang perlu dipantau cukup besar (50 kapal asing dan 200 kapal domestik). Vessel Monitoring System (VMS) merupakan salah satu elemen penting dalam mengimplementasikan aspek monitoring (pemantauan) pada lingkup MCS secara keseluruhan. Sesuai Undang-Undang nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 7 ayat 1 butir j bahwa dalam mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Adapun yang dimaksud dengan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan Kapal Perikanan yang ditentukan. Contoh : Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (VMS), Pasal 7 ayat 2 Setiap orang melakukan usaha dan / atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Berdasarkan UU No. 31/2004 ditentukan bahwa setiap Kapal Perikanan Asing dan Indonesia yang beroperasi di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, harus memiliki Sistem Pemantauan Kapal Perikanan yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia disebutkan bahwa kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan sistem pemantauan kapal (VMS). Demikian pula halnya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap, pada Pasal 17 menyatakan bahwa setiap kapal perikanan berbendera asing maupun berbendera Indonesia dengan ukuran lebih dari 100 GT wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal (VMS). Pengaturan yang lebih spesifik tentang implementasi VMS ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 05 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan 4

Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Dalam peraturan menteri tersebut, dijelaskan secara rinci mengenai kewajiban bagi pemilik kapal perikanan dalam penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan, ketentuan dan tata cara pengadaan, pemasangan dan aktivasi transmitter VMS, serta sangsi pemilik kapal perikanan yang tidak mentaati penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan penerapan VMS, Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan sosialisasi mengenai VMS diberbagai daerah dengan sasaran kegiatan adalah para pemilik kapal perikanan, para petugas pengawas di lapangan, para aparat penegak hukum di bidang perikanan (TNI AL, POLRI, Kejaksaan) serta stake holder lainnya (asosiasi dan LSM di bidang perikanan). Di samping itu, langkah yang ditempuh Departemen Kelautan dan Perikanan untuk memperlancar pemasangan transmitter adalah dengan cara melakukan pelatihan pemasangan transmitter baik kepada petugas pengawas yang berada di pelabuhan-pelabuhan perikanan maupun kepada teknisi pemilik kapal perikanan. Dengan demikian pemasangan transmitter dapat dilakukan oleh petugas pengawas di pelabuhan pangkalan maupun oleh teknisi pemilik kapal yang hasilnya dilaporkan kepada petugas pengawas. Dalam implementasinya penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan merupakan kewajiban bagi para pemilik kapal perikanan untuk memasang dan mengaktifkan transmitter VMS sebagai bentuk tanggungjawab pemilik kapal dalam pelaksanaan sistem pengelolaan perikanan yang telah diatur oleh Pemerintah. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan pemasangan peran pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan adalah sebagai instansi yang bertugas melayani para pemilik kapal. Kegiatan pelayanan pemasangan transmitter VMS sudah mulai dilaksanakan pada tahun 2004, pada saat VMS mulai diterapkan dengan bantuan (pinjaman pemerintah) dari pemerintah perancis. Pada saat awal diterapkannya VMS, sarana yang diperlukan berupa transmitter dan biaya air timenya disediakan oleh pemerintah, pemilik kapal hanya tinggal memasang di kapal dengan bantuan tenaga teknisi dari pemerintah. Dengan semakin banyaknya kapal perikanan yang harus 5

dipasang transmitter, maka kebutuhan keuangan yang harus disediakan oleh pemerintah dalam rangka penerapan VMS juga semakin besar. Hal tersebut tidak memungkinkan dilakukan terus menerus karena dalam penerapan VMS bukan semata-mata untuk kepentingan pemerintah tetapi juga untuk kepentingan pemilik kapal. Sejalan dengan hal tersebut, maka melalui Permen No. 17 tahun 2006, kebijakan pemerintah dalam implementasi VMS mewajibkan pemilik kapal dengan ukuran di atas 100 GT membeli transmitter dan membayar air timenya sendiri. Sedangkan untuk kapal-kapal perikanan dengan ukuran lebih kecil dari 100 GT transmitter disediakan oleh pemerintah melalui pinjam pakai dengan syarat biaya air time ditanggung oleh pemilik kapal. Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan sebagai instansi di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan yang bertanggungjawab dalam implementasi VMS telah memberikan pelayanan pemasangan transmitter VMS kepada pemilik kapal perikanan sejak tahun 2004. Namun karena kebijakan penerapan transmitter VMS tersebut masih belum dapat diterima oleh para pemilik kapal dengan penuh kesadaran, maka dalam perjalanannya mengalami beberapa kendala terutama dari para pemilik kapal. Hal tersebut menuntut pemerintah untuk terus melakukan sosialisasi terhadap pemilik kapal dan stake holder lainnya akan arti pentingnya penerapan VMS dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan kondisi demikian, maka dalam implementasi VMS disamping merupakan kewajiban bagi pemilik kapal, juga dituntut peran pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada pemilik kapal dalam pengurusan pemasangan dan aktivasinya, sehingga pemilik kapal tidak merasa dirugikan dan dapat menyadari sepenuhnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini diarahkan untuk menganalisis kualitas pelayanan yang diberikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan kepada Pemilik Kapal Perikanan. Dengan hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan) dalam meningkatkan pemberian pelayanan bagi pemilik kapal. 6

1.2. Pokok Permasalahan Kebijakan pemasangan VMS pada kapal-kapal perikanan merupakan kesepakatan dari Negara-negara anggota FAO yang memiliki wilayah laut dan mengelola sumberdaya perikanannya. Sistem ini mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 2004 seiring dengan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Meskipun sudah mulai diterapkan pada tahun 2004, namun pengaturan lebih spesifik mengenai VMS baru diterbitkan tahun 2007 melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.05/Men/2007. Dalam penerapan VMS, terjadi interaksi antara DKP dan pemilik kapal perikanan dalam pemasangan transmitter VMS. Dalam hal ini DKP sebagai pihak yang memberikan pelayanan dan pemilik kapal sebagai pihak yang menerima layanan. Untuk mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan oleh DKP dalam pemasangan transmitter VMS, pokok permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian adalah : Seberapa jauh tingkat kepuasan pemilik kapal perikanan dalam menerima layanan pemasangan transmitter VMS yang diberikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan? 1.3. Tujuan Penelitian Atas dasar perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : Menganalisis tingkat kepuasan pemilik kapal dalam pelayanan pemasangan transmitter VMS yang diberikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. 1.4. Signifikansi Penelitian Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat yang signifikansi kepada pihak-pihak berikut ini: 1. Akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis, 7

ataupun penelitian yang lebih luas terutama penelitian yang berkaitan dengan kualitas pelayanan; 2. Praktek, yaitu pihak Pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam mengevaluasi kebijakan implementasi VMS, khususnya dalam memberikan pelayanan pemasangan transmitter kepada para Pemilik Kapal. 1.5. Sistematika Penulisan Sistematika yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN, yang menjelaskan tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN LITERATUR DAN METODE PENELITIAN, yang akan menguraikan teori-teori dan konsep-konsep yang relevan dengan topik penelitian, terutama teori dan konsep tentang kebijakan publik, pelayanan, kualitas pelayanan, harapan dan persepsi konsumen, kepuasan, model analisis dan operasionalisisi konsep. Di samping itu diuraikan juga mengenai ruang lingkup dan batasan penelitian, pendekatan dan jenis penelitian, populasi dan sampel, jenis dan teknis pengumpulan data, instrumen penelitian, uji validitas dan reliabilitas data, analisis data penelitian serta keterbatasan penelitian. BAB III : GAMBARAN UMUM PENERAPAN VESSSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN, yang akan menguraikan mengenai pengertian Vessel Monitoring System (VMS), kebijakan pemasangan transmitter VMS serta organisasi pelayanan pemasangan transmitter VMS. 8

BAB IV : ANALISIS HASIL PENELITIAN, yang akan menguraikan karakteristik sampel penelitian, analisis dimensi kualitas pelayanan serta analisis tingkat kepuasan pemilik kapal terhadap pelayanan pemasangan transmitter VMS yang diberikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. BAB V : SIMPULAN DAN SARAN, yang akan menguraikan simpulan hasil penelitian serta saran atas hasil penelitian. 9