V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

dokumen-dokumen yang mirip
KONSEP EVALUASI LAHAN

Klasifikasi Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN FOTO UDARA Oleh : Hendro Murtianto

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

Menilai subklas Kemampuan Lahan di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

IV. METODE PENELITIAN

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

VI. EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA DI HULU DAS JENEBERANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

POTENSI LAHAN DI DESA KAHUKU KECAMATAN LIKUPANG KABUPATEN MINAHASA UTARA BERDASARKAN KELAS KEMAMPUAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN PADA USAHATANI LAHAN KERING BERBASIS TEMBAKAU DI SUB DAS PROGO HULU

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SIMO KABUATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH. Skripsi S-1 Program Studi Geografi

II. TINJAUAN PUSTAKA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LOGO Potens i Guna Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN JATINOM KABUATEN KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014).

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Metode Penelitian. diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Karakteristik Lahan Kesesuaian Tanaman Karet

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

ANALISIS LAHAN KRITIS DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI. Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Oleh : SIDIK NURCAHYONO

BAB I PENDAHULUAN. DAS Serayu, terutama di bagian hulu DAS berkaitan dengan pemanfaatan lahan

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN MUSUK KABUPATEN BOYOLALI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi

PEMETAAN MANUAL KEMAMPUAN LAHAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH DENGAN METODE DESCRITIF

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

11. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. lahan pasir pantai Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen dengan daerah studi

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

Evaluasi Kemampuan Lahan Desa Sihiong, Sinar Sabungan Dan Lumban Lobu Kabupaten Toba Samosir ABSTRACT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung,

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah

KLASIFIKASI LAHAN UNTUK PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN SECARA FISIK UNTUK TANAMAN KEDELAI DI KELURAHAN PANDU KECAMATAN MAPANGET KOTA MANADO

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN BANDAR KABUPATEN BATANG PROVINSI JAWA TENGAH NASKAH PUBLIKASI

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

Transkripsi:

57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian. Pemanfaatan lahan untuk pertanian secara optimal dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan penggunaan lahan dengan kemampuan lahannya (Oluwatosin et al., 2006). Penggunaan tanah harus sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi dengan baik tanpa mengurangi tingkat kesuburannya. Semakin meningkat jumlah penduduk maka akan semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Akibatnya lahan-lahan pertanian yang subur dan potensial semakin berkurang, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian, sehingga diperlukan teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan sumberdaya lahan secara berkelanjutan (Shekinah, Saha, dan Rahman, 2004). Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya lahan secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang akan diusahakan terutama tanaman-tanaman yang mempunyai nilai ekonomi cukup baik. Lahan pada dasarnya mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mendukung penggunaan tertentu. Untuk mengetahui kemampuan suatu lahan maka perlu dilakukan klasifikasi kemampuan lahan. Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) adalah penilaian lahan dengan komponen komponennya secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaanya secara lestari (Arsyad, 2006). Kemampuan disini dipandang sebagai kapasitas lahan untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum. Lahan dengan kemampuan tinggi diharapkan berpotensi besar untuk berbagai penggunaan, sehingga memungkinkan penggunaannya efektif untuk berbagai macam kegiatan. Untuk mempertahankan produktifitas lahan perlu suatu cara pengelolaan yang tepat agar dapat dicapai produktivitas yang optimal dan

58 tidak menimbulkan kerusakan pada lahan. Sesuai dengan sifat dan faktor pembatasnya, lahan mempunyai daya guna yang berbeda satu dengan yang lainnya (Shekinah, Saha, dan Rahman, 2004). Pada penentuan kelas kemampuan lahan, sifat dan faktor pembatas yang dipakai adalah yang menentukan mudah tidaknya tanah diolah jika lahan tersebut dijadikan suatu usaha pertanian (Kusumaseta, 1987). Sifat dan faktor pembatas lahan yang sangat mempengaruhi kemampuan lahan di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh batuan, iklim, tanah, bentuk lahan, panjang dan kemiringan lereng dan proses yang bekerja di lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kondisi hulu DAS Jeneberang dengan potensi lahan yang ada saat ini, baik yang sudah dimanfaatkan maupun belum dimanfaatkan merupakan modal dasar bagi pengembangan wilayah Kabupaten Gowa, khususnya untuk bidang pertanian. Potensi lahan yang ada bila tidak mendapat perhatian khusus, maka selamanya akan menjadi potensi saja bukan keluaran produk yang penting dan bermanfaat. Salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Gowa adalah potensi lahan pertanian yang berada di hulu DAS Jeneberang. Namun saat ini potensi tersebut belum diusahakan secara optimal sehingga belum memberikan sumbangan yang menonjol. Agar harapan tersebut dapat terwujud, diperlukan suatu usaha agar dapat mengetahui secara pasti tentang potensi yang ada di hulu DAS Jeneberang dengan cara mengetahui kemampuan lahan di daerah tersebut yang selanjutnya dapat diubah kesesuaian lahannya sehingga dapat menghasilkan produksi yang maksimal. Secara morfologis, rona fisik wilayah hulu DAS Jeneberang sebagian besar bentang lahannya berbentuk perbukitan dan pegunungan dengan kondisi kelerengan yang cukup bervariasi. Melihat potensi yang ada di wilayah hulu DAS Jeneberang, yaitu potensi lahannya cukup baik untuk berbagai peruntukan misalnya untuk permukiman, lahan pertanian, irigasi dan sebagainya. Pemanfaatan suatu wilayah sebaiknya didasarkan pada evaluasi tentang kemampuan lahan dan kesesuaian lahan, sehingga di wilayah itu dapat digolongkan menurut penggunaannya yang tepat. Survei kemampuan lahan merupakan salah satu survei sumberdaya lahan yang bertujuan mengetahui kemampuan lahan suatu daerah dan menentukan penggunaan lahan beserta

59 pengelolaanya yang tepat sehingga dapat dicapai produktivitas yang optimal atau sedikit menimbulkan kerusakan lahan. Evaluasi kemampuan lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk mengarahkan potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi kemampuan lahan di hulu DAS Jeneberang perlu dilakukan agar penggunaan lahan disesuaikan dengan kemampuan lahannya. Dengan demikian degradasi lahan dapat diminimalkan dan pemanfaatan lahan dapat lestari dan berkelanjutan. 5.2. Metode Penelitian 5.2.1. Sumber dan Teknik Pengambilan Data Pengamatan dan pengambilan data sifat-sifat tanah dan lahan untuk keperluan evaluasi kemampuan lahan dilakukan pada setiap satuan lahan berdasarkan agroekologi. Sifat-sifat tanah dan lahan yang digunakan dalam evaluasi kemampuan lahan meliputi sifat-sifat fisik dan morfologi tanah dan lahan yang dapat langsung diamati di lapang dan hasil analisis tanah di laboratorium. Kelas kemampuan lahan di dasarkan pada potensinya untuk pertanian umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Sifat-sifat fisik dan morfologi yang diamati untuk tingkat kelas adalah kemiringan lereng, kepekaan erosi, kedalam solum, struktur tanah, keadaan tergenang, drainase, adanya batuan di permukaan, dan salinitas atau kandungan natrium. Untuk pembagian sub kelas, maka yang diamati adalah bahaya erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap perakaran tanaman (s), dan iklim (c) (Arsyad, 2006). 5.2.2. Analisis Data Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan yaitu sistem dari United States Departement of Agriculture (USDA), yang dikemukakan dalam Agricultural Handbook No. 210 (Klingebiel and Montgomery, 1961 dalam Harjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Pengklasifikasian kemampuan lahan dilakukan sampai kategori subkelas. Pengelompokan dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Lahan dikelompokkan dalam delapan kelas yaitu

60 kelas I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai VIII. Lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan. Lahan pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon atau vegetasi alami. Lahan kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Pengelompokan ke dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman. Terdapat empat jenis penghambat utama atau ancaman yaitu ancaman erosi (e), ancaman kelebihan air (w), pembatas perkembangan akar (s), dan pembatas iklim (c) (Arsyad, 2006). Hambatan atau ancaman yang disebabkan oleh bahaya erosi, kelebihan air, pembatas perkembangan akar (kedangkalan tanah, batuan dipermukaan, kapasitas menahan air yang rendah, salinitas atau kandungan garam), yang dapat dirubah atau sebagian dapat diatasi dan merupakan pembatas yang didahulukan dari pada iklim dalam menentukan subkelas, dan subkelas diberikan tanda e, w atau s. Tanah-tanah yang tidak ada pembatas kecuali iklim ditandai dengan subkelas c. Matriks kriteria klasifikasi kemampuan lahan disajikan pada Tabel Lampiran 5. 5.3. Hasil dan Pembahasan 5.3.1. Zona Agroekologi Berbasis Elevasi di Hulu DAS Jeneberang Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah, dan tanah. Karena paling sulit dimodifikasi, iklim merupakan peubah yang paling dominan. Iklim dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor iklim utama yang berhubungan erat dengan keragaman tanaman yaitu suhu dan curah hujan (Badan Litbang Pertanian, 1999). Untuk daerah hulu DAS Jeneberang, suhu dibagi menjadi panas yang biasanya diperoleh pada ketinggian di bawah 700 m dpl dan sejuk untuk daerah dengan ketinggian lebih tinggi dari 700 m dpl sampai sekitar 2.787 m di atas permukaan laut (pengamatan suhu dilakukan di dua zona namun tidak mendetail sehingga tidak ada pembahasan tentang hal tersebut).

61 Pembagian zona agroekologi berbasis elevasi ( < 700 m dpl dan 700 m dpl) di hulu DAS Jeneberang didasarkan pada perbedaan iklim (suhu dan curah hujan) yang berhubungan dengan dominansi tanaman hortikultura. Data curah hujan 10 tahun terakhir terdapat pada Tabel Lampiran 20 dan 21. Sedangkan pengamatan suhu dilakukan hanya selama penelitian di lapang berlangsung hanya untuk mengetahui perbedaan suhu pada dua zona agroekologi. Pada zona agroekologi dengan elevasi < 700 m dpl, tanaman hortikultura yang dominan ditanam atau diusahakan oleh petani adalah buah-buahan seperti rambutan, mangga, durian, pisang, jeruk, dan lain-lain. Sedangkan pada zona agroekologi 700 m dpl, tanaman hortikultura yang dominan ditanam oleh petani adalah sayuran seperti kentang, kubis, bawang daun, tomat, buncis, sawi, wortel, dan lain sebagainya. Peta penyebaran masing-masing zona agroekologi di hulu DAS Jeneberang disajikan pada Gambar 4. 5.3.2. Satuan Lahan pada Setiap Zona Agroekologi di Hulu DAS Jeneberang Satuan lahan merupakan satuan hamparan lahan yang mempunyai karakteristik yang hampir sama. Satuan lahan dibentuk berdasarkan kesamaan kemiringan lereng, jenis tanah, dan elevasi. Peta yang digunakan adalah peta jenis tanah, kemiringan lereng, dan elevasi. Hasil overlay (tumpang tepat) peta jenis tanah, peta kemiringan lereng dan peta elevasi pada areal hulu DAS Jeneberang diperoleh 55 satuan lahan (Gambar Lampiran 1). Ada 28 satuan lahan di areal hulu DAS Jeneberang digunakan sebagai pertanaman hortikultura buah-buahan dan sayuran, dan 20 satuan lahan diantaranya yang ditanami tanaman hortikultura sayuran yang terletak pada lahan dataran tinggi (zona agroekologi pada elevasi 700 m dpl), sedangkan 8 satuan lahan yang ditanami tanaman hortikultura buah-buahan yang terletak pada lahan dataran rendah (zona agroekologi elevasi pada < 700 m dpl). Letak masingmasing satuan lahan di daerah penelitian disajikan pada Gambar 5. Sedangkan jenis tanah, kemiringan lereng, elevasi, dan luas masing-masing satuan lahan disajikan pada Tabel 6. Luas lahan yang masuk kategori dataran rendah (zona agroekologi pada elevasi < 700 m dpl) adalah 14.842,00 ha dan terbagi dalam 8 satuan lahan.

62 Sedangkan luas lahan yang tergolong dataran tinggi (zona agroekologi pada elevasi 700 m dpl) adalah 16.177,60 ha dan terbagi dalam 20 satuan lahan. Luas total lahan yang diperkirakan dimanfaatkan untuk lahan pertanian tanaman hortikultura adalah 31.019,60 ha. Jenis tanah di lokasi penelitian yaitu Inseptisol, Ultisol, Alfisol, dan Oksisol, dengan kemiringan lereng landai sampai curam. 5.3.3. Karakteristik Fisik Lahan di Hulu DAS Jeneberang Karakteristik fisik lahan di hulu DAS Jeneberang meliputi kemiringan lereng, kepekaan erosi, kedalaman tanah efektif, tekstur tanah, permeabilitas, drainase, ketersediaan air, batuan di permukaan tanah, dan batuan tersingkap. Hasil pengamatan di lapangan dan analisis di laboratorium disajikan pada Tabel 7. Data hasil analisis tanah di laboratorium disajikan pada Tabel Lampiran 3 dan 4. Kemiringan lereng pada hulu DAS Jeneberang berada antara landai, agak miring, miring, agak curam, dan curam. Kemiringan lereng suatu lahan sangat berpengaruh terhadap erosi yang terjadi. Semakin miring suatu lereng maka semakin besar erosi yang terjadi, dan sebaliknya semakin landai maka semakin kecil erosi yang terjadi. Hal ini bisa dilihat pada parameter kepekaan erosi. Erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang berkisar dari ringan, sedang, agak berat, berat, dan sangat berat. Lahan dengan kemiringan lereng landai, erosi yang terjadi masuk kategori ringan, agak miring erosinya sedang, kemiringan lereng miring erosinya agak berat, agak curam erosinya berat, dan kemiringan curam maka erosi yang terjadi yaitu sangat berat. Kedalaman tanah efektif merupakan kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman tanah efektif pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang yaitu sedang (50 90 cm) sampai dangkal (25 50 cm). Kedalaman tanah sangat mempengaruhi perkembangan akar tanaman. Perkembangan akar tanaman sangat menentukan pruduktivitas tanamannya. Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu dan liat. Tekstur tanah di lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang agak bervariasi yaitu halus, agak halus, dan sedang. Tanah bertekstur halus meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu, dan liat. Tanah bertekstur agak halus meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu. Sedangkan tanah bertekstur sedang meliputi tekstur lempung, lempung berdebu, dan debu.

Gambar 4. Peta zona agroekologi berbasis elevasi di hulu DAS Jeneberang. 63

GGambar 5. Peta satuan lahan homogen pada setiap zona agroekologi berbasis elevasi di hulu DAS Jeneberang. 64

65 Tabel 6. Jumlah dan luas satuan lahan di hulu DAS Jeneberang berdasarkan jenis tanah, kelas lereng dan ketinggian tempat No. Satuan lahan Kode Satuan Lahan Jenis Tanah Kelas Lereng (%) Ketinggian Tempat (m dpl) Zona Agroekologi pada Elevasi < 700 m dpl Luas (ha) 17 PL1 Dystropepts <8 < 700 2.232,33 18 PL2 Dystropepts 8 15 < 700 396,04 19 PL3 Dystropepts 15 25 < 700 106,94 30 PL4 Tropohumults <8 < 700 4.044,18 32 PL5 Tropohumults 8 15 < 700 3.563,59 34 PL6 Tropohumults 15 25 < 700 4.295,81 36 PL7 Tropohumults 25 40 < 700 149,96 44 PL8 Tropudults 25 40 < 700 53,15 Zona Agroekologi pada Elevasi 700 m dpl 6 SP1 Tropudalfs <8 700 934,86 7 SP2 Tropudalfs 8 15 700 1.532,61 9 SP3 Tropudalfs 15 25 700 397,10 11 SP4 Tropudalfs 25 40 700 72,05 12 SP5 Dystrandepts <8 700 323,55 13 SP6 Dystrandepts 8 15 700 1.438,33 14 SP7 Dystrandepts 15 25 700 1.713,96 15 SP8 Dystrandepts 25 40 700 1.311,41 16 SP9 Dystrandepts > 40 700 138,94 23 SP10 Humitropepts 8 15 700 2.030,35 25 SP11 Humitropepts 15 25 700 2.102,28 27 SP12 Humitropepts 25 40 700 429,35 39 SP13 Tropudults <8 700 501,34 41 SP14 Tropudults 8 15 700 1.128,17 43 SP15 Tropudults 15 25 700 602,25 45 SP16 Tropudults 25 40 700 425,08 49 SP17 Haplorthoxs <8 700 459,16 51 SP18 Haplorthoxs 8 15 700 197,26 53 SP19 Haplorthoxs 15 25 700 260,65 55 SP20 Haplorthoxs 25 40 700 178,90 Jumlah 31.019,60 Permeabilitas tanah di lahan berlereng hulu DAS Jeneberang berkisar dari lambat, agak lambat, sedang, sampai agak cepat. Kategori lambat, permeabilitasnya kurang dari 0,5 cm/jam, kategori agak lambat permeabilitasnya 0,5 sampai 2,0 cm/jam, kategori sedang permeabilitasnya 2,0 sampai 6,25 cm/jam, dan kategori agak cepat permeabilitasnya 6,25 sampai 12,5 cm/jam.

Gambar 6. Peta kelas kemampuan lahan di hulu DAS Jeneberang. 66

Tabel 7. Karakteristik fisik dan morfologi lahan di hulu DAS Jeneberang Satuan Lereng Erosi Kedalaman Tekstur Permeabilitas Drainase Ketersediaan Batuan Batuan Lahan Tanah Air Dipermukaan Tersingkap PL1 Landai Ringan Sedang Halus Sedang Agk baik Sedang Sedikit Tdk ada PL2 Agak miring Sedang Sedang Agk hls Lambat Agk baik Sedang Sedikit Tdk ada PL3 Miring Agk brt Sedang Halus Agak lambat Agk baik Sedang Sedikit Sedikit PL4 Landai Ringan Sedang Halus Agak lambat Agk baik Sedang Sedikit Tdk ada PL5 Agak miring Sedang Sedang Halus Sedang Agk baik Sedang Sedikit Tdk ada PL6 Miring Agk brt Sedang Agk hls Sedang Agk baik Sedang Sedikit Sedikit PL7 Agak curam Berat Dangkal Halus Agak lambat Agk baik Sedang Sedikit Sedikit PL8 Agak curam Berat Dangkal Halus Lambat Agk baik Sedang Sedikit Sedikit SP1 Landai Ringan Sedang Halus Agak cepat Baik Baik Sedikit Tdk ada SP2 Agak miring Sedang Sedang Halus Sedang Baik Baik Sedang Tdk ada SP3 Miring Agk brt Sedang Halus Sedang Baik Baik Sedang Tdk ada SP4 Agak curam Berat Dangkal Halus Sedang Baik Baik Sedang Tdk ada SP5 Landai Ringan Sedang Sedang Agak lambat Baik Baik Sedikit Tdk ada SP6 Agak miring Sedang Sedang Sedang Sedang Baik Baik Sedikit Tdk ada SP7 Miring Agk brt Sedang Sedang Sedang Baik Baik Sedang Tdk ada SP8 Agak curam Berat Dangkal Agk hls Sedang Baik Baik Sedang Tdk ada SP9 Curam Sgt brt Sedang Sedang Agak cepat Baik Sedang Sedang Tdk ada SP10 Agak miring Sedang Sedang Sedang Agak lambat Baik Sedang Sedang Tdk ada SP11 Miring Agk brt Sedang Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Tdk ada SP12 Agak curam Berat Dangkal Sedang Sedang Baik Baik Sedang Tdk ada SP13 Landai Ringan Sedang Agk hls Agak lambat Baik Baik Sedikit Tdk ada SP14 Agak miring Sedang Sedang Agk hls Sedang Baik Baik Sedang Sedikit SP15 Miring Agk brt Sedang Halus Lambat Agk baik Baik Sedang Sedikit SP16 Agak curam Berat Dangkal Agk hls Lambat Agk baik Baik Sedang Sedikit SP17 Landai Ringan Sedang Sedang Lambat Agk baik Baik Sedang Tdk ada SP18 Agak miring Sedang Sedang Halus Lambat Agk baik Baik Sedang Sedikit SP19 Miring Agk brt Sedang Halus Sedang Baik Baik Sedang Sedikit SP20 Agak curam Berat Dangkal Halus Agak cepat Baik Baik Sedang Sedikit 67

68 Drainase tanah di lahan berlereng hulu DAS Jeneberang berkisar dari baik sampai agak baik. Drainase baik artinya tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh tanah dari atas sampai ke bawah berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu. Drainase agak baik artinya tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari permukaan tanah). Ketersedian air tanah menunjukkan jumlah air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk menunjang pertumbuhannya. Ketersediaan air di area hulu DAS Jeneberang berkisar dari sedang sampai baik, artinya air cukup tersedia bagi tanaman. Namun di musim kemarau berkepanjangan, air yang tersedia tidak mencukupi bagi kebutuhan tanaman. Batuan di permukaan merupakan bahan kasar atau batuan kecil berdiameter 7,5 cm sampai 25 cm jika berbentuk bulat, atau sumbu panjangnya berukuran 15 cm sampai 40 cm jika berbentuk gepeng. Banyaknya batuan kecil di permukaan tanah di area penelitian berkisar dari sedikit sampai sedang. Batuan di permukaan kategori sedikit artinya jumlah batuan berkisar 0 sampai 15 % volume tanah, sedangkan kategori sedang artinya jumlah batuan dipermukaan tanah berkisar 15 sampai 50 % volume tanah. Pada kategori sedang, dapat berpengaruh pada pengolahan tanah dan pertumbuhan tanaman agak terganggu. Batuan tersingkap merupakan batuan yang sebagian kecil muncul dipermukaan dan sebagian besar terdapat dalam tanah. Batuan tersingkap pada area hulu DAS Jeneberang berkisar dari tidak ada sampai sedikit. Kategori tidak ada artinya kurang dari 2 % permukaan tanah tertutup oleh batuan yang muncul dipermukaan tanah. Sedangkan kategori sedikit artinya 2 % sampai 10 % permukaan tanah tertutup oleh batuan tersingkap, sehingga agak mengganggu pengolahan tanah dan penanaman. 5.3.4. Klasifikasi Kemampuan Lahan di Hulu DAS Jeneberang Berdasarkan karakteristik fisik dan morfologi lahan yang terdapat pada Tabel 7, dan matriks keriteria klasifikasi kemampuan lahan dari USDA yang dimodifikasi (Arsyad, 2006) yang tertera dalam Tabel Lampiran 5, maka lahan di

69 hulu DAS Jeneberang termasuk dalam kategori kelas II, III, IV, VI, dan VII, dengan faktor pembatas penghambat terhadap perakaran (s), ancaman kelebihan air (w), dan ancaman terjadinya erosi (e). Klasifikasi kemampuan lahan untuk masing-masing unit lahan disajikan pada Tabel 8. Penyebaran kelas kemampuan lahan di hulu DAS Jeneberang dapat dilihat dalam Gambar 6. Tabel 8. Kelas kemampuan lahan pada setiap satuan lahan wilayah hulu DAS Jeneberang Satuan lahan Kelas Subkelas Luas (ha) Zona Agroekologi pada Elevasi < 700 m dpl PL1 II IIs 2.232,33 PL2 III IIIw 396,04 PL3 IV IVe 106,94 PL4 II IIw 4.044,18 PL5 III IIIe 3.563,59 PL6 IV IVe 4.295,81 PL7 VI VIe 149,96 PL8 VI VIe 53,15 Zona Agroekologi pada Elevasi 700 m dpl SP1 II IIw 934,86 SP2 III IIIs 1.532,61 SP3 IV IVe 397,10 SP4 VI VIe 72,05 SP5 II IIw 323,55 SP6 III IIIe 1.438,33 SP7 IV IVe 1.713,96 SP8 VI VIe 1.311,41 SP9 VII VIIe 138,94 SP10 III IIIe 2.030,35 SP11 IV IVe 2.102,28 SP12 VI VIe 429,35 SP13 II IIw 501,34 SP14 III IIIe 1.128,17 SP15 IV IVe 602,25 SP16 VI VIe 425,08 SP17 II IIw 459,16 SP18 III IIIw 197,26 SP19 IV IVe 260,65 SP20 VI VIe 178,90 Keterangan faktor pembatas: s: penghambat perakaran, w: ancaman kelebihan air, dan e: ancaman terjadinya erosi. Lahan dengan kelas kemampuan II merupakan lahan dengan kemiringan landai sampai berombak (3 8 %) dan/atau telah mengalami erosi ringan (<25 %-

67 lapisan atas telah hilang), kedalaman sedang ( 50 90 cm). Lahan dengan kelas kemampuan II sesuai untuk berbagai macam penggunaan, meliputi penggunaan untuk tanaman semusim, tanaman tahunan, padang rumput, hutan produksi, dan sebagainya. Oleh sebab itu apabila digunakan untuk pertanian tanaman semusim, agar lahannya tidak rusak, maka memerlukan tindakan konservasi tanah yang ringan seperti pergiliran tanaman, penggunaan mulsa, dan guludan bersaluran. Luas areal lahan kelas II di hulu DAS Jeneberang yaitu 8.495,42 ha (27,39 %). Lahan kelas II dengan faktor pembatas drainase (w) (subkelas IIw) seluas 6.263,09 ha (20,19 %) dan lahan dengan faktor pembatas hambatan daerah perakaran (subkelas IIs) yaitu 2.232,33 ha (7,20 %) (Tabel 8). Kelas kemampuan lahan III merupakan lahan yang terletak pada lereng dengan kemiringan agak miring atau bergelombang (8 15 %), dan kedalaman tanah dangkal (25 50 cm), peka terhadap erosi atau telah mengalami erosi agak berat. Lahan dengan kelas kemampuan III masih sesuai untuk pertanian tanaman semusim, tanaman tahunan, padang rumput, hutan produksi, atau hutan lindung. Jika digunakan untuk pertanian tanaman semusim, agar tidak mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi hidrologinya, maka memerlukan tindakan konservasi yang cukup berat seperti pembuatan guludan bersaluran, teras berdasar lebar, atau kombinasi beberapa metode vegetatif. Data pada Tabel 9 menunjukkan luas areal lahan kelas III di hulu DAS Jeneberang yang terluas yaitu 10.286,35 ha (33,16%). Lahan kelas III dengan faktor pembatas drainase (w) (subkelas IIIw) seluas 593,30 ha (1,91 %), lahan dengan faktor pembatas hambatan daerah perakaran (subkelas IIIs) yaitu 1.532,61 ha (4,94 %), dan lahan dengan faktor pembatas erosi (subkelas IIIe) seluas 8.160,44 ha (26,31 %). Kelas kemampuan lahan IV merupakan lahan yang terletak pada lereng miring atau berbukit (15 30 %), dan kedalaman tanah dangkal (25 50 cm), telah mengalami erosi agak berat (lebih dari 75 % lapisan atas telah hilang). Lahan dengan kelas kemampuan IV digunakan untuk tanaman semusim, tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah baik, padang rumput, hutan produksi, atau hutan lindung. Jika digunakan untuk tanaman semusim, untuk menghindari kerusakan dan kehilangan fungsi tanah, maka diperlukan tindakan konservasi

68 yang lebih berat seperti pembuatan teras bangku, rorak, dan kombinasi beberapa metode vegetatif. Luas areal lahan kelas IV di hulu DAS Jeneberang yaitu 9.478,99 ha (30,55 %), dengan faktor pembatas adalah erosi (subkelas IVe). Tabel 9. Kelas kemampuan lahan, subkelas kemampuan lahan dan luasannya di hulu DAS Jeneberang Kelas Kemampuan Lahan Subkelas Kemampuan Lahan Luas (ha) Persentase (%) II IIw 6.263,09 20,19 IIs 2.232,33 7,20 III IIIw 593,30 1,91 IIIs 1.532,61 4,94 IIIe 8.160,44 26,31 IV IVe 9.478,99 30,55 VI VIe 2.619,90 8,45 VII VIIe 139,94 0,45 Keterangan faktor pembatas: s: penghambat perakaran, w: ancaman kelebihan air, dan e: ancaman terjadinya erosi. Kelas kemampuan lahan VI adalah lahan yang terletak pada lereng agak curam (30 45 %), dan kedalaman tanah sangat dangkal (<25 cm), telah mengalami erosi agak berat (lebih dari 25 % lapisan bawah telah hilang). Lahan kelas kemampuan VI tidak sesuai untuk tanaman semusim, tapi sesuai untuk tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah baik, padang rumput tidak intensif, hutan produksi, atau hutan lindung. Apabila solum tanahnya dalam dapat digunakan untuk produksi tanaman semusim dan tanaman tahunan, dengan metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi beberapa metode vegetatif. Luas areal lahan kelas VI di hulu DAS Jeneberang yaitu 2.619,90 ha (8,45 %), dengan faktor pembatas adalah erosi (subkelas VIe). Lahan dengan kelas kemampuan VII adalah lahan yang terletak pada lereng curam (45 65 %), dan kedalaman tanah sangat dangkal (<25 cm), telah mengalami erosi sangat berat (erosi parit). Lahan kelas kemampuan VII tidak sesuai untuk tanaman semusim, tapi dapat digunakan untuk padang

69 5.3.5. Kelas Kemampuan Lahan pada Kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) di Hulu DAS Jeneberang Peranan sumberdaya lahan pada suatu DAS dapat diidentifikasi secara rinci. Peranan tersebut berkaitan dengan keadaan topografi, jenis tanah, geologi, geomorfologi, vegetasi, tata guna lahan, dan hidrologi. Dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut akan diperoleh suatu gambaran umum mengenai sifat, kondisi, dan ciri-ciri DAS yang berguna untuk perencanaan pengelolaan DAS (Kartodihardjo, Murtilaksono, dan Sudadi, 2004). Lahan di bagian hulu suatu DAS umumnya didominasi oleh lahan dengan kemiringan lereng yang curam, sehingga peruntukannya didominasi sebagai kawasan hutan. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada pasal 18 dinyatakan bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Di hulu DAS Jeneberang terdapat kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan suaka alam dan hutan wisata, serta areal penggunaan lain. Pada kawasan areal penggunaan lain, lahan dapat dimanfaatkan untuk usaha-usaha pertanian, sedangkan kawasan hutan tidak dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Hasil overlay antara peta kawasan hutan dengan peta kemampuan lahan di hulu DAS Jeneberang disajikan pada Gambar 7. Hasil overlay ini digunakan sebagai dasar untuk penentuan kelas kesesuaian lahan dan tingkat bahaya erosi di hulu DAS Jeneberang. Luas kawasan hutan lindung pada hulu DAS Jeneberang adalah 1.676,36 ha, luas kawasan hutan produksi adalah 9.408,49 ha, luas kawasan hutan produksi terbatas adalah 6.077,28 ha, luas kawasan hutan suaka alam dan hutan wisata adalah 3.483,55 ha, dan luas kawasan sebagai areal penggunaan lain adalah 10.374,91 ha (Tabel 10). Kawasan hutan lindung terdapat pada areal lahan kelas II (141.42 ha), kelas III (332.58 ha), kelas IV (795.25 ha), kelas VI (284.91 ha), dan- rumput/pengembalaan terbatas, hutan produksi dengan upaya pencegahan erosi, dan peruntukan terbaik adalah hutan lindung atau suaka alam. Luas areal lahan kelas VII di hulu DAS Jeneberang yaitu 139,94 ha, dengan faktor pembatas adalah erosi (subkelas VIIe).

Gambar 7. Peta kemampuan lahan untuk pertanian pada areal penggunaan lain di hulu DAS Jeneberang. 67

kelas VII (122.20 ha). Kawasan hutan produksi terdapat pada areal kelas II (4,142.29 ha), kelas III (3,021.43 ha), kelas IV (2,194.57 ha), dan kelas VI (50.20 ha). Kawasan hutan produksi terbatas terdapat pada areal kelas II (228.13 ha), kelas III (2,642.29 ha), kelas IV (1,960.58 ha), kelas VI (1,228.54 ha), dan kelas VII (17.74 ha). Kawasan suaka alam dan hutan wisata terdapat pada areal kelas II (793.03 ha), kelas III (1,729.36 ha), kelas IV (665.72 ha), dan kelas VI (295.44 ha). Areal penggunaan lain dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian khususnya tanaman hortikultura. Areal penggunaan gu lain terdiri dari empat kelas kemampuan lahan yaitu kelas II dengan luasan an 3.190,55 ha, kelas III dengan luasan 2.560,69 ha, kelas IV dengan luasan 3.862,87 ha, dan kelas VI dengan luasan 760,80 ha. Tabel 10. Status kawasan pada masing-masing kelas kemampuan lahan wilayah hulu DAS Jeneberang Kelas Kemampuan Lahan Status Kawasan Luas (ha) II Areal Penggunaan Lain 3.190,55 II Hutan Lindung 141,42 II Hutan Produksi 4.142,29 II Hutan Produksi Terbatas 228,13 II Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 793,03 III Areal Penggunaan Lain 2.560,69 III Hutan Lindung 332,58 III Hutan Produksi 3.021,43 III Hutan Produksi Terbatas 2.642,29 III Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 1.729,36 IV Areal Penggunaan Lain 3.862,87 IV Hutan Lindung 795,25 IV Hutan Produksi 2.194,57 IV Hutan Produksi Terbatas 1.960,58 IV Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 665,72 VI Areal Penggunaan Lain 760,80 VI Hutan Lindung 284,91 VI Hutan Produksi 50,20 VI Hutan Produksi Terbatas 1.228,54 VI Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 295,44 VII Hutan Lindung 122,20 VII Hutan Produksi Terbatas 17,74 Total Luasan 31.019,60 67

Tabel 11. Kelas kemampuan lahan, faktor pembatas, luas, dan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang pada kawasan dengan status areal penggunaan lain (APL) 75 Kelas Kemampuan Lahan Faktor Pembatas Luas (ha) Arahan Penggunaan Lahan Teoritis *) II w dan s 3.190,55 Tanaman semusim, tanaman tahunan III w, s, dan e 2.560,69 Tanaman semusim, tanaman tahunan, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung IV e 3.862,87 Tanaman semusim, tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah yang baik, hutan produksi, padang rumput, hutan lindung VI e 760,80 Tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah yang baik, hutan produksi, padang rumput tidak intensif, hutan lindung Total 10.374,91 *) Arsyad (2006). Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa lahan kelas II yang terdapat pada kawasan areal penggunaan lain, pemanfaatannya dibatasi oleh penghambat terhadap perakaran (s) dan penghambat drainase (w). Menurut Arsyad (2006) penggunaan lahan kelas II yaitu dapat diusahakan pertanian tanaman semusim dan tanaman tahunan dengan mempertimbangkan faktor pembatasnya. Untuk meningkatkan produktivitasnya maka perlu meminimalkan faktor penghambat terhadap perakaran dan memperbaiki drainasenya. Lahan kelas III penggunaanya untuk pertanian dibatasi oleh faktor penghambat terhadap perakaran (s), penghambat drainase (w), dan faktor erosi (e). Penggunaan gu lahan kelas III adalah dapat ditanami tanam semusim, tanaman tahunan dengan mengatasi faktor penghambat tersebut, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai padang rumput, hutan produksi, dan hutan lindung. Lahan kelas IV penggunaannya untuk pertanian dibatasi oleh faktor penghambat erosi (e) karena kondisi kemiringan lerengnya yang curam. Penggunaan lahan kelas IV adalah ah dapat ditanami tanam semusim, tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah yang baik, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai padang rumput, hutan produksi, dan hutan lindung. Apabila penggunaannya untuk tanaman semusim maka perlu diterapkan usaha-usaha konservasi tanah untuk meminimalkan terjadinya erosi.

76 Lahan kelas VI penggunaanya untuk pertanian dibatasi oleh faktor penghambat erosi (e) karena kondisi kemiringan lerengnya yang cukup curam. Penggunaan lahan kelas VI adalah dapat ditanami tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah yang baik, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai padang rumput yang tidak intensif, hutan produksi, dan hutan lindung. Apabila penggunaannya untuk tanaman tahunan maka perlu diterapkan usaha-usaha konservasi tanah untuk meminimalkan terjadinya erosi seperti pembuatan teras bangku atau teras individu. 5.4. Kesimpulan Lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang terdiri dari 55 satuan lahan, 28 satuan lahan dengan luasan 31.019,60 ha yang dimanfaatkan untuk budidaya hortikultura. Ada 20 satuan lahan dengan luasan 16.177,60 ha terdapat pada dataran tinggi (zona agroekologi elevasi 700 m dpl) dan dimanfaatkan untuk budidaya hortikultura sayuran, dan 8 satuan lahan dengan luasan 14.842 ha terdapat pada lahan dataran rendah (zona agroekologi elevasi <700 m dpl) dan dimanfaatkan untuk budidaya hortikultura buah-buahan. Karakteristik fisik lahan di hulu DAS Jeneberang yaitu kondisi lerengnya landai sampai curam, erosi yang terjadi ringan sampai berat, kedalaman efektif tanah dangkal sampai sedang, tekstur tanah halus sampai sedang, permeabilitas tanah lambat sampai agak cepat, drainase agak baik sampai baik, ketersediaan air sedang sampai baik, batuan dipermukaan sedikit sampai sedang, dan batuan tersingkap tidak ada sampai sedikit. Kelas kemampuan lahan di hulu DAS Jeneberang terdiri dari lima kelas. Lahan kelas II memiliki faktor pembatas drainase (subkelas IIw) dan faktor pembatas hambatan daerah perakaran (subkelas IIs). Lahan dengan kelas kemampuan III memiliki faktor pembatas drainase (subkelas IIIw), faktor pembatas hambatan daerah perakaran (subkelas IIIs), dan faktor pembatas bahaya erosi (subkelas IIIe). Lahan dengan kelas kemampuan IV memiliki faktor pembatas bahaya erosi (subkelas IVe). Lahan dengan kelas kemampuan VI memiliki faktor pembatas bahaya erosi (subkelas VIe). Lahan dengan kelas kemampuan VII memiliki faktor pembatas bahaya erosi (subkelas VIIe). Luas kawasan hutan lindung pada hulu DAS Jeneberang adalah 1.676,36 ha, luas kawasan hutan produksi adalah 9.408,49 ha, luas kawasan hutan produksi

77 terbatas adalah 6.077,28 ha, luas kawasan hutan suaka alam dan hutan wisata adalah 3.483,55 ha, dan luas kawasan sebagai areal penggunaan lain adalah 10.374,91 ha. Kemampuan lahan pada areal penggunaan lain (APL) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman hortikultura adalah kelas kemampuan II (faktor pembatas w dan s), kelas kemampuan III (faktor pembatas w, s, dan e), dan kelas kemampuan IV (faktor pembatas e).