II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Kemampuan Lahan Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu pengunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Kemampuan dipandang sebagai kapasitas lahan untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum (Arsyad, 2000). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943) dan Klingebiel dan Montgomery (1973) dalam Arsyad (2000) menggolongkan kedalam tiga kategori utama yaitu kelas, subkelas, dan satuan kemampuan lahan atau pengelolaan Kelas Kemampuan Lahan Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai VIII. Lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Lahan pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohonpohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal lahan kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti

2 14 buah-buahan, tanaman hias, dan beberapa jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Lahan dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad, 2006). Kelas I. Lahan kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumput, hutan, dan cagar alam. Lahan dalam kelas I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut : (1) terletak pada topografi hampir datar, (2) ancaman erosi kecil, (3) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (4) umumnya berdrainase baik, (5) mudah diolah, (6) kapasitas menahan air baik, (7) subur atau responsif terhadap pemupukan, (8) tidak terancam banjir, dan (9) di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya. Kelas II. Lahan dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah salah satu kombinasi dari pengaruh berikut : (1) lereng yang landai, (2) kepekaan erosi atau ancaman erosi sedang atau telah mengalami erosi sedang, (3) kedalaman efektif agak dalam, (4) struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, (5) salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinan timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan. Kelas III. Lahan dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Lahan dalam kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika dipergunakan bagi tanaman yang

3 15 memerlukan pengolahan tanah tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. Hambatan yang terdapat pada tanah dalam kelas III membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan tanah, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu beberapa hal berikut : (1) lereng yang agak miring atau bergelombang, (2) peka terhadap erosi atau telah mengalami erosi yang agak berat, (3) seringkali mengalami banjir yang merusak tanaman, (4) lapisan bawah tanah yang berpermeabilitas lambat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan simpanan air, (6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan natrium sedang, atau (9) hambatan iklim yang agak besar. Kelas IV. Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar daripada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Lahan di dalam kelas IV dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang pengembalaan, hutan lindung atau suaka alam. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : (1) lereng yang miring atau berbukit, (2) kepekaan erosi yang besar, (3) pengaruh bekas erosi agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) sering tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase, (8)

4 16 salinitas atau kandungan natrium yang tinggi, dan (9) keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Kelas V. Lahan di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan sehingga membatasi pilihan penggunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Tanahtanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar atau hampir datar tetapi tergenang air, sering terlanda banjir, atau berbatu-batu, atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut. Kelas VI. Lahan dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : (1) terletak pada lereng agak curam, (2) ancaman erosi berat, (3) telah tererosi berat, (4) mengandung garam larut atau natrium, (5) berbatu-batu, (6) daerah perakaran sangat dangkal, dan (7) atau iklim yang tidak sesuai. Kelas VII. Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, jika dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika dipergunakan untuk tanaman pertanian harus dibuat terras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetative untuk konservasi tanah, disamping tindakan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunyai beberapa hambatan dan ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam, (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit, dan (3) daerah perakaran sangat dangkal.

5 17 Kelas VIII. Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada kelas VIII dapat berupa (1) terletak pada lereng yang sangat curam, atau (2) berbatu, atau (3) kapasitas menahan air sangat rendah. Beberapa kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) adalah : 1. Iklim Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan adalah temperatur dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian tempat dari permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah, agak kering, dan kering akan mempengaruhi kemampuan lahan. 2. Lereng, ancaman erosi dan erosi yang terjadi Kerusakan tanah yang disebabkan oleh erosi sangat nyata mempengaruhi penggunaan tanah, cara pengelolaan atau keragaan tanah. Kecuraman lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kecuraman lereng dikelompokkan sebagai berikut : A 0 sampai 3% (datar) B 3 sampai 8% (landai atau berombak) C 8 sampai 15% (agak miring atau bergelombang) D 15 sampai 30% (miring atau berbukit) E 30 sampai 45% (agak curam) F 45 sampai 65% (curam) G lebih dari 65% (sangat curam) Kepekaan erosi tanah (nilai K) dikelompokkan sebagai berikut : KE1 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah) KE2 0,11 sampai 0,20 (rendah)

6 18 KE3 0,21 sampai 0,32 (sedang) KE4 0,33 sampai 0,43 (agak tinggi) KE5 0,44 sampai 0,55 (tinggi) KE6 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi) Kerusakan erosi yang telah terjadi dikelompokkan sebagai berikut : E0 tidak ada erosi E1 ringan : kurang dari 25% lapisan atas hilang E2 sedang : 25 sampai 75% lapisan atas hilang E3 agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari 25% lapisan bawah hilang E4 berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang E5 sangat berat : erosi parit 3. Kedalaman tanah Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut : K0 lebih dari 90 cm (dalam) K1 90 sampai 50 cm (sedang) K2 50 sampai 25 cm (dangkal) K3 kurang dari 25 cm (sangat dangkal) 4. Tekstur tanah Tekstur tanah adalah salah satu factor penting yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya. Untuk penentuan klasifikasi kemampuan lahan tekstur lapisan atas tanah (0-30 cm) dan lapisan bawah (30 60 cm) dikelompokkan sebagai berikut : T1 tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu, dan liat T2 tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu T3 tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung

7 19 T4 T5 berdebu, dan debu tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung berpasir halus, dan lempung berpasir sangat halus tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir. 5. Permeabilitas Permeabilitas tanah dikelompokkan sebagai berikut : P1 lambat : kurang 0,5 cm/jam P2 agak lambat : 0,5 2,0 cm/jam P3 sedang : 2,0 6,25 cm/jam P4 agak cepat : 6,25 12,5 cm/jam P5 cepat : lebih dari 12,5 cm/jam 6. Drainase Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut : D0 D1 D2 D3 D4 D5 berlebihan, air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah sehingga tanaman akan sangat mengalami kekurangan air. baik, tanah mempunyai peredaran udara baik. agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran. agak buruk, lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik. buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat dan kekuningan. sangat buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. 7. Batuan dipermukaan Batuan dipermukaan yaitu adanya bahan kasar atau batuan berdiameter 7,5 cm sampai 25 cm jika berbentuk bulat, atau sumbu panjangnya berukuran 15 cm sampai 40 cm jika berbentuk gepeng. Banyaknya batuan dipermukaan dikelompokkan sebagai berikut :

8 20 B0 B1 B2 B3 tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah baik, tanah mempunyai peredaran udara baik. sedang : 15 sampai 50% volume tanah, pengolahan tanah mulai agak sulit dan pertumbuhan tanaman agak terganggu. banyak : 50 sampai 90% volume tanah, pengolahan tanah sangat sulit dan pertumbuhan tanaman terganggu. sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah, pengolahan tanah tidak mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu. 8. Batuan tersingkap Penyebaran batuan tersingkap dikelompokkan sebagai berikut : B0 B1 B2 B3 B4 tidak ada : kurang dari 2% permukaan tanah tertutup. sedikit : 2% sampai 10% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu. sedang : 10% sampai 50% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman terganggu. banyak : 50% sampai 90% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu. sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat digarap Subkelas Kemampuan Lahan Pengelompokan di dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor penghambat dan ancaman. Jadi subkelas merupakan pengelompokan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief, hidrologi, dan iklim. Terdapat empat jenis utama penghambat atau ancaman yang dikenal yaitu ancaman erosi, ancaman kelebihan air, pembatas perkembangan akar tanaman, dan pembatas iklim. Subkelas e menunjukkan ancaman erosi atau tingkat erosi yang telah terjadi merupakan masalah utama. Ancaman erosi didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah.

9 21 Subkelas w menunjukkan bahwa tanah mempunyai hambatan yang disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan terancam banjir yang merusak tanaman. Subkelas s menunjukkan tanah mempunyai hambatan daerah perakaran. Termasuk dalam hambatan daerah perakaran adalah kedalaman tanah terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan akar, adanya batuan dipermukaan tanah, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan natrium atau senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan dan tidak praktis dihilangkan. Subkelas c menunjukkan adanya faktor iklim (temperatur dan curah hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan Satuan Kemampuan Lahan Pengelompokan di dalam satuan kemampuan lahan adalah pengelompokan tanah-tanah yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usahatani tanaman pertanian umumnya atau tanaman rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam satu satuan kemampuan sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternative pengelolaan bagi tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang hasil tanaman yang diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan pengelolaan yang sama tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman merupakan kriteria yang dipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) Klasifikasi Kesesuaian Lahan Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian pada dasarnya mengacu pada Klasifikasi Kemampuan Lahan USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961) atau Klasifikasi Kesesuaian Lahan yang dikembangkan oleh FAO (1976). Sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan menurut kerangka evaluasi lahan FAO pada saat ini banyak digunakan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Metode FAO dapat dipakai

10 22 untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. Kerangka dari sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan ini mengenal empat kategori, yaitu : (1) ordo, menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; (2) kelas, menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan; (3) sub-kelas, menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas; dan (4) unit, menunjukkan perbedaanperbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Pada tingkat ordo ditunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal dua ordo yaitu ordo S (sesuai) dan ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk ordo S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelompokan lahan akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Lahan yang termasuk ordo N yaitu lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kelas kesesuaian lahan yaitu pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Ada tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N. Kelas S1 artinya sangat sesuai (highly suitable) yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 artinya cukup sesuai (moderately suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan

11 23 mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas S3 artinya sesuai marginal (marginally suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Kelas N1 artinya tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Kelas N2 artinya tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang (Ahamed, Rao, dan Murthy, 2000). Subkelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih subkelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Dalam satu subkelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga symbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) Penurunan Kualitas Sumberdaya Lahan Kegiatan pertanian sering disebut sebagai penyebab menurunnya biodiversitas, baik di atas maupun di dalam tanah, sehingga hal tersebut diduga menyebabkan produksi pangan dan layanan lingkungan seperti penyediaan air bersih, penyediaan habitat bagi fauna dan flora liar, dan kesehatan manusia menurun. Di lain pihak, kebutuhan pangan di Indonesia terus meningkat karena jumlah penduduk yang terus meningkat dengan cepat. Peningkatan produksi pertanian di Indonesia dari tahun 1995 hingga 2010 diperkirakan sekitar 1,3% setiap tahunnya (Simatupang, et al., 1995), dengan demikian produksi yang diperoleh tidak akan mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan pangan, pemerintah menggunakan 2 strategi dasar yaitu melalui peningkatan pendayagunaan lahan pertanian yang telah ada (intensifikasi)

12 24 dan melalui perluasan lahan pertanian (eksentifikasi). Pelaksanaan kedua strategi tersebut membutuhkan pemahaman pentingnya sumber daya lahan yang memadai agar keseimbangan ekosistem terjaga. Dampak berkurangnya biodiversitas tanah terhadap layanan lingkungan dan produktivitas tanaman serta upaya mempertahankan biodiversitas pada berbagai skala (lahan, bentang lahan, regional, global) telah sering dibicarakan pada berbagai level, namun pelaksanaan dan implementasinya masih kurang mendapat perhatian yang serius (van Noordwijk dan Swift, 1999; Jackson et al., 2005). Hal tersebut dikarenakan tingkat pemahaman masyarakat akan keuntungan yang diperoleh dari usaha konservasi biodiversitas masih belum memadai. Ekosistem mengalami ketidakseimbangan dimana pada musim penghujan terjadi banjir, erosi dan longsor, tetapi pada musim kemarau kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Gagal panen juga sering terjadi karena adanya serangan hama dan penyakit. Masalah-masalah ini menunjukkan adanya penurunan kualitas sumberdaya lahan, dan hal ini berhubungan dengan terganggunya fungsi hidrologi DAS (jumlah dan kualitas), menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah), menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO 2, N 2 O, CH 4 ) melebihi daya serap daratan dan lautan, berkurangnya tingkat keindahan lansekap, berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas sumber daya lahan adalah adanya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian (intensif) dengan masukan yang berlebih (van Noordwijk dan Hairiah, 2006). Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya beberapa kelompok fungsional organisme tanah, karena berubahnya jenis dan kerapatan tanaman yang tumbuh di atasnya sehingga mengubah tingkat penutupan permukaan tanah sehingga berdampak pada perubahan iklim mikro, jumlah dan jenis masukan bahan organik, dan jenis perakaran yang tumbuh dalam tanah (Giller et al., 1997; Lavelle et al., 2001). Pada lahan-lahan pertanian umumnya ada tiga masalah pokok yang berhubungan dengan gangguan siklus atau ketersediaan hara, rusaknya kondisi fisik tanah, gangguan fungsi hidrologi

13 25 (tingkat DAS) dan serangan hama dan penyakit tanaman. Perubahan fungsi ekosistem terutama terjadi melalui penurunan kandungan bahan organik dan biodiversitas organisme tanah. Menurunnya fungsi ekosistem tersebut akan menurunkan produksi tanaman dan kualitas lingkungan seperti meningkatnya limpasan permukaan dan erosi, polusi udara, tanah dan air serta peledakan populasi hama (Jackson et al., 2005). Hasil penelitian Basher dan Ross (2001) menyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah tanah yang tererosi antara lahan yang diolah dengan lahan yang tidak diolah pada petanaman bawang. Pada tanah yang diolah, erosi yang terjadi sebesar 1,1 ton/ha sedangkan pada tanah tanpa diolah, erosinya sebesar 21,3 ton/ha. Laju infiltrasi pada tanah yang diolah yaitu 1,3 x 10-4 m/detik sedangkan pada tanah tanpa pengolahan sebesar 2,2 x 10-7 m/detik. Selanjutnya Kurnia dan Suganda (1999) menyatakan bahwa pada lahan dengan kemiringan 35% dan curah hujan 978 mm, ternyata arah guludan berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi tanah. Pada pertanaman kentang dengan guludan searah lereng telah terjadi aliran permukaan 483 m 3 dan erosi 16 ton/ha. Sedangkan pada lahan dengan guludan searah kontur, aliran permukaan yang terjadi adalah 333 m 3 dan erosi tanah sebesar 10 ton/ha, serta pada lahan dengan guludan miring 45 o (guludan diagonal), aliran permukaan yang terjadi sebesar 362 m 3 dan erosi tanah sebesar 13 ton/ha. Jumlah tanah yang hilang saat panen kentang sebesar 8 ton/ha pada skala petak percobaan (Auerswald, Gerl, dan Kainz, 2006). Sedangkan hasil penelitian Jankauskas and Jankauskiene (2003) menunjukkan bahwa tanah yang tererosi pada pertanaman kentang sebesar 44,4 186,2 ton/ha. Pencucian unsur hara dapat terjadi apabila kapasitas dan laju infiltrasi dan perkolasi cukup tinggi. Hasil penelitian Jalali (2005) menyatakan bahwa pencucian nitrogen akan sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang diusahakan, dosis pupuk, jumlah nitrogen yang diserap tanaman dan produksi tanaman. Pada pertanaman kentang dan tanaman sayuran, jumlah NO - 3 yang tercuci sebesar mg/l.

14 Degradasi Lahan Erosif Pada Lahan Berlereng Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis (Dariah, Rachman, dan Kurnia, 2004). Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan. Faktor lereng merupakan penyebab besarnya potensi bahaya erosi pada usahatani lahan kering. Di Indonesia, usahatani tanaman pangan banyak dilakukan pada lahan kering berlereng. Hal ini sulit dihindari, karena sebagian besar lahan kering di Indonesia mempunyai kemiringan lebih dari 3% dengan bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung, yang meliputi 77,4% dari seluruh daratan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Usaha-usaha konservasi tanah ditujukan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Salah satu masalah pokok yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya petani, adalah bagaimana sumberdaya alam tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien dan lestari baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Munandar, 1995). Usahatani dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, bila penerapan teknik konservasi tanah senantiasa menjadi prioritas. Kepekaan tanah terhadap erosi, atau disebut erodibilitas tanah didefinisikan sebagai mudah tidaknya suatu tanah tererosi (Hudson, 1978). Menurut Young et al., 1989 dalam Veiche (2002) menyatakan erodibilitas tanah sebagai mudah tidaknya suatu tanah untuk dihancurkan oleh kekuatan jatuhnya

15 27 butir-butir hujan, dan/atau oleh kekuatan aliran permukaan. Sedangkan Wischmeier dan Mannering (1969) menyatakan erodibilitas alami tanah merupakan sifat kompleks yang tergantung pada laju infiltrasi tanah dan kapasitas tanah untuk bertahan terhadap penghancuran agregat serta pengangkutan oleh hujan dan aliran permukaan. Erodibilitas tanah dipengaruhi oleh banyak sifat-sifat tanah, yaitu sifat fisik, mekanik, hidrologi, kimia, litologi, mineralogi dan biologi, termasuk karakteristik profil tanah seperti kedalaman tanah dan sifat-sifat dari lapisan tanah (Veiche, 2002). Poesen (1983) menyatakan bahwa erodibilitas bukan hanya ditentukan oleh sifat-sifat tanah, namun ditentukan pula oleh faktor-faktor erosi lainnya, yaitu erosivitas, topografi, vegetasi, fauna dan aktivitas manusia. Selanjutnya Hudson (1978) menyatakan bahwa selain sifat fisik tanah, faktor pengelolaan atau perlakuan terhadap tanah sangat berpengaruh terhadap tingkat erodibilitas tanah. Pada prinsipnya sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas tanah adalah sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan kapasitas tanah menahan air, dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap disperse dan pengikisan oleh butir-butir air hujan dan aliran permukaan. Sifat-sifat tanah tersebut mencakup tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman tanah, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 2006). Tanah dengan kandungan debu tinggi, liat rendah, dan bahan organik rendah adalah yang paling mudah tererosi Penerapan Teknologi pada Lahan di Dataran Tinggi Indikasi penerapan teknologi pada lahan di dataran tinggi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu teknis, ekonomi dan sosial budaya. Pendekatan teknis ditekankan pada keberhasilan teknologi dalam meningkatkan produktivitas tanah dan atau tanaman tanpa merusak lingkungan. Pendekatan ekonomi menyoroti dukungan pasar, kemampuan permodalan, dan adanya peningkatan pendapatan. Pendekatan sosial budaya ditekankan pada akseptabilitas oleh petani dan tidak bertentangan dengan budaya bertani yang ada. Dengan demikian,

16 28 keberhasilan aplikasi teknologi dalam mendukung usahatani akan tergantung pada kesesuaian teknologi tersebut dengan kondisi agroekologi, ekonomi, dan sosial budaya (Togatorop et al., 2005) Budidaya pertanian merupakan salah satu usaha yang sangat tergantung pada kondisi sumberdaya alam. Faktor-faktor sumberdaya alam yang berpengaruh terhadap budidaya pertanian disebut sebagai kondisi agroekologi. Indonesia mempunyai kondisi agroekologi yang sangat beragam. Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, agroekologi Indonesia dapat dibagi menjadi dua, yaitu agroekologi dataran rendah (< 700 m dpl) dan agroekologi dataran tinggi (> 700 mdpl). Menurut Oldeman, tipe iklim di Indonesia dibagi menjadi 5 yaitu tipe A apabila bulan basah >9 bulan, tipe B apabila bulan basah antara 7-9 bulan, tipe C apabila bulan basah antara 5-6 bulan, tipe D apabila bulan basah antara 3-4 bulan, dan tipe E apabila bulan basah < 3 bulan (Puslitanak, 1999). Berdasarkan tataguna lahan, lahan dapat dibagi menjadi 3 yaitu lahan kering, lahan rawa, dan sawah. Disamping keragaman tersebut, masih ada keragaman lain yang ditunjukkan antara lain oleh beragamnya jenis tanah (termasuk didalamnya struktur tanah dan kesuburan tanah), dan topografi. Di Indonesia, sebagian besar unit lahan terletak di lahan kering beriklim basah dan ada pula di lahan kering beriklim kering. Di lahan kering beriklim basah didominasi oleh tanah-tanah Podsolik Merah Kuning dengan curah hujan mm setahun atau bulan kering lebih dari delapan bulan. Tanah-tanah ini umumnya memiliki ph tanah yang rendah, ancaman erosi dan degradasi lahan yang tinggi, KTK tanah rendah, KB rendah, permeabilitas tanah rendah dan kandungan P dan bahan organik yang rendah (Hardjowigeno, 2007). Sedangkan lahan rawa umumnya terkendala oleh tata air yang sulit dikendalikan, kesuburan tanah yang rendah, dengan kandungan unsur N, P dan K rendah, KB rendah, KTK sedang, kejenuhan alumunium tinggi dan ph tanah yang rendah (Widjaja Adhi, 1987). Sebagian besar petani di daerah lahan berlereng menunjukkan kondisi ekonomi yang hampir serupa yaitu aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (seperti pasar, sumber sarana produksi, dan lembaga keuangan) yang kurang baik, modal yang terbatas, dan pendapatan yang relatif rendah. Oleh sebab itu, teknologi yang

17 29 sesuai untuk diterapkan hendaknya mempunyai ciri menghasilkan komoditas yang mudah dipasarkan atau tahan simpan, memerlukan modal yang relatif murah dan peralatan yang sederhana, serta mampu meningkatkan pendapatan secara nyata. Mayoritas petani di lahan berlereng adalah petani kecil dengan ketersediaan modal kerja yang sangat terbatas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani hanya mengaplikasikan satu atau lebih komponen teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan permodalannya (Soehardjan, 2001) Faktor jumlah tanggungan keluarga, luas penguasaan lahan dan status penguasaan lahan berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan paket teknologi intensifikasi usahatani padi. Sedangkan faktor umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan tingkat ekspose teknologi berhubungan erat dengan tingkat penerapan paket teknologi usahatani padi. Petani peserta program intensifikasi lebih respon dalam menerima inovasi teknologi dibandingkan petani yang tidak mengikuti program intensifikasi. Tingkat penerapan sembilan paket teknologi usahatani padi sawah pada petani peserta program intensifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak mengikuti program intensifikasi. Penerapan paket teknologi berperan dalam meningkatkan produktivitas, hal ini terbukti dari selisih rata-rata produksi dan selisih rata-rata penerimaan bersih yang diperoleh petani peserta program intensifikasi lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mengikuti program intensifikasi. Demikian pula tingkat pendapatan petani peserta program intensifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak mengikuti program intensifikasi. Hal ini diperkuat dengan tingginya nilai R/C ration, B/C ratio dan analisis anggaran parsial (Halim, 2005). Petani di lahan dataran tinggi mempunyai budaya khas daerahnya. Budaya tersebut dapat berkaitan langsung dengan sistim usaha tani atau tidak sama sekali. Masuknya teknologi baru ke permukiman akan dapat bersinggungan dengan budaya baik secara langsung atau tidak. Persinggungan ini akan mendukung atau menolak teknologi baru tersebut.

18 Kelembagaan Usahatani Kelembagaan atau institusi dapat digunakan sebagai salah satu sudut pandang untuk menelaah sesuatu, situasi atau kondisi, sehingga apabila dipergunakan untuk memecahkan masalah dalam usahatani, maka akan menghasilkan rekomendasi pemecahan masalah yang sangat khas. Oleh karena itu rumusan dan batasan serta kegunaan kelembagaan sebagai instrument untuk memecahkan masalah juga beragam, sangat tergantung pada tujuan serta jenis permasalahan yang dihadapi. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input dalam proses transformasi dari input menjadi output dan pada saat yang bersamaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada para pemilik input. Pemilik input tersebut dapat berupa individu, organisasi, pemerintah, dan lain-lain, tergantung dari satuan analisis yang digunakan. Kemampuan suatu kelembagaan mengkoordinasikan, mengendalikan, atau mengontrol interdependensi antar pihak-pihak sangat ditentukan oleh kemampuan kelembagaan tersebut mengendalikan sumber interdependensi dari goods yang dikelola (Kartodihardjo, Murtilaksono, dan Sudadi, 2004). Menurut Syahyuti (2006), suatu kelembagaan merupakan pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang, merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola. Kelembagaan berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat dan ditentukan oleh sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern. Juga dapat mengefisienkan kehidupan sosial. Dengan demikian kelembagaan adalah kelompok-kelompok sosial yang dijalankan masyarakat, dan semua pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main diantara mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan input, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang ditetapkan. Kelembagaan yaitu suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Ada tujuh bentuk kelembagaan usahatani yaitu kelembagaan penyedia saprodi, kelembagaan penyedia permodalan, kelembagaan pemenuhan tenaga

19 31 kerja, kelembagaan penyedia lahan dan air irigasi, kelembagaan pengolahan hasil pertanian, kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan kelembagaan penyedia informasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Agroekologi Areal panen merupakan resultante kesesuaian tumbuh tanaman dengan kondisi agroekologi yang secara implisit mencakup unsur-unsur (peubah) iklim, fisiografi dan jenis tanah (Hendayana, 2003). Zona agroekologi (ZAE) merupakan salah satu cara dalam menata penggunaan lahan melalui pengelompokan wilayah berdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Di dalam konsep agroekologi, teknologi ditempatkan sebagai suatu alat untuk meningkatkan kapasitas produksi komoditas pada agroekologi tertentu. Ketiga peubah pembentuk utama agroekologi tersebut merupakan peubah yang sulit berubah, sehingga suatu wilayah yang dikelompokkan ke dalam wilayah agroecological zone (AEZ) sebagai basis pengembangan suatu komoditas dengan teknologi sebagai instrumennya merupakan sesuatu yang mempunyai dasar (Amien, 1997). Zona agroekologi dalam pengertian sumber daya lahan merupakan interaksi antar komponen lahan (iklim, hidrologi, topografi, tanah) dengan kegiatan pertanian yang ada di dalamnya. Dengan tersedianya data iklim, tanah, dan terain berikut hasil interpretasinya dari setiap zona agroekologi, penyusunan rakitan alih teknologi pertanian akan dapat dilakukan secara akurat. Petani yang mengusahakan lahannya pada zona agroekologi yang sama akan memiliki persamaan persepsi, baik di dalam mengelola lahan dan mengatasi permasalahan, maupun dalam hal memenuhi kebutuhan masukan dan teknologinya (FAO, 1996 dalam Djaenudin, 2007). Keragaman penggunaan lahan dan kegiatan pertanian di suatu wilayah akan terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi agroekologi yang berkaitan dengan aspek iklim dan tanah sebagai penentu terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Conway, 1987). Melalui analisis karakteristik biofisik dan sosial ekonomi masyarakat maka dasar pertimbangan yang dipakai dalam mengimplementasikan konsep pembangunan pertanian berbasis agroekologi di suatu wilayah dapat dikembangkan berdasarkan karakteristik topografi wilayah.

20 32 Berkaitan dengan persyaratan tumbuh komoditas pertanian, analisis kualitas dan karakteristik lahan spesifik lokasi dari setiap zona agroekologi merupakan penentu keberhasilan pengembangan komoditas pertanian (Djaenudin et al., 2003). Data yang berhubungan dengan kebutuhan masukan dan teknologi, serta keluaran yang akan dihasilkan pada tingkat manajemen tertentu merupakan parameter untuk evaluasi lahan secara ekonomi (Rossiter and Van Wambeke, 1997). Persyaratan penggunaan lahan menurut FAO (1983, dalam Djaenudin et al., 2003) yang digunakan dalam evaluasi lahan mencakup aspek persyaratan agroekologi, manajemen, penyiapan lahan dan konservasi. Komoditas pertanian yang diusahakan pada agroekologi yang paling sesuai dengan persyaratan tumbuhnya akan mampu berproduksi optimal dengan kualitas prima hanya dengan memerlukan masukan yang relatif rendah, sehingga produk yang dihasilkan akan mampu berdaya saing. Data dan informasi potensi sumber daya lahan dari setiap zona agroekologi yang tidak hanya disajikan dalam bentuk tabular, tetapi juga dalam bentuk spasial (peta) akan mudah digunakan oleh perencana dan pengambil kebijakan dalam menyusun program pengembangan wilayah, dalam hal ini tidak hanya untuk sektor pertanian, tetapi juga untuk sektor lainnya yang berkepentingan dengan ruang. Dari data spasial akan dapat diketahui secara pasti keberadaan lahan yang berpotensi maupun yang bermasalah termasuk berbagai kendala yang harus diatasi. Demikian pula kebutuhan masukan untuk mengatasi berbagai faktor pembatas yang ada pada setiap satuan agroekologi akan dapat diketahui (Djaenudin et al., 2003). Pembangunan pertanian berbasis agroekologi pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional perlu menempatkan pembangunan pertanian berbasis agroekologi dalam suatu hierarki pembangunan, dengan sistem produksi pertanian sebagai hierarki paling kecil dalam pembangunan. Hal ini penting agar kebijakan yang diambil pemerintah untuk memberikan dukungan pembangunan pertanian dalam bentuk masukan produksi dapat efektif dan efisien. Agar sektor pertanian mampu memberikan kontribusi dalam kualitas pertumbuhan yang memadai maka bentuk masukan perlu dimulai dari sistem

21 33 produksi pertanian dari hierarki yang paling kecil. Dengan pemikiran bahwa masyarakat petani yang relatif masih menghadapi berbagai bentuk keterbatasan dalam proses pertumbuhan bisa ditempatkan sebagai subyek, dan bukan hanya sebagai obyek atau penerima pelayanan sosial proses pertumbuhan. Perubahan ini akan membuat pertumbuhan menjadi berkelanjutan dan pada gilirannya mampu mendorong pembangunan sosial ekonomi yang dipicu dari masyarakat sebagai pelaku produksi pertanian (Susanto, 2006). Terwujudnya sistem usahatani berkelanjutan di lahan pegunungan atau berlereng, yang secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan air. Untuk mendukung usahatani ini, perlu dilakukan pengembangan teknologi yang berwawasan lokal dan berkelanjutan. Aplikasi teknologi ini harus dilakukan sejak awal penempatan untuk menghidari terjadinya kesalahan dalam menata lahan, memilih komoditas dan memilih cara budidaya. Pengembangan teknologi lokal di kawasan berlereng diawali dengan proses pemilihan teknologi, dilanjutkan dengan diseminasi teknologi. Pemilihan teknologi tepat guna perlu dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Mempelajari kondisi fisik lokasi antara lain iklim, tanah, topografi, dan elevasi. Salah satu panduan dapat menggunakan peta agroekologi yang disusun oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang ada di setiap provinsi. b. Memilih sistem penggunaan lahan dan komoditas yang sesuai. Peta komoditas unggulan yang sudah disusun BPTP setempat dapat digunakan sebagai salah satu panduan. c. Mempelajari aksesibilitas, pemasaran, ketersediaan sarana produksi dan peralatan. d. Mempelajari kondisi sosial ekonomi masyarakat termasuk kemampuan dalam membiayai penerapan teknologi, jenis-jenis komoditas yang sudah dikembangkan, teknologi yang sudah dikembangkan dan ketrampilan yang dimiliki.

22 34 e. Mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam memilih teknologi yang akan dikembangkan sehingga teknologi terpilih betul-betul sesuai dengan kebutuhan dan minat masyarakat Pertanian Sebagai Suatu Sistem Dalam konsep analisis ilmiah konvensional, usahatani dibagi dalam berbagai macam disiplin ilmu dan dipandang dengan sudut profesional dari ahli agronomi, nutrisi ternak, ekonomi, dan lain-lain. Sebaliknya, petani justru tidak memiliki bidang keahlian khusus. Mereka menganggap usahatani sebagai suatu keseluruhan, dan keseluruhan ini memiliki nilai lebih dari jumlah bagian-bagian yang dilihat para ahli. Menurut CGIAR (1978), usahatani bukanlah sekedar kumpulan tanaman dan hewan, dimana orang bisa memberikan input apa saja dan kemudian mengharapkan hasil langsung. Usahatani merupakan suatu jalinan yang kompleks terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut sebagai petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Petani tersebut mengupayakan output dari input dan teknologi yang ada. Usahatani tidak terlepas dari budaya dan sejarah. Peluang dan hambatan ekologis dan geografis (lokasi, iklim, tanah, tumbuhan, dan hewan setempat) yang tercermin dalam budaya setempat. Hal ini kemudian tercermin dalam pertanian setempat yang merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumberdaya setempat. Nilainilai masyarakat pedesaan, pengetahuan, keterampilan, teknologi dan institusi sangat mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah dan terus berkembang. Istilah sistem pertanian mengacu pada suatu susunan khusus dari kegiatan usahatani yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan, dan sumberdaya yang dimiliki petani (Shaner et al., 1982). Usahatani dengan kegiatan-kegiatan yang serupa dikatakan mempraktekan sistem pertanian tertentu. Istilah pertanian disini dipakai dalam arti luas yang meliputi bukan hanya tanaman dan ternak, tetapi juga sumberdaya alam lainnya yang ada pada petani, termasuk sumberdaya yang dimiliki bersama orang lain. Berburu, memancing, dan memanen madu serta hasil-hasil lainnya dari daerah hutan dan juga penggembalaan ternak yang

23 35 ekstensif di padang rumput alami, semuanya bisa menjadi bagian dari suatu sistem pertanian. Dalam suatu sistem usahatani, sumberdaya fisik seperti tanah, air dan udara berinteraksi hingga menciptakan kondisi suhu, angin, curah hujan tertentu dan lain-lain yang unik. Kondisi ini mempengaruhi berfungsinya sumberdaya biologis. Organisme yang hidup, dengan daur hidup dari kelahiran, pertumbuhan, perkembangbiakan dan kematian, masing-masing berinteraksi satu sama lain dalam proses, seperti persaingan, penurunan/regenerasi, simbiosis dan alelopati. Berbagai sumber daya dan proses biologis dan fisik secara sengaja dimanipulasi oleh sumberdaya manusia di dalam sistem tersebut, yaitu keluarga petani dengan segala pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan energinya. Sistem usahatani merupakan sistem yang terbuka, berbagai input diterima dari luar, dan sebagian dari output meninggalkan sistemnya (Reijntjes, Haverkort dan Bayer, 1999) Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan wewenang yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan yang lebih baik dalam suatu komunitas dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk ikut memberikan kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efesien, dan berkelanjutan. Stakeholder usahatani berkelanjutan secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) beneficiaries, masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung, (ii) intermediaries, kelompok masyarakat atau perseorangan yang dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam usahatani berkelanjutan antara lain: konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang pertanian, dan (iii) decision/policy makers, lembaga yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum seperti lembaga pemerintahan. Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dalam programprogram pemerintah maka akuntabilitas pemerintah dapat dinilai dari sudut

24 36 pandang sejauh mana partisipasi masyarakat dan pihak terkait (stakeholder) lainnya dalam program pembangunan. Partisipasi masyarakat dilakukan mulai dari tahapan kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan. Penentuan dan pemilahan stakeholder dilakukan dengan metode Stakeholders Analysis yang dilakukan melalui 4 (empat) tahap proses yaitu: (a) identifikasi stakeholder; (b) penilaian ketertarikan stakeholder terhadap kegiatan usahatani berkelanjutan; (c) penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap stakeholder; dan (d) perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam usahatani berkelanjutan pada setiap fase kegiatan (McCracken, Jennifer and Narayan, 1998). Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan kegiatan pembelajaran dan meningkatkan potensi masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan usahatani berkelanjutan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan usahatani berkelanjutan terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (i) Penolakan (resistance/opposition); (ii) Pertukaran informasi (information-sharing); (iii) Konsultasi (consultation with no commitment); (iv) Konsensus dan Pengambilan Kesepakatan Bersama (concensus building and agreement); (v) Kolaborasi (collaboration); (vi) Pemberdayaan dengan pembagian risiko (empowerment-risk sharing); dan (vii) Pemberdayaan dan Kemitraan (empowerment and partnership) (Zonneveld, 2001). Rumusan jenis dan tingkat partisipasi masyarakat akan berbeda tergantung pada jenis kebijakan atau kegiatan. Untuk memudahkan identifikasi jenis dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan atau kegiatan, Bank Dunia memperkenalkan social assessment yang umumnya mengelompokkan 4 (empat) jenis kebijakan atau kegiatan yaitu: (i) indirect social benefits and direct social costs; (ii) significant uncertainty or risks; (iii) large number of beneficiaries and few social cost; dan (iv) targeted assistance (The Word Bank, 1994). Indirect benefits, direct social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang memberikan manfaat tidak langsung kepada masyarakat tetapi menimbulkan

25 37 biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan insfrastruktur, keanekaragaman hayati, structural adjustment, dan privatisasi. Significant uncertainty or risk. Suatu kebijakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang bentuk penyelesaiannya belum jelas dan tidak cukup tersedia informasi dan komitmen dari kelompok sasaran. Contoh kegiatan ini antara lain intervensi/pembangunan wilayah pasca konflik. Large number of beneficiaries and few social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang jumlah penerima manfaat atau dampaknya sangat besar tetapi hanya sedikit menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan kesehatan, pendidikan, penyuluhan pertanian, dan desentralisasi. Targeted assistance. Suatu kebijakan atau kegiatan yang kelompok dan jumlah penerima manfaat atau dampaknya telah terdefinisikan secara jelas. Contoh kegiatan ini yaitu penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, penanganan pengungsi, reformasi kelembagaan (institutional reform), dan korban bencana alam Pengembangan Tanaman Hortikultura Hortikultura merupakan salah satu ragam pertanian yang dikelola intensif yang membudidayakan beraneka macam tanaman. Secara umum hortikultura mencakup pembudidayaan tanaman bunga, tanaman buah, tanaman sayuran, dan tanaman penyegar (Ashari, 2006). Pengembangan tanaman hortikultura khususnya tanaman sayuran, buah-buahan dan tanaman hias sangat ditentukan oleh kondisi agroklimat, ketinggian tempat dan jenis tanah suatu daerah. Beberapa alternatif penggunaan lahan pada ketinggian lebih dari 700 m dari permukaan laut, iklim basah dan kemiringan lereng 15 30% yaitu dengan penanaman komoditas jagung, ubi jalar, kentang, wortel, kubis, tomat, buncis, bunga-bungaan, atau tembakau. Pada kemiringan lereng 31-45% dapat diusahakan komoditas teh, kopi, kayu manis, avokad, vanili dan markisa, yang mana penanamannya menurut kontur (Sabiham, 2008). Pengembangan kawasan pertanaman hortikultura nantinya akan diterapkan berdasarkan komoditi dan jenis usaha tani. Komoditi di sektor agrobisnis hortikultura itu meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.

Lebih terperinci

KONSEP EVALUASI LAHAN

KONSEP EVALUASI LAHAN EVALUASI LAHAN KONSEP EVALUASI LAHAN Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Penilaian kinerja lahan (land performance) untuk penggunaan tertentu Kegiatan Evaluasi Lahan meliputi survai lahan interpretasi data hasil survai

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Klasifikasi Kemampuan Lahan Survei Tanah dan Evaluasi Lahan M10 KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN Widianto, 2010 Klasifikasi Kemampuan Lahan TUJUAN PEMBELAJARAN : 1. Mampu menjelaskan arti kemampuan lahan dan klasifikasi kemampuan lahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 2.1 Survei Tanah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu dokumentasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN FOTO UDARA Oleh : Hendro Murtianto

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN FOTO UDARA Oleh : Hendro Murtianto EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN FOTO UDARA Oleh : Hendro Murtianto A. Pendahuluan Evaluasi kemampuan lahan merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan lahan (sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) 1. Karakteristik Tanaman Ubi Jalar Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, dan terdiri dari 400 species. Ubi jalar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Material Vulkanik Merapi Abu vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan bahkan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014).

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014). I. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah dan Lahan Tanah merupakan sebuah bahan yang berada di permukaan bumi yang terbentuk melalui hasil interaksi anatara 5 faktor yaitu iklim, organisme/ vegetasi, bahan induk,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei serta

Lebih terperinci

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 5 2013, No.1041 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Iklim Daerah aliran sungai (DAS) Siulak di hulu DAS Merao mempunyai luas 4296.18 ha, secara geografis terletak antara 101 0 11 50-101 0 15 44 BT dan

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang dimanfaatkan bagian akarnya yang membentuk umbi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Evaluasi Lahan Lahan mempunyai pengertian yang berbeda dengan tanah (soil), dimana lahan terdiri dari semua kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi potensi penggunaannya, sedangkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 18 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2006 - Agustus 2006 di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Dodokan (34.814 ha) dengan plot pengambilan sampel difokuskan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Lahan Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu adanya persamaan dalam hal geologi, geomorfologi,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pertanaman Sayuran Lahan sayuran merupakan penggunaan lahan dominan di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Tanaman sayuran yang diusahakan antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah KUALITAS LAHAN SUNARTO ISMUNANDAR Umum Perlu pertimbangan dalam keputusan penggunaan lahan terbaik Perlunya tahu kemampuan dan kesesuaian untuk penggunaan ttt Perlu tahu potensi dan kendala EL : pendugaan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan Oleh : Idung Risdiyanto 1. Konsep dan Batasan Evaluasi Lahan dan Zonasi Pertanian 1.1. Pengertian Dasar (dikutip dari Evakuasi Lahan Puslitanak) Dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi Erosi berasal dari bahasa latin erodere yang berarti menggerogoti atau untuk menggali. Istilah erosi ini pertama kali digunakan dalam istilah geologi untuk menggambarkan

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Pasir Pantai Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim relief/topografi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal penggunaan dan pengelolaan suatu lahan, maka hal pokok yang perlu diperhatikan adalah tersedianya informasi faktor

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode USLE Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) merupakan model empiris yang dikembangkan di Pusat Data Aliran Permukaan dan Erosi Nasional, Dinas Penelitian Pertanian,

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu dokumentasi utama sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa kesesuaian

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN TANAM KENTANG DI WILAYAH BATU

KESESUAIAN LAHAN TANAM KENTANG DI WILAYAH BATU KESESUAIAN LAHAN TANAM KENTANG DI WILAYAH BATU Ni Wayan Suryawardhani a, Atiek Iriany b, Aniek Iriany c, Agus Dwi Sulistyono d a. Department of Statistics, Faculty of Mathematics and Natural Sciences Brawijaya

Lebih terperinci

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 5 II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 2.1. Karakteristik tanah tropika basah Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas di kawasan tropika basah, tetapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi alam dan luas areal lahan pertanian yang memadai untuk bercocok tanam.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability LOGO Contents Potensi Guna Lahan AY 12 1 2 Land Capability Land Suitability Land Capability Klasifikasi Potensi Lahan untuk penggunaan lahan kawasan budidaya ataupun lindung dengan mempertimbangkan faktor-faktor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. satu dokumentasi utama sebagai dasar dalam proyek-proyek pengembangan

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. satu dokumentasi utama sebagai dasar dalam proyek-proyek pengembangan TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu dokumentasi utama sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 47 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang yang terletak di Kabupaten Gowa (Gambar 3). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan 1. Pengertian Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan, dan tanah merupakan salah satu bagiannya. Menurut Ritohardoyo, Su (2013) makna lahan dapat disebutkan

Lebih terperinci

Menilai subklas Kemampuan Lahan di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh

Menilai subklas Kemampuan Lahan di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh KEMAMPUAN LAHAN Menilai subklas Kemampuan Lahan di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Anggi.r 1, Yulia Tesa 1 1 Mahasiswa dan mahasiswi semester 3 prodi tata air pertanian jurusan teknologi pertanian

Lebih terperinci

Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan

Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan Standar Nasional Indonesia Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan ICS 13.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii Pendahuluan... iii 1 Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh : JUMIYATI NIRM: 5.6.16.91.5.15

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sehingga sektor pertanian memegang peranan penting sebagai penyedia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumber daya alam merupakan suatu bentuk kekayaan alam yang pemanfaatannya bersifat terbatas dan berfungsi sebagai penunjang kesejahteraan makhluk hidup khususnya manusia

Lebih terperinci

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora AMDAL (AGR77) Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Hidroorologis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan

2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan Aliran permukaan merupakan bagian dari hujan yang tidak diserap tanah dan tidak tergenang di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2016 sampai April 2017 di

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2016 sampai April 2017 di IV. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2016 sampai April 2017 di Desa Sendangrejo, Kecamatan Bogorejo yang terletak di Kabupaten Blora

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam sistem DAS (Daerah Aliran Sungai)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Lahan Sitorus (1985) menjelaskan ada empat kelompok kualitas lahan utama : (a) Kualitas lahan ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Umum Embung merupakan bangunan air yang selama pelaksanaan perencanaan diperlukan berbagai bidang ilmu guna saling mendukung demi kesempurnaan hasil perencanaan. Bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian dari bentang alam ( Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian dari bentang alam ( Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Lahan adalah wilayah dipermukaan bumi, meliputi semua benda penyusun biosfer baik yang berada di atas maupun di bawahnya, yang bersifat tetap atau siklis (Mahi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor internal dari tanaman itu sendiri yaitu berupa hormon

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini maka akan

TINJAUAN PUSTAKA. yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini maka akan TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi lahan Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaa tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang

Lebih terperinci

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi % liat = [ H,( T 68),] BKM % debu = 1 % liat % pasir 1% Semua analisis sifat fisik tanah dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik tanah dalam mempengaruhi infiltrasi. 3. 3... pf pf ialah logaritma dari

Lebih terperinci

PEMETAAN MANUAL KEMAMPUAN LAHAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH DENGAN METODE DESCRITIF

PEMETAAN MANUAL KEMAMPUAN LAHAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH DENGAN METODE DESCRITIF Pemetaan Manual Metode Descriptif Jurnal Nasional Ecopedon JNEP Vol. 2 No.1 (2015) 34-37 http://www.perpustakaan.politanipyk.co.id PEMETAAN MANUAL KEMAMPUAN LAHAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH

Lebih terperinci