KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA SMP DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. Slameto (2010:2), bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan

PENGEMBANGAN SOAL-SOAL PILIHAN GANDA UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MATA PELAJARAN MATEMATIKA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

IDENTIFIKASI GAYA BELAJAR (VISUAL, AUDITORIAL, KINESTETIK) MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS BUNG HATTA

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP DAN GAYA BELAJAR SISWA KELAS VIII SMP

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR PADA SMA NEGERI 10 PONTIANAK

ANALISIS TINGKAT BERPIKIR KREATIF SISWA GAYA BELAJAR VISUAL DALAM MEMECAHKAN MASALAH PERSEGI PANJANG DAN PERSEGI

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA KELAS XI DALAM PEMBELAJARAN TRIGONOMETRI BERBASIS MASALAH DI SMA NEGERI 18 PALEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II KAJIAN PUSTAKA. siswa. Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah

UNESA Journal of Chemical Education ISSN: Vol. 2 No.2 pp May 2013

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MENYELESAIKAN SOAL OPEN-ENDED MENURUT TINGKAT KEMAMPUAN DASAR MATERI SEGIEMPAT DI SMP

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nasution (2008: 93) mengemukakan bahwa gaya belajar atau learning style

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA SMA MELALUI TEKNIK PROBING PROMTNG

PEDOMAN OBSERVASI GAYA BELAJAR. Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

Ika Puspita Sari Kemampuan Komunikasi Matematika Berdasarkan Perbedaan Gaya Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 6 Wajo pada Materi Statistika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MTs

ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH I PATUK PADA POKOK BAHASAN PELUANG JURNAL SKRIPSI

KEMAMPUAN GURU MATA PELAJARAN BIOLOGI DALAM PEMBUATAN SOAL HOT (HIGHER ORDER THINKING) DI SMA NEGERI 1 WONOSARI KLATEN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

Desi Suryaningsih et al., Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan...

PENGARUH GAYA BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PRODUKTIF

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Representasi Matematis. a) Pengertian Kemampuan Representasi Matematis

HIGHER ORDER THINGKING SKILLS SISWA PADA MATERI STATISTIKA KELAS XI IPA MAN 2 PONTIANAK

Penerapan Model Pembelajaran Inquiry Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Siswa SMP Negeri 1 Bonai Darussalam

yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. solving), penalaran (reasoning), komunikasi (communication), koneksi

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA DENGAN PENERAPAN PENDEKATAN VISUAL AUDITORI KINESTETIK (VAK) Hafiz Faturahman MAN 19 Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

Available online at Jurnal KOPASTA. Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 13-17

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, salah satunya adalah kemampuan dalam bidang matematika.

STUDI GAYA BELAJAR MAHASISWA ANGKATAN 2014 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA UM MATARAM PADA MATA KULIAH ELEKTRONIKA DASAR I TAHUN AKADEMIK 2015/2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

PEMETAAN TINGKAT BERPIKIR KREATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PEMECAHAN MASALAH SOAL ANALISIS REAL 2 DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

MODALITAS BELAJAR. Nama : Faridatul Fitria NIM : Prodi/SMT : PGMI A1/ V. : Ringkasan :

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20

KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI. Rizki Amalia

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kata kunci : Gaya Belajar, Siswa Kinestetik, Hasil Belajar

TINJAUAN PUSTAKA. Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid

KEMAMPUAN SISWA MEMECAHKAN MASALAH DENGAN METODE MIND MAPPING DI KELAS BILINGUAL SMP NEGERI 1 PALEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Rini Apriliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wulan Nurchasanah, 2014

sehingga siswa perlu mengembangkan kemampuan penalarannya.

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA KELAS X 2 SMA NEGERI 1 TANAH MERAH

KREATIVITAS PENGAJUAN SOAL DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF MATERI BANGUN SEGI EMPAT KELAS VII SMP

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB II LANDASAN TEORI

Asmaul Husna. Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNRIKA Batam Korespondensi: ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Masalah merupakan suatu hal yang sangat melekat di. kehidupan manusia, mulai dari masalah yang dengan mudah dipecahkan

PROFIL KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan

USING PROBLEM BASED LEARNING MODEL TO INCREASE CRITICAL THINKING SKILL AT HEAT CONCEPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vika Aprianti, 2013

PROFIL KONFLIK KOGNITIF SISWA BERDASARKAN GAYA BELAJAR PADA MATERI LINGKARAN DI SMP NEGERI 3 PLOSOKLATEN

Agung Wijaya Arifandi et al., Analisis Struktur Hasil Belajar Siswa dalam Menyelesaikan Soal...

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL (SPLDV) MELALUI STRATEGI PROBLEM SOLVING

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGIS GAYA BELAJAR SISWA. Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling

BAB I PENDAHULUAN. penting. Salah satu bukti yang menunjukkan pentingnya. memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

ARTIKEL ILMIAH ANALISIS HUBUNGAN GAYA BELAJAR DENGAN HASIL BELAJAR PADA KEGIATAN PEMBELAJARAN BIOLOGI SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. matematika sebagai pelajaran wajib dikuasai dan dipahami dengan baik oleh

BAB III TINJAUAN PEDAGOGIK PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL DI KELAS VIII SMP

Kemampuan Guru Mata Pelajaran Biologi dalam Pembuatan Soal HOT (Higher Order Thinking) di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

commit 1 to user BAB I PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT

BY: METTY VERASARI MENGENAL TIPE BELAJAR ANAK (AUDITORY, VISUAL, & KINESTETIK)

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, karena pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan tenaga-tenaga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suci Primayu Megalia, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X MA DINIYAH PUTERI PEKANBARU

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA GAYA KOGNITIF REFLEKTIF-IMPULSIF DALAM MENYELESAIKAN MASALAH OPEN-ENDED

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Risa Aisyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bekerja sama dalam suatu kelompok. matematika yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan

JCAE, Journal of Chemistry And Education, Vol. 1, No.1, 2017,

Transkripsi:

JPPM Vol. 10 No. 2 (2017) KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA SMP DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR Kus Andini Purbaningrum Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang kusandini27@gmail.com ABSTRACT Mathematical problem solving is strongly influenced by the level of thinking ability possessed by each student. The ability to think is the ability to process information mentally or cognitively from low to high levels. Both levels of thinking are referred to the bloom taxonomy which consists of 6 aspects of cognitive. Each student is directed to have the ability to think up to the highest level so that higher order thinking (higher order thinking) is the ultimate goal in improving thinking ability. This study aims to determine the ability to think high-level junior high school students in terms of visual, auditory and kinesthetic learning styles. Subjects in this study were students of class IX SMP. The results showed that students' high thinking ability in terms of visual, auditory and kinesthetic learning styles fall into the less / low category. Keywords: High Order Thinking, Problem Solving, Learning Styles. ABSTRAK Pemecahan masalah matematika sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masing siswa. Kemampuan berpikir merupakan kemampuan memproses informasi secara mental atau kognitif yang dimulai dari tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Kedua tingkatan berpikir tersebut mengacu pada taksonomi bloom yang terdiri dari 6 aspek kognitif. Setiap siswa diarahkan untuk memiliki kemampuan berpikir hingga tingkat tertinggi sehingga berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) merupakan tujuan akhir dalam meningkatkan kemampuan berpikir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SMP ditinjau dari gaya belajar visual, auditori dan kinestetik. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa ditinjau dari gaya belajar visual, auditori dan kinestetik tergolong dalam kategori kurang/rendah. Kata kunci: Berpikir Tingkat Tinggi, Gaya Belajar, Masalah Matematika. A. PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Mata pelajaran matematika diberikan kepada semua peserta didik mulai dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi untuk membekali mereka dalam memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk dapat bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (Depdiknas, 2006). Masalah matematika diberikan kepada siswa untuk melatih diri dalam menggunakan kemampuan berpikir, serta untuk mengetahui posisi tingkat berpikir yang dimiliki masing masing siswa. Pemecahan masalah matematika sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa. Kemampuan berpikir merupakan kemampuan memproses informasi secara mental atau kognitif yang dimulai dari tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Setiap 40

Kus Andini Purbaningrum siswa diarahkan untuk memiliki kemampuan berpikir hingga tingkat tertinggi sehingga berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) merupakan tujuan akhir dalam meningkatkan kemampuan berpikir. Untuk itu, diperlukan informasi tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki oleh masing masing siswa sebagai langkah awal dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa memiliki hubungan dengan pola berpikir dari masing masing siswa dalam proses penerimaan dan pengolahan informasi dari suatu masalah. Pola berpikir tersebut dipengaruhi oleh gaya belajar masing masing siswa. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa memiliki hubungan erat dengan gaya belajar dari masing masing siswa tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP dalam Pemecahan Masalah Matematika ditinjau dari Gaya Belajar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dalam memecahkan masalah matematika yang ditinjau dari gaya belajar masing masing siswa. Secara sederhana, kemampuan berpikir adalah kemampuan memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item. (Ismienar, dkk, 2009). Berdasarkan tingkatan proses, berpikir dibagi menjadi dua tingkat yaitu berpikir tingkat rendah (lower order thinking) dan berpikir tingkat tinggi (higher order hinking). Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini menghendaki seseorang untuk menerapkan informasi baru atau pengetahuan sebelumnya dan memanipulasi informasi untuk menjangkau kemungkinan jawaban dalam situasi yang baru. Taksonomi Bloom menjelaskan bahwa kemampuan melibatkan analisis, evaluasi dan mengkreasi dianggap berpikir tingkat tinggi (Pohl, 2000). Berpikir tingkat tinggi adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi dari pada sekedar menghafal fakta atau mengatakan suatu informasi kepada seseorang (Heong, dkk 2011). Menurut Dewanto dalam Amalia (2013) menyatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah suatu kapasitas diatas informasi yang diberikan, dengan sikap yang kritis untuk mengevaluasi, mempunyai kesadaran ( awareness) metakognitif dan memiliki kemampuan pemecahan masalah. Menurut Stein berpikir tingkat tinggi menggunakan pemikiran yang kompleks, non algorithmic untuk menyelesaikan suatu tugas, ada yang tidak dapat diprediksi, menggunakan pendekatan yang berbeda dengan tugas yang telah ada dan berbeda dengan contoh (Lewy, 2009). Jadi berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan memanipulasi informasi dan gagasan dengan cara yang mengubah makna dan implikasi, menggabungkan fakta dan ide ide dalam rangka untuk mensintesis, meng generalisasi, menjelaskan, menafsirkan dan menarik beberapa kesimpulan. Pada dasarnya kedua tingkatan berpikir tersebut mengacu pada taksonomi bloom yang terdiri dari 6 aspek (gambar 1). Berpikir tingkat rendah merupakan kemampuan berpikir dalam mengingat (remembering), mengerti ( understanding), dan menerapkan ( applying). Sedangkan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan berpikir dalam menganalisis (analyzing), mengevaluasi (evaluating), dan mengkreasi (creating). Menurut Krathwohl (2002), indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi: 1. Menganalisis (analyzing) a. Menganalisis informasi yang masuk dan membagi bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih 41

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa sederhana untuk mengenali pola atau hubungan yang ada. b. Mampu mengenali dan membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit. c. Mengidentifikasi / merumuskan pertanyaan 2. Mengevaluasi (evaluating) a. Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. b. Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian c. Menerima atau menolak sesuatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan 3. Mengkreasi (creating) a. Membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu. b. Merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah. c. Mengorganisasikan unsur unsur atau bagian bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada. Penguasaan ketiga indikator diatas berhubungan dengan gaya belajar yang dimiliki oleh masing masing siswa. Setiap siswa memiliki cara tersendiri dalam menganalisi, mengevalusi dan mengkreasi dari suatu informasi. Cara tersebut mempengarui siswa dalam memahami suatu informasi dalam memecahkan masalah. Menurut Hamzah (2008) kemampuan siswa dalam memahami dan menyerap informasi memiliki tingkat yang berbeda yaitu cepat, sedang, dan lambat. Siswa menggunakan cara yang berbeda untuk mema hami suatu informasi dalam memecahkan masalah. Segala proses yang dilakukan oleh siswa menciptakan suatu kebiasaan siswa dalam belajar atau biasa disebut gaya belajar. Gaya belajar merupakan suatu kombinasi bagaimana seseorang menyerap, mengatur serta mengolah suatu informasi (DePorter & Hernacki, 2002). Dunn & Dunn menjelaskan bahwa gaya belajar merupakan kumpulan karakteristik pribadi yang membuat suatu pembelajaran efektif untuk beberapa orang dan tidak efektif untuk orang lain (Sugihartono, 2007). Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang siswa dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan soal (S. Nasution, 2003). Jadi gaya belajar adalah suatu cara konsisten yang digunakan seseorang dalam proses berpikir untuk menangkap, mengatur, serta mengolah suatu informasi yang diterima. Menurut DePorter & Hernacki (2002) terdapat tiga gaya belajar seseorang yaitu gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Pada dasarnya masing masing siswa menggunakan ketiga gaya belajar ini, namun kebanyakan siswa lebih cenderung pada salah satu diantara gaya belajar tersebut. 1. Gaya Belajar Visual Mata/alat penglihatan memegang peranan penting dalam proses berpikir siswa bergaya belajar visual ini, mereka belajar melalui segala sesuatu yang dapat dilihat. Mereka berpikir menggunakan gambar gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan tampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video. Mereka mencatat sangat rinci untuk mendapatkan semua informasi, membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa yakin tentang suatu masalah atau proyek. Adapun indikator gaya belajar visual adalah (a) belajar dengan cara visual, (b) mengerti baik mengenai posisi, bentuk, angka, dan warna, (c) rapi dan teratur, (d) tidak terganggu dengan keributan, dan (e) sulit menerima intruksi verbal. 2. Gaya Belajar Auditori Telinga/alat pendengaran memegang peranan penting dalam proses berpikir siswa bergaya belajar auditorial ini, mereka belajar melalui segala sesuatu yang dapat didengar. Siswa dapat belajar dengan cepat melalui 42

Kus Andini Purbaningrum diskusi verbal dan mendengarkan segala sesuatu yang diucapkan. Mereka dapat mencerna dengan baik informasi yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal hal auditori lainnya. Informasi tertulis terkadang sulit diterima oleh siswa bergaya belajar auditori ini. Siswa seperti ini biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks atau mendengarkan suara. Adapun indikator gaya belajar auditorial adalah ( a) belajar dengan cara mendengar, (b) baik dalam aktivitas lisan, (c) memiliki kepekaan terhadap music, (d) mudah terganggu dengan keributan, dan (e) lemah dalam aktivitas visual. 3. Gaya Belajar Kinestetik Siswa dengan gaya belajar kinestetik belajar melalui bergerak, menyentuh, dan melakukan. Siswa kinestetik tidak tahan untuk duduk berlama lama mendengarkan pelajaran melainkan lebih baik jika proses belajar disertai kegiatan fisik. Siswa gaya belajar kinestetik berbicara dengan perlahan, menanggapi perhatian fisik, menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka, berdiri dekat ketika berbicara dengan orang. Mereka belajar melalui memanipulasi dan praktik, menghafal dengan cara berjalan dan melihat, menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca, banyak menggunakan isyarat tubuh, menggunakan kata kata yang mengandung aksi, menyukai buku buku yang berorientasi pada plot. Adapun indikator gaya belajar kinestetik adalah (a) belajar dengan aktivitas fisik, (b) peka terhadap ekspresi dan bahasa tubuh, (c) berorientasi pada fisik dan banyak bergerak, (d) suka coba coba dan kurang rapi, (e) Lemah dalam aktivitas verbal. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan metodologi penelitian deskriptif. Topik bahasan yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dalam memecahkan masalah matematika ditinnjau dari gaya belajar siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner (angket), metode tes (soal) dan wawancara. Metode kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data gaya belajar setiap siswa. Metode kuesioner dilengkapi dengan alternatif jawaban sehingga siswa memilih salah satu jawaban yang telah disediakan. Penskoran instrumen dibuat dengan menggunakan skala Likert dengan empat alternatif jawaban. Jawaban setiap pertanyaan dengan gradasi nilai mulai dari sangat positif sampai sangat negatif berupa kata kata. Metode tes digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi masing masing siswa. Penskoran instrumen paket soal yang dibuat dikonversi dengan: skor siswa Nilai siswa = skor maksimum 100 Tabel 1. Gradasi Nilai Angket Pertanyaan Positif Skor Pertanyaan Negatif Skor Sangat Setuju (SS) 4 Sangat Setuju (SS) 1 Setuju (S) 3 Setuju (S) 2 Tidak Setuju (TS) 2 Tidak Setuju (TS) 3 Sangat Tidak Setuju (STS) 1 Sangat Tidak Setuju (STS) 4 Tabel 2. Kategori Tingkat Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Nilai Siswa Tingkat Kemampuan 81 100 Sangat Baik 61 80 Baik 41 60 Cukup 21 40 Kurang < 20 Sangat Kurang 43

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Data dalam penelitian ini berupa hasil kuesioner (angket) gaya belajar dan tes (paket soal) kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Pengujian kevalidan dan kereliabititas angket dan paket soal tersebut telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini merupakan wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap. Wawancara ini berfungsi sebagai tindak lanjut dari pemberikan paket soal untuk mengkonfirmasikan hal hal yang terjadi atau dirasakan selama proses penyelesaian permasalahan matematika, sehingga dapat disesuaikan dengan hasil angket. Analisis data dilakukan dengan langkah langkah berikut: 1. memilah data berdasarkan skor atau nilai pada setiap indikator sesuai tabel 1 dan 2, 2. menganalisis data pada setiap indikator, 3. menyimpulkan tingkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki siswa ditinjau dari gaya belajar. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan pada satu kelas IX.7 SMP Negeri 18 Palembang dengan jumlah siswa sebanyak 39 siswa yang terdiri dari 18 siswa laki laki dan 21 siswa perempuan. Siswa diberikan angket gaya belajar dan paket soal tes kemampuan berpikir tingkat tinggi. Proses analisis gaya Proses analisis kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa kelas IX SMP Negeri 18 Palembang dalam memecahkan masalah matematika diawali dengan memberikan tes dengan 4 tema masalah yang terdiri dari 12 soal dan dapat mengukur kemampuan Tabel 3. Deskripsi Hasil Angket Gaya Belajar Tipe Gaya Belajar Jumlah Siswa Visual 12 Auditori 11 Kinestetik 16 belajar siswa diawali dengan memberikan angket gaya belajar dengan masing masing gaya belajar terdiri dari 12 pernyataan. Hasil angket tersebut menghasilkan sebaran skor siswa pada setiap gaya belajar dari setiap siswa. Sebaran jumlah siswa pada setiap gaya belajar adalah sebagai berikut: berpikir tingkat tinggi. Hasil tes tersebut menghasilkan sebaran nilai pada setiap indikator berpikir tingkat tinggi pada masing masing siswa. Sebaran jumlah siswa pada setiap tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah sebagai berikut: Tabel 4. Deskripsi Hasil Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Tingkat Jumlah Siswa Bergaya Belajar Kemampuan Visual Auditori Kinestetik Sangat Baik 1 1 0 Baik 1 0 1 Cukup 2 1 5 Kurang 5 6 7 Sangat Kurang 3 3 3 Total 12 11 16 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah siswa dengan tingkat kemampuan sangat baik ada 2 siswa (5,13%), tingkat kemampuan baik ada 2 siswa (5,13%), tingkat kemampuan cukup ada 8 siswa (20,51%), tingkat kemampuan kurang ada 18 siswa (46,15 %) dan tingkat kemampuan sangat kurang ada 9 siswa (23,07%). Persentase tertinggi ada pada kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi 44

Kus Andini Purbaningrum yang kurang. Demikian pula rerata kemampuan berpikir tingkat tinggi secara keseluruhan adalah 33,55 yang tergolong dalam kategori kurang. Sedangkan rerata setiap indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi ditinjau dari gaya belajar tertuang dalam tabel berikut ini: Tabel 5. Deskripsi Rerata Tiap Indikator Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Gaya Belajar Indikator Visual Auditori Kinestetik Menganalisis 47,92 43,64 48,75 Mengevalusi 40 36,36 35,94 Mengkreasi 13,88 0,06 2,08 Total 36,11 31,82 32,8 Berikut penjabaran dari masing masing indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi ditinjau dari gaya belajar: 1. Kemampuan berpikir tingkat tinggi ditinjau dari gaya belajar visual Total nilai kemampuan berpikir tingkat tinggi pada siswa bergaya belajar visual adalah 36,11. Nilai tersebut masuk dalam kategori kurang (tabel 2 ). Rerata kemampuan siswa pada indikator menganalisis adalah 47,92 tergolong kategori cukup. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar visual memiliki tingkat kemampuan menganalisis yang cukup baik. Siswa cukup mampu memeriksa dan mengurai informasi yang masuk dan membagi bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih sederhana untuk mengenali pola atau hubungan yang ada, memformulasikan masalah, serta mengidentifikasi / merumuskan pertanyaan. Hal ini dilandasi oleh kemampuan siswa dalam berpikir menggunakan gambar gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan tampilan visual, seperti gambar, diagram, tabel dan lainnya. Mereka mencatat sangat rinci untuk mendapatkan semua informasi, membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa yakin tentang suatu masalah. Rerata kemampuan siswa bergaya belajar visual pada indikator mengevaluasi adalah 40. Nilai tersebut tergolong dalam kategori kurang. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar visual memiliki tingkat kemampuan mengevaluasi yang kurang. Siswa kurang mampu menilai, menyangkal, ataupun mendukung suatu gagasan dan memberikan alasan yang mampu memperkuat jawaban yang diperoleh, merumuskan hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian serta menerima atau menolak sesuatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Kemampuan mengevaluasi dapat dilakukan apabila siswa mampu menganalisis infomasi dengan tepat, memahami maksud pertanyaan dengan benar, serta memberikan alasan/bukti yang akurat. Namun tidak semua siswa dapat menganalisis informasi dengan baik, sehingga mempengaruhi kemampuan siswa dalam mengevaluasi informasi. Indikator kemampuan mengkreasi memiliki nilai terendah yaitu sebesar 13,88. Nilai ini dalam kategori sangat kurang. Hal ini disebabkan karena mengkreasi level tertinggi dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan mengkreasi dilandasi oleh kemampuan mengevaluasi yang baik, sehingga siswa kurang mampu menggeneralisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu dan mengorganisasikan unsur unsur atau bagian bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada. 2. Kemampuan berpikir tingkat tinggi ditinjau dari gaya belajar auditori Total nilai kemampuan berpikir tingkat tinggi pada siswa bergaya belajar auditori adalah 31,82. Nilai tersebut masuk dalam kategori kurang (tabel 2). Rerata kemampuan siswa pada indikator 45

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa menganalisis adalah 43,64 tergolong kategori cukup. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar auditori miliki tingkat kemampuan menganalisis yang cukup baik. Siswa cukup mampu memeriksa dan mengurai informasi yang masuk dan membagi bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih sederhana untuk mengenali pola atau hubungan yang ada, memformulasikan masalah, serta mengidentifikasi / merumuskan pertanyaan. Hal ini dilandasi oleh kemampuan siswa dalam menghafal lebih cepat dengan membaca teks atau mendengarkan suara. Siswa dapat menggali informasi dengan cara mengucapkannya berulang kali sehingga siswa merasa lebih cepat memahami informasi yang dibacanya. Namun nilai kemampuan meng analisis ini masih lebih rendah jika dibanding kan dengan nilai pada siswa memiliki gaya belajar visual dan kinestetik. Hal ini dipengaruhi oleh kelemahan siswa bergaya belajar auditori, yaitu lemah dalam aktivitas visual. Artinya informasi tertulis terkadang sulit diterima oleh siswa bergaya belajar auditori. Rerata kemampuan siswa pada indikator mengevaluasi adalah 36,36. Nilai tersebut tergolong dalam kategori kurang. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar auditori memiliki tingkat kemampuan mengevaluasi yang kurang. Siswa kurang mampu menilai, menyangkal, ataupun mendukung suatu gagasan dan memberikan alasan yang mampu memperkuat jawaban yang diperoleh, merumuskan hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian serta menerima atau menolak sesuatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Kemampuan mengevaluasi dapat dilakukan apabila siswa mampu menganalisis infomasi dengan tepat, memahami maksud pertanyaan dengan benar, serta memberikan alasan/bukti yang akurat. Namun karena adanya kelemahan siswa bergaya belajar auditori yaitu lemah dalam aktivitas visual, maka dapat dipastikan bahwa siswa akan kurang mampu dalam mengevaluasi. Indikator kemampuan mengkreasi memiliki nilai terendah yaitu sebesar 0,06. Nilai ini dalam kategori sangat kurang. Nilai ini juga nilai paling rendah jika dibandingkan dengan nilai kemampuan mengkreasi pada siswa visual dan kinestetik. Hal ini tentu disebabkan oleh kemampuan mengevaluasi yang kurang, sehingga siswa sangat kurang mampu menggeneralisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu dan mengorganisasikan unsur unsur atau bagian bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada. 3. Kemampuan berpikir tingkat tinggi ditinjau dari gaya belajar kinestetik Total nilai kemampuan berpikir tingkat tinggi pada siswa bergaya belajar kinestetik adalah 32,8. Nilai tersebut masuk dalam kategori kurang (tabel 2). Rerata kemampuan siswa pada indikator menganalisis adalah 48,75 tergolong kategori cukup. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik miliki tingkat kemampuan menganalisis yang cukup baik. Siswa cukup mampu memeriksa dan mengurai informasi yang masuk dan membagi bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih sederhana untuk mengenali pola atau hubungan yang ada, memformulasikan masalah, serta mengidentifikasi / merumuskan pertanyaan. Hal ini dilandasi oleh kemampuan siswa dalam belajar melalui memanipulasi dan praktik, menggunakan jari atau menggaris bawahi sebagai penunjuk ketika membaca. Siswa menggali informasi dengan cara menggaris bawahi point point yang dibacanya, sehingga siswa merasa lebih cepat menganalisis informasi yang dibacanya. Rerata kemampuan siswa pada indikator mengevaluasi adalah 35,94. Nilai tersebut tergolong dalam kategori kurang. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik memiliki tingkat kemampuan mengevaluasi yang kurang. Siswa kurang mampu menilai, menyangkal, 46

Kus Andini Purbaningrum ataupun mendukung suatu gagasan dan memberikan alasan yang mampu memperkuat jawaban yang diperoleh, merumuskan hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian serta menerima atau menolak sesuatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Kemampuan mengevaluasi dapat dilakukan apabila siswa mampu menganalisis infomasi dengan tepat, memahami maksud pertanyaan dengan benar, serta memberikan alasan/bukti yang akurat. Namun karena adanya kelemahan siswa bergaya belajar kinestetik yaitu belajar dengan aktivitas fisik, maka dapat dipastikan bahwa siswa bergaya belajar kinestetik akan kurang mampu dalam mengevaluasi informasi tanpa aktifitas fisik yang berarti. Indikator kemampuan mengkreasi memiliki nilai terendah yaitu sebesar 2,08. Nilai ini dalam kategori sangat kurang. Hal ini tentu disebabkan oleh kemampuan mengevaluasi yang kurang, sehingga siswa sangat kurang mampu menggeneralisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu dan mengorganisasikan unsur unsur atau bagian bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada. Penjelasan rinci yang telah dipaparkan terlihat bahwa secara keseluruhan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa kelas IX.7 SMP Negeri 18 Palembang cenderung berada pada kategori kurang/rendah. Pengusasan siswa terhadap kemampuan menganalisis tergolong kategori cukup, untuk setiap jenis gaya belajar. Hal ini menunjukkan siswa telah cukup mampu menganalisis informasi walaupun nilai tersebut bukan dalam kategori baik. Siswa cukup mampu memeriksa dan menguraikan informasi, merumuskan masalah dan memberikan langkah penyelesaian yang tepat. Penguasaan siswa terhadap kemampuan mengevaluasi dan mengkreasi tergolong kategori kurang, untuk setiap jenis gaya belajar. Hal ini menunjukkan siswa kurang mampu menilai, menyangkal, ataupun mendukung suatu gagasan dan memberikan alasan yang mampu memperkuat jawaban yang diperoleh, merumuskan hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian serta menerima atau menolak sesuatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Siswa juga kurang mampu merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah atau memadukan informasi menjadi strategi yang tepat sehingga kurang mampu menggeneralisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu dan mengorganisasikan unsur unsur atau bagian bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada. Wawancara yang dilakukan kepada 6 siswa yang memiliki gaya belajar dan kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi yang berbeda, diperoleh informasi yang lebih rinci mengenai permasalahan yang dihadapi siswa ketika mengerjakan soal tes. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil wawancara adalah: 1. Sebagian besar siswa merasa tidak terbiasa dengan permasalahan matematika yang menuntun untuk berpikir tingkat tinggi, 2. Siswa merasa sulit membuat model matematika berdasarkan masalah yang dipaparkan pada setiap paket soal, 3. Siswa lebih suka jika membuat model matematika dari soal dengan permasalahan yang jelas sehingga langsung pada penggunaan rumus matematika yang baku, 4. Sebagian besar siswa tidak menyelesaikan permasalahan matematika disebabkan tidak mampu membuat model matematika. 5. Pemecahan permasalahan matematika yang diberikan, siswa terbiasa dengan soal rutin yang ada di buku teks, siswa tidak terbiasa mengerjakan permasalahan sehari hari dengan tema tertentu. 47

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa D. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, hasil analisis data dan wawancara serta pembahasannya maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1. kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang memiliki gaya belajar visual tergolong pada kategori kurang/rendah (36,11), 2. kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang memiliki gaya belajar auditori tergolong pada kategori kurang/rendah (31,82), 3. kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik tergolong pada kategori kurang/rendah (32,8). Beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan adalah sebagai berikut: 1. bagi guru matematika, diharapkan mengembangkan pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar siswa untuk dapat menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa terutama pada kemampuan untuk mengevaluasi dan mengkreasi. 2. bagi peneliti lainnya, diharapkan dapat melaksanakan penelitian lanjutan baik berupa penelitian eksperimental dengan memberikan perlakuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang masih tergolong kurang/ rendah. DAFTAR PUSTAKA Amalia, R., 2013. Penerapan Model Pembelajaran Pembuktian Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa SMA. Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas. --------------. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2009 tentang Standar Kelulusan. Jakarta: Depdiknas. DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike. 2002. Quantum Teaching. Penerjemah: Ary Nilandari. Bandung: Kaifa. Hamzah B. Uno. 2008. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Heong, Y. M., Othman, dkk. 2011. The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among Technical Education Students. International Journal of Social and humanity, Vol. 1, No. 2, July 2011. 121-125. Ismienar, dkk. 2009. Thinking. Malang. Universitas Negeri Malang. Krathwohl, 2002. A revision of Bloom s Taxonomy: an overview. Theory into Practice, 41 (4): 1-8. Lewy., Zulkardi., dan Aisyah N., 2009. Pengembangan Soal Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Pokok Bahasan Barisan dan Deret Bilangan di Kelas IX Akselerasi SMP Xaverius Maria Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 3 No.2 Desember 2009. Universitas Sriwijaya. Palembang. Pohl. 2000. Learning to Think, Thinking to Learn: tersedia di www.purdue.edu/geri. 48

Kus Andini Purbaningrum S. Nasution. (2003). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Sugihartono. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. 49