BAB III INTERPRETASI SEISMIK

dokumen-dokumen yang mirip
INTERPRETASI DATA SEISMIK PADA CEKUNGAN X : STUDI KASUS EKSPLORASI GEOFISIKA UNTUK MENCARI AREA PROSPEK MIGAS

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan penggunaannya dalam kehidupan manusia, termasuk di Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN. Objek yang dikaji adalah Formasi Gumai, khususnya interval Intra GUF a sebagai

BAB IV METODE DAN PENELITIAN

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 17 November 2014 sampai dengan

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

HALAMAN PENGESAHAN...

Bab III Pengolahan Data

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data seismik 3D PSTM Non

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Analisis dan Pembahasan

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Cadzow filtering adalah salah satu cara untuk menghilangkan bising dan

3.3. Pengikatan Data Sumur pada Seismik-3D (Well Seismic Tie)

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang mengambil judul Interpretasi Reservoar Menggunakan. Seismik Multiatribut Linear Regresion

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang mengambil judul Analisis Reservoar Pada Lapangan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration (PSDM) merupakan tahapan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH KATA PENGANTAR HALAMAN PERSEMBAHAN ABSTARK ABSTRACT

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian dilakukan di lantai 33 departemen G&G PT Medco E&P,

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

INTERPRETASI DATA PENAMPANG SEISMIK 2D DAN DATA SUMUR PEMBORAN AREA X CEKUNGAN JAWA TIMUR

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah.

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV METODE PENELITIAN. Tugas Akhir ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan pada 13 April 10 Juli 2015

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISTILAH

Analisis Kecepatan Seismik Dengan Metode Tomografi Residual Moveout

BAB V ANALISA SEKATAN SESAR

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pemodelan geologi atau lebih dikenal dengan nama geomodeling adalah peta

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Analisis Peta Struktur

BAB 3. PENGOLAHAN DATA

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, Desember Penulis. 1. TUHAN YESUS KRISTUS yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, iii

STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA dan PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

Bab 6. Migrasi Pre-stack Domain Kedalaman. Pada Data Seismik Dua Dimensi

III. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

a) b) Frekuensi Dominan ~22 hz

V. PEMBAHASAN. dapat teresolusi dengan baik oleh wavelet secara perhitungan teoritis, dimana pada

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pesat. Hasil perkembangan dari metode seismik ini, khususnya dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Rani Widiastuti Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut t Teknologi Sepuluh hnopember Surabaya 2010

RANGGA MASDAR FAHRIZAL FISIKA FMIPA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah lapangan gas telah berhasil ditemukan di bagian darat Sub-

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. V.1 Penentuan Zona Reservoar dan Zona Produksi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB IV PEMAPARAN DATA Ketersediaan Data Data Seismik Data Sumur Interpretasi

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN...

Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Tabak, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. pegunungan dengan lintasan 1 (Line 1) terdiri dari 8 titik MT yang pengukurannya

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA. Pada penelitian ini data seismik yang digunakan adalah data migrasi poststack 3D

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

menentukan sudut optimum dibawah sudut kritis yang masih relevan digunakan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitan dilaksanakan mulai tanggal 7 Juli September 2014 dan

IV.2 Pengolahan dan Analisis Kecepatan untuk Konversi Waktu ke Kedalaman

APLIKASI INVERSI SEISMIK UNTUK KARAKTERISASI RESERVOIR

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN... 1

BAB IV UNIT RESERVOIR

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

Perbaikan Model Kecepatan Interval Pada Pre-Stack Depth Migration 3D Dengan Analisa Residual Depth Moveout Horizon Based Tomography Pada Lapangan SF

Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Ampah, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah

KARAKTERISASI RESERVOAR FORMASI BELUMAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE INVERSI IMPENDANSI AKUSTIK DAN NEURAL NETWORK PADA LAPANGAN YPS.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

BAB III INTERPRETASI SEISMIK 3.1 Menentukan Marker Seismik Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa terlebih dahulu harus diketahui marker sebelum memulai pick horizon dalam suatu section seismik. Sebagai horizon pertama adalah top Formasi A. Berdasarkan data log dari sumur T-1, diketahui marker formasi tersebut pada kedalaman 570 m. Setelah dilakukan konversi dengan menggunakan data checkshot dari sumur tersebut, didapatkan marker formasi tersebut jatuh pada domain two-way time 649 ms. Selanjutnya pada sumur L-1, R-IX, D-1, dan K-1 marker formasi masing-masing adalah 510 m, 192 m, 1164 m, dan 1248 m. Dengan konversi menjadi two-way time didapatkan 602 ms untuk sumur L-1, 195 ms untuk sumur R-IX, 1254 ms untuk sumur D-1, dan 1273 ms untuk sumur K-1. Dengan menggunakan cara yang sama seperti pada horizon pertama, maka akan didapatkan pula marker seismik untuk horizon seismik Formasi B, Formasi C, dan Basement. Untuk lebih lengkapnya, data-data log sumur dan marker untuk dapat dilihat pada bagian Lampiran. 3.2 Pick Horizon Seismik Salah satu cara untuk memudahkan sebagai picking awal, yakni dengan dimulai dari salah satu line seismik (garis kuning tebal, pada Gambar 3.1) yang memiliki marker seismik paling banyak, sebab pada line ini terdapat satu sumur yang 36

37 dilewati, dan dua sumur yang dapat direfleksikan (refleksi sumur dengan radius sejauh 40000 meter). Pada Gambar 3.2(A), terlihat bahwa terdapat tiga sumur (garis berwarna hijau muda dengan nama sumur di atasnya) dengan masing-masing terdapat marker untuk top formasi A (berwarna kuning) sehingga memudahkan untuk memulai picking interpretasi horizon pertama. Dan pada Gambar 3.2( (B) menunjukkan horizon seismik hasil picking pertama. Lokasi dan posisi dari lintasan seismik ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 dengan garis berwarna kuning tebal. Menggunakan cara yang sama seperti line pertama, maka picking awal dapat dilakukan berawal dari setiap line seismik yang terdapat sumur dan memiliki marker. Kemudian diselesaikan menyeluruh dalam areaa studi eksplorasi secaraa ekstrapolasi. Setelah selesai pick horizon seismik untuk top formasi A, maka dapat dilanjutkan dengan picking seismik untuk horizon berikutnya. Gambar 3.1. Posisi Lintasan Seismik dan Lokasi Sumur

38 (a) (b) Gambar 3.2. Penamppang Seismikk Sebelum P Picking (a) dan Sesudah Picking (b)

39 Untuk pick horizon kedua, ketiga, dan keempat menggunakan cara yang sama seperti horizon pertama. Horizon kedua merupakan top formasi B, horizon ketiga adalah top formasi C, sedangkan untuk horizon terakhir adalah basement. Dan hasil picking untuk keseluruhan horizon dapat terlihat seperti dalam Gambar 3.3. Dari illustrasi Gambar 3.3 sudah dapat menjelaskan kondisi perlapisan batuan bawah permukaan yang membentang secara keseluruhan dari utara ke selatan, diindikasikan dengan top formasi A (berwarna merah), top formasi B (berwarna biru), top formasi C (berwarna hijau) dan top basement (berwarna ungu). Dari hasil picking ini, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa cekungan X memiliki struktur monoklinal, yakni daerah cekungan bagian selatan lebih dangkal daripada bagian utara cekungan. Gambar 3.3. Hasil Picking Seluruh Horizon Seismik.

40 3.3 Pick Fault Picking fault dilakukan berbarengan dengan picking horizon seismik. Dengan mengetahui karakter frakturasi batuan dalam penampang seismik, serta dengan menggunakan referensi peta geologi, maka fault dapat di-pick untuk menyempurnakan hasil interpretasi. Tentu saja dengan memperhatikan sudut kemiringan fault, dan naik-turunnya perlapisan batuan. Salah satu hasil picking fault yang dikompilasi dengan hasil picking horizon seismik dapat dilihat pada Gambar 3.4. Secara keseluruhan dalam area yang diteliti, ada dua fault yang sangat terlihat. Fault yang pertama dan yang paling panjang membentang sepanjang pesisir timur cekungan yang juga merupakan garis batas antara cekungan X dengan pegunungan D. Fault ini diindikasikan dengan tidak terlihat lagi adanya reflektor seismik sehingga horizon menjadi tidak kontinu dan terhenti di fault. Berdasarkan referensi peta geologi, diketahui bahwa formasi A hingga formasi C terlihat pada outcrop di Pegunungan Meratus, jadi chaotic yang tampak di seismik setelah fault merupakan basement. Fault kedua terletak di tengah cekungan, dan hanya merupakan indikasi pergerakan menurun dari basement, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

41 Gambar 3.4. Picking Fault Sebenarnya terdapat kemungkinan masih ada ault-fault yang berada di cekungan ini, tapi fault-fault tersebut tidak terekam dan terlihat dengan jelas dalam data seismik, sehingga cukup sulit menginterpretasi fault. Oleh karena itu, untuk mengetahui dengan pasti adanya fault, terutama yang berskala kecil, dengan cara melakukan cross check dengan picking horizon. Seperti yang terlihat pada Gambar 3.4, dimana horizon basement dari arah barat tidak tie dengan markerr seismik pada sumur D-1. Maka dapat diambil suatu analisa adanyaa fault sehingga horizon basement menjadi tie. 3.4 Time Structure Map Dari hasil picking menyeluruh secara ekstrapolasi ke semua line seismik, maka selanjutnya dapat dilakukan gridding untuk membuat suatu peta struktur dengan menggunakan kontur waktu, yakni two-way time yang berasal dari hasil

42 picking. Dari hasil picking yang dilakukan dengan modul Charisma dari software Geoframe, kemudian ditransfer menggunakan Geoframe Link ke modul CPS3. Dengan modul ini dapat dilakukan gridding hasil picking horizon dan fault dan kemudian mapping peta struktur. Proses ini dilakukan satu per satu untuk masingmasing horizon dengan grid yang digunakan berukuran 100 x 100 meter. Sehingga akan didapatkan empat peta struktur waktu sebagaimana terlihat pada Gambar 3.5, 3.6, 3.7, dan 3.8. Gambar 3.5-3.8 menunjukkan hasil mapping kontur berdasarkan hasil picking horizon seismik untuk masing-masing top formasi dan basement. Dalam peta tersebut ditunjukkan pula posisi atau letak sumur yang digunakan sebagai acuan marker seismik untuk menyelesaikan interpretasi di dalam area studi eksplorasi ini. Serta tampak pula adanya area putih (blank) di setiap peta ini, kecuali basement, ini menunjukkan bahwa formasi tersebut outcrop di permukaan. Hal ini dibenarkan dengan referensi peta geologi daerah tersebut. Begitu pula halnya dengan bentuk dan lokasi fault yang tampak di pesisir timur peta-peta ini.

43 Gambar 3.5. Peta Struktur Waktu Top Formasi A

44 Gambar 3.6. Peta Struktur Waktu Top Formasi B Gambar 3.7. Peta Struktur Waktu Top Formasi C

45 Gambar 3.8. Peta Struktur Waktu Top Basement Hasil gridding dan mapping ini sudah melalui tahap koreksi diantaranya dengan memperbaiki pick horizon seismik, mengedit kontur-kontur ataupun dengan menggunakan bantuan program smoothing. Namun, hasil ini tetap murni merupakan ilustrasi struktur cekungan yang terekam dalam data-data seismik. Peta-peta struktur two-way time ini selanjutnya akan menjadi acuan dalam membuat desain peta-peta struktur kedalaman untuk masing-masing horizon.

46 3.5 Depth Conversion (Konversi dari Waktu ke Kedalaman) Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub-bab 2.4.3, konversi kedalaman dalam studi ini menggunakan metode layer cake, yakni dengan mengkonversi satu per satu horizon seismik dengan menggunakan permodelan kecepatan (velocity modelling). Dalam studi ini menggunakan dua strategi layering. Untuk perlapisan formasi A dan B menggunakan persamaan 2.2, sedangkan untuk perlapisan formasi C dan Basement menggunakan persamaan 2.3. 3.5.1 Membuat Kurva Kecepatan Interval vs Two-way Time Terlebih dahulu dilalukan perhitungan kecepatan interval pada masing-masing checkshot sumur dengan menggunakan persamaan 2.4, hasilnya dapat dilihat secara lengkap di dalam tabel data checkshot pada bagian Appendiks. Setelah itu baru dapat membuat kurva kecepatan interval (m/s) terhadap two-way time (ms) untuk setiap sumur tersebut. Kurva ini digunakan untuk mendapatkan nilai k, Vo dan Vinterval yang diperlukan dalam tahapan proses konversi berikutnya. Gambar 3.9 merupakan tampilan kurva Vinterval vs two-way time untuk seluruh sumur. Secara keseluruhan tampak tren kemiringan yang benar walaupun terdapat beberapa data yang menyimpang jauh dari tren.

47 0 Kecepatan Interval (m/s) 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 Two way Time (ms) 500 1000 1500 2000 Sumur T 1 Sumur R IX Sumur L 1 Sumur D 1 Sumur K 1 2500 3000 Gambar 3.9. Kurva Vinterval vs Two-way Time 3.5.2 Menentukan nilai k, Vo, dan Vinterval Ketiga parameter ini dapat diketahui dari kurva pada Gambar 3.9. Nilai k diketahui dari gradien kurva, nilai Vo didapat dari besar kecepatan interval pertama pada garis linear gradien, sedangkan Vinterval didapat dari besar kecepatan interval pada posisi marker seismik. Lebih jelasnya dengan memperhatikan gambar dan langkah-langkah berikut. Gambar 3.10 merupakan kurva kecepatan interval seismik terhadap two-way time pada sumur T-1, dilengkapi dengan marker-marker seismik. Marker untuk top formasi A ditunjukkan dengan warna merah, formasi B dengan warna biru, formasi C dengan warna hijau, dan Basement dengan warna ungu.

48 0 Kecepatan Interval (m/s) 0 1000 2000 3000 4000 5000 200 400 Two-way Time (ms) 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 Gambar 3.10. Kurva Vinterval vs Two-way Time (Sumur T-1) dengan Marker Karena formasi A dan B menggunakan strategi layering Vo + kt, maka menentukan nilai k dengan cara membuat garis linear sebagai tren gradien pada kurva di atas garis masing-masing marker. Dan menentukan besar Vo pada saat TWT= 0. Untuk formasi A, garis gradien dibuat di atas marker berwarna merah, sedangkan untuk formasi B dibuat di atas marker biru. Untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 3.11. (formasi A) dan Gambar 3.12 (formasi B), garis tren ditunjukkan dengan warna kuning dan titik Vo dengan warna putih.

49 Kecepatan Interval (m/s) 0 0 1000 2000 3000 4000 5000 200 400 Two-way Time (ms) 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 Gambar 3.11 Menentukan k dan Vo untuk Formasi A Kecepatan Interval (m/s) 0 0 1000 2000 3000 4000 5000 200 400 Two-way Time (ms) 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 Gambar 3.12 Menentukan k dan Vo untuk Formasi B

50 Jadi didapatkan nilai k dan Vo untuk formasi A adalah 0,32 dan 1640 m/s. Untuk formasi B didapat k dan Vo sebesar 0,74 dan 1530 m/s. Ini baru didapat dari satu sumur, untuk keempat sumur yang lain menggunakan cara yang sama. Sehingga didapatkan lima nilai Vo untuk masing-masing formasi A dan B, serta lima nilai k untuk masing-masing formasi. Namun, untuk nilai k dalam satu formasi diambil nilai k rata-rata, maka diperoleh nilai k rata-rata untuk formasi A sebesar 0,37 dan formasi B sebesar 0,7. Kecepatan Interval (m/s) 0 0 1000 2000 3000 4000 5000 200 400 Two-way Time (ms) 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 Gambar 3.13. Menentukan Nilai Vinterval Formasi C

51 Untuk formasi C dan Basement, strategi layering metode konversi dengan menggunakan Vinterval. Untuk menentukan nilainya dengan cara melihat titik kurva kecepatan interval saat berpotongan dengan garis marker, seperti terlihat pada Gambar 3.13. Dalam gambar tersebut menunjukkan nilai Vinterval yang didapat untuk marker formasi C ditandai dengan simbol segitiga berwarna kuning, dengan nilai sebesar 3650 m/s. Dengan cara yang sama pula maka diperoleh nilai Vinterval untuk Basement sebesar 2500 m/s. Vinterval yang diperoleh tersebut hanya berasal dari sumur T-1, sedangkan untuk keempat sumur yang lain juga dengan menggunakan cara yang sama. Sehingga akan diperoleh lima nilai Vinterval untuk masing-masing formasi C dan Basement. Untuk lebih lengkap mengenai nilai Vo dan Vinterval dari semua sumur dapat dilihat pada bagian Appendiks. 3.5.3 Membuat Permodelan Vo dan Vinterval Setelah memiliki seluruh nilai Vo untuk formasi A dan formasi B, serta Vinterval untuk formasi c dan Basement maka dilanjutkan dengan membuat peta permodelan kecepatan tersebut, baik Vo maupun Vinterval. Secara umum, nilai Vo atau Vinterval dalam satu formasi diplot dan kemudian dibuat suatu peta permodelan dengan kontur. Sebagai acuan, permodelan kontur ini memiliki tren yang mirip dengan tren geologi yang diperlihatkan dalam peta struktur TWT. Hasil dari permodelan ini tampak seperti pada Gambar 3.14-3.17.

52 Gambar 3.14. Peta Vo Top Formasi A Gambar 3.15. Peta Vo Top Formasi B

53 Gambar 3.16. Peta Vinterval Top Formasi C Gambar 3.17. Peta Vinterval Top Basement

54 Hasil permodelan yang didapat pertama kali dengan menggunakan CPS3 tidak sesuai dengan tren geologi, maka dari itu perlu dilakukan beberapa perbaikan kontur untuk mengarahkan supaya mendekati tren geologinya. Hal ini cukup sulit karena titik kontrol, dalam hal ini adalah kelima sumur, hanya sedikit. Sehingga harus diarahkan dengan menambahkan kontur-kontur baru sebagai acuan. 3.5.4 Pengolahan Konversi Kedalaman Dengan persamaan 2.2 untuk formasi A dan formasi B, serta persamaan 2.3 untuk formasi C dan Basement maka dapat dihasilkan suatu peta struktur kedalaman. Namun hasil ini bukan merupakan hasil akhir. Setelah ini masih perlu dilakukan pengolahan peta residual terhadap peta kedalaman tersebut. a) Top Formasi A dan Top Formasi B Untuk formasi A dan formasi B, karena komponen dalam persamaan 2.2 sudah lengkap, maka pengolahan dapat dilakukan. Dengan menggunakan CPS3, peta struktur waktu dikalikan dengan nominal k rata-rata kemudian ditambahkan dengan permodelan peta kecepatan Vo. Hasilnya masih merupakan kecepatan yang akan dikalikan dengan peta struktur. Namun peta struktur waktu ini terlebih dahulu dibagi dengan nominal 2000, hal ini bertujuan untuk menyamakan dimensi karena peta struktur waktu merupakan TWT dalam dimensi milisekon sedangkan kecepatan yang dihasilkan dari pengolahan berdimensikan m/s. Maka diperolehlah peta struktur kedalaman untuk masing-masing formasi A dan B.

55 Dari peta kedalaman yang dihasilkan selanjutnya membuat suatu permodelan peta residual. Yakni dengan cara menghitung selisih nilai kedalaman yang diketahui dari log dengan yang didapatkan dari hasil konversi kedalaman. Jadi selisih ini hanya berupa lima titik kontrol sumur pada masing-masing top formasi. Dari lima titik acuan tersebut kemudian dibuat permodelan kontur. Hasilnya akan tampak seperti pada Gambar 3.18 dan 3.19. Gambar 3.18. Peta Residual Kedalaman Top Formasi A

56 Gambar 3.19. Peta Residual Kedalaman Top Formasi B Gambar 3.18 merupakan permodelan untuk top A sedangkan permodelan top B peta sebelumnya. Padaa awal permodelan residual tidak tampak padaa 3.19. Kedua permodelan tersebut juga mengikuti tren geologi dari peta- mendapatkan hasil yang sesuai dikarenakan hanya memilikii lima titik kontrol. Sehingga diperlukan adanya

57 beberapa kontur tambahan sebagai acuan untuk mengarahkan tren seperti tren geologi pada peta-peta sebelumnya. Untuk menyelesaikan proses konversi kedalaman ini adalah dengan menambahkan peta kedalaman residual tersebut dengan peta kedalaman sebelumnya (hasil pengolahan dengan persamaan 2.2). Hasilnya akan tampak seperti pada Gambar 3.20 dan 3.21. Gambar 3.20. Peta Struktur Kedalaman Top Formasi A

58 Gambar 3.21. Peta Struktur Kedalaman Top Formasi B b) Top Formasi C dan Top Basement Untuk menyelesaikan proses konversi kedalaman, komponen dalam persamaan 2.3 yang sudah dimiliki adalah permodelan Vinterval dan peta kedalaman top formasi A dan B, sedangkan masih dibutuhkan suatuu peta isochron. Untuk itu perlu dibuat peta isochron tersebut dengan cara menghitung selisih antara peta struktur waktu. Untuk konversi formasi C, maka dengan mengurangkann peta struktur top formasi C dengan peta top formasi B. Sedangkan untuk konversi basement, dengan caraa mengurangkan peta top basement dengan peta top formasi C. Setelah seluruh komponen lengkap, maka pengolahan dapat dilakukan hingga dihasilkan peta

59 struktur kedalaman. Dengan catatan, peta isochron tersebut masih berdimensikan milisekon, sedangkan peta kedalaman dan permodelan Vinterval sudah berdimensikan meter dan m/s, maka terlebih dahulu peta isochron tersebut harus dibagi dengan nominal 2000. Gambar 3.22. Peta Residual Kedalaman Top Formasi C

60 Gambar 3.23. Peta Residual Kedalaman Top Basement Samaa seperti pada peta top formasi A dan B, peta kedalaman yang dihasilkan dari pengolahan konversi ini bukan merupakan hasil akhir. Harus dilakukan suatu permodelan residual terhadap kedalaman untuk masing-masing peta kedalaman. Dengan caraa yang samaa seperti pada pembuatan peta residual untuk top formasi A dan B yakni dengan menghitung selisih antaraa marker log dengan peta kedalaman temporary, maka untuk top formasi C dan Basement hasil peta residual tampak seperti pada Gambar 3.22 dan 3.23.

61 Peta hasil permodelan yang ditunjukkan pada gambar tersebut sudah merupakan hasil penyesuian untuk mengikuti pola kontur tren geologi peta struktur kedalamannya. Dengan menggunakan program matematis dalam CPS3, maka hasil residual ini dapat digabung dengan peta kedalaman temporary dengan cara penjumlahan biasa. Hasil akhir peta struktur kedalaman untuk top formasi C dan Basement dapat dilihat pada Gambar 3.24 dan 3.25. Gambar 3.24. Peta Struktur Kedalaman Top Formasi C

62 Gambar 3.25. Peta Struktur Kedalaman Top Basement Gambar 3.20, 3.21, 3.24, dan 3.25 merupakan hasil akhir dari pengolahan konversi dari waktu menjadi kedalaman, berupa empat peta struktur kedalaman dari masing-masing horizon seismik. Peta struktur ini tidak mengalami penambahan atau pengurangan, sebab ini adalah hasil akhir. Bila hasilnya tidak memuaskan maka harus mengulangi langkah-langkah pengolahan dalam konversi kedalaman, baik dari mulai menentukann nilai k, Vo, dan Vinterval hingga membuat permodelan residual. Keempat peta struktur kedalaman dianggap memuaskan karena tidak ditemukan adanya kejanggalan. Ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai quality

63 control, diantaranya tidak adanya kontur kedalaman yang bernilai minus, memiliki lokasi outcrop yang sama seperti pada peta struktur waktu, serta memiliki tren geologi yang serupa dengan peta struktur waktu. Bila dari ketiga faktor ini tidak ditemukan satu pun yang bermasalah maka hasilnya dianggap benar.

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Hasil Interpretasi Seismik Hasil akhir dari interpretasii seismik berupa peta struktur kedalaman untuk masing-masing top formasi dapat terlihat pada Gambar 3.12 dam 3.14. Secara keseluruhan terlihat bahwa dalam keempat peta kedalaman tersebut memiliki kemiripan tren geologi dengan peta struktur waktu (two-wayy time). Di pesisir timur terdapat patahan yang memanjang membatasi cekungan ini dengann Pegunungan Meratus. Selain itu, khusus pada peta struktur kedalaman Top Basement terdapat patahan yang terletak di sekitar sumur K-1. Gambar 4.1. Analisis Residual 64

65 Sebagaimana terlihat dalam Gambar 4.1, seluruh residual dalam proses konversi kedalaman menunjukkan bahwa hasil interpretasi pada area seluas 17.232 km 2 ini tidak jauh menyimpang dengan data-data riil yang diperoleh dari data log sumur. Dalam tampilan peta kedalaman di Top Formasi A, Top Formasi B, dan Top Formasi C terlihat adanya outcrop di permukaan yang ditandai dengan warna putih di peta tersebut (kontur nol). Outcrop tersebut terbagi dua, ada yang outcrop batuannya berasal dari Formasi A hingga Formasi C, dan ada yang hanya dari batuan Formasi A. Dugaan awal outcrop ini diakibatkan oleh adanya patahan yang terlihat di pesisir timur. Namun melihat posisi kemiringan patahan serta letak terjadi outcrop maka kecil kemungkinan outcrop tersebut disebabkan oleh patahan. Jika mengacu kepada tampilan data rekaman seismik yang terletak di lokasi outcrop tersebut, terlihat bahwa outcrop terjadi akibat adanya kink, yakni suatu pelipatan hingga terangkat ke permukaan namun tidak sampai terjadi patahan. 4.2 Analisis Prospek Migas Cekungan X Sebagaimana diketahui sebelumnya, bahwa lokasi kitchen utama dari cekungan ini terdapat di sekitar sumur K-1 dengan kedalaman 4000 m. hal itu terbukti seperti terlihat dalam Gambar 4.2. Hal ini juga membenarkan bahwa dari hasil interpretasi yang telah dilakukan tidak terjadi penyimpangan. Namun, di sekitar daerah selatan dari Basement cekungan juga tampak kontur 4000 m. Karena ditemukan adanya kemungkinan kitchen utama di daerah selatan, maka untuk analisis prospek migas diarahkan kepada struktur-struktur potensial yang ada di sekitar selatan. Dan telah ditemukan dua buah struktur potensial yang

66 p potensial. Prospek I addalah struktuur dengan lookasi yang dapat d dilihaat seperti paada G Gambar 4.3,, dibatasi deengan closurre titik merahh dan terletaak di antara patahan p utam ma y yang bercab bang. Prospeek ini memiliki luas areaa ± 54 km2, dengan koloom maksimuum 6 m, dan total 600 t volumee bulk mencaapai ± 93x1009 m3. Dalam m Gambar 4..3 juga tamppak t tiga buah lin ne seismik yang y terdapaat pada lokassi prospek teersebut. Duaa dari tiga liine t tersebut, Lin ne-1 dan Linne-2, dapat dilihat pada Gambar G 4.4 dan d 4.5. (a) Kitchen K Padaa Formasi C

67 (b) Kitchen K Padaa Basement Gambarr 4.2. Peta Kedalaman K D Dengan Lokasi Kitchen Gambar 4..3. Peta Lokaasi Prospek I

68 G Gambar 4.4. Penampang P Seismik Linne-1 G Gambar 4.5. Penampang P Seismik Linne-2

69 Prospek II adalah struktur potensial kedua yang letaknya masih berdekatan dengan prospek I, sebagaimana yang terlihat dalam Gambat 4.6. Prospek II dibatasi dengan closure berwarna titik merah dan berlokasikan masih berdekatan dengan patahan utama, serta berdekatan dengan Sumur R-IX (bulatan berwarna merah). Dibandingkan dengan prospek I, secara umumm prospek ini lebih kecil. Prospek ini memiliki luas area ± 19 km 2, dengann kolom maksimum 3000 m, dan total volume bulk mencapai ± 46x10 9 m 3. Dalam Gambar 4.3 tiga buah line seismik yang terdapat pada lokasi prospek tersebut. Dua dari tiga line tersebut, Line-3 dan Line-4, dapat dilihat secara penampang melintang seperti pada Gambar 4.7 dan 4.8. Gambar 4.6. Peta Lokasi Prospek II

70 G Gambar 4.7. Penampang P Seismik Linne-3 G Gambar 4.8. Penampang P Seismik Linne-4

71 Dalam keempat Gambar 4.4, 4.5, 4.7, dan 4.8, terlihat struktur I dan struktur II yang merupakan lokasi terdapatnya prospek migas. Kedua struktur tersebut juga sekaligus merupakan jebakan struktural. Sedangkan lokasi reservoir kedua prospek tersebut kemungkinan berada di lapisan pasir yang ada di Formasi C, sebab berdasarkan referensi geologi dijelaskan bahwa batupasir yang terdapat pada formasi ini memiliki porositas yang baik.