BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK

Pagelaran Wayang Ringkas

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang merupakan sebuah media untuk. menuturkan cerita yang hebat. Hal ini dikarenakan cerita

BAB IV KESIMPULAN. mengakibatkan perubahan teknik tabuhan pada beberapa instrument bonang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang atau biasa disebut pakêliran sudah. populer di kalangan masyarakat Jawa. Menurut data historis,

BAB IV PENUTUP. kulit purwa yaitu Wisnu Ratu, Arjunasasra lahir dan Sumantri Ngenger.

SUWUK GROPAK DALAM KARAWITAN PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

CITRA TOKOH RAMA BARGAWA DALAM LAKON BANJARAN RAMA BARGAWA

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

Analisis Semiotik dalam Suluk Pakeliran Lakon Retno Sentiko Oleh Ki Seno Nugroho

05. MEMBUAT CERITA KOMIK. KOMIK 04 MEMBUAT CERITA KOMIK / Hal. 1

Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENERAPAN TLUTUR DALAM PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA VERSI KI TIMBUL HADIPRAYITNA, KI SUTEDJO, KI SUGATI, DAN KI MARGIONO.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus

KAJIAN SEMIOTIK PADA POCAPAN GARA-GARA PAGELARAN WAYANG PURWA DENGAN LAKON DURYUDANA GUGUR OLEH KI TIMBUL HADI PRAYITNO

Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules, norms, guidance (orientation) is

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang dipentaskan dihadapan

INDIKATOR ESENSIAL Menjelaskan karakteristik peserta. didik yang berkaitan dengan aspek fisik,

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES. Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

3. Karakteristik tari

BAB II LANDASAN TEORI. tradisi slametan, yang merupakan sebuah upacara adat syukuran terhadap rahmat. dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SANGGIT CATUR LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDHARSONO

KATA PENGANTAR. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

RAMABARGAWA. Fani Rickyansyah NIM:

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan

Jurnal Buana Bastra Tahun 3. No.1 April 2016 NUANSA GENDHING DAN STRUKTUR PENCERITAAN WAYANG KULIT JAWA TIMURAN. Pana Pramulia

Seorang pembaca teks drama tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut, maka mau tidak mau sang pembaca harus membayangkan peristiwa yang terjadi di

LAKON WAHYU EKA BAWANA SAJIAN KI SRI SUSILO THENGKLENG DI SANGIRAN: KAJIAN MITOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif

BAB I PENGANTAR. Wayang Indonesia telah diproklamirkan sebagai Maha Karya. Agung oleh UNESCO pada tanggal 7 Nopember, Wayang

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun

PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMERANAN DRAMA. Kata Kunci : Metode Bermain Peran dan Pemeranan Drama

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa

BAB IV PENUTUP. Hadiprayitna dapat dipahami sebagai sikap kreatif dalang sebagai pelaku seni

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

BAB IV PENUTUP. lakon Séta Gugur yaitu pepindhan, tembung éntar, dan tembung saroja.

UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA BAB IV PENUTUP. Wayang merupakan representasi simbolik dari hasil pemikiran masyarakat Jawa

48. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK

berbicara dan membawa diri harus sesuai dengan tata karma. Selain itu dalam menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, pembawaan diri dan cara

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

realita dan fiksi. Kita hidup dalam keduanya. Sastra memberikan kesempatan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog (Sudjiman,

BAB I PENDAHULUAN. Dengan kata lain, seorang aktor harus menampilkan atau. mempertunjukan tingkah laku yang bukan dirinya sendiri.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

TEKNIK EDITING II. Pertemuan 2. Yosaphat Danis Murtiharso, S.Sn., M.Sn. Modul ke: Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Broadcasting

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal dengan istilah dulce at utile. Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang

3ESTETIKA WAYANG. Abstrak PENDAHULUAN. Kasidi Hadiprayitno

KD Menulis naskah drama berdasarkan cerpen yang sudah dibaca

Deskripsi Karawitan Pakeliran Garapan Kolaborasi. Wayang Jawa - Bali. Dalang : Dru Hendro, S.Sen dan I Wayan Nardayana

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

Gaya Pedalangan Wayang Kulit Purwa Jawa Serta Perubahannya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema dan Karya Alasan Pemilihan Tema

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

ARTIKEL KARYA SENI RINDUKU

BAB I PENDAHULUAN. lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. drama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu part text, artinya yang ditulis dalam teks

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Saat ini, media komunikasi berkembang secara menonjol

PEMBINAAN PEMBELAJARAN CATUR PAKELIRAN

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

EKSISTENSI SANGGAR SENI PEDALANGAN NGESTI BUDHAYA KARANGANYAR DALAM PENGEMBANGAN SENI TRADISI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dikenal dengan keanekaragaman suku bangsa dan budayanya,

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

Peningkatan Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Teks Drama Dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share.

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu tokoh pokok Antasena kemudian ditambah tokoh-tokoh baru seperti Manuwati, Manuwara, dan lain-lain. Lakon AR yang disajikan dalam pakeliran gaya Surakarta ini merupakan lakon yang mendapat pengaruh dari gaya Yogyakarta. Hal ini disebabkan, tokoh Antasena sebenarnya tokoh yang berkembang di daerah Yogyakarta ke barat dan bukan merupakan tokoh dari pakeliran gaya Surakarta. Pertunjukan lakon AR dengan dalang Ki Anom Suroto dilihat dari pola bangunannya masih mengikuti pola bangunan pertunjukan wayang kulit purwa Jawa gaya Surakarta, dimana dalam satu pertunjukan terdiri dari tiga pathêt. Lakon AR dilihat dari susunan adegannya mendekati susunan adegan yang dibakukan oleh Nayawirangka. Adegan yang tidak terdapat dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto menurut Nayawirangka adalah perang ampyak, adegan magak, adegan jangkrik génggong, jêjêr sintrèn, perang sintrèn, dan perang brubuh. Meskipun demikian, pola bangunan lakon AR secara garis besar mendekati susunan adegan menurut oleh Nayawirangka. 466

Lakon AR sajian Ki Anom Suroto dilihat dari pola bangunan lakon yang ditawarkan Backer rupanya tidak sama persis seperti pendapat Backer. Kenyataan yang ada bahwa dalam pola bangunan lakon AR tidak selalu terdiri dari pola tiga-tiga-tiga. Sebagai contoh: jêjêr pertama tidak diakhiri perang amyak. Selain itu, setiap jêjêr, adegan, dan perang tidak selalu tersusun dari tiga bagian. Unsur-unsur seperti jêjêr, adegan, dan perang kadangkadang hanya tersusun dari dua bangunan saja. Misalnya adegan Anoman dan Purwaganti hanya terdiri dari dua unsur yaitu unsur ginêm dan tindakan tanpa adanya unsur dekripsi. Hal yang demikian dalam sebuah pertunjukan wayang merupakan hal yang biasa karena penyusunan unsur-unsur tersebut sebenarnya disesuaikan dengan kebutuhan pertunjukan. Lakon AR sajian Ki Anom Suroto dilihat dari struktur dramatik dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, alur drama wayang lakon AR tidak linier. Cerita lakon AR terdiri dari beberapa pergerakan cerita yang berbeda-beda. Beberapa pergerakan cerita tersebut terkadang bertemu di tengah cerita dan dilanjutkan perjalanan bersama-sama; kadang-kadang bertemu di tengah cerita lalu berpisah, tetapi bertemu kembali pada pathêt manyura untuk menentukan kemenangan. Perbedaan lain antara alur drama wayang dan drama barat adalah pada bagian alur dramatik. Alur dramatik wayang kulit selain dipengaruhi oleh 467

permasalahan juga dipengaruhi oleh sabêtan, bentuk sulukan, bentuk dhodhogan-kêprakan, bentuk gending, dll. Unsur-unsur seperti sabêt, sulukan, bentuk gending, dan dhodhogan-kêprakan tersebut oleh dalang diramu dalam sebuah pementasan untuk menimbulkan tangga dramatik tertentu. Tangga dramatik dalam pertunjukan wayang memiliki puncak dramatika (klimaks) yang terdiri dari tiga tahap. Klimaks tingkat pertama dalam lakon AR sajian Ki Anom terdapat dalam jêjêr atau adegan. Klimaks tingkat dua terletak pada perang gagal, perang kêmbang, perang sampak tanggung. Pada klimaks kedua kadang-kadang terdiri dari beberapa tingkatan klimaks yang dipengaruhi oleh unsur yang membentuk seperti sulukan, bentuk gending. Maksudnya adalah: semakin kecil bentuk gending dan sulukan maka tingkat klimaksnya semakin tinggi. Klimaks tingkat ketiga teretak pada perang penentuan lakon. Klimaks ketiga dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto adalah perang sayembara. Fenoma semacam ini sama sekali tidak ditemukan dalam drama Barat. Kedua, tema yang disampaikan dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto memiliki tema pertimbangan bibit, bèbèt, bobot dalam sebuah pernikahan. Tema tersebut dapat diketahui dari dialog dan tindakan para tokoh dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto baik secara eksplisit maupun implisit. Ketiga, dalam penokohan drama wayang rupanya memiliki keunikan sendiri yang berbeda dengan drama 468

Barat. Setiap tokoh dalam drama wayang dipandang dari pandangan mitologis memiliki peran masing-masing dan pasangan setiap tokoh tidak boleh diacak dengan sembarangan. Misalnya dalam hal ini adalah Dewi Manuwati harus menjadi jodoh Antasena karena secara mite keduanya cocok dan ritual yang dipakai juga sesuai dengan aspek mite yang dimiliki masingmasing tokoh. Adapun mite Antasena adalah Dewa Siwa, Bayu, Kamajaya. Mite Manuwati adalah dewa Siwa, Indra, Wisnu, Kamajaya. Ritual yang dipakai dalam lakon AR adalah perang sebagai ritual Siwa. Antasena sebagai prajurit air yang memiliki aspek mite Siwa tentu saja cocok dengan ritual perang tersebut. Kecocokan keduanya juga didukung adanya aspek Kamajaya. Lakon AR sajian Ki Anom Suroto secara tekstur dramatik memiliki perbedaan dengan drama Barat. Drama barat dalam penceritaannya lebih mengutamakan dialog, tetapi dalam drama wayang selain dialog, juga terdapat unsur janturan dan pocapan. Iringan drama wayang juga memiliki ciri khas sendiri yaitu drama wayang dibentuk unsur-unsur seperti sulukan, bentuk gending, dhodhogan-kêprakan, dll yang telah disepakati bersama. Unsur tekstur dramatik dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto secara keseluruhan tercakup di dalamnya. Lakon AR sajian Ki Anom Suroto dilihat dari pedoman estetika pewayangan keraton mampu menghadirkan kesan estetis 469

seperti rêgu, ngês, rênggêp, antawacana/wijang, cucut, unggahungguh, tutuk, dan trampil. Kesan estetis yang kurang dalam lakon ini adalah kesan sêm dan grêgêt. Kesan sêm dan grêgêt tidak tercapai karena adegan romantis (sêm) dalam lakon ini tidak ada. Kesan grêgêt kurang tercapai karena suara Ki Anom Suroto dalam sajian lakon AR memiliki intonasi yang cenderung menurun dan lebih mengutamakan kualitas suara yang landhung dengan luk dan grêgêl-nya, sehingga hanya mampu menciptakan kesan rêgu, namun tidak mampu menciptakan suasana tegang. Kesimpulan terakhir dari analisis terhadap lakon ini adalah lakon AR sajian Ki Anom Suroto mengandung pesan-pesan dan contoh sikap yang mampu dipakai sebagai pendidikan karakter. Pesan-pesan dan sikap yang terkandung di dalamnya misalnya spiritualitas, rukun, hormat, mikul dhuwur mêndhêm jêro, hiburan, mandiri, demokratis, menghargai prestasi, dan tanggung jawab. Berbagai macam pesan dan sikap tersebut disampaikan dalam bentuk eksplisit, maupun implisit. Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa selain di dalamnya disampaikan sikap yang baik, kadang-kadang juga disampaikan sikap yang buruk. Kedua sikap tersebut disajikan dalam satu pentas dan penonton dipersilakan untuk menimbang sagaduking nalar (sesuai kedewasaan berpikir). 470