5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar. Analisis sampel di Laboratorium Oseanografi Kimia dan Laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin, Makassar. 11 9 1 9 '1 5 " 11 9 1 9 '3 0 " 11 9 1 9 '4 5 " 11 9 2 0 '0 0 " N P. S ulaw es i M a n a do Go ro n t a lo 5 2 '3 0 " Pa lu Lo k a s i P e n e li tia n Ke n d a ri M a ka s sa r 5 2 '4 5 " D 1 D 2 B D c c St. Tim ur L aut B 2 B 1 B 3 B 5 B 4 P. B a ra n g lo m p o Î 5 3 '0 0 " A c C c C 1 C 2 S t. T e n g g a r a A 2 A 3 A 5 A 1 Î A 4 D e rm a g a G a ris P a nta i P em u k i m an 5 3 '1 5 " T u t u p an S u b s t r a t : K ar a n g H id u p S um b e r P e ta : C i tra S a te lit L a n d s a t E T M + 7 T a hu n 2 0 0 9 2 0 0 0 2 0 0 M e te rs La m u n P as ir R u b b e r/ K a ra n g M a ti 11 9 1 9 '1 5 " 11 9 1 9 '3 0 " 11 9 1 9 '4 5 " 11 9 2 0 '0 0 " Gambar 6 Lokasi penelitian dan titik sampling pada stasiun Tenggara dan Timur Laut di Pulau Barrang Lompo (Sumber: Citra Satelit Landsat 2009).
23 3.2 Alat, Bahan, dan Metode Analisis Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1 Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan Parameter Alat/Bahan/Metode analisis Ket a Lapangan - Sampel makrozoobentos Ekman grab (20x20 cm), sieve In situ net (1 mm), alkohol 70%, coolbox, lup, mikroskop, buku identifikasi - Sampel lamun Transek kuadran (50x50 cm), In situ rool meter - Sampel air laut Botol sampel In situ - Sampel sedimen Corer (10 cm), kantong sampel In situ - Kecepatan dan arah arus Floating dredge, kompas, stop In situ watch - Kedalaman Palem skala In situ - Pasang surut Tiang pasang surut In situ - Partikel tersuspensi Pipa paralon (5 inci) In situ b Laboratorium - Kimia dan fisika air - BOT (mg/l) Titrimetrik Lab - Ortofosfat (mg/l) Spektrofotometer Lab - Nitrat (mg/l) Spektrofotometer Lab - Salinitas ( o / oo ) Refractometer In situ - ph ph meter (Hanna Instrument) Lab - Suhu ( o C) Termometer In situ - TSS (mg/l) Gravimetrik Lab - Oksigen Terlarut (mg/l) DO meter In situ - Kimia dan fisika substrat - TOC (%) Titrimetrik Lab - BOT (%) Titrimetrik Lab - Nitrat (mg/l) Spektrofotometer Lab - Ortofosfat (mg/l) Spektrofotometer Lab - ph ph meter Lab - Tekstur sedimen (%) Saringan bertingkat Lab
24 3.3 Pengambilan Data 3.3.1 Observasi Lapangan dan Penentuan Stasiun Observasi lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi umum daerah penelitian. Penempatan stasiun berdasarkan keberadaan lamun, dimana waktu surut air laut terendah, lamun masih terendam minimal 50 cm. Dari hasil observasi lapangan diperoleh 2 stasiun yaitu di sebelah Tenggara dan Timur Laut. 3.3.2 Sampel Air, Sedimen, dan Makrozoobentos Pengambilan sampel air laut menggunakan botol sampel di kedalaman sekitar 20 cm di bawah permukaan air laut. Sampel air dimasukkan dalam coolbox dan dianalisis ke laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan waktu surut di masing-masing stasiun. Parameter yang diukur terdiri atas suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), padatan tersuspensi (TSS), total bahan organik (BOT), nitrat, ortofosfat, dan ph. Parameter lingkungan yang diukur terdiri atas pasang surut, kecepatan dan arah arus, serta kedalaman perairan. Pengambilan sampel di substrat menggunakan corer yang berdiameter 10 cm. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalam coolbox, kemudian dibawa ke laboratorium. Parameter yang diukur terdiri atas ph, C-Organik, BOT, nitrat, ortofosfat, dan tekstur sedimen. Selanjutnya, pengambilan sampel untuk partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sedimen trap dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Parameter yang diukur terdiri atas berat sedimen, nitrat dan ortofosfat. Pengambilan sampel makrozoobentos menggunakan ekman grab bukaan 20x20 cm pada saat surut terendah. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada saat surut terendah. Sampel yang telah diambil, kemudian disaring dengan menggunakan sieve net berukuran 1 mm. Organisme makrozoobentos yang tersaring dimasukkan ke dalam kantong sampel, kemudian diberi pengawet alkohol 70%. Identifikasi makrozoobentos secara langsung di lapangan dengan bantuan lup. Sampel yang sulit diidentifikasi, dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengidentifikasian makrozoobentos ini berdasarkan petunjuk Abbot (1991); Dance (1977); Dharma (1988, 1992); Roberts et al. (1982).
25 3.4 Analisis Data 3.4.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun Persentase komposisi jenis yaitu persentase jumlah individu suatu jenis lamun terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Nilainya dihitung dengan rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990): P = Ni x 100% N Dimana : P : Persentase setiap lamun (%) Ni : Jumlah setiap spesies i N : Jumlah total seluruh spesies 3.4.2 Kerapatan Jenis Lamun Kerapatan jenis yaitu jumlah individu lamun (tegakan) per satuan luas. Kerapatan lamun dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990): D = ni A Dimana: D : Kerapatan jenis (tegakan/m 2 ) ni : Jumlah tegakan spesies i (tegakan) A : Luas transek kuadran (m 2 ) 3.4.3 Persen Penutupan Lamun Penutupan lamun merupakan luasan area yang ditutupi oleh lamun. Persen penutupan lamun dapat dihitung dengan menggunakan metode Saito dan Atobe sebagai berikut (English et al. 1994): C = (mi.fi) f Dimana: C : Persen penutupan lamun (%) mi : Persen nilai tengah kelas ke-i fi : Frekuensi kemunculan jenis (jumlah sub-transek yang memiliki kelas yang sama untuk spesies ke-i) f : Jumlah keseluruhan sub-transek
26 Penentuan kategori persen penutupan lamun dan nilai tengah yaitu mengunakan kategori klasifikasi tutupan lamun seperti pada Tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2 Klasifikasi penutupan lamun (English et al. 1994) Kelas Bagian yang tertutupi lamun Persentase yang tertutup (%) Nilai tengah (%) Mi 5 ½ - semua 50-100 75 4 ¼ - ½ 25-50 37,5 3 1/8 1/4 12,5-25 18,75 2 1/16 1/8 6,25 12,5 9,3 1 < 1/16 < 6,25 3,13 0 Tidak ada 0 0 Nilai persen penutupan total digunakan untuk mengetahui kondisi lamun berdasarkan kriteria yang disajikan dalam Tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3 Kategori persen penutupan total (Brower et al. 1990) Persen penutupan total Kategori C < 5% Sangat jarang 5% C < 25% Jarang 25% C < 50% Sedang 50% C < 75% Rapat C 75% Sangat rapat 3.4.4 Persentase Komposisi Jenis Makrozoobentos Komposisi spesies makrozoobentos ditentukan oleh setiap individu yang didapat dari masing-masing stasiun disusun dalam tabel (tabulasi), kemudian masing-masing dijumlahkan sesuai dengan banyaknya individu yang didapatkan di lapangan. Komposisi makrozoobentos dinyatakan dalam persen, yaitu sebagai proporsi spesies makrozoobentos dalam kelompok taksonomi (kelas) yang terdapat di setiap stasiun.
27 3.4.5 Kelimpahan Makrozoobentos Kelimpahan didefinisikan sebagai jumlah individu per satuan luas atau volume. Menurut Odum (1993), kelimpahan makrozoobentos biasanya dinyatakan dalam satuan meter persegi. Secara matematis kelimpahan makrozoobentos untuk masing-masing stasiun dihitung sebagai berikut: D = 10000 a/b Dimana: D : Kelimpahan individu (individu/m 2 ) a : Jumlah makrozoobentos yang dihitung (individu) dalam b b : Luas bukaan ekman grab (cm 2 ) (1 m 2 = 10.000 cm 2 ) 3.4.6 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya, dan akan menyatakan struktur komunitasnya. Keanekaragaman makrozoobentos dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Odum 1993): H = - Pi ln Pi ; Pi= ni/n Dimana : H : Indeks keanekaragaman jenis Pi : ni/n (Proporsi spesies ke-i) ni : Jumlah individu jenis N : Jumlah total individu Semakin besar nilai indeks keanekaragaman maka semakin tinggi keanekaragaman jenisnya, berarti komunitas biota di perairan tersebut makin beragam dan tidak didominansi oleh satu atau dua jenis. 3.4.7 Keseragaman Jenis Makrozoobentos Indeks keseragaman menggambarkan keseimbangan penyebaran spesies dalam suatu komunitas. Indeks ini dihitung dengan rumus Indeks Evennes (Odum 1993) sebagai berikut: E = H /ln S Dimana : E : Indeks keseragaman jenis S : Jumlah jenis organisme H : Indeks keanekaragaman jenis
28 Semakin kecil nilai indeks keseragaman jenis menunjukkan bahwa jumlah jenis antar spesies tidak menyebar merata, dan sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, berarti jumlah antar spesies semakin menyebar merata. 3.4.8 Dominasi Jenis Makrozoobentos Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan indeks persamaan Simpson (C). Persamaan indeks dominasi Simpson digunakan untuk mengetahui spesies-spesies tertentu yang mendominasi komunitas (Odum 1993), sebagai berikut: C ni N 2 Dimana : C : Indeks dominansi ni : Jumlah individu setiap jenis N : Jumlah total individu Nilai indeks dominansi mempunyai kisaran antara 0-1. Indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi. Semakin mendekati nilai 1 berarti semakin tinggi tingkat dominansi oleh spesies tertentu. 3.4.9 Pola Sebaran Makrozoobentos Pola sebaran individu makrozoobentos diketahui dengan menggunakan Indeks Dispersi Morisita (Brower et al.1990) sebagai berikut: Id n 2 X 2 X X X Dimana : Id : Indeks Dispersi Morisita n : Jumlah ulangan pengambilan sampel X : Total dari jumlah individu suatu organisme dalam kuadrat (X 1 + X 2 + ) X 2 : Total dari kuadrat jumlah individu suatu organisme dalam kuadrat 2 2 (X 1 + X 2 + )
29 Pola dispersi makrozoobentos ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti yang tersaji dalam Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 Kategori indeks dispersi Pola Sebaran (Id) Id < 1 Id = 1 Id > 1 Kategori Seragam Acak Mengelompok 3.5 Analisis Statistik Data yang diperoleh dikelompokkan menurut stasiun dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan dengan lamun, bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis, PCA). Analisis komponen utama berguna untuk mereduksi data, sehingga lebih mudah untuk menginterpretasikan data-data tersebut.