I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan ketahanan pangan nasional, pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Namun demikian, pembangunan pertanian saat ini dan yang akan datang dihadapkan kepada permasalahan antara lain : penurunan kapasitas sumberdaya pertanian; sistem alih teknologi masih lemah dan kurang tepat sasaran, keterbatasan akses terhadap layanan usaha terutama permodalan, rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil, kualitas dan ketrampilan sumberdaya petani rendah, kelembagaan petani dan posisi tawar petani rendah (Departemen Pertanian, 2002). Dalam rangka membangun kemandirian pangan, pemerintah berusaha agar pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam negeri dan meminimalisasi impor, melalui optimalisasi sumberdaya domestik dan lokal. Sehingga strategi yang ditempuh untuk mencapai sasaran kemandirian pangan tersebut adalah memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat (pemberdayaan masyarakat) (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Mengacu pada perkembangan lingkungan strategis di sektor pertanian, perikanan dan kehutanan sebagai akibat implementasi Undang-undang Republik
Indonesia No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004, menunjukkan bahwa usaha pertanian pada umumnya didominasi oleh usaha skala kecil, tingkat pendidikan petani/nelayan masih rendah dan bermodal kecil. Kondisi dengan skala usaha kecil umumnya belum mampu menerapkan teknologi inovatif karena akan menjadi kurang efisien. Akibatnya adalah hanya sebagian kecil potensi sumberdaya itu yang dapat dimanfaatkan dan karena ketidak tepatan dalam penerapan inovasi teknologi terjadi penurunan kuantitas maupun kualitas produk yang dihasilkan (Suryana, 2003). Sektor pertanian hingga saat ini di Provinsi Riau masih merupakan sektor yang memberikan lapangan usaha dominan dan menyerap tenaga kerja paling besar (52,24 %). Oleh karena itu arah kebijakan pembangunan tahun 2004 2008 bidang pertanian adalah pengembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan terpadu dengan peternakan tetap menjadi prioritas pembangunan, mengingat 76,26 persen penduduk miskin mempunyai mata pencaharian pada sub sektor tanaman pangan dan peternakan (Pemerintah Provinsi Riau, 2006). Produktivitas hasil pertanian khususnya tanaman pangan di Provinsi Riau dari tahun 2001 2007 menunjukkan perkembangan yang kurang mengembirakan. Produktivitas padi dan jagung, pada periode 7 tahun terakhir memperlihatkan kecenderungan stagnan atau mengalami perekmbangan yang kurang baik, dimana produktivitas padi mengalami penurunan setiap tahunnya sebesar 0,17 persen, sedangkan jagung mengalami peningkatan yang relatif kecil yakni sebesar 0,22 persen setiap tahunnya (Tabel 1). Sehingga kurang baiknya produktivitas padi dan jagung ini, menyebabkan sub sektor tanaman pangan tersebut belum mampu
memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat petani. Belum baiknya tingkat kesejahteraan petani ditunjukkan oleh nilai tukar petani. Nilai tukar petani di Riau dalam periode yang sama menunjukkan penurunan sebesar 6,59 persen setiap tahunnya. Tabel 1. Produktivitas Pangan (Kw/Ha) dan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau Tahun 2001 2007 No. Tahun Produktivitas Padi Produktivitas Jagung Nilai Tukar Petani 1 2001 30.55 21.28 123.4 2 2002 29.41 21.06 126.4 3 2003 29.87 21.13 139.1 4 2004 30.45 21.25 113.6 5 2005 29.99 21.40 88.13 6 2006 30.49 21.73 84.91 7 2007 30.24 21.56 82.05 Gr (%) - 0,17 0.22-6.59 Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan BPS Riau (2007) Banyak faktor yang menjadi kendala peningkatan produktivitas dan produksi pangan di Propinsi Riau untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduknya, Diantraranya yang terpenting adalah : a) masih tingginya konversi lahan produktif ke lahan non pertanian tanaman pangan; 2) kecilnya skala usaha pertanian tanaman pangan, perikanan maupun peternakan sehingga hasilnya tidak mampu mensejahterakan petani dan berakibat pada kurangnya investasi untuk peningkatan produksi; 3) terbatasnya teknologi tepat guna yang dapat diakses oleh petani; 4) kurangnya bimbingan kepada petani karena tidak difungsikannya institusi penyuluhan pertanian secara optimal seperti masa lalu, 5) terbatasnya sistem pengairan dan 6) rendahnya akses petani terhadap modal usaha (Badan Ketahanan Pangan Riau, 2008). Kondisi diatas menggambarkan bahwa disadari atau tidak, peranan penyuluhan pertanian terus mengalami penurunan, sehingga berdampak negatif
pada sektor pertanian dalam arti luas terutama terhadap kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan lambatnya alih teknologi dan kebijakan pemerintah, terutama sangat dirasakan sejak awal otonomi daerah (Yasin, 2007). Peningkatan kapabilitas petani/nelayan harus dilakukan melalui pembangunan system penyuluhan yang mampu membantu baik dalam penerapan teknologi inovasi berwawasan bisnis yang menghasilkan produk bermutu sesuai permintaan pasar global. Penyuluhan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian, karena mempunyai tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan pendidikan non formal bagi petani/nelayan. Dengan demikian, system kelembagaan penyuluhan harus dibangun dan dikembangkan dalam upaya untuk membantu petani/nelayan dalam menciptakan iklim pendidikan/pembelajaran yang kondusif, sehingga pada akhirnya mereka mampu menolong dirinya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga (Departemen Pertanian, 2007). Disamping itu menurut Tedjokoesoemo (1996), keberhasilan mengaitkan sistem produksi pertanian dengan mata rantai agribisnis sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya-upaya pemberian motivasi kepada kelompok tani nelayan untuk berkembang menjadi kelompok-kelompok usaha komoditas pertanian tertentu atau kombinasinya. Perkembangan ini hanya dimungkinkan oleh adanya kesempatan berusaha yang lebih luas yang dapat diciptakan melalui pembangunan jaringann kelembagaan penyuluhan pertanian yang berwatak profesional. Kebijakan publik yang berkaitan dengan dengan kelembagaan penyuluhan yang dibuat oleh kabupaten/kota di Provinsi Riau ini jelas sangat berdampak
terhadap pencapaian tujuan akhir dari pembangunan pertanian yaitu mensejahterakan petani. Seperti yang dikatakan oleh Riant Nugroho (2008) dalam bukunya Public Policy menyatakan bahwa kebijakan publik adalah faktor yang me-leverage kehidupan bersama. Dikatakan lebih lanjut bahwa kebijakan public merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu Negarabangsa (dalam hal juga termasuk daerah). Untuk itu perlu di-review kembali kebijakan public yang telah dibuat oleh kabupaten/kota di Provinsi Riau yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan penyuluhan. Berdasarkan argumentasi tersebut maka Analisa Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau perlu dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah Sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Peraturuan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang Kelembagaan Daerah, telah mewarnai penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kebijakan publik tersebut, telah merubah pranata dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian serta operasionalisasinya di daerah. Kondisi ini menyebabkan kinerja penyuluhan pertanian semakin menunjukkan penurunannya, karena penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditempatkan pada posisi minor. Bahkan memasuki abad ke 21 kinerja penyuluhan pertanian dapat dikatakan mencapai titik terendah (Mardikanto, 2008). Di era tahun 1980-an (BIMAS), penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistik dan koordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat
sampai kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan secara integral dan didukung dengan baik oleh empat catur sarana (PPL, Kios Saprotan, BRI dan KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa dan menjadi biasa. Pendekatan yang digunakan pada era ini, telah menghantarkan bangsa kita mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (RPP IPB, 2005). Sedangkan pada era otonomi daerah, paradigma pembangunan pertanian yang telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi desentralistrik dan pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan tampaknya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di daerah kurang mendapat perhatian pemerintah daerah. Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan di daerah belum terprogram dengan jelas karena penyuluhan pertanian dianggap suatu kegiatan yang dianggap kurang penting. Sebagai akibatnya, kelembagaan/instansi penyuluhan pertanian banyak yang terlikuidasi (Amanah, 2006). Menurut Harun (2006) bahwa, pada era otonomi daerah saat ini, dengan orientasi efisiensi institusi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ternyata telah ikut merubah nuasa paradigma penyuluhan. Berbagai daerah menyikapinya dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda. Ada daerah yang masih mempertahankan kelembagaan penyuluhan seperti pada masa sebelumnya, dan ada lagi yang merubah tatanan kepenyuluhan dengan merekrut penyuluh dalam salah satu dinas atau beberapa dinas sub sektor pertanian. Di Propinsi Riau penyuluhan diselenggarakan dengan kelembagaan yang bervariasi seperti di kota Pekanbaru, kegiatan penyuluhan pertanian
diselenggarakan oleh Kantor Pusat Informasi Penyuluhan Terpadu, dan di kabupaten Kampar diselenggarakan oleh Kantor Informasi dan Penyuluhan Pembangunan; serta di kabupaten Pelalawan oleh Dinas Pertanian. Keragaman kelembagaan yang menangani penyelenggaraan penyuluhan pertanian mengakibatkan beragamnya kinerja penyuluhan tersebut. Kelembagaan yang beragam ini, menunjukkan bahwa beragamnya persepsi provinsi/kabupaten/kota tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan pertanian di wilayah masing-masing (Departemen Pertanian, 2005). Kondisi kelembagaan yang sangat beragam ini mempengaruhi kinerja penyelenggaraan penyuluhan dan konsekuensinya berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Mengingat penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa dalam satu system penyuluhan pertanian yang disepakati bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan efisien. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau? 2. Bagaimana pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan penyuluhan yang berbeda?
3. Bagaimana dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani? 4. Bagaimana strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian untuk Provinsi Riau? 1.3. Tujuan Kajian Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan kajian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau. 2. Menganalisis pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan yang berbeda. 3. Menganalisis dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani. 4. Merumuskan strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian yang terbaik untuk Provinsi Riau. 1.4. Manfaat Kajian Manfaat kajian ini adalah : 1. Bagi masyarakat akademi dapat dijadikan bahan dan konsep dalam pemberdayaan masyarakat petani melalui kelembagaan penyuluhan yang efektif dan efisien; 2. Bagi pemerintah daerah sebagai bahan masukan/rekomendasi dalam implementasi UU No. 16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian. Evaluasi terhadap reorientasi struktur kelembagaan dan sistem kerja
penyuluhan pertanian di daerah, sehingga tercipta proses peningkatan adopsi teknologi inovasi di tingkat petani. 1.5. Cakupan Kajian Cakupan kajian ini adalah menganalisis keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di tiga kabupaten/kota, yang dianggap mewakili kelembagaan yang ada di 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Analisis kelembagaan pada kajian ini dilihat dari sisi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan yang tersedia. Hal ini mengingat bahwa keefektifan dan berkelanjutan intereaksi antara pengambil kebijakan, penyuluh dan petani sangat dipengaruhi oleh kelembagaan yang ada, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan. Terakhir merumuskan strategi pengembangan kelembagaan pertanian yang terbaik untuk provinsi dan kabupaten/kota kajian yang disesuaikan dengan kondisi (visi dan misi) lokalitanya masing-masing. Untuk mendapatkan strategi pengembangan, dilakukan analisis faktor internal dan eksternal dengan responden tiga orang stakeholders yang dianggap punya kompetensi yaitu Koordinator Penyuluh Pertanian Spesial (PPS), Kepala Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) Provinsi Riau dan salah satu anggota Komisi Penyuluh Pertanian (KKP) Provinsi Riau.