IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

I. PENDAHULUAN. berbagai usaha untuk meningkatkan produksi gula selain gula tebu karena gula tebu

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis)

HIDROLISIS PATI PALMA MENGGUNAKAN PULLULANASE DAN β-amilase SKRIPSI SITI AMINAH OKTAVIYANI F

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis

PEMBUATAN GULA CAIR DARI PATI SINGKONG DENGAN MENGGUNAKAN HIDROLISIS ENZIMATIS

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar ton

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Karena dengan memahami ciptaan-nya, keimanan kita akan senantiasa

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

BAB I PENDAHULUAN. kolagen alami hewan yang terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, dan

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

Gambar 2 Penurunan viskositas intrinsik kitosan setelah hidrolisis dengan papain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati

PENGARUH TEPUNG JAGUNG, ENZIM α-amilase, DAN ENZIM GLUKOAMILASE DALAM PROSES LIKUIFIKASI DAN SAKARIFIKASI TERHADAP PEROLEHAN SIRUP JAGUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon

pembentukan vanilin. Sedangkan produksi glukosa tertinggi dihasilkan dengan penambahan pektinase komersial. Hal ini kemungkinan besar disebabkan

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva yang terbentuk

TINJAUAN PUSTAKA. Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. ini tumbuh tegak dengan tinggi 1 m atau lebih. Talas merupakan tanaman pangan

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang memiliki sifat rentan terhadap kerusakan oleh lingkungan luar dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

DEKSTRIN, TEKNOLOGI DAN PENGGUNAANNYA

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

IV. HASIL DA PEMBAHASA

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

METODA AKTIVASI ZEOLIT ALAM DAN APLIKASINYA SEBAGAI MEDIA AMOBILISASI ENZIM α-amilase. Skripsi Sarjana Kimia. Oleh WENI ASTUTI

KARBOHIDRAT II (KARAKTERISTIK ZAT PATI)

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. juga non-pangan. Enzim yang penting dan sering dimanfaatkan di dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

PRODUKSI DEKSTRIN DARI UBI JALAR ASAL PONTIANAK SECARA ENZIMATIS

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

Pabrik Sirup Glukosa dari Tepung Tapioka dengan Proses Hidrolisis Enzim

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

I. PERANAN AIR DI DALAM BAHAN PANGAN. terjadi jika suatu bahan pangan mengalami pengurangan atau penambahan kadar air. Perubahan

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ubi kayu, ubi jalar, sorgum, dan talas. Kemanisan gula yang terbuat dari pati juga hampir

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase

Kecepatan Reaksi Hidrolisis Amilum Oleh Enzim Amilase

Indo. J. Chem. Sci. 4 (1) (2015) Indonesian Journal of Chemical Science

KEUNGGULAN KOMPETITIF GULA CAIR KIMPUL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

اغتنم خمسا قبل خمس شبابل قبل ھرمل وصحتل قبل سقمل وغناك قبل فقرك وحياتل قبل موتل وفراغل قبل شغلل

PEMANFAATAN KULIT UBI KAYU SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN DEKSTRIN MELALUI PROSES HIDROLISA ASAM

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS.

II. PEMILIHAN PROSES DAN URAIAN PROSES. produk fotosintesis) dalam jangka panjang (Kimball, 1983)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

4 Hasil dan Pembahasan

PRODUKSI MALTODEKSTRIN DARI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN ENZIM Α- AMILASE. [The Production of Maltodextrin of Sagoo Flour using α-amylase]

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana.

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

ANALISIS KADAR GLUKOSA PADA BIOMASSA BONGGOL PISANG MELALUI PAPARAN RADIASI MATAHARI, GELOMBANG MIKRO, DAN HIDROLISIS ASAM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus

PERUBAHAN SIFAT BAHAN KARBOHIDRAT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN KARBOHIDRAT II UJI MOORE. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Biokimia Pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Jumlah kalori yang

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KANDUNGAN AMILOSA PADA PATI PALMA Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri atas dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Selain kedua fraksi tersebut terdapat juga bahan antara yang menyusun pati, yaitu protein dan lemak. Komponen protein dan lemak serta bahan antara lainnya ini terdapat berkisar 5-10% (Banks et al. 1975). Pati yang digunakan terdiri atas tujuh pati palma yang berasal dari Balai Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado, yaitu pati sagu rumbia (Metroxylon sp.), sagu komersial (Metroxylon sagoo), Caryota mitis, aren (Arenga pinnata), serta sagu baruk 1,2, dan 3 (Arenga microcarpa). Untuk pati sagu baruk dibedakan menjadi tiga kode karena adanya perbedaan sumber pohon sagu baruk, tekstur dan penampakan fisik, serta penggunaannya. Untuk sagu baruk 1 memiliki tekstur agak halus dengan warna putih bersih, sagu baruk 2 memiliki tekstur yang lebih kasar dan berwana kecoklatan, sedangkan sagu baruk 3 merupakan pati yang sudah diperdagangkan dengan tekstur yang paling halus yang berwarna putih. Oleh karena itu, nilai derajat polimerisasi awal untuk masing-masing pati palma akan menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Pada tahap awal penelitian dilakukan penentuan kadar amilosa pati palma yang digunakan. Ketujuh pati palma dikarakterisasi kandungan amilosa dan amilopektinnya untuk mengetahui tipe pati. Adapun nilai amilosa dan amilopektin masing-masing pati palma disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan data tersebut pati palma yang digunakan memiliki kandungan amilosa berkisar antara 20,1-26,7% dengan kandungan amilopektin antara 73,3-79,9%. Hasil ini menunjukkan bahwa ketujuh pati palma memiliki rasio amilosa dan amilopektin 15-25 : 75-85 artinya pati palma yang digunakan termasuk tipe pati normal. Tabel 7. Rasio amilosa dan amilopektin pada pati palma Jenis Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Sagu baruk 1 23,2 76,8 Sagu baruk 2 25,8 74,2 Sagu baruk 3 23,7 76,3 Sagu rumbia 26,7 73,3 Sagu komersial 21,8 78,2 Aren 20,1 79,9 Caryota mitis 20,6 79,4 Keragaman jumlah amilosa dan amilopektin yang menyusun tiap pati akan mempengaruhi kerja enzim hidrolase yang digunakan. Semakin tinggi kandungan amilosanya, maka rantai lurus yang dimiliki pati semakin banyak sehingga lebih memudahkan enzim hidrolase, seperti β-amilase dalam menghidrolisis substrat (pati). Berdasarkan data tersebut pati sagu rumbia memiliki kandungan 16

amilosa paling tinggi, yaitu 26,67%. Oleh karena itu, pati tersebut akan lebih mudah dihidrolisis dibandingkan pati palma lainnya. Sebaliknya, pati aren dan Caryota mitis memiliki kandungan amilosa paling rendah, yaitu 20,04% sehingga akan lebih lambat dihidrolisis terutama oleh enzim β- amilase. Hal ini didukung oleh pendapat Said (2008) yang mengatakan bahwa laju hidrolisis oleh enzim amilase akan lebih cepat terjadi pada rantai lurus (amilosa) jika dibandingkan pada rantai bercabang (amilopektin) sehingga semakin banyak rantai lurus pada suatu polisakarida, maka semakin cepat laju hidrolisisnya. Pada proses hidrolisis, enzim yang digunakan bersifat spesifik dan hanya memutus ikatanikatan pada rantai amilosa dan amilopektin. Oleh karena itu, perlu dilakukan persiapan pati sebelum dihidrolisis berupa proses pemurnian pati. Pemurnian pati bertujuan menghilangkan sejumlah komponen minor pada pati, seperti lemak, protein, dan air untuk mempermudah proses hidrolisis karena enzim dapat langsung memutus rantai glukosidik pada amilosa dan amilopektin. Pemurnian pati terdiri atas dua tahapan, yaitu penghilangan komponen protein dan lemak. Penghilangan komponen protein atau disebut deproteinisasi menggunakan metode denaturasi. Protein yang terkandung dalam suatu bahan dapat terdenaturasi pada suhu ataupun ph tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini penghilangan protein pada pati palma dilakukan dengan penambahan larutan alkali kuat, yaitu NaOH disertai pemisahan dengan metode sentrifugasi. Protein yang telah terdenaturasi akan dipisahkan dengan proses pencucian dengan air. Untuk penghilangan komponen lemak (defatting) menggunakan penambahan larutan kimia untuk menghilangan internal lipid yang membentuk kompleks dengan amilosa dan ekstenal lipid yang menyelimuti granula pati. Penghilangan internal lipid pada pati palma dilakukan dengan penambahan larutan DMSO (Dimetil Sulfoksida) disertai pengadukan dengan shaker pada suhu 37 o C. Selanjutnya penambahan metanol dan disimpan pada suhu rendah (T=4 o C) bertujuan untuk menghilangkan eksternal lipid pada pati palma. Lemak yang telah terangkat dan sisa lemak yang belum hilang dicuci dengan metanol dan eter. Penambahan kedua bahan kimia tersebut juga sekaligus mengikat air yang terkandung pada pati. 4.2 HIDROLISIS ENZIMATIS PATI PALMA Hidrolisis pati dilakukan untuk memodifikasi pati alami sehingga menghasilkan produk berupa hidrolisat pati yang memiliki karakteristik yang dapat disesuaikan dengan keperluan-keperluan tertentu yang dibutuhkan. Karena pati yang banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan sebagian besar dalam bentuk hidrolisat pati bukan pati alami. Mekanisme hidrolisis yang dipilih adalah hidrolisis secara enzimatis karena memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan secara asam. Enzim merupakan katalis yang cocok untuk berbagai produk pangan maupun non-pangan. Kelebihan hidrolisis secara enzimatis antara lain enzim bekerja secara spesifik pada substrat, lebih efisien, produk yang dihasilkan lebih murni dan sedikit menghasilkan produk samping, kondisi proses dapat dikontrol, serta biaya pemurnian lebih murah. Kondisi kerja dan aktivitas optimum enzim pullulanase dan β-amilase sebagai enzim hidrolase yang digunakan pada penelitian ini sangat penting untuk diketahui sebelum melakukan proses hidrolisis. Hal ini dikarenakan kondisi hidrolisis harus diatur sesuai kondisi ideal enzim supaya dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan produk yang diharapkan. Kondisi kerja enzim, meliputi ph dan suhu optimum yang telah diketahui berdasarkan penelitian terdahulu yang dapat dilihat pada Tabel 8, yaitu untuk β-amilase pada suhu 40 o C dengan ph 4,8 dan pullulanase pada suhu 40 o C dengan ph 6,0. Nilai ph (Power of Hydrogen) merupakan parameter penting dalam proses enzimatis karena aktivitas optimum enzim dikondisikan pada ph tertentu dengan menggunakan buffer tertentu yang memiliki ph tersebut. Struktur ion enzim tergantung pada ph lingkungannya karena ph berpengaruh terhadap efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim. Nilai ph 17

juga berkaitan dengan nilai pi (Power of Isoelectric) enzim. Titik isoelektrik adalah nilai ph dimana protein memiliki muatan netral sehingga protein akan diam dan tidak bermigrasi kemanapun. Apabila ph larutan penyangga (buffer) lebih besar dari titik isoelektriknya, maka molekul protein akan bermigrasi menuju kutub positif sementara jika ph buffer lebih rendah dari titik isoelektrik, maka protein akan bermigrasi ke kutub negatif. Apabila kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka aktivitas enzim dalam memutus ikatan-ikatan glukosidik pada pati tidak optimum (Lehninger 1982). Perlakuan awal subtrat pati yang digunakan dalam menentukan aktivitas enzim dengan metode gelatinisasi. Gelatinisasi merupakan proses yang menyebabkan granula pati mengembang karena ikatan hidrogen melemah ketika suhu suspensi pati dinaikan. Umumnya metode gelatinisasi dilakukan dengan pemanasan. Akan tetapi, pada penelitian ini digunakan metode gelatinisasi dengan menggunakan basa yang dikondisikan pada suhu rendah untuk mempercepat terjadinya gelatinisasi pati. Metode ini juga dilakukan karena dikhawatirkan proses gelatinisasi pada suhu tinggi dapat merusak struktur pati dengan terjadinya pemutusan ikatan-ikatan antar molekul pati yang tidak diinginkan. Tabel 8. Aktivitas dan kondisi optimum enzim Enzim Kondisi Kerja *) Aktivitas Optimum Suhu ( o C) ph (U/ml) β-amilase 40 4,8 11,6 Pullulanase 40 6,0 19,3 *) Sumber : Sinaga (2004) Dari hasil perhitungan aktivitas β-amilase diperoleh aktivitas optimum enzim sebesar 11,6 U/ml enzim sedangkan untuk aktivitas optimum pullulanase diperoleh sebesar 19,3 U/ml enzim. Adapun satu unit enzim menyatakan jumlah enzim yang dapat mengkatalisis 1 μmol substrat per menit pada suhu dan ph optimum enzim (Winarno 2010). Data hasil penghitungan aktivitas masingmasing enzim disajikan pada Lampiran 5. 4.2.1 Hidrolisis Pati Palma dengan Pullulanase Pullulanase merupakan salah satu enzim debranching yang menghidrolisis ikatan α-1,6- glikosidik dari pati, pulullan, dan oligosakarida yang akan menghasilkan pati dengan rantai-rantai lurus dan lebih pendek. Pullulanase bekerja memecah ikatan-ikatan percabangan, maka enzim ini hanya akan menyerang fraksi amilopektin pada substrat pati yang digunakan. Oleh karena itu, semakin beragam jumlah rantai percabangan yang dimiliki oleh pati palma sebagai substrat, maka semakin tinggi tingkat hidrolisis yang terjadi pada pati tersebut. Hidrolisis pati dengan menggunakan enzim ini akan menghasilkan produk hidrolisat berupa Short-Chain Amylose (SCA) atau maltooligosakarida. Panjang rantai percabangan yang dimiliki tiap pati berbeda-bede tergantung sumber tanamannya. Pati dengan rasio amilopektin yang hampir sama belum tentu memiliki panjang rantai cabang yang sama. Dari hasil penelitian Srichuwong (2005), untuk sejumlah pati yang sering digunakan sebagai bahan baku pada industri hidrolisat pati diketahui bahwa panjang rantai cabang dengan 6-8 unit dekstrosa untuk pati beras dengan rasio amilosa 13,2% sekitar 8,0%, untuk pati 18

tapioka dengan rasio amilosa 17,9% sekitar 9,9%, untuk pati jagung dengan rasio amilosa 23,4%sekitar 5,1% dan untuk pati sagu dengan rasio amilosa 21,9% sekitar 9,0%. Rata-rata pati tersebut memiliki sedikit rantai cabang yang sangat pendek dan rantai cabang yang sangat panjang dengan 25-30 unit dekstrosa penyusunnya. Namun, pada rantai percabangan yang cukup panjang dengan jumlah unit 9-12 dekstrosa pati beras, tapioka, jagung, dan sagu memiliki jumlah panjang rantai cabang tersebut sekitar 28,1-36,3% dimana pati tapioka memiliki panjang rantai dengan 9-12 unit dekstrosa paling banyak sedangkan pati sagu paling sedikit. Panjang rantai cabang dengan jumlah unit 13-24 dekstrosa untuk pati beras sekitar 52,1%, pati tapioka sekitar 48,3%, pati jagung sekitar 56,7%, dan pati sagu sekitar 56,2%. Dari data tersebut terlihat bahwa tiap pati memiliki panjang rantai percabangan dengan jumlah unit dekstrosa penyusun rantai yang berbeda-beda sehingga selain jumlah rantai percabangan, panjang rantai percabangan yang dimiliki tiap jenis pati juga beragam yang akan mempengaruhi penurunan derajat polimerisasi dan peningkatan nilai dextrose equivalent yang terbentuk dari proses hidrolisis enzimatis terutama dengan enzim debranching seperti pullulanase. Rantai cabang yang panjang akan menghasilkan penurunan nilai DP yang lebih rendah dibandingkan pada rantai cabang yang lebih pendek dan sebaliknya akan menghasilkan nilai DE produk yang lebih sedikit. Pada penelitian ini, di awal hidrolisis dilakukan sampling untuk analisa total karbohidrat sedangkan tiap waktu tertentu juga dilakukan sampling untuk analisa gula pereduksinya. Kedua analisa dilakukan untuk menghitung nilai Derajat Polimerisasi (DP), Dextrose Equivalent (DE), dan tingkat hidrolisis. Nilai DP, DE, dan tingkat hidrolisis pada tiap waktu hidrolisis yang dilakukan oleh pullulanase untuk masing-masing pati palma tersaji pada Lampiran 6. Derajat Polimerisasi (DP) menunjukkan jumlah rata-rata monomer (monosakarida) dalam suatu molekul sedangkan Dextrose Equivalent (DE) menunjukkan jumlah gula pereduksi dalam persen dekstrosa murni dalam basis kering. Pada proses hidrolisis semakin lama waktu hidrolisis berlangsung, maka nilai DP produk yang dihasilkan akan semakin menurun akibat kerja enzim yang memutus ikatan-ikatan α-1,6-glikosidik pada amilopektin sehingga menghasilkan rantai-rantai pati yang lurus dan lebih pendek yang ditunjukkan dengan penurunan berat molekul pati. Perubahan nilai DP berbanding terbalik dengan perubahan nilai DE selama proses hidrolisis. Sejalan waktu hidrolisis berlangsung terjadi peningkatan nilai DE pada produk akibat adanya peningkatan pembentukan gula pereduksi yang dihasilkan dari pemecahan rantai-rantai cabang yang panjang. Kandungan gula pereduksi yang dihasilkan dari kerja enzim pullulanase yang memutus ikatan α-1,6-glikosidik pada amilopektin pati juga dapat mengukur tingkat hidrolisis yang terjadi. Semakin terhidrolisis secara sempurna, maka semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan. Pada Gambar 7 terlihat bahwa tingkat hidrolisis semakin meningkat secara perlahan mulai dari jam ke-0 hingga jam ke-48. Dari ketujuh pati palma terlihat bahwa pati aren memiliki peningkatan tingkat hidrolisis yang paling tinggi karena pati aren memiliki keragaman rantai amilopektin yang paling tinggi. Hal ini didukung oleh data pada Lampiran 6, peningkatan hidrolisis pati aren selama 48 jam waktu inkubasi mencapai tingkat hidrolisis 68,3% jauh lebih tinggi dibandingkan keenam pati palma lainnya. Begitu juga untuk pati sagu rumbia meskipun termasuk pati palma dengan rasio amilopektin paling rendah, pati sagu rumbia termasuk pati yang memiliki jumlah percabangan cukup banyak tetapi tiap rantai percabangannya pendek-pendek sehingga saat jam ke-48 hidrolisis pati sagu rumbia mencapai tingkat hidrolisis 50,7%. Kedua pati tersebut memiliki indikasi memiliki jumlah rantai percabangan yang cukup banyak pada bagian pertengahan klaster fraksi amilopektin. Hal ini dikarenakan pati aren telah mencapai tingkat hidrolisis 40% pada jam ke-10 sedangkan pati sagu rumbia terjadi pada jam ke-24. Berbeda dengan kelima pati palma lainnya yang mencapai tingkat hidrolisis 40% pada jam ke-40 hingga jam ke-48. 19

Keterangan: A1a= Sagu baruk 1; A1b= Sagu baruk 2; A1c= Sagu baruk 3; A2a= Sagu rumbia; A2b= Sagu komersial; A3= Aren; A4= Caryota mitis Gambar 7. Pola hidrolisis pati palma dengan pullulanase Berikut ini adalah model klaster pada fraksi amilopektin secara umum yang tersaji pada Gambar 8 untuk memudahkan penjelasan mengenai struktur dan keragaman rantai percabangan dari hasil hidrolisis pati palma oleh pullulanase. Ujung rantai non-pereduksi Ujung rantai pereduksi Keterangan: A= rantai percabangan terluar; B1,B2= rantai percabangan pertengahan; B3= rantai percabangan bagian dalam Gambar 8. Model klaster pada fraksi amilopektin (Hizukuri 1986) 20

Perubahan tingkat hidrolisis yang terjadi mengalami peningkatan yang cukup signifikan karena enzim pullulanase bekerja dengan cepat memutus ikatan-ikatan pada rantai percabangan pati pada gugus amilopektin, yaitu mulai dari percabangan pada rantai A lalu ke rantai B1, B2, dan terakhir memutus ikatan percabangan pada rantai B3 hingga seluruh percabangan terputus menjadi rantairantai pendek amilosa. Tingkat hidrolisis dihitung untuk mengetahui berapa lama waktu hidrolisis dibutuhkan untuk menghasilkan produk dengan nilai DP dan DE yang diinginkan sesuai kebutuhan sehingga untuk membuat suatu produk hidrolisat pati dapat digunakan waktu yang sesuai dengan tingkat hidrolisis yang dibutuhkan. Nilai Derajat Polimerisasi (DP) dan Dextrose Equivalent (DE) pada hidrolisis untuk masing-masing pati palma dengan pullulanase dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 15. Dari Gambar 9 sampai 15 terlihat terjadinya penurunan nilai DP terjadi karena polimer dari pati terpecah-pecah menjadi oligosakarida dengan jumlah unit-unit yang lebih sederhana oleh enzim sehingga menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa gula pereduksi yang ditandai dengan meningkatnya nilai DE. Pada proses hidrolisis peningkatan nilai DE tiap pati terjadi cukup cepat hingga terbentuknya hidrolisat pati yang diharapkan. Nilai DP dan DE hidrolisat pati dengan pullulanase menghasilkan nilai yang berbeda-beda antara pati palma dengan pati lainnya. Hal ini karena tiap pati memiliki keragaman amilosa dan amilopektin tergantung sumber patinya. Berdasarkan hasil penelitian Sinaga (2004), pati umbi-umbian, seperti ubi jalar, ubi kayu, ganyong memiliki nilai DP pada tingkat hidrolisis 100% berkisar antara 21,5-36,7 sedangkan nilai DP untuk waxy potato sebesar 35 (Cai 2010). Dari nilai DP tersebut dapat diketahui bahwa pati umbi-umbian memiliki panjang rantai percabangan yang lebih panjang dibandingkan dengan pati palma. Karena untuk menghasilkan Short-Chains Amylose (SCA) dari pati umbi-umbian nilai DP yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan hasil hidrolisat SCA oleh pullulanase pada pati palma, yaitu sebesar 21,5-36,7. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini diketahui bahwa pati palma memiliki keragaman rantai amilopektin yang cukup tinggi dengan panjang rantai percabangan yang lebih pendek-pendek dari pati umbi-umbian. Oleh karena itu, nilai DP hidrolisat pati palma oleh pullulanase pada tingkat hidrolisis 100% yang dihasilkan akan lebih rendah dibandingkan pati umbi-umbian. Dari ketujuh pati palma yang digunakan pun memiliki nilai DP dan DE yang beragam tergantung dari rasio amilopektin yang terkandung dalam struktur patinya. Nilai-nilai DP dan DE untuk masing-masing pati palma pada tingkat hidrolisis 10, 40, dan 100% tersaji pada Tabel 9. Dari hidrolisat pati yang dihasilkan, diperoleh nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 10% untuk masing-masing pati palma berkisar antara 132,9-227,4 dari kisaran nilai DP awal 273,4 untuk sagu baruk 1 hingga untuk Caryota mitis 1592,3. Hal ini menunjukkan pada hampir semua pati palma mengandung sedikit rantai percabangan pada rantai A gugus amilopektin sehingga enzim belum bekerja terlalu optimum dalam memecah polimer dari pati yang menyebabkan nilai DP rata-rata tiap pati masih tinggi. Pada tingkat hidrolisis 40% nilai DP rata-rata untuk masingmasing pati palma berkisar antara 34,9-51,5 dan nilai DE untuk masing-masing pati berkisar antara 1,9 2,6. Pada tingkat hidrolisis ini telah terbentuk rantai-rantai pendek amilosa hasil pemutusan rantai percabangan pada amilopektin hingga bagian rantai B3 di semua pati palma. Tingkat hidrolisis 40% ini terjadi pada jam ke-40 sampai jam ke-48 untuk hampir semua jenis pati palma yang digunakan, kecuali pati aren dan sagu rumbia. Pati aren mengalami tingkat hidrolisis 40% pada jam ke-10 karena memiliki rantai percabangan yang paling banyak terhidrolisis oleh pullulanase di bagian rantai A dan B1. 21

Gambar 9. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 1 dengan pullulanase Gambar 10. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 2 dengan pullulanase 22 Gambar 11. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 3 dengan pullulanase Gambar 12. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu rumbia dengan pullulanase 22

Gambar 13. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu komersial dengan pullulanase Gambar 14. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati aren dengan pullulanase 23 Gambar 15. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati Caryota mitis dengan pullulanase 23

Meskipun memiliki tingkat hidrolisis yang paling tinggi, pati aren memiliki nilai DP akhir pada produk yang paling tinggi karena pati aren memiliki jumlah percabangan yang sangat banyak dan panjang rantai percabangan dengan 13-24 unit dekstrosa dan 25-30 unit dekstrosa penyusun rantai tersbut yang paling banyak pada rantai B1 dan B2 sehingga nilai DP yang dihasilkan akan lebih tinggi dibandingkan pati Caryota mitis dan sagu komersial yang juga memiliki jumlah rantai percabangan tinggi tetapi tiap cabangnya terdiri dari rantai-rantai yang lebih pendek. Untuk pati sagu rumbia tingkat hidrolisis 40% terjadi pada jam ke-24 karena rantai percabangannya termasuk rantai yang pendek yang tersusun atas 6-8 unit dekstrosa dan 9-12 unit dekstrosa dengan jumlah yang cukup banyak terdapat di bagian rantai B1sehingga nilai DP yang dihasilkan termasuk paling rendah setelah pati sagu baruk 1. Pada tingkat hidrolisis 100% nilai DP tiap pati palma berkisar antara 13,9-20,8 dan nilai DE berkisar antara 4,8-7,2 sebagai excess produk yang mengandung SCA lebih banyak lagi karena seluruh bagian pati hingga rantai cabang B3 telah terhidrolisis sempurna. Berdasarkan nilai DP pada tingkat hidrolisis 10, 40, dan 100% pati sagu baruk 1 memiliki nilai DP produk yang paling rendah berbeda dengan sagu baruk 3 yang sama-sama memiliki rasio amilopektin sekitar 76%. Hal ini dikarenakan pati sagu baruk 1 memiliki panjang rantai percabangan yang jauh lebih pendek dibandingkan pada pati sagu baruk 3 sehingga meskipun sejumlah rantai percabangan yang sama dengan panjang rantai yang berbeda diputus oleh pullulanase menjadi rantai-rantai lurus, maka pati dengan rantai percabangan yang lebih pendek akan memiliki nilai DP yang lebih rendah. Tabel 9. Nilai DP dan DE rata-rata pada hidrolisis 10, 40, dan 100% dengan pullulanase DP rata-rata DE rata-rata Jenis Pati Tingkat Hidrolisis 10% 40% 100% 10% 40% 100% Sagu Baruk 1 132,9 34,9 13,9 0,7 2,9 7,2 Sagu Baruk 2 162,6 40,7 16,4 0,6 2,5 6,1 Sagu Baruk 3 169,2 41,9 17,1 0,6 2,4 5,8 Sagu Rumbia 166,6 39,1 15,6 0,6 2,6 6,4 Sagu Komersial 186,6 48,3 19,3 0,5 2,1 5,2 Aren 227,4 51,5 20,8 0,4 1,9 4,8 Caryota mitis 188,2 47,9 19,5 0,5 2,1 5,1 Hidrolisis pati palma dengan enzim pullulanase menghasilkan hidrolisat pati berupa maltooligosakrida. Untuk masing-masing pati palma, produk maltooligosakarida rata-rata telah terbentuk pada tingkat hidrolisis 40%. Oleh karena itu, pada skala industri yang membutuhkan maltooligosakarida dengan tingkat kekentalan yang tinggi dari pati palma tidak perlu dilakukan sampai tingkat hidrolisis 100% cukup dilakukan hidrolisis hingga tingkat hidrolisis 40%. Karena untuk mencapai tingkat hidrolisis 100% dibutuhkan waktu yang lebih lama dimana semakin lama waktu yang digunakan, maka biaya produksi yang dikeluarkan akan semakin tinggi. 24

4.2.2 Hidrolisis Pati Palma dengan β-amilase dan Pullulanase secara Suksesif β-amilase disebut juga α-l,4-glukan maltohidrolase (E.C. 3.2.1.2) merupakan tipe ekso-enzim yang memutus ikatan α-1,4-glukosidik pada gugus amilosa dan amilopektin pati mulai dari bagian rantai luar molekul, yaitu tiap dua molekul pada ujung rantai non-pereduksi. Mekanisme kerja enzim ini akan mencari dan memutus seluruh ikatan α-1,4-glukosidik pada rantai di percabangan terluar terlebih dahulu kemudian memutus ikatan α-1,4-glukosidik yang berada di rantai lurus amilosa sehingga waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis dengan enzim ini sangat lama. Karena β-amilase tidak dapat menghidrolisis ikatan α-1,6-glukosidik pada titik percabangan, maka pada hidrolisis dengan enzim ini akan dihasilkan produk samping berupa β-limit dekstrin. Hidrolisis dilakukan secara kontinu selama 48 jam hingga substrat (pati palma) terhidrolisis sempurna pada tingkat hidrolisis 100%. Pada awal hidrolisis dilakukan sampling untuk analisa total karbohidrat sedangkan tiap waktu tertentu juga dilakukan sampling untuk analisa gula pereduksinya. Kedua analisa dilakukan untuk menghitung nilai Derajat Polimerisasi (DP), Dextrose Equivalent (DE), tingkat hidrolisis, dan persentase kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan. Nilai DP, DE, tingkat hidrolisis, dan persentase kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan pada tiap waktu hidrolisis yang dilakukan oleh β-amilase dan pullulanase yang dilakukan secara suksesif untuk masing-masing pati palma tersaji pada Lampiran 7. Selama proses hidrolisis nilai DP mengalami penurunan yang signifikan pada menit ke-5 untuk semua pati palma setelah ditambahkan enzim β-amilase kemudian terus menurun secara perlahan hingga substrat (pati) mencapai tingkat hidrolisis 100% pada jam ke-48. Sebaliknya terjadi peningkatan nilai DE secara perlahan mulai dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Pada jam ke-24 ditambahkan β-amilase berlebih dengan konsentrasi enzim sebesar 20 U/g pati dari sisa larutan pati yang dihidrolisis. Penambahan β-amilase berlebih ini dilakukan untuk meningkatkan kerja enzim dalam memutus ikatan α-1,4-glukosidik pada sisa larutan pati sehingga diperoleh kandungan gula pereduksi yang semakin meningkat. Namun, seiring dengan waktu inkubasi, β-amilase mulai berhenti bekerja yang ditandai dengan pola grafik tingkat hidrolisis yang stasioner pada Gambar 16 dari jam ke-28 sampai jam ke-36 sebelum penambahan enzim pullulanase karena β-amilase tidak dapat memutus ikatan α-1,6-glukosidik pada titik percabangan. Hal ini menyebabkan terbentuknya β-limit dekstrin dengan berat molekul yang tinggi berisi seluruh ikatan α-1,6. Kandungan β-limit dekstrin yang terkandung pada pati kentang mencapai 54,5% dan pati tapioka sebesar 58,3% (Bertoft 2008) sedangkan menurut Hizukuri (1981), persentase β-limit dekstrin yang dihasilkan dalam pati kentang sebesar 68% dan pati tapioka sebesar 64%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Nilsson (2001) dimana β-limit dekstrin yang dihasilkan pada Potato Amylopectin Starch (PAP) sebesar 54%. Dari nilai tersebut diketahui bahwa pada umbi-umbian memiliki kandungan β-limit dekstrin yang sangat tinggi pada hidrolisis dengan β-amilase karena rantai percabangan pati umbi-umbian cukup panjang dengan jumlah rantai percabangan yang lebih banyak dibandingkan pada pati palma. Karena rantai cabang inilah yang menyebabkan enzim β- amilase tidak dapat menghidrolisis pati secara sempurna sehingga dihasilkan β-limit dekstrin. Semakin banyak dan panjang rantai percabangan pada struktur amilopektin pati, maka semakin banyak bagian pati yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim β-amilase. Berbeda dengan pati umbiumbian, hampir semua pati palma memiliki keragaman amilopektin yang tinggi tetapi rantai cabang yang dimiliki pendek-pendek sehingga β-limit dekstrin yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan pati umbi-umbian. Untuk masing-masing pati palma yang digunakan diperoleh persentase kandungan β-limit dekstrin yang berbeda. Persentase kandungan β-limit dekstrin tiap pati palma yang disajikan pada Tabel 10. 25

Tabel 10. Kandungan β-limit dekstrin pati palma Jenis Pati β-limit Dekstrin (%) Sagu Baruk 1 30,1 Sagu Baruk 2 38,8 Sagu Baruk 3 29,9 Sagu Rumbia 22,2 Sagu Komersial 27,4 Aren 29,4 Caryota mitis 28,2 Nilai-nilai pada Tabel 10 merupakan persentase bagian pati yang tidak terhidrolisis oleh β- amilase. Semakin besar nilai β-limit dekstrin yang dihasilkan, maka semakin banyak ikatan 1,6- glikosidik pada amilopektin pati yang tidak dapat terhidrolisis oleh β-amilase. Nilai β-limit dekstrin ketujuh pati palma yang digunakan berkisar antara 22,2 38,8% dari total pati. Berdasarkan nilai-nilai tersebut diketahui bahwa pati sagu baruk 2 merupakan pati palma yang memiliki kandungan amilopektin yang tidak terhidrolisis oleh β-amilase paling tinggi dibandingkan keenam pati palma lainnya sedangkan sagu rumbia memiliki persentase kandungan β-limit dekstrin paling rendah karena keragaman amilopektin pada rantai patinya paling rendah sehingga β-amilase dapat menghidrolisis lebih optimum dan menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak dibandingkan pati palma lainnya. Keberadaan β-limit dekstrin sebagai hasil samping hidrolisis yang tidak sempurna dan biasanya diminimalisir pembentukannya, tetapi β-limit dekstrin memiliki beberapa fungsi yang dapat diaplikasikan sebagai pengental rendah kalori dan stabilizer (Poliana 2007) serta sebagai bulking agent, texture providers, pembentuk lapisan film, dan freeze-control agent (Tester 2011). pullulanase β-amilase berlebih Keterangan: A1a= Sagu baruk 1; A1b= Sagu baruk 2; A1c= Sagu baruk 3; A2a= Sagu rumbia; A2b= Sagu komersial; A3= Aren; A4= Caryota mitis Gambar 16. Pola hidrolisis pati palma dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif 26

Pada Gambar 16 terlihat bahwa tingkat hidrolisis meningkat secara perlahan hingga jam ke-10 dan mulai stasioner hingga jam ke-24. Selanjutnya setelah penambahan β-amilase berlebih pada jam ke-24 mulai mengalami peningkatan kandungan gula pereduksi yang signifikan hingga jam ke-28 lalu kembali stasioner hingga jam ke-36. Peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan terus terjadi setelah penambahan pullulanase. Pada gambar tersebut terlihat pola hidrolisis dengan peningkatan yang lambat pada awal proses hidrolisis karena kerja enzim β-amilase mencari dan memutus seluruh gugus non-pereduksi pada rantai terluar pati terlebih dahulu lalu setelah itu memutus bagian tengah rantai pati hingga semua bagian rantai pati terhidrolisis sehingga kerja enzim ini sangat lambat. Berdasarkan hasil peningkatan tingkat hidrolisisnya, pada jam ke-48 ketujuh pati palma telah mengalami 92,3-99% hidrolisis karena adanya kerja enzim β-amilase dan pullulanase yang berlangsung suksesif sehingga hampir semua rantai baik pada gugus amilosa maupun amilopektin pati telah terputus menjadi gulagula pereduksi, yaitu maltosa seperti yang diharapkan. Hasil dari hidrolisis semakin lama waktu inkubasi, maka semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan sehingga semakin tercapai tingkat hidrolisis yang sempurna. Tingkat hidrolisis dihitung untuk mengetahui berapa lama waktu hidrolisis dibutuhkan untuk menghasilkan produk dengan nilai DP dan DE yang diinginkan sesuai kebutuhan sehingga untuk membuat suatu produk hidrolisat pati dapat digunakan waktu yang sesuai dengan tingkat hidrolisis yang dibutuhkan. Pada jam ke-36 ditambahkan sejumlah enzim pullulanase dengan konsentrasi yang sama dengan jumlah β-amilase yang diberikan diawal proses hidrolisis, yaitu sebesar 2 U/g pati dari sisa larutan pati yang dihidrolisis. Penambahan enzim ini untuk memecah titik percabangan pada pati sehingga menghasilkan rantai-rantai lurus. Hal ini menyebabkan meningkatnya kandungan maltosa pada hasil akhir hidrolisis. Setelah dilakukan penambahan enzim ini terlihat pada Gambar 17 sampai 23 bahwa untuk masing-masing pati palma mengalami peningkatan kandungan gula pereduksi (maltosa) yang signifikan yang ditandai dengan peningkatan nilai DE dari jam ke-36 hingga jam ke- 38. Pullulanase yang ditambahkan bekerja memutus rantai percabangan pati menjadi rantai-rantai lurus sehingga keberadaan rantai lurus yang dihasilkan menyebabkan β-amilase kembali bekerja dimana pada titik inilah kerja kedua enzim berlangsung secara suksesif. Terbentuknya produk maltosa dari masing-masing pati palma rata-rata terjadi pada jam ke-37 sampai jam ke-38, yaitu pada tingkat hidrolisis 70-80%. Hal ini tidak jauh berbeda pada hidrolisis pati kedelai dengan β-amilase yang menghasilkan produk maltosa pada tingkat hidrolisis 80-88% (Bird 1953). Untuk nilai DE dan DP dari hidrolisat pati oleh β-amilase yang diperoleh tiap sumber pati berbeda-beda tergantung pada karakteristik kandungan rantai percabangan pati. Untuk pati umbiumbian, seperti ubi kayu, ubi jalar, ganyong, talas, kimpul, dan suweg masing-masing pati memiliki nilai DP berturut-turut sebesar 2,2; 2,7; 2,8; 1,7; 2,5; dan 2,2 (Sinaga 2004). Dari nilai DP tersebut menunjukkan bahwa pada tiap jenis pati umbi-umbian memiliki keragaman rantai percabangannya dimana pati talas memiliki jumlah rantai percabangan yang paling sedikit dibandingkan pati umbi lainnya. Tidak jauh berbeda nilai DP yang dihasilkan oleh pati palma dari hasil proses hidrolisis dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif diperoleh nilai DP dan DE rata-rata pada tingkat hidrolisis 10, 40, dan 100% yang disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan data tersebut diketahui nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 10% berkisar antara 17,2-31,3 untuk masing-masing pati palma. Nilai DP pada tingkat hidrolisis 10% menunjukkan tiap pati palma masih memiliki rantai-rantai pati yang cukup panjang karena β-amilase baru memutus ujung-ujung gugus amilosa maupun amilopektin pada bagian terluar rantai pati sehingga gula pereduksi yang dihasilkan pun masih sedikit. Hal ini ditunjukkan dari nilai DE rata-rata untuk masing-masing pati pada tingkat hidrolisis 10% masih berkisar antara 3,6-5,7 dimana pati sagu baruk 1 termasuk pati palma yang memiliki nilai DP paling rendah dan DE paling tinggi pada tingkat hidrolisis 10%. Sebaliknya pati Caryota mitis merupakan 27

pati palma yang memiliki nilai DP paling tinggi dan nilai DE paling rendah karena pati ini termasuk pati yang memiliki keragaman amilopektin yang tinggi selain pati aren. Untuk nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 40% berkisar antara 4,4-7,7 dengan nilai DE berkisar antara 14,1-22,4 untuk masingmasing pati palma. Pada tingkat hidrolisis 40% telah terjadi peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan yang ditandai dengan semakin tingginya nilai DE untuk tiap pati palma. Dan pada tingkat hidrolisis 100% nilai DP rata-rata yang dihasilkan berkisar antara 1,7 2,9. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh rantai pada pati palma telah terhidrolisis secara sempurna dan menghasilkan produk akhir yang sebagian besar memiliki rantai yang terdiri atas 2 unit monosakarida, yaitu glukosa. Produk dengan 2 unit glukosa ini merupakan disakarida yang disebut maltosa. Selain itu, nilai DE yang dihasilkan pada masing-masing pati menunjukkan produk akhir yang dihasilkan adalah maltosa dimana nilai DE rata-rata berkisar antara 35,1 57,3. Karena menurut Kennedy (1995), nilai DE untuk produk maltosa sekitar 48 63. Berdasarkan Gambar 21 nilai DP pada tingkat hidrolisis 10, 40, hingga 100% pati Caryota mitis memiliki nilai peningkatan DE yang paling rendah bahkan jika dibandingkan dengan pati aren. Padahal dari rasio amilosa dan amilopektin kedua pati pada Tabel 7 keduanya memiliki rasio amilopektin yang sama-sama berkisar 79%. Hal ini sama dengan hasil yang terjadi pada hidrolisis kedua pati oleh pullulanase karena pati aren memiliki rantai percabangan yang jauh lebih panjang dibandingkan pati Caryota mitis sehingga pati aren memiliki ikatan α-,14-glukosidik yang lebih banyak pada gugus amilopektin pati aren dibandingkan pada pati Caryota mitis. Karena banyaknya ikatan α-,14-glukosidik pada pati aren menyebabkan enzim β-amilase bekerja lebih optimum dalam memecah rantai tersebut dan menghasilkan lebih banyak gula-gula pereduksi yang berdampak pada peningkatan nila DE yang lebih tinggi pada produk hidrolisat pati aren dibandingkan pada pati Caryota mitis. Untuk hasil hidrolisat pada pati sagu baruk 1 pun demikian, meskipun termasuk pati yang memiliki rasio amilopektin yang cukup tinggi, pati ini merupakan pati palma yang memiliki nilai DP yang paling rendah dan DE yang paling tinggi dibandingkan pati sagu baruk 3 yang memiliki rasio amilopektin sama sekitar 76%. Karena pati sagu baruk 1 memiliki rantai percabangan yang jauh lebih pendek dibandingkan pada pati sagu baruk 3 dan pati palma lainnya sehingga setelah kedua enzim yang digunakan, yaitu β-amilase dan pullulanase selesai memecah seluruh rantai-rantai amilosa dan amilopektin pati menjadi beberapa unit amilosa yang pendek-pendek, maka penurunan DP yang terjadi akan paling tinggi dan dekstrosa-dekstrosa yang terbentuk pun semakin banyak yang menyebabkan nilai DE sagu baruk 1 paling tinggi dibandingkan pada keenam pati palma lainnya. 28

Tabel 11. Nilai DP dan DE rata-rata pada hidrolisis 10, 40, dan 100% dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Jenis Pati DP rata-rata Tingkat Hidrolisis DE rata-rata 10% 40% 100% 10% 40% 100% Sagu Baruk 1 17,2 4,4 1,7 5,7 22,4 57,3 Sagu Baruk 2 20,3 5,1 2,0 4,9 19,9 49,9 Sagu Baruk 3 25,7 7,5 2,8 3,9 14,2 36,2 Sagu Rumbia 19,9 5,3 2,1 5,0 19,2 46,8 Sagu Komersial 17,9 4,7 1,8 5,6 22,1 55,3 Aren 24,9 5,8 2,3 4,4 17,6 43,9 Caryota mitis 31,3 7,7 2,9 3,6 14,1 35,1 Pada Tabel 11 nilai DP rata-rata untuk ketujuh pati palma pada tingkat hidrolisis 100% berkisar antara 1,7-2,9. Menurut Kearsley (1995), nilai DP menunjukkan jumlah dari unit glukosa sebagai komponen individual dalam hidrolisat pati, DP 1= dekstrosa/glukosa (1 unit), DP 2= maltosa (2 unit), DP 3= maltotriosa (3 unit). Adapun maksud dari nilai-nilai tersebut adalah untuk pati sagu baruk 2 dengan nilai DP rata-rata= 2,0 artinya dalam produk hidrolisat yang dihasilkan mengandung banyak maltosa sedangkan sagu baruk 1 dan sagu komersial dengan nilai DP rata-rata= 1,7 dan 1,8 artinya dalam produk hidrolisat yang dihasilkan mengandung sejumlah maltosa dan glukosa sehingga rata-rata derajat polimerisasi yang dimiliki produk akhir hidrolisat pati tersebut sekitar 1,7 dan 1,8. Untuk pati sagu rumbia dan aren dengan nilai DP 2,1 dan 2,3 artinya mengandung sejumlah maltosa dan maltotriosa dimana kandungan maltosa mendominasi produk hidrolisat yang dihasilkan. Untuk pati sagu baruk 3 dan Caryota mitis dengan nilai DP rata-rata= 2,8 dan 2,9 artinya terkandung maltosa dan maltotriosa pada produk akhir hidrolisat pati yang didominasi oleh kandungan maltotriosa. 4.3 APLIKASI PRODUK HIDROLISAT PATI PALMA Berdasarkan hasil hidrolisis dengan masing-masing enzim yang digunakan terlihat adanya keragaman komponen amilopektin sebagai rantai percabangan yang menyusun struktur polimer pati palma. Keragaman komponen amilopektin pada masing-masing pati palma menyebabkan perbedaan derajat polimerisasi dan jumlah dekstrosa yang terbentuk sehingga dapat dirancang produk hidrolisat pati palma yang diinginkan. Dari nilai-nilai DP dan DE untuk tiap produk hidrolisat pati yang dihasilkan dari beberapa jenis pati palma dapat diketahui beberapa proses-proses potensial yang dapat diaplikasikan pada industri. Untuk industri yang ingin menghasilkan produk maltosa dari pati palma dapat digunakan enzim pullulanase terlebih dahulu lalu ditambahkan β-amilase supaya dihasilkan maltosa yang murni tanpa ada produk samping. Karena menurut Hii (2012), sirup high-maltose akan efisien diproduksi dengan menghidrolisis pati dengan enzim pullulanase terlebih dahulu untuk memotong seluruh rantai percabangan yang terdapat pada struktur patinya. Selanjutnya setelah dihasilkan rantai-rantai pati yang lurus dapat dipecahkan lagi oleh β-amilase menjadi senyawa-senyawa gula pereduksi sederhana berupa sirup yang kaya akan kandungan maltosa dan dapat mencegah terbentuknya β-limit dekstrin. 29

pullulanase pullulanase β-amilase berlebih β-amilase berlebih Gambar 17. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 1 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 18. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 2 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif pullulanase pullulanase β-amilase berlebih β-amilase berlebih 30 Gambar 19. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 3 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 20. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu rumbia dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif 30

pullulanase pullulanase β-amilase berlebih β-amilase berlebih Gambar 21. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu komersial dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 22. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati aren dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif pullulanase β-amilase berlebih 31 Gambar 23. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati Caryota mitis dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif 31

Pullulanase diharapkan memutus semua rantai percabangan sehingga terbentuknya β-limit dekstrin. Untuk menghasilkan hidrolisat pati palma berupa maltosa, pati palma yang paling potensial digunakan sebagai substrat adalah pati sagu baruk 1, sagu baruk 2, sagu rumbia, dan sagu komersial. Karena pada penelitian ini kedua pati tersebut memiliki nilai DP pada tingkat hidrolisis 100% yang paling mendekati nilai DP maltosa sebesar 2. Namun, jika industri membutuhkan produk maltosa yang tidak terlalu murni dapat dilakukan proses hidrolisis sampai tingkat hidrolisis 70-80% karena pada tingkat hidrolisis tersebut pati-pati palma yang digunakan telah menghasilkan produk hidrolisat berupa maltosa sehingga industri dapat menghemat biaya dengan menghemat waktu untuk mencapai tingkat hidrolisis 70-80%. Maltosa adalah disakarida yang terdiri atas ikatan glukosa dan glukosa. Sifat dan pemanfaatannya hampir sama dengan sirup glukosa. Maltosa memiliki karakteristik yang khas, yaitu tekanan osmotik dan kelarutan yang tinggi, tidak mempengaruhi flavor, dan tidak mengubah tekstur produk. Maltosa sebagai produk hidrolisat yang dihasilkan pada penelitian ini secara alami dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan maltitol dan kristal maltitol serta pada industri farmasi sebagai bahan yang digunakan untuk infus. Selain itu, dapat juga diproduksi sirup highmaltose yang memiliki tingkat kemanisan yang ringan dengan viskositas yang rendah dalam larutan, sifat higroskopi rendah, dan stabilitas panas yang baik. Pada penelitian Hartanto (2005) kondisi sebenarnya yang dilakukan pada industri seperti di PT Tainesia Jaya, Wonogiri, sirup high-maltose berbahan baku tapioka diproses melalui beberapa tahapan, yaitu likuifikasi, sakarifikasi, filtrasi, penukaran ion, dan evaporasi. Pada tahap likuifikasi tapioka diencerkan dalam tangki khusus yang ditambahkan enzim α-amilase pada suhu 94,5 o C selama 126 menit. Selanjutnya pada tahap sakarifikasi dilakukan dalam tangki tunggal dengan alat pengaduk dan ditambahkan enzim β-amilase dan pullulanase pada suhu 50 o C. Setelah terbentuk larutan sirup yang mengandung maltosa dilanjutkan ke tahap filtrasi dengan menggunakan vacuum filter untuk menghilangkan partikel-partikel karbon aktif dan anorganik lainnya. Tahap selanjutnya dilakukan penukaran ion untuk pelunakan sirup kemudian sirup maltosa murni hasil penukaran ion yang ingin dibentuk dalam produk kristal maltosa dipekatkan di dalam alat vacuum evaporator single effect. Tahapan proses pada PT Tainesia Jaya tidak berbeda jauh dengan sejumlah industri sirup highmaltose di Amerika dengan metode hidrolisis secara enzimatik yang melalui beberapa tahap, yaitu likuifikasi, filtrasi (pemisahan), dan sakarifikasi. Pada tahap likuifikasi dilakukan dengan penambahan enzim α-amilase dalam sebuah alat pemanas seperti autoklaf pada suhu 105-110 o C selama 5-7 menit atau pada suhu 95 o C selama 1-2 jam. Pada tahap ini enzim α-amilase bekerja memotong-motong polisakarida menjadi oligosakarida sedangkan pemanasan tinggi dilakukan juga untuk memisahkan protein dalam pati. Selanjutnya pada tahap pemisahan dilakukan pemisahan protein yang terkoagulasi oleh panas dari larutan hidrolisat pati. Larutan hidrolisat pati yang telah mengandung sejumlah oligosakarida masuk ke tahap sakarifikasi yang menggunakan enzim β-amilase dan pullulanase pada suhu 40-60 o C dengan ph 4-6 untuk menghasilkan sirup high-maltose dengan nilai DE sekitar 50-55 untuk substrat pati beras (Chang 2009). Sirup high-maltose sangat cocok diaplikasikan pada sejumlah produk makanan, seperti permen dan es krim dengan kualitas yang tinggi (Hii 2012). Untuk industri yang ingin menghasilkan produk utama dari hidrolisat pati palma berupa β-limit dekstrin dapat menggunakan enzim β-amilase terlebih dahulu lalu pullulanase. Namun, produksi β- limit dekstrin dengan metode tersebut juga akan menghasilkan produk samping berupa maltosa. Berdasarkan hasil penelitian ini pati sagu baruk 1 dan sagu baruk 2 merupakan pati palma yang paling potensial sebagai substrat karena kedua pati tersebut memiliki kandungan β-limit dekstrin yang paling tinggi dibandingkan kelima pati palma lainnya.β-limit dekstrin umumnya dibutuhkan untuk digunakan sebagai bahan tambahan pada berbagai produk di industri. Karena β-limit dekstrin memiliki sifat free 32

sugar, bioadesif yang baik, viskositas yang tinggi, serta laju browning yang rendah sehingga cocok digunakan sebagai pengental rendah kalori untuk produk-produk diabetik dan bahan perekat alami pada kertas. β-limit dekstrin juga dapat diaplikasikan sebagai bulking agent, texture providers, pembentuk lapisan film, dan freeze-control agent (Tester 2011). Untuk industri yang ingin menghasilkan produk maltooligosakarida sebagai produk hidrolisat pati palma dapat digunakan enzim pullulanase saja. Maltooligosakarida umumnya digunakan sebagai bahan pengental karena memiliki viskositas yang tinggi. Pembuatan produk hidrolisat ini disesuaikan kembali dengan kebutuhan industri produk hilir yang menggunakan produk hidrolisat maltooligosakarida sebagai bahan tambahannya. Untuk produk yang tidak memerlukan bahan pengental dengan tingkat viskositas yang tinggi seperti industri produk-produk diabetik, sambel, dan kecap dapat dibuat maltooligosakarida dengan proses hidrolisis pati palma dengan pullulanase hingga tingkat hidrolisis 100% karena dari hasil penelitian ini pada tingkat hidrolisis 100% nilai DP rata-rata ketujuh pati palma yang digunakan berkisar antara 13,9-20,8 sehingga karakteristik maltooligosakarida yang dihasilkan akan memiliki daya kekentalan cukup rendah. Namun, apabila industri hilir yang membutuhkan bahan pengental dengan daya kekentalan yang tinggi seperti industri lem dan krim kosmetika proses hidrolisis yang digunakan untuk menghasilkan maltooligosakarida cukup dengan tingkat hidrolisis 40% karena dari hasil penelitian ini pada tingkat hidrolisis tersebut ketujuh pati palma yang diguanakan memiliki nilai DP yang lebih tinggi yang menyebabkan produk hidrolisat lebih viskos (kental). Pati palma yang paling potensial digunakan untuk menghasilkan produk hidrolisat berupa maltooligosakarida dengan daya viskositas yang paling tinggi adalah pati aren, Caryota mitis, dan sagu komersial. 33