BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perekonomian Indonesia akan diikuti pula dengan kebijakankebijakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan anggaran menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Fenomena APBN

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, merupakan salah satu pengeluaran investasi jangka panjang dalam kegiatan perekonomian. Karena investasi publik ini memiliki dampak jangka panjang, menyebabkan perencanaan alokasi sumber daya menjadi sangat penting. Pemerintah harus benar-benar memperhatikan apakah seluruh sumber daya yang dimiliki akan seluruhnya digunakan untuk konsumsi saat periode berjalan atau diinvestasikan untuk beberapa periode ke depan. Hal ini termasuk salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah pada pengambilan keputusan dalam investasi publik. Mardiasmo (2002: 31) mengatakan bahwa: Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah semakin menguatnya tuntutan akuntabilitas publik oleh lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Pada dasarnya, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Akuntansi Sektor Publik memiliki peran yang sangat vital dalam memberikan informasi dan disclosure atas aktivitas kinerja finansial pemerintah daerah untuk memfasilitasi terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik. Salah satu pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah yaitu investasi dalam bentuk pembangunan di daerah, khususnya yang merupakan hasil pembangunan yang secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat. Jadi, investasi publik ini merupakan bentuk pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah 1

2 terhadap masyarakat. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian yang serius. Mardiasmo (2009: 91) mengungkapkan bahwa: Keputusan investasi publik diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program, kegiatan, dan fungsi yang menjadi prioritas kebijakan. Pengeluaran untuk investasi publik harus mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran rutin, karena pengeluaran investasi/ modal memiliki efek jangka panjang, sedangkan pengeluaran rutin lebih berdampak jangka pendek. Kesalahan dalam melakukan pengambilan keputusan investasi tidak saja akan berdampak pada anggaran tahun berjalan, namun juga akan membebani anggaran tahun-tahun berikutnya. Selain itu, investasi merupakan komponen PDB yang paling penting. Pada saat resesi, penyebab utama dalam penurunan pengeluaran adalah turunnya investasi. Investasi publik menjadi sangat penting dan perlu pembahasan khusus karena investasi publik juga dapat menjadi pemicu dari pertumbuhan ekonomi karena investasi merupakan salah satu komponen dalam Gross National Product (GNP). Seperti yang diungkapkan oleh Rahardja dan Manurung (2004: 238) perhitungan investasi harus konsisten dengan perhitungan pendapatan nasional Deliarnov (1995: 102) mengatakan bahwa: Dampak peningkatan investasi terhadap pendapatan nasional lebih dinamis dimana dampak investasi dirasakan dalam periode yang lebih lama, dan begitu juga dampaknya terhadap peningkatan pendapatan nasional berlipat ganda dari perubahan investasi semula. Begitu pula dengan pendapat yang dikemukakan oleh Samuelson dan Nordhaus (109) berikut ini: Jika masyarakat menggunakan sebagian sumber dananya untuk menciptakan barang modal, dan bukan untuk konsumsi, maka para ahli statistik ekonomi berpendapat bahwa output yang dihasilkan itu masuk ke dalam arus GNP. Investasi merupakan tambahan stok barang modal tahan lama yang akan memperbesar peluang produksi di masa mendatang.

3 Untuk dapat menganalisis investasi dengan tepat dan mempermudah pemerintah dalam merencanakan pengalokasian sumber daya, maka investasi publik ini haruslah berkaitan dengan penganggaran modal/ investasi. Seperti yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2009: 91) bahwa analisis investasi berhubungan erat dengan penganggaran fungsional, alokasi sumber daya, dan praktik manajemen keuangan di sektor publik Di negara-negara berkembang, penganggaran modal/ investasi berbentuk dual budgeting, yaitu pemisahan anggaran modal/ investasi dari anggaran rutin. Begitu pula di Indonesia yang memisahkan anggaran pembangunan dan anggaran rutin. Anggaran pembangunan suatu daerah tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam APBD tersebut memuat data anggaran pembangunan yang di dalamnya termasuk juga anggaran belanja modal suatu daerah. Tabel 1.1 Anggaran dan Realisasi Belanja Modal Kabupaten Bandung Tahun 2000-2009 Tahun Jumlah (Rp) Bertambah/ Berkurang Anggaran Anggaran Realisasi (Rp) % 2000 79,026,185,909.00 47,134,364,534.00 (31.891.821.375,00) 59.64 2001 62,272,053,000.00 55,490,739,833.00 (6.781.313.167,00) 89.11 2002 91,002,370,000.00 80,080,694,209.00 (10.921.675.791,00) 88.00 2003 65.316.802.424,00 48,802,218,504.00 (16.514.583.920,00) 74.72 2004 140.235.446.000,00 126,972,007,251.00 (13.263.438.749,00) 90.54 2005 64.004.184.000,00 49,175,331,282.00 (14.828.852.718,00) 76.83 2006 225,270,596,000.00 150,896,093,585.00 (74.374.502.415,00) 66.98 2007 453.953.785.125,00 370,894,040,025.00 (83.059.745.100,00) 81.70 2008 218.790.299.248,00 180,480,211,408.00 (38.310.087.840,00) 82.49 2009 195.100.983.439,00 148,925,370,067.00 (46.175.613.372,00) 76.33 Sumber: Data APBD Kabupaten Bandung

4 Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa terdapat selisih antara belanja modal yang dianggarkan dengan realisasinya. Seperti yang terlihat pada tahun 2000 belanja modal yang dianggarkan adalah sebesar Rp79,026,185,909.00 sedangkan realisasinya hanya sebesar Rp47,134,364,534.00. Ini berarti terdapat selisih sebesar Rp31.891.821.375,00 atau dengan kata lain belanja modal yang dapat terealisasi hanya sebesar 59.64% saja. Pada tahun 2001 belanja modal yang terealisasi juga hanya sebesar 89.11%. Begitu pula pada tahun-tahun yang lain, belanja modal yang dianggarkan selalu lebih besar daripada realisasinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruhnya anggaran belanja modal di kabupaten Bandung dapat terealisasi. Tingkat belanja modal yang tidak semua dapat terealisasi ini sangat berpengaruh bagi pemerintah karena akan mengalami kendala pada saat analisis investasi publik nantinya. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan anggaran belanja modal ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah telah mengalokasikan sumber daya dengan tepat atau tidak. Karena itu perlu dilakukan analisis investasi dengan cermat. Analisis yang mendalam sebelum dilakukan investasi sangat penting dilakukan karena investasi publik berkaitan erat dengan masalah transparansi dan kewajaran suatu anggaran (Mardiasmo, 2009: 92) Belanja modal kabupaten Bandung yang tidak terealisasi seluruhnya ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu karena adanya penurunan pendapatan sehingga harus mengurangi pemakaian atau pembiayaan belanja modal. Atau dapat juga disebabkan oleh regulasi yang mengharuskan pembelian barang melalui belanja barang dan jasa, bukan melalui belanja modal.

5 Selain itu, waktu pengerjaan yang kurang atau tidak dapat terlaksana sesuai jadwal juga dapat menyebabkan belanja modal kabupaten Bandung menjadi tidak terealisasi sepenuhnya. Investasi publik termasuk pada pengeluaran pembangunan (belanja modal) yang dalam pembiayaannya sangat bergantung dari ketersediaan dana yang dimiliki oleh pemerintah, karena pembangunan daerah tidak akan dapat terlaksana dengan optimal tanpa adanya dana yang memadai. Seperti yang tertuang dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 berikut ini: Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBD/ perubahan APBD. Berdasarkan penjelasan tersebut, yang mempengaruhi penyusunan anggaran adalah kemampuan daerah itu sendiri. Suatu daerah menyusun anggarannya bergantung kepada dana yang dimiliki. Apabila daerah itu mempunyai kebutuhan yang cukup besar, dengan kata lain belanja yang cukup tinggi, maka tetap saja harus disesuaikan dengan penerimaan yang ada. Oleh karena itu, anggaran belanja modal ini juga sangat berkaitan dengan anggaran pendapatannya. Terdapat berbagai sumber penerimaan bagi pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. Dari peraturan tersebut terlihat bahwa terdapat sumber penerimaan pemerintah daerah yang salah satunya merupakan pendapatan asli daerah. Menurut Abdul Halim (2007: 96):

6 Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah yang kemudian dibagi menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, serta lain-lain PAD yang sah. Selain PAD, sumber penerimaan daerah juga dapat berasal dari dana transfer pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dinyatakan bahwa bentuk transfer yang paling penting adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), selain dana bagi hasil (revenue sharing). Pengertian DAU dalam UU tersebut adalah sebagai berikut: Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berbeda dengan Dana Perimbangan yang merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk mendanai daerah, PAD merupakan sumber pendapatan yang utama bagi sebuah daerah karena berasal dari daerah itu sendiri. Dengan PAD dapat diukur kemampuan suatu daerah melaksanakan otonomi dan mengurangi ketergantungan terhadap bantuan dari pemerintah pusat. Sehingga, semakin besar PAD yang didapat suatu daerah, maka semakin besar pula kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri tanpa tergantung pada pemerintah pusat. Bagi pemerintah pusat, sumber penerimaannya jauh lebih banyak daripada daerah. Sehingga, anggaran untuk belanja modal pun lebih besar. Untuk daerahdaerah, apalagi untuk daerah yang kecil, kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya tidak sama seperti pusat. Kadang justru masih banyak yang sangat

7 tergantung pada bantuan dari pusat, meskipun seharusnya daerah sudah bisa berdiri sendiri dengan adanya otonomi daerah. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya kapabilitas program kerja untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan publik. Hal ini dapat pula mengakibatkan layanan publik tidak terlaksana dengan efisien. Mardiasmo (2002: 169) mengatakan bahwa: Dalam situasi seperti itu, menyebabkan banyak layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana pada Anggaran Daerahnya pada dasarnya merupakan Dana Publik (Public Money), habis dibelanjakan seluruhnya. Untuk kabupaten Bandung, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya sudah cukup besar. Namun meskipun begitu, ternyata PAD kabupaten Bandung cenderung lebih kecil daripada DAU yang relatif besar, seperti yang terlihat pada tabel 1.2. Tahun Anggaran Tabel 1.2 Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Bandung Tahun 2000-2009 Jumlah (Rp) PAD Peningkatan/ Penurunan Jumlah (Rp) DAU Peningkatan/ Penurunan 2000 48,236,530,674.12-298,183,251,385.00-2001 78,716,967,184.59 30,480,436,510.47 734,074,827,000.00 435,891,575,615.00 2002 82,546,278,680.64 3,829,311,496.05 659,036,306,250.00 (75,038,520,750.00) 2003 99,760,579,073.30 17,214,300,392.66 726,240,000,000.00 67,203,693,750.00 2004 113,576,318,159.44 13,815,739,086.14 757,285,000,000.00 31,045,000,000.00 2005 108,322,354,701.61 (5,253,963,457.83) 802,830,000,000.00 45,545,000,000.00 2006 137,532,499,198.23 29,210,144,496.62 1,168,636,000,000.00 365,806,000,000.00 2007 147,630,987,490.05 10,098,488,291.82 1,351,912,000,000.00 183,276,000,000.00 2008 144,660,409,277.08 (2,970,578,212.97) 1,001,542,069,000.00 (350,369,931,000.00) 2009 153,271,649,974.00 8,611,240,696.92 1,080,215,507,000.00 78,673,438,000.00 Sumber: Data APBD Kabupaten Bandung Dalam tabel 1.2 terlihat bahwa kondisi PAD kabupaten Bandung cenderung fluktuatif, atau terkadang mengalami kenaikan dan terkadang mengalami penurunan. Dalam kurun waktu 10 tahun terlihat bahwa PAD

8 Kabupaten Bandung mengalami penurunan sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2005 dan 2008. Pada tahun 2004 PAD Kabupaten Bandung sebesar Rp113,576,318,159.44 sedangkan pada tahun 2005 hanya mencapai Rp108,322,354,701.61. Ini berarti terdapat penurunan pada tahun 2005 sebesar Rp5,253,963,457.83. Begitu pula pada tahun 2008, PAD Kabupaten Bandung hanya sebesar Rp144,660,409,277.08 padahal di tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2007 PAD mencapai jumlah sebesar Rp147,630,987,490.05. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terjadi penurunan sebesar Rp2,970,578,212.97. Sedangkan pada tahun-tahun lainnya selalu mengalami peningkatan. Terlihat pada tabel bahwa dari tahun 2000 hingga tahun 2004 PAD selalu mengalami kenaikan. Dan kenaikan yang paling tinggi mencapai Rp30,480,436,510.47 pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2006-2007 dan 2009 juga memperlihatkan bahwa PAD cenderung mengalami peningkatan. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Oki Agam Tipani (2011) dengan judul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal (Studi pada Kabupaten/ Kota di Jawa Barat) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PAD dan DAU secara parsial dan simultan memiliki pengaruh positif terhadap Belanja Modal Kabupaten dan Kota di Jawa Barat pada tahun 2007-2009. Hal ini menunjukkan bahwa, setiap peningkatan yang terjadi pada jumlah PAD ataupun DAU secara individual akan meningkatkan belanja modal.

9 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek penelitiannya yaitu kabupaten Bandung saja, dan periode yang digunakan adalah tahun 2000-2009. Selain itu, dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel DAU karena berdasarkan hasil wawancara dengan instansi yang terkait, yaitu pemerintah kabupaten Bandung, belanja modal sangat tergantung kepada PAD dan DAU tidak berkontribusi dengan Belanja Modal seperti PAD. Hal ini dikarenakan DAU dialokasikan dengan prioritas hanya untuk belanja pegawai atau belanja rutin saja. Ini menyebabkan penyusunan anggaran belanja modal sangat dipengaruhi oleh PAD dan belanja modal berhubungan atau memiliki keterkaitan dengan PAD. Beberapa hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan pengaruh yang lemah antara DAU dengan Belanja Modal. Selain itu, Abdul Halim (2004: 53) menyatakan bahwa DAU dapat dikategorikan sebagai transfer tak bersyarat (unconditional grant) atau block grant yang merupakan jenis transfer antar tingkat pemerintahan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu. Menurut penjelasannya, sebagian besar DAU tersebut akan dipergunakan untuk membiayai gaji pegawai, karena pada intinya pembiayaan gaji pegawai melalui DAU ini hanya merupakan pengalihan pembiayaan dari Subsidi Daerah Otonom (SDO) menurut peraturan lama. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai berapa besar pengaruh PAD terhadap belanja modal. Adapun judul yang diangkat adalah Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Modal di Kabupaten Bandung.

10 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Bandung 2. Bagaimana Belanja Modal di Kabupaten Bandung 3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal di Kabupaten Bandung 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Mendapatkan pengetahuan mengenai tingkat Belanja Modal secara umum serta memperoleh informasi mengenai faktor yang mempengaruhinya. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan diperlukan agar penelitian memiliki arahan permasalahan yang jelas. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui tingkat kenaikan atau penurunan Pendapatan Asli Daerah di kabupaten Bandung b. Untuk mengetahui tingkat kenaikan atau penurunan Belanja Modal di kabupaten Bandung c. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal di kabupaten Bandung

11 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi mengenai Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah. 1.4.2 Kegunaan Praktis a. Bagi Pemerintah Kabupaten Bandung, sebagai objek penelitian, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menganalisis belanja modal dengan mempertimbangkan pendapatan asli daerah b. Bagi Peneliti, memberikan pengetahuan secara praktis untuk dapat mengaplikasikan penerapan konsep perhitungan pendapatan asli daerah pada belanja modal di kabupaten Bandung sesuai dengan teori yang diperoleh c. Bagi pihak lain, khususnya akademisi, dapat memberikan gambaran apabila akan mengambil tema yang serupa, sehingga dapat memberikan kajian keilmuan yang lebih mendalam