BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hipertensi adalah salah satu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.

dokumen-dokumen yang mirip
5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tekanan darah (TD) = Curah Jantung (CJ) x Tahanan Perifer Total (TPT)

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OBAT ANTI HIPERTENSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Suatu interaksi obat terjadi

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non infeksi, yaitu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada pemeriksaan berulang (PERKI, 2015). Hipertensi. menjadi berkurang (Karyadi, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik itu metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein yang disebabkan oleh

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KETEPATAN DOSIS PADA RESEP PASIEN GERIATRI PENDERITA HIPERTENSI DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Proporsi kematian

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penyakit kardiovaskuler. The Third National Health and Nutrition

GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT DAN KEPATUHAN MENGKONSUMSI OBAT PADA PENYAKIT HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD KRATON KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. seluruh pembuluh dimana akan membawa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok

BAB III METODE PENELITIAN. cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Diuretika adalah Zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih melalui kerja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi menjangkiti kira-kira 50 juta penduduk United State dan kirakira

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Purwanto,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Hipertensi

olahraga secara teratur, diet pada pasien obesitas, menjaga pola makan, berhenti merokok dan mengurangi asupan garam (Tedjasukmana, 2012).

FARMAKOLOGI dan TOKSIKOLOGI OBAT DIURETIKA. Oleh : MARIANNE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tingkat stress yang dialami. Tekanan darah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

darah. Kerusakan glomerulus menyebabkan protein (albumin) dapat melewati glomerulus sehingga ditemukan dalam urin yang disebut mikroalbuminuria (Ritz

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian kerena payah jantung, infark miocardium, stroke, atau gagal. ginjal (Pierece, 2005 dalam Cahyani 2012).

BAB V PEMBAHASAN A. PENGARUH PEMBERIAN PISANG AMBON TERHADAP. kelompok kontrol pemberian pisang ambon, rata-rata tekanan darah sistolik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mekanisme regulasi tekanan darah (pada pengukuran berulang tekanan darah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. disebut the silence disease. Penyakit ini juga dikenal sebagai heterogenous

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik Responden yang Memengaruhi Tekanan Darah

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi.

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan jantung, mata, otak, dan ginjal (WHO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. sehingga meningkatkan risiko PKV seperti pembesaran ventrikel kiri, infark

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memiliki peran penting dalam pengobatan dasar bagi pasien hipertensi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pertiganya disebabkan oleh penyakit tidak menular. Di negara-negara dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KATEGORI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI GERIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA

RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PENDERITA STROKE DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Gagal jantung merupakan sindrom yang ditandai dengan ketidakmampuan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Farmakoterapi Obat pada Gangguan Kardiovaskuler

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hipertensi 2.1.1 Definisi hipertensi Hipertensi adalah salah satu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Kebanyakan pasien hipertensi etiologi patofisiologinya tidak diketahui atau yang dikenal sebagai hipertensi primer (Depkes RI, 2006). Hipertensi merupakan penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80 mmhg) (Scanlon, 2007). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII (NIH, 2003). Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik Klasifikasi (mmhg) (mmhg) Normal <120 <80 Pre Hipertensi 120-139 80-89 Stage I 140-159 90-99 Stage II 160 100 Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi penyakit penderita (James, dkk., 2014). Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer (essensial) yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol 6

dan kelompok penderita hipertensi lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus yang dikenal sebagai hipertensi sekunder (non essensial). Banyak faktor penyebab hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab penderita hipertensi sekunder dapat diidentifikasi maka kemungkinan dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006). 2.1.2 Hipertensi primer Hipertensi primer juga disebut hipertensi essensial atau hipertensi idiopatik (Bowman dan Rand, 1980). Lebih dari 90% kasus merupakan hiprtensi primer. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lainlain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain (Gunawan, 2007). 2.1.3 Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain (Gunawan, 2007). Penyakit ginjal merupakan penyebab penyakit hipertensi sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi penyakit lain yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006). 7

2.2 Patofisiologi Hipertensi Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam penyebab hipertensi seperti meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik, mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial, produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor, asupan natrium (garam) berlebihan, tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium, meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron dan defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik (Depkes RI, 2006). Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, dkk., 2008) Korteks adrenal adalah bagian ginjal yang memproduksi hormon mineral kortikoid dan glukokortikoid, yaitu aldosteron dan kortisol. Kelebihan aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi air dan natrium, sedangkan kelebihan kortisol meningkatkan sintesa epinefrin dan norepinefrin yang bertindak sebagai 8

vasokonstriktor pembuluh darah. Secara tidak langsung, ini akan mempengaruhi peningkatan volume darah, curah jantung dan menyebabkan peningkatan tahanan perifer total (Dipiro, dkk., 2008). 2.3 Farmakoterapi Hipertensi Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan adalah <140/90 mmhg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmhg untuk pasien dengan penyakit komplikasi (NIH, 2003). Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.2 Gambar 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi Gambar 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi (James, dkk., 2014) 9

Pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai tekanan darah target terapi. Penambahan regimen obat dari kelas yang berbeda dimulai apabila penggunaan obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mmhg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (Depkes RI,2006). Komplikasi penyakit hipertensi dengan penyakit lain seperti penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung dan infark miokard memiliki alogaritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada gambar 2.3. Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit (Dipiro, dkk., 2008). 10

2.4 Obat Antihipertensi Dikenal 5 kelompok obat lini pertama dalam pengobatan awal hipertensi, yaitu: Diuretik, penghambat reseptor beta adrenergik (ß-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), Penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan antagonis kalsium (CaCB) (Gunawan, 2007). 2.4.1 Diuretik Diuretik dapat digunakan sebagai terapi obat lini pertama untuk hipertensi, kecuali jika terdapat alasan yang memaksa pemilihan agen lain. Diuretik adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan meningkatkan pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi lima golongan obat yaitu: a. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi. Semua obat diuretik oral efektif dalam mengobati hipertensi, tetapi tiazid ternyata paling luas digunakan. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na + dan Cl - di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat. Obat-obat dari golongan ini adalah klorotiazid, klortalidon, hidroklortiazid, indapamin dan metolazon. b. Diuretik lengkungan (loop diuretic) bekerja segera, bahkan pada pasien dengan fungsi ginjal yang buruk atau tidak berespon terhadap tiazid atau diuretik lainnya. Diuretik lengkungan dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskuler ginjal dan peningkatan aliran darah. Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na +, K + dan Cl - di ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl - yang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat dari golongan ini adalah bumetanid, asam etakrinik, firosemid dan torsemid. 11

c. Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium. Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran natrium, yaitu: triamteren dan amilorid. Obat-obat dari golongan ini adalah amilorid, eplerenon, spironolakton dan triamteren. d. Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya. Obat-obat dari golongan ini adalah manitol dan urea e. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan menghambat reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat dari golongan ini adalah asetazolamid (Harvey, 2009) 2.4.2 Agen-agen penghambat adrenoseptor-β Penghambat β, saat ini, direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk hipertensi ketika penyakit penyerta timbul misalnya, pada gagal jantung. Mekanisme penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β 12

dibedakan menjadi penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatasi dan vasodilatasi. Atenolol dan metoprolol adalah penyekat β yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Hervey, 2009). Penggunaan β blocker non selektif dapat menyebabkan bronkospasme pada penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati. Penghambatan reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis (Fauci, dkk., 2008). 2.4.3 Penghambat ACE Penghambat enzim pengonversi-angiotensin (angiotensin-converting enzyme/ace), seperti enalapril atau lisinopril, direkomendasikan ketika agen lini pertama yang dipilih (diuretik atau penghambat- β) dikontraindikasikan atau tidak efektif. Mekanisme penghambat ACE adalah menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya 13

jumlah angiotensin II di dalam darah. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Harvey, 2009). 2.4.4 Antagonis reseptor-angiotensin II (ARB) Penghambat reseptor-angiotensin II (angiotensin II-receptor blockers/arb) merupakan alternatif penghambat ACE. Obat-obat ini menghambat ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya (Harvey, 2009). Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi. Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006). 2.4.5 Penghambat kanal kalsium Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat 14

sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, dkk., 2008). 2.5 Rasionalitas Penggunaan Obat Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai dengan biaya yang terendah. Bila pasien menerima obat atau menggunakan obat tidak sebagaimana dinyatakan dalam definisi di atas, itulah pengobatan yang tidak rasional. Dari sisi obatnya, dikenal istilah misuse yang artinya adalah penggunaan obat yang tidak bijak. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat kita lihat dalam bentuk peresepan obat oleh dokter. Berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan dokter dalam meresepkan obat dapat dilihat dalam gambar 2.4. Gambar 2.4 Berbagai faktor yang menentukan keputusan dokter dalam meresepkan obat (WHO, 2006). 15

Ketidakrasionalan penggunaan obat juga dapat menyebabkan medication error. Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohean, dkk., 1991). Kejadian medication error terdapat empat fase, salah satunya adalah fase prescribing (penulisan resep) (Ariani, 2005). Hal ini berkaitan dengan faktor yang menentukan keputusan dokter dalam meresepkan obat. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat kita lihat dalam bentuk pemberian dosis yang berlebihan (overprescribing) atau tidak memadai (underprescribing), penggunaan banyak jenis obat yang sebenarnya tidak diperlukan (polifarmasi), menggunakan obat yang lebih toksik padahal ada yang lebih aman, penggunaan obat yang tidak sesuai dengan rutenya dan memberikan beberapa obat yang berinteraksi. Bentuk lain ketidakrasionalan pengobatan adalah extravagant prescribing, kebiasaan meresepkan obat mahal padahal tersedia obat yang sama efektifnya dan lebih murah, baik dalam kelompok yang sama atau berbeda kelompok (Sadikin, 2011). 2.6 Medication Appropriateness Index 2.6.1 Definisi Medication Appropriateness Index MAI (Medication Appropriateness Index) adalah suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur kesesuaian resep dengan menggunakan kriteria sebagai alat pengukur dari setiap masing-masing obat dalam resep. Untuk setiap kriteria memiliki tingkatan evaluasi apakah obat sesuai, sedikit sesuai atau tidak sesuai sama sekali. Para pengembang instrumen MAI mengidentifikasi area penting dari peresepan obat yang digunakan untuk menciptakan sebuah alat yang bisa mengetahui berbagai efek lain dari peresepan terapi obat, diterima atau 16

tidaknya suatu obat dan kondisi klinik pasien. Dari berbagai informasi yang dikumpulkan para pengembang menciptakan sepuluh kriteria MAI, yang disajikan dalam bentuk instrumen pertanyaan (Hanlon, dkk., 1992). 2.6.2 Klasifikasi Medication Appropriateness Index Hanlon, dkk., (1992) mengklasifikasikan MAI menjadi 10 kriteria : a. Indikasi obat, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut. b. Efektivitas, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi mendapatkan obat yang kurang efektif. c. Dosis, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut tidak tepat. d. Petunjuk yang benar, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi pasien tidak mendapatkan instruksi penggunaan obat yang benar dari tenaga kesehatan. e. Penggunaan yang benar, keadaan dimana pasien mempunya kondisi medis dan dan mendapatkan obat yang benar tetapi tidak menjalankan instruksi penggunaan obat yang benar dari tenaga kesehatan. f. Interaksi obat-obat, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang benar tetapi mendapatkan obat lain yang memiliki potensi terjadinya interaksi obat dengan obat. g. Interaksi obat-penyakit, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat tetapi mendapatkan obat yang berpotensi menyebabkan interaksi dengan penyakit lain yang diderita pasien. 17

h. Duplikasi, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi menerima lebih dari satu obat dengan jenis, dosis dan cara penggunaan yang sama secara bersamaan. i. Durasi, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi menerima obat dengan frekuensi yang salah. j. Biaya, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi pasien tidak mendapatkan obat dikarnakan kendala biaya. Adapun kasus dari masing-masing kriteria MAI memiliki bobot poin dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Bobot yang diberikan pada masing-masing kriteria MAI Kriteria Bobot ketidaksesuaian yang diberikan 1. Apakah indikasi untuk pasien sudah benar? 3 2. Apakah obat sudah efektif dengan kondisi pasien? 3 3. Apakah dosis sudah sesuai? 2 4. Apakah sudah diberi petunjuk yang benar dari tenaga kesehatan? 2 5. Apakah sudah dipraktikan dengan benar oleh pasien? 1 6. Apakah ada potensi terjadi interaksi obat obat? 2 7. Apakah ada potensi terjadi interaksi antara obat penyakit? 2 8. Adakah terjadi duplikasi obat? 1 9. Apakah durasi pemakaian obat sudah sesuai? 1 10. Apakah biaya obat dapat dipenuhi oleh pasien? 1 (Hanlon, dkk., 1992) 18

2.7 Rekam Medis Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan, untuk itu rekam medis harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Rekam medis untuk pasien rawat jalan sekurangkurangnya harus membuat data mengenai : a. Identitas pasien b. Tanggal dan waktu c. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik e. Diagnosis f. Rencana penatalaksanaan g. Pengobatan dan/atau tindakan h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien i. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik j. Persetujuan tindakan bila diperlukan (Permenkes, 2008) 19