KAJIAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOWISATA BERBASIS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPL) DI PESISIR DESA BAHOI, MINAHASA UTARA, SULAWESI UTARA

dokumen-dokumen yang mirip
Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: KEBERLANJUTAN OBYEK WISATA PANTAI LABOMBO KOTA PALOPO

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI KAJIAN

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA

ANALISIS NILAI KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, MALUKU

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KELAYAKAN DAN KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN WISATA CETACEAN WATCHING DI KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di dukung dengan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2 KERANGKA PEMIKIRAN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba

III. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Kawasan Pantai Timur Surabaya sebagai Kawasan Konservasi Berkelanjutan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM NASIONAL. D. Pengertian Pengelolaan Terumbu Karang dan Lingkungan Hidup

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

III. METODE PENELITIAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III METODE PENELITIAN

STATUS KEBERLANJUTAN USAHA GARAM RAKYAT DI KECAMATAN LABAKKANG KABUPATEN PANGKEP

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009

X. ANALISIS KEBIJAKAN

6. KEBERLANJUTAN WISATA BAHARI DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera. Lampung memiliki banyak keindahan, baik seni budaya maupun

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN POTENSI UNTUK EKOWISATA DI PANTAI TANGSI KABUPATEN LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN SWOT ANALISIS

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Diterima: 4 Februari 2009; Disetujui: 20 Agustus 2009 ABSTRACT

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

Transkripsi:

KAJIAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN EKOWISATA BERBASIS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPL) DI PESISIR DESA BAHOI, MINAHASA UTARA, SULAWESI UTARA Andronicus 1), Fredinan Yulianda 2), Achmad Fahrudin 3) Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor 1) Ketua Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2) Anggota Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 3) Abstract Bahoi village also has good coastal resources that tend to be a potential ecotourism communitybased. Therefore, it is important to educate the community in order to accept any changes related to this process. People put as the main sector on each process in the Ecotourism Community Base concept has successfully improved. There were several processes leading to community-based management. The connection between the government, NGOs and educational institutional role are strong. Therefore, a proper management is needed in order to manage all the natural resources in situ. The Natural resources sustainability depends on nothing but a good management system. Collaboration between the coastal resources and the community were highlighted in this research. This study aimed to assess sustainability status of coastal ecotourism management of Bahoi village, North Minahasa, North Sulawesi -based marine protected area (MPA). The coastal resources in the Bahoi village were potentially important for the ecotourism activity. The result of this study reveals that Rapfish method, may be used as a method on appraising sustainability status of coastal resource management. Rapid Appraisal of Coastal Ecotourism analysis show that sustainability index of Bahoi village is 52,47. Thus sustainability status of coastal ecotourism management of Bahoi village is sustainable. Monte Carlo analysis method shows that indices from Rapid Appraisal of Coastal Ecotourism analysis are stable. Key words Coastal Ecotourism Management,Mmarine Protected Area, Sustainability Status 1. Pendahuluan Indonesia memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang sangat besar, dengan jumlah pulau sekitar 17.708 dan panjang pantai 81.000 km. Wilayah pesisir menyediakan sumber daya alam yang produktif. Wilayah pesisir merupakan suatau himpunan integral dari komponen hayati dan non-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia intik hidup dan meningkatkan mutu kehidupan [1]. Bahoi merupakan desa yang berada di wilayah pesisir. Merupakan desa yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Desa Bahoi ditetapkan sebagai Pencadangan Kawasan Taman Wisata Perairan dalam Keputusan Bupati Minahasa Utara Nomor 180 Tahun 2014. Hal ini diperkuat Peraturan Daerah Porvinsi Sulawesi Utara Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Utara. * Corresponding author. Email : andro.ncs@gmail.com Published online at http://jemis.ub.ac.id Copyright 2016 JTI UB Publishing. All Rights Reserved Bahoi memiliki potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan sebagai desa tujuan wisata. Ekowisata merupakan suatu model pengembangan wisata yang menghargai kaidah-kaidah alam dengan melaksanakan program pembangunan dan pelestarian secara terpadu [2]. Ekowisata juga meminimalkan dampak alternatif terhadap mutu dan kualitas keanekaragaman hayati yang disebabkan kegiatan wisata yang bersifat massal atau konvensional (mass tourism). Desa Bahoi memiliki DPL (Daerah Perlindungan Laut) yang pengelolaannya mencakup ekosistem terumbu karang, dimana masyarakatnya telah memiliki inisiatif untuk melindungi sebagian lautnya. Pengelolaan DPL bermaksud untuk membuat suatu konsep konservasi ekosistem perairan yang terdiri dari ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove menghasilkan manfaat secara ekologi dan sosial seperti wisata. Keberadaan mangrove, lamun, dan terumbu karang ini memiliki peranan yang penting, mengingat fungsi ekologis sebagai pendukung produktivitas perairan dan DOI: 1

mendukung kehidupan satwa liar dan aktivitas masyarakat setempat disekitar kawasan. Selain itu juga beberapa ekosistem yang ada telah dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Untuk mengantisipasi hal diatas, maka dalam pengembangan kawasan ekowisata Desa Bahoi diperlukan konsep pengelolaan yang jelas dan resmi dan terorganisir serta berbadan hukum oleh karena itu perkembangan pariwisata tanpa perencanaan dan pengelolaan yang baik akan mengakibatkan penurunan mutu kawasan sehingga wisatawan kehilangan tempat wisata yang menarik. Perencanaan pariwisata harus meberikan keuntungan pada bidang konservasi dimana pemilik dan pelaksana harus mempunyai keterkaitan menjaga landscape alami serta habitat kawasan. Berdasarkan potensi kawasan pesisir Desa Bahoi (ragam jenis karang, lamun, mangrove, biota perairan dan kondisi ekonomi budaya masyarakat), maka diperlukan suatu perencanaan pengembangan ekowisata yang memadukan upaya pelestarian dengan kepentingan pembangunan dibidang pariwisata. Pengelolaan wisata harus mengacu kepada kaidah pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, evaluasi keberlanjutan pengelolaan wisata juga harus mengacu kepada kaidah pembangunan berkelanjutan [3]. Kriteria pembangunan yang berkelanjutan pada prinsipnya adalah bahwa pembangunan yang dilaksankan harus mencakup berbagai dimensi (multidimensi) pembangunan serta dilaksanakan secara terpadu [4]. Pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu ekologi, sosial ekonomi, sosial politik, dan hukum dan kelembagaan [5][6]. Pembangunan berkelanjutan harus memenuhi tiga dimensi, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi [1]. Berbagai metode untuk mengukur keberlanjutan masih bersifat parsial. Akan tetapi, hal yang terpenting dalam menilai keberlanjutan pengelolaan bukanlah terletak pada jumlah pengelompokan dimensi pembangunan, tetapi seberapa banyak indikator pembangunan pada setiap dimensi pembangunan yang dapat digunakan untuk menangkap kondisi masing-masing dimensi tersebut dan dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan pengelolaan tersebut [4]. Gambar 1. Lokasi Desa Bahoi, Kec. Likupang Barat, Kab. Minahasa Utara DOI: 2

Tujuan penelitian ini adalah menilai keberlanjutan pengelolaan wisata di Pesisir Desa Bahoi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara melalui penyusunan indeks keberlanjutan pengelolaan wisata dari setiap indikatorindikator dimensi pengelolaan sebagai rekomendasi kebijakan pengelolaan wisata yang berkelanjutan. 2. Metodologi Penelitian 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 sampai Maret 2015 dan pada bulan Oktober 2015 sampai Februari 2016 di kawasan pesisir Desa Bahoi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Gambar. 1). 2.2 Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode survei. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan. Data primer meliputi data kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial. Data sekunder merupakan data yang akan diperoleh dari kajian terhadap hasil penelitian, publikasi ilmiah, peraturan daerah, data dari instansi pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat. Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju dengan narasumber awal merupakan ketua Kelompok Pengelola Pesisir Desa Bahoi. Untuk menjawab permasalahan dari penelitian ini dilakukan wawancara dengan menggunakan kuisioner kepada stakeholder untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan indikator sosial ekonomi masyarakat [7]. 2.3 Metode Analisis Data Analisis dilakukan menurut zona-zona yang ada di Desa Bahoi. Prinsip penetapan zonasi terdiri atas 2; pertama, sumberdaya alam maupun budaya memiliki karakteristik dan toleransi tertentu untuk dapat memelihara dan mempertahankan karakteristik dan kemampuan tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan dari penggunaan saat ini maupun yang akan datang [8]. Menurut beberapa ahli, zonasi merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan kawasan yang dilindungi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan, serta untuk pengelolaan kawasan dengan mafaat ganda. Penetapan zonasi kawasan adalah pengelompokkan areal suatu kawasan ke dalam zona-zona sesuai dengan kondisi fisik dan fungsinya [9]. Zonasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologis dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan. Strategi pengembangan kawasan memerlukan data dan informasi yang berguna untuk mengidentifikasi keberlanjutan dari sebuah kawasan. Analisis keberlanjutan pembangunan kawasan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan penentuan atribut sistem pengembangan kawasan berkelanjutan yang mencakup 3 dimensi yaitu mencakup dimensi ekologi, ekonomi, dan dimensi sosial. Tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang berbasis metode multidimensional scaling (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan kawasan existing condition yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi [10]. Setelah observasi dilakukan selanjutnya tahap perhitungan yang mencakup perhitungan data sekunder dan data primer yang nantinya setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Nantinya skor akan menunjukkan nilai buruk di satu ujung dan nilai baik di ujung yang lain [11]. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi sistem pengembangan kawasan berkelanjutan. Sebaliknya, nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Di antara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut diseragamkan. Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Dalam penentuan nilai skor baik atau buruk pada metode analisis keberlanjutan ini berkaitan dengan persepsi sehingga suatu atribut harus dilihat terlebih dahulu dari persepsi apa. DOI: 3

MULAI Penentuan Atribut (Kondisi Kawasan Saat Ini) Skoring Multidimensional Scaling Simulasi Monte Cario (Analisis Ketidakpastian) Leveraging Factor (Analisis Anomali) Analisis Keberlanjutan Gambar 2. Tahapan analisis keberlanjutan Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik Rapfish adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan pengelolaan sumber daya berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Dalam analisis Rapfish setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100 %. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75 % maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75 % maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable). Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau skala sustainabilitas [11]. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan di lokasi studi. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil ekowisata berbasis masyarakat menjadi acuan untuk melakukan analisis keberlanjutan. Status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan pesisir Desa Bahoi diihat dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS) yang merupakan pengembangan dari RAPFISH. Data yang diperoleh dari hasil analisis dengan menggunakan software Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) dengan membagi menjadi 3 (tiga) dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial dan budaya, serta dimensi pengelolaan. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan, yang menunjukan kebergantungan masyarakat terhadap komoditas ikan dan iakn bergantung dengan ekositem sebagai rumah ikan. Nilai indeks keberlanjutan tersebut menggambarkan status keberlanjutan dalam pengelolaan di kawasan berdasarkan nilai eksisting. Status keberlanjutan ditentukan berdasarkan nilai indeks yang dihasilkan dengan cara memberikan nilai skoring pada DOI: 4

masing-masing dimensi. Pada setiap dimensi tediri dari beberapa atribut yang diukur sesuai dengan kebutuhan yang dianggap penting, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, selanjutnya masing-masing atribut diberikan bobot (skor) berdasarkan pengamatan dilapangan dan literatur. Dimensi ekologi merupakan dasar dari pengelolaan sumberdaya pesisir. Kondisi suatu kawasan pesisir dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat terhadap ekosistem pesisir serta dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan tersebut bagi kondisi ekologi. Atribut-atribut yang dihitung adalah: Objek biota, kondisi perairan, pasang surut, curah hujan dan tinggi gelombang, kelimpahan ikan karang, keanekaragaman jenis mangrove, kerapatan mangrove, dan tingkat tutupan terumbu karang. Delapan atribut tersebut merupakan kondisi yang didapatkan dari hasil analisis ekologi Desa bahoi. Meskipun kondisi perairan di kawasan baik, namun jika kondisi lainnya menurun akan menghasilkan nilai yang rendah. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan antar sesama atribut sangat kuat. Analisis RAPFISH terhadap empat atribut dimensi ekologi memiliki indeks keberlanjutan sebesar 61,314 dengan status cukup berkelanjutan [12]. Atribut yang memiliki nilai sensitivitas besar perlu untuk dijaga dan ditingkatkan pertumbuhannya dan aspek-aspek yang dapat merusak dan berdampak negatif harus ditekan. Hal tersebut menunjukan adanya indikasi, apabila pengelolaan yang sedang dilakukan di kawasan pesisir perlu untuk ditiingkatan dan serta dioptimalkan proses pengawasan. Apabila keadaan tersebut tetap sama, maka kondisi ekologi dikhawatirkan akan mengalami kerusakan yang lebih besar. Untuk mengetahui atribut-atribut yang memberi pengaruh besar terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat dari hasil analisis Leverage, dimana atribut yang memiliki nilai paling besar menunjukkan bahwa atribut tersebut memiliki sensitivitas paling tinggi. Atribut yang memiliki sensitivitas tinggi menjadi prioritas utama untuk diperbaiki dalam menjalankan pengelolaan pada dimensi ekologi. Atribut kelimpahan ikan karang merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Pembatasan penangkapan ikan karang juga menjadi langkah yang sangat penting, penetapan kawasan larang ambil berupa daerah DPL serta pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak menjadi media untuk menekan dari penurunan kelimpahan ikan. Hal tersebut sesuai dengan gagasan pembutukan daerah perlindungan laut sebagai bank ikan. Ini dibuktikan dengan tinggi nya nilai atribut kelimpahan ikan, yang menjadi atribut paling sensitive pada dimensi ekologi. Status keberlanjutan dimensi soisal budaya terdiri dari delapan atribut, yaitu: Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan, pemahaman ditingkat lokal terhadap aturan dan sanksi, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya, tingkat pasrtisipasi masyarakat, tingkat dukungan masyarakat terhadp pengelolaan DPL, tingkat pendidikan, dan pendapatan masyarakat. Dimensi sosial ekonomi budaya di wilayah pesisir Desa Bahoi menunjukkan nilai indeks sebesar 58,199. Skor ini berada pada status berkelanjutan [4]. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi sosial budaya masyarakat di pesisir Desa Bahoi berada pada kondisi baik sehingga perlu untuk mempertahankan kondisi ini. Jika memungkinkan nilai indeksnya kedepan terus ditingkatkan dengan memperbaiki atribut-atribut yang memengaruhi penurunan kualitas sosial budaya masyarakat. Atribut yang memberi pengaruh besar terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat dari hasil analisis Leverage, dimana atribut yang memiliki nilai paling besar menunjukkan bahwa atribut tersebut memiliki sensitivitas paling tinggi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa atribut yang paling sensitif pada dimensi sosial budaya terhadap pengelolaan pesisir yaitu: tingkat pengetahuan masyarakat terhadap sumberdaya. Atribut dalam dimnesi soisal dan budaya menunjukan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya alam yang dimiliki merupakan atribut dengan nilai tertinggi, yaitu sebesar 5,30. Atribut tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan memniliki nilai terbesar kedua, yaitu sebesar 4,71. Kedua atribut tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat dengan keberadaan sumber daya alam atau kawasan. Kawasan daerah perlindungan laut memeberikan beberapa manfaat dan membuat masyarakat sangat bergantung dengan konsep bank ikan dari daerah perlindungan laut. DOI: 5

Sumbu Y Setelah Rotasi JEMIS VOL. 4 NO. 1 TAHUN 2016 e-issn 2477-6025 60 40 UP Lokasi yang diteliti 20 Titik Referensi Utama 0-20 52.46992493 BAD GOOD 0 20 40 60 80 100 120 Titik Referensi Tambahan (Anchors) -40-60 DOWN Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Sustainabilitas Gambar 3. Analisis yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan Status keberlanjutan dimensi pengelolaan terdiri dari sepuluh atribut, yaitu: Konflik antar kelompok pengelola, adanya tokoh panutan yang disegani, Ketersediaan aturan adat dan kepercayaan/agama, monitoring ekologi, ketersediaan dana pengelolaan, Ketersediaan SDM untuk pengelolaan (Kuantitas), Tingkat interaksi antara pengelola dengan stakeholders, penegakan hukum, pengawasan kawasan, dan rencana pengelolaan kawasan. Dimensi pengelolaan yang telah di analisis dengan RAPFISH memberi indeks keberlanjutan sebesar 45,789. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi pengelolaan di pesisir Desa Bahoi berada pada kondisi baik sehingga perlu untuk mempertahankan kondisi ini. Jika memungkinkan nilai indeksnya kedepan terus ditingkatkan dengan memperbaiki atributatribut yang memengaruhi penurunan kualitas sosial budaya masyarakat. Atribut yang memberi pengaruh besar terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat dari hasil analisis Leverage, dimana atribut yang memiliki nilai paling besar menunjukkan bahwa atribut tersebut memiliki sensitivitas paling tinggi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa atribut yang paling sensitif pada dimensi sosial budaya terhadap pengelolaan pesisir yaitu: tingkat pengetahuan masyarakat terhadap sumberdaya. Atribut dimensi pengelolaan menunjukan atribut-atribut yang mempengaruhi dalam upaya pengelolaan. Dari hasil analisa menunjukkan atribut ketersediaan dana pengelolaan meruakan atribut dengan nilai tertinggi yaitu 5,18. Rencana pengelolaan kawasan memiliki nilai yang terendah yaitu 1,01. Atribut ketersediaan dana pengelolaan menjadi faktor yang paling sensitif dalam dimensi pengelolaan. Hal tersebut sejalan dengan kondisi di Bahoi dimana belum adanya anggaran yang dapat dijadikan sumber pendaan untuk pengelolaanya. Status Keberlanjutan Status pengelolaan sumberdaya terumbu karang di kawasan PTPW Sabang memiliki nilai indeks 52.469 (Gambar. 3). Ini menjelaskan bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam pengelolaan di kawasan. Untuk meningkatkan indeks dimasa mendatang hingga mencapai nilai 100%, maka perbaikanperbaikan terhadap atribut yang sensitif harus terus di dongkrak bukan hanya pada dimensi ekologi akan tetapi pada dimensi sosial ekonomi juga memerlukan kontrol yang lebih kuat. Nilai indeks tersebut di peroleh dari 20 atribut yang telah diberi bobot dan di analisis dengan menggunakan MDS. Semua atribut yang di lihat memiliki keterkaitan antara satu dengan atribut lainnya. Status keberlanjutan (Gambar. 4) tersebut telah memasukkan atribut dalam aspek ekologi, DOI: 6

Sumbu-y JEMIS VOL. 4 NO. 1 TAHUN 2016 e-issn 2477-6025 yang menjadi peran penting dalam status keberlanjutannya. Keberlanjutan pengelolaan yang memiliki status cukup (Tabel 1) tersebut dipengaruhi oleh nilai indek dimensi ekologi yang rendah. Meskipun kondisi pengelolaanya baik secara keseluruhan, hal utama yang perlu diperbaiki adalah dimensi ekologi, agar keberadaan sumberdaya kembali meningkat. Tabel 1. Kategori status keberlanjutan pengelolaan wisata (Sumber: Susilo, 2003 [4]) No Indeks Keberlanjutan Status 1 2 3 4 0-25 26-50 51-75 76-100 Buruk Kurang Cukup Baik Diagram layang-layang dari tiga dimensi menggambarkan bahwa dimensi ekologi, sosial budaya dan pengelolaan memiliki nilai 61.31, 58.19, dan 45.79. Dari tiga dimensi tersebut, dimensi ekologi dan social budaya memiliki nilai yang paling tinggi, berturut-turut 61.31, dan 58.19. meskipun tinggi nilai tersebut tidak mencapai 75%. Hal ini membuat dimensidimensi tersebut bisa dikatakan tidak dapat berkelanjutan. Diagram layang-layang (Gambar. 5) menjelaskan bahwa pengelolaan yang ada saat ini sudah mampu menunjang keberlanjutan ekologi dan sosial budaya, namun diagram tersebut juga dapat diartikan bahwa pemahaman masyrakat akan keberadaan ekosistem yang menunjang kehidupan mereka menjadi alasan yang cukup kuat sehingga masyarakat juga ikut peduli dengan keberlanjutan dari ekosistem pesisir Desa. 60 40 20 0 0 20 40 60 80 100 120-20 -40-60 Sumbu-X : Skala Sustainabilitas Gambar 4. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang inter-kuartil DOI: 7

Attribute JEMIS VOL. 4 NO. 1 TAHUN 2016 e-issn 2477-6025 Ekologi 80 60 40 20 0 Pengelolaan Sosial dan Budaya Gambar 5. Diagram layang nilai indeks keberlanjutan Konflik antar keleompok pengelola 52.4127111 Adanya tokoh panutan yang disegani 52.45816088 Ketersediaan aturan adat dan 51.70835432 Monitoring ekologi 52.37172993 Ketersediaan dana pengelolaan 52.32252835 Ketersediaan SDM untuk pengelolaan 52.27262425 Tingkat interaksi pengelola dengan 1.514232665 Penegakan hukum 1.671455402 Pengawasan kawasan 1.791400897 Rencana pengelolaan kawasan 0.327903752 Tingkat Kepatuhan masyarakat 0.329002377 Pemahaman ditingkat lokal terhadap 0.288623812 Tingkat ketergantungan masyarakat 1.626296993 Tingkat pengetahuan masyarakat 1.653877286 Tingkat partisipasi masyarakat 0.240848539 Tingkat dukungan masyarakat terhadap 0.243927 Tingkat pendidikan 1.747703544 Pendapatan Masyarakat 0.188156132 Objek biota 1.369491597 Kondisi Perairan 1.259639763 Pasang Surut 0.057212829 Curah hujan dan Tinggi gelombang 0.011764526 Kelimpahan ikan karang 0.761569982 Keanekaragaman Jenis Mangrove 0.098194124 Kerapatan Mangrove 0.147396086 Tingkat tutupan Terumbu karang (%) 0.197299954 0 10 20 30 40 50 60 Gambar 6. Analisis Leverage Multidimensi DOI: 8

Bahoi. Sangat bergantungnya mesayarakat terhadap sumberdaya laut, menjadi dorongan untuk merubah pola pikir yang merusak lingkungan menjadi pola pikir yang menjaga lingkungan. Adanya sanksi sosial atau sanksi adat juga menjadi factor pendukung untuk keberlanjutan sumberdaya pesisir Desa Bahoi. Tabel 2. Nilai dari masing-masing dimensi No Dimensi Nilai 1 2 3 Dimensi Ekologi Dimensi Sosial dan Budaya Dimensi Pengelolaan 61,32 58,20 45,79 Analisis multidimensional scaling pada Tabel menunjukan nilai keberlanjutan pada masing-masing dimensi. Dimana dari tiga dimensi tersebut memiliki nilai dibawah 75% yang berarti perlu adanya perbaikan dari semua dimensi. Nilai-nilai dari masing-masing dimensi sejalan dengan kegiatan masa lalu dari masyarakat terkait kegiatan di wilayah pesisir Desa Bahoi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100 %. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75 % maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75 % maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan dari system pengelolaan berbasis masyarakat masih perlu adanya pendampingan. Dimana baik dari sisi ekologi, social budaya, dan sisi pengelolaan perlu lebih adanya pendampingan. Untuk dimensi ekologi, ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam dan kawasan seharusnya menjadi pemicu masyarakat untuk tetap menjaga guna tetap terjadi keberlanjutan dari dimensi ekologi. Pembangunan dan pengelolaan berkelanjutan membutuhkan integrasi dari dua komponenbiofisik, termasuk lingkungan hidup dan prasarana, serta sosial-ekonomi, isu-isu yang berkaitan dengan sikap lokal, persepsi dan perubahan kualitas hidup akibat dampak wisata. Keduanya memiliki batas alam dalam kegiatan wisata, jika melebihi batas ini melalui pembangunan yang tidak direncanakan pasti akan mengarah terhadap degradasi lingkungan atau konflik sosial. 4. Penutup Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan pesisir Desa Bahoi termasuk kategori cukup berkelanjutan. Untuk meningkatkan keberlanjutan peneglolaan perlu dibuat beberapa kebijakan dan sosialisasi yang dapat meningkatkan upaya pengelolaan pesisir Desa Bahoi. Kebijakan bisa berupa pembuatan sanksi yang lebih tegas terhadap pelanggaran aturan-aturan desa terhadap pengelolaan pesisir. Sosialisasi dapat berupa pengenalan pentingnya menjaga lingkungan. Peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya melakukan pengawasan menjadi salah satu cara. Masyarakat menjadi kunci dari pengelolaan, dimana komponen sosial menjadi faktor penunjang bagi keberlangsungan ekologi. Kebijakan yang berlaku di masyarakat dapat diperkuat dengan menjadikan pengelolaan pesisir kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Dengan memasukan regulasi pengelolaan pesisir kedalam RPJMDes menjadikan peneglolaan yang sudah berlangsung menjadi lebih kuat ditingkat masyarakat. Dan sebagai acuan ketingkatan pemerintah di atasnya. Daftar Pustaka [1] Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat A, Harteti S, Kusharjani, Ho Sang Kang. (2010), Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu, Edisi III Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEM-KOREA International, Bogor. [2] Tebay S. (2004), Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat di Taman Wisata Teluk Youtefa Jayapura Papua, Tesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [3] Putera FHA, A Fahrudin, Niken TM Pratiwi, and SB Susilo. (2013), Kajian Kenerlanjutan Pengelolan Wisata Pantai di Pantai Pasir Putih Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan, J Kepariwisataan Indonesia Vol. 8(3), hlm 241-254. [4] Susilo BS. (2003), Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kepulaun Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. DOI: 9

[5] Dahuri, Rokhmin. (2003), Keankaragaman hayati laut: Aset Pembangunan berkelanjutan Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. [6] Bengen, D. G. (2003), Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian Sumbrdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [7] Pomeroy SR, Park EJ, Watson ML. (2005), How Is Your MPA Doing? A Methodology For Evaluating the Management Effekctiveness of Marine Protected Area, Ocean and Coastal Management Vol. 48(2005), hlm 485-502. [8] Solarbesain S. (2009), Pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil untuk ekowisata bahari berbasis kesesuaian dan daya dukung. Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku, Tesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [9] Bengen, D. G. (2002), Pedoman Teknis Pengenalan Dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Pantai, Cetakan ke-2. IPB, Bogor. [10] Fauzi A, Anna S. (2002), Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan RAPFISH (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta), J Pesisir dan Lautan Vol. 4(3), hlm 43-55. [11] Alder J, D Zeller, T Pitcher, and R Sumaila. (2000), A method for evaluating marine protected area management, Coastal Management No. 30, hlm 121-131. [12] Susilo BS. (2005), Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kepulaun Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, MARITEK Vol 5, hlm 85-110. DOI: 10