HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

Daftar pertanyaan yang diambil dari Quesioner Riskesdas No Kode Quesioner Pertanyaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

METODE PENELITIAN Data yang Digunakan

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Kondisi Geografis dan Profil Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta. Gambar 4.1

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB I PENDAHULUAN. Visi pembangunan bidang kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010, diharapkan

HUBUNGAN STATUS GIZI BERDASARKAN INDEKS ANTROPOMETRI TUNGGAL DAN ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2007 YEKTI WIDODO & TIM

BAB I PENDAHULUAN. mikro disebabkan karena kurangnya asupan vitamin dan mineral essensial

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan oleh pita warna hijau muda sampai hijau tua.

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. http ://digilip.unimus.ac.id

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terpadu kepada masyarakat dalam upaya untuk mengatasi masalah kesehatan serta

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

Transkripsi:

30 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Geografi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa Yogyakarta di bagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di bagian timur laut, tenggara, barat, dan barat laut dibatasi oleh wilayah provinsi Jawa Tengah yang meliputi: Kabupaten Klaten di sebelah Timur Laut, Kabupaten Wonogiri di sebelah Tenggara, Kabupaten Purworejo di sebelah Barat, Kabupaten Magelang di sebelah Barat Laut (BPS 2007) Posisi DI Yogyakarta yang terletak antara 7 33-8 12 Lintang Selatan dan 110 00-110 50 Bujur Timur, tercatat memiliki luas 3 185.80 km² atau 0.17 persen dari luas Indonesia (1 860 359.67 km²), merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan informasi dari Badan Pertanahan Nasional, dari 3 185.80 km² luas DIY sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada ketinggian antara 100m 499m dari permukaan laut tercatat sebesar 65.65%, ketinggian kurang dari 100 m sebesar 28.84%, ketinggian antara 500m 999m sebesar 5.04% dan ketinggian di atas 1000 m sebesar 0.47%. Posisi geografis Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores, sebelah Selatan dengan lautan Hindia, sebelah Timur dengan Negara Timor Lorosae dan Laut Timor dan sebelah Barat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kedudukan Astronomis terletak pada 80-120 Lintang Selatan dan 1180-1250 Bujur Timur. Selanjutnya Nusa Tenggara Timur memiliki kondisi geografis yang bervariasi, seperti Pulau Flores, Alor, Komodo, Solor, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya di jalur utara terbentuk secara vulkanik. Sedangkan Pulau Sumba, Sabu, Rote, Semau, Timor dan pulau-pulau sekitarnya di selatan merupakan daerah karang, karena terbentuk dari dasar laut yang terangkat ke permukaan (BPS 2007) Dengan kondisi seperti ini maka pulau-pulau yang terletak pada jalur vulkanik dapat dikategorikan sebagai daerah yang subur, sedangkan daerah karang pada umumnya kurang subur. Wilayah administratif Pemerintah Provinsi NTT telah berkembang dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan

31 kependudukan. Provinsi NTT terdiri dari 19 Kabupaten, 1 Kota, 273 Kecamatan dan 2796 Desa/Kelurahan. Luas wilayah masing-masing kabupaten cukup bervariasi, dimana Kabupaten Sumba Timur memiliki luas terbesar yaitu 7 000.50 km2 dan yang terkecil adalah Kota Kupang dengan luas 160.34 km2. Propinsi Sumatera Selatan terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa pada 10-40 derajat lintang Selatan dan 102-108 derajat Bujur Timur dengan luas wilayah 8 701 742 ha. Bagian daratan propinsi ini berbatasan dengan Propinsi Jambi di sebelah Utara, Propinsi Lampung di Selatan dan Propinsi Bengkulu di bagian Barat. Sedang di bagian Timur berbatasan dengan Pulau Bangka dan Belitung. Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya karena wilayah ini dalam abad 712 Masehi merupakan pusat kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Indonesia yang berpengaruh sampai ke Formosa dan Cina di Asia serta Madagaskar di Afrika (Profil Sumsel 2007). Disamping itu, Sumatra Selatan sering pula disebut sebagai Daerah Batanghari Sembilan karena di kawasan ini terdapat 9 sungai besar yang dapat dilayari sampai jauh ke hulu, yakni: sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko dan Lalan serta puluhan lagi cabang-cabangnya. Wilayah ini beriklim tropis dan basah. Sepanjang tahun propinsi ini hanya dipengaruhi oleh dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Suhu udaranya bervariasi antara 24.7 o C sampai 32.9 o C dengan tingkat kelembaban udara berkisar antara 82% sampai 88%. Demografi Berdasarkan hasil Hasil Proyeksi SUPAS 2005, tahun 2007 jumlah penduduk Provinsi DI Yogyakarta tercatat 3 434 534 jiwa, dengan persentase jumlah penduduk laki-laki 50.16% dan penduduk perempuan 49.84%. Menurut daerah, persentase penduduk kota mencapai 60.57% dan penduduk desa mencapai 39.31% (Susenas 2007). Pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 sebesar 1.01% relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta memiliki angka pertumbuhan di atas angka provinsi, masing-masing sebesar 1.46 persen, 1.34 persen dan 1.32 persen. Dengan luas wilayah 3 185.80 km2, kepadatan penduduk di DI Yogyakarta tercatat 1.079 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta yakni 13.881 jiwa per km2 dengan luas wilayah hanya sekitar 1

32 persen dari luas Provinsi DI Yogyakarta. Sedangkan Kabupaten Gunung Kidul yang memiliki wilayah terluas mencapai 46.63% memiliki kepadatan penduduk terendah yang dihuni rata-rata 461 jiwa per km2 (BPS 2007). Tabel 2 Sebaran penduduk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin Daerah Istimewa Yogyakarta Laki-laki % Perempuan % Jumlah % 0-4 108 200 52 100 900 48 209 100 100 4-9 102 600 51 97 900 49 200 500 100 Kelompok Umur 10-14 116 600 51 111 000 49 227 600 100 15-19 141 100 52 130 900 48 272 000 100 20-24 179 400 53 159 900 47 339 300 100 25-29 197 000 54 171 000 46 368 000 100 30-34 161 800 52 150 900 48 312 700 100 35-39 126 400 49 131 900 51 258 300 100 40-44 119 100 48 128 000 52 247 100 100 45-49 109 900 49 115 000 51 224 900 100 50-54 92 700 49 95 000 51 187 700 100 55-59 71 400 48 76 100 52 147 500 100 60-64 56 300 46 65 000 54 121 300 100 65-69 50 200 46 59 000 54 109 200 100 70-74 40 900 44 51 100 56 92 000 100 75+ 49 200 42 68 100 58 117 300 100 Jumlah 1 722 800 50 1 711 700 50 3 434 500 100 Sumber BPS tahun 2007 Komposisi kelompok umur penduduk DI Yogyakarta didominasi oleh kelompok usia dewasa yaitu umur 25-29 tahun sebesar 10.71 persen. Kelompok umur 0-24 tahun tercatat 36.35%, kelompok umur 25-59 tahun 50.84%, dan lanjut usia yaitu umur 60 tahun ke atas sebesar 12.81%. Besarnya proporsi mereka yang berusia lanjut mengisyaratkan tingginya usia harapan hidup penduduk DI Yogyakarta. Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2007 berjumlah 7 019 964 jiwa yang terdiri dari 3 571 271 penduduk laki-laki dan 3 448 693 penduduk perempuan. Penduduk Sumatera Selatan bertambah dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 1.74% pertahun. Tingkat kepadatan penduduk provinsi Sumatera Selatan sekitar 80.67 km 2. Dari 14 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi sebesar 3 729.52 orang

33 per km 2. Sedangkan kepadatan penduduk paling kecil adalah Kabupaten Musi Banyuasin yaitu 34.39 orang per km 2. Tabel 3 Sebaran penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut kelompok umur dan jenis kelamin Sumatera Selatan Laki-laki % Perempuan % Jumlah % 0-4 406 265 51 384 294 49 790 559 100 4-9 355 177 52 328 064 48 683 181 100 Kelompok Umur 10-14 381 532 52 354 448 48 735 980 100 15-19 371 115 53 333 996 47 705 111 100 20-24 319 789 51 308 258 49 628 047 100 25-29 303 929 49 319 078 51 623 007 100 30-34 266 372 49 275 893 51 542 265 100 35-39 271 913 51 257 567 49 529 480 100 40-44 234 743 50 236 291 50 471 034 100 45-49 204 783 50 204 730 50 409 513 100 50-54 174 228 52 161 551 48 335 779 100 55-59 112 953 54 95 022 46 207 975 100 60-64 232 238 48 252 106 52 484 344 100 Jumlah 3 635 037 51 3 511 298 49 7 146 275 Sumber BPS tahun 2007 Penduduk Sumatera Selatan menurut kelompok umur menunjukkan bahwa 29.68% berusia muda (0-14 tahun), 63.42% berusia produktif (umur 15-59 tahun) dan hanya 6.9% yang berumur 60 tahun lebih. Untuk Provinsi NTT berdasarkan data dari BPS jumlah penduduk tahun 2007 sebanyak 4 448 873 jiwa yang tersebar di seluruh NTT, dengan tingkat kepadatan 93.96 jiwa per km² dan angka pertumbuhan penduduk sebesar 2.10%. Kabupaten/Kota pada tahun 2007 yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah Kota Kupang, yaitu sebesar 1 785.57 jiwa per km² dan Kabupaten Belu sebesar 170.92 jiwa per km². Kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Sumba Timur, yaitu sebesar 31.87 jiwa per km², disusul Kabupaten Alor dan Kabupaten Kupang, masing-masing sebesar 62.47 jiwa per km² dan 68.24 jiwa per km². Tabel 4 Sebaran penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut kelompok umur dan jenis kelamin Kelompok Umur Nusa Tenggara Timur Laki-laki % Perempuan % Jumlah %

34 0-4 258 800 51 246 300 49 505 100 100 4-9 241 300 51 229 300 49 470 600 100 10-14 261 300 51 250 300 49 511 600 100 15-19 248 200 52 233 300 48 481 500 100 20-24 209 600 51 203 300 49 412 900 100 25-29 173 000 49 183 200 51 356 200 100 30-34 144 800 46 167 200 54 312 000 100 35-39 134 600 47 151 200 53 285 800 100 40-44 125 500 48 134 100 52 259 600 100 45-49 110 200 49 113 200 51 223 400 100 50-54 88 200 49 90 100 51 178 300 100 55-59 68 100 49 71 100 51 139 200 100 60-64 52 000 49 55 100 51 107 100 100 65-69 40 000 48 43 000 52 83 000 100 70-74 28 800 47 32 100 53 60 900 100 75+ 28 600 46 33 100 54 61 700 100 Jumlah 2 213 000 50 2 235 900 50 4 448 900 100 Sumber BPS tahun 2007 Sebaran penduduk NTT menurut kelompok umur, menunjukkan bahwa penduduk yang berusia muda (0-14 tahun) sebesar 33.43%, yang berusia produktif (15-64 tahun) sebesar 61.95% dan yang berusia tua ( 65 tahun) sebesar 4.62%. Pendidikan Sumber daya manusia akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Dari data Susenas 2007 data pendidikan disajikan dalam data tingkat pendidikan penduduk. Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki penduduk merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formal. Semakin tinggi ijazah/sttb yang dimiliki oleh rata-rata penduduk suatu negara mencerminkan semakin tingginya taraf intelektualitas bangsa dan negara tersebut. Di Provinsi DI Yogyakarta, pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk umur 10 tahun keatas terbanyak adalah tamat SD (23.81%), sedang penduduk yang tamat SMU ke atas 31.04%. Bila dilihat menurut Kab/Kota, jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan terbanyak adalah SD, kecuali di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta pendidikan tertinggi yang ditamatkan terbanyak adalah SMU masing-masing sebanyak 23.92% dan 32.96% laporan Riskesdas DIY (2007)

35 Di NTT tahun 2006, persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang tidak/belum memiliki ijazah/surat tanda tamat belajar (STTB) sebanyak 42.04%. Sedangkan yang sudah memiliki ijazah terdiri atas tamatan SD/MI (32.27%), tamat SLTP/MTs (11.59%), tamat SMU/SMK (11.28%), dan tamat Diploma I sampai dengan Universitas (2.90%). Dengan demikian maka persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang memiliki ijazah SMU/SMK atau pendidikan yang lebih tinggi (14.18%). Kabupaten/kota dengan persentase tertinggi penduduknya berpendidikan SMU/SMK atau lebih tinggi adalah Kota Kupang (43.10%) dan Ende (15.77%). Sedangkan yang terendah di Kabupaten Timor Tengah Selatan (7.01%) dan Timor Tengah Utara (7.76%). Dilihat dari jenis kelamin, ijazah/sttb yang dimiliki oleh penduduk laki-laki lebih baik bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk yang mempunyai ijazah SMU/SMK atau lebih tinggi pada laki-laki sebesar 15.84% dan pada perempuan sebesar 12.28% (BPS 2007). Di Sumatera Selatan penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum memiliki ijazah sebesar 21.43%, tamat SD/MI sederajat sebesar 27.23%, SLTP/MTs sederajat sebesar 14.49%, SMU/SMA sederajat sebesar 14.3%, Diploma hingga Perguruan Tinggi sebesar 3.27%. Dilihat dari jenis kelamin, ijazah/sttb yang dimiliki oleh penduduk laki-laki masih lebih baik bila dibandingkan yang dimiliki perempuan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk yang mempunyai ijazah SMU/SMK atau lebih tinggi pada laki-laki sebesar 8.1% dan pada perempuan sebesar 6.28% (BPS 2007). Keadaan Kesehatan di Wilayah Penelitian Sarana pelayanan kesehatan merupakan ujung tombak pelayanan yang sangat penting mendapat perhatian dalam menjaga kesehatan masyarakat. Di Provinsi Sumatera Selatan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia ada 40 RSU/RSUD, 265 puskesmas, 920 puskesmas pembantu, 1 713 poskesdes, 6 289 poyandu. Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 277 puskesmas, 5 306 posyandu, 1 499 polindes. Dan yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur 253 puskesmas, 866 pustu, 19 566 posyandu dan 1 051 polindes sumber Pusdatin-Depkes (2007).

36 Data prevalensi penyakit ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare yang diderita oleh batita di ketiga wilayah penelitian dari data Riskesdas 2007. Tabel 5 Prevalensi ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare menurut karakteristik umur Kelompok Umur (th) DIY < 1 1-4 Sumsel < 1 1-4 NTT < 1 1-4 Nasional < 1 1-4 ISPA Pneumonia TB Paru Campak Diare D DG D DG D DG D DG D DG 35.5 48.3 16.2 19.4 57.1 58.3 20.4 21.3 28.4 33.4 22.9 20.4 3.9 2.7 1.4 1.2 4.6 5.9 0.7 0.7 2.1 1.9 21.1 19.9-3.6 0.5 0.2-0.7-2.2 0.5 0.3-0.1 2.0 1.6 2.4 1.9 2.1 2.9 14.9 16.1 35.92 42.53 0.76 1.00 2.20 3.02 0.17 0.38 0.47 0.76 1.81 2.36 Sumber Riskesdas Nasional, DI Yogyakarta, Sumsel dan NTT 2007 1.3 0.7 3.1 2.2 1.5 1.1 2.44 3.41 7.2 4.0 17.7 14.7 14.0 13.6 16.5 16.7 50.0 54.8 69.9 67.1 59.8 67.0 52.8 55.5 Keadaan kesehatan di ketiga wilayah penelitian dilihat dari prevalensi kejadian 5 penyakit (ISPA, Pneumonia, Diare, Campak dan TB Paru) adalah prevalensi kejadian ISPA (diagnosa) tertinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur 57.1% untuk anak < 1 tahun dan 58.3% untuk anak umur 1-4 tahun. Sedangkan untuk ISPA (dengan gejala) tertinggi di provinsi Sumatera Selatan terdapat 28.4% pada anak < 1 tahun dan 33.4% pada anak 1-4 tahun. Prevalensi kejadian Pneumonia diagnosa dan dengan gejala juga tertinggi terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk penyakit TB Paru baik diagnosa maupun dengan gejala tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta, akan tetapi kasus untu anak <1 tahun hanya terdapat di Nusa Tenggara Timur. Penyakit Campak (diagnosa) tertinggi di Nusa Tenggara Timur, tetapi untuk Campak dengan gejala tertinggi di Sumatera Selatan. Prevalensi Diare diagnosa dan dengan gejala untuk anak <1 tahun tertinggi di Sumatera Selatan dibandingkan dengan ke dua provinsi yang lain. Status Gizi Batita Penilaian status gizi anak dinilai dari berat badan dan panjang atau tinggi badan serta umur kemudian dikonversikan ke dalam bentuk nilai standar z-score

37 berdasarkan standar baku WHO (2006). Pengukuran status gizi menggunakan indikator BB/U, BB/TB dan TB/U. Indikator BB/U dan BB/TB digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang, sedangkan indikator TB/U digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lalu. Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Pada kondisi dengan adanya penyakit infeksi dan kurang gizi berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya sehingga anak menjadi kurus. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai z- score < -3,0 SD. Selanjutnya digunakan masalah kurus dengan istilah wasting untuk gabungan kategori sangat kurus dan kurus. Besarnya masalah wasting pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public health problem) adalah jika prevalensi wasting 10,1% s/d 15,0% sudah dianggap serius, dan dianggap kritis bila prevalensi wasting sudah > 15,0% (UNHCR). Rata-rata z-score status gizi batita contoh dengan indikator BB/TB adalah -0.36 ± 2.2 SD. Tabel 6 Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/TB di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur Provinsi DIY Sumsel NTT Status Gizi Batita berdasarkan Indikator BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Jumlah n % n % n % n % n % 6 3.1 13 6.7 150 76.9 26 13.3 195 100 96 13.7 43 6.1 412 58.7 151 21.5 702 100 108 13.1 85 10.3 562 68 72 8.7 827 100 Total 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.1 1724 100 Tabel 6 menyajikan prevalensi status gizi batita berdasarkan indikator BB/TB di ketiga wilayah penelitian. Prevalensi wasting tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu 23.4% dan Sumatera Selatan yaitu 19.8% merupakan masalah gizi kronis yang sangat kritis (>15%), dan terendah di Provinsi DI yogyakarta (9.8%) termasuk masalah gizi sedang. Pada penelitian ini diperoleh hasil prevalensi wasting adalah 20.4%, sedangkan prevalensi nasional 19.8%. Hal

38 ini menunjukkaan bahwa masalah wasting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kritis pada batita. Tabel 7 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/TB Karakteristik Keluarga Pendidikan Ibu Indikator BB/TB Sangat Jumlah Kurus Normal Gemuk Kurus n % n % n % n % n % -Tidak Sekolah 6 0.3 5 0.3 42 2.4 5 0.3 58 3.4 -Tidak Tamat SD 38 2.2 25 1.5 197 11.4 41 2.4 301 17.5 -Tamat SD 90 5.2 66 3.8 479 27.8 83 4.8 718 41.6 -Tamat SMP 38 2.2 20 1.2 196 11.4 61 3.5 315 18.3 -Tamat SMA 31 1.8 24 1.4 196 11.4 53 3.1 304 17.6 -Tamat PT 7 0.4 1 0.1 14 0.8 6 0.3 28 1.6 Umur Ibu Jumlah 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100 16-25 tahun 62 3.6 35 2.0 302 17.5 76 4.4 475 27.6 26-40 tahun 133 7.7 97 5.6 746 43.3 153 8.9 1129 65.5 >40 tahun 15 0.9 9 0.5 76 4.4 20 1.2 120 7.0 Jumlah 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100 Jumlah anggota < 4 orang 63 3.7 44 2.6 388 22.5 83 4.8 578 33.5 5-7 orang 107 6.2 83 4.8 599 34.7 131 7.6 920 53.4 >7 orang 40 2.3 14 0.8 137 7.9 35 2.0 226 13.1 Jumlah 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100 Berdasarkan Tabel 7, ibu yang berpendidikan formal tertinggi hanya tamat SD (41.6%) dari tabulasi silang memiliki batita yang berstatus gizi wasting dan status gizi gemuk terbanyak yaitu sebesar 9% dan 4.8%. Hasil analisis statistik moment pearson correlation test diperoleh nilai p < 0.05 yang menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu mempunyai hubungan yang positif dengan status gizi batita indikator BB/TB (r=0.083, p=0.001). Ini memperlihatkan bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki ibu untuk meningkatkan kemampuan dalam pengasuhan anak, di mana pengasuhan adalah suatu proses, baik atau rendahnyanya kualitas pola asuh salah satunya ditentukan oleh pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki ibu, sehingga hasilnya dapat dilihat dari baik buruknya status gizi anaknya. Semakin lama masa pendidikan ibu maka status gizi anaknya cendrung baik.

39 Ibu yang berumur 26-40 tahun (65.5%) dari tabulasi silang memiliki batita dengan status gizi wasting dan gemuk terbanyak yaitu sebesar 13.3% dan 8.9% dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan status gizi batita indikator BB/TB. Keluarga batita dengan jumlah anggota 5-7 orang (53.4%) dari tabulasi silang terbanyak memiliki batita dengan status gizi wasting dan gemuk yaitu sebesar 11% dan 7.6%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis statistik moment pearson correlation test didapat nilai p<0.05 (r=-0.047, p=0.049) yang berarti terdapat korelasi negatif antara status gizi indikator BB/TB dengan jumlah anggota keluarga. Logikanya dengan jumlah anggota yang banyak akan mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi akan semakin sedikit, jika makanan yang dikonsumsi tidak sesuai atau kurang dari kebutuhan maka dalam jangka panjang hal ini dapat mengakibatkan kurang gizi pada batita. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suhardjo (1989) dan Sanjur (1982) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan jumlah anggota keluarga dengan status gizi anak. Tabel 8 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi berdasarkan indikator BB/TB Penyakit Infeksi Indikator BB/TB Sangat Jumlah Kurus Normal Gemuk Kurus n % n % n % n % n % - Pernah Infeksi - Tidak Infeksi 114 96 6.6 5.6 82 59 4.8 3.4 452 672 39 26.2 128 121 7.4 7.0 996 728 57.8 42.2 Total 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100 Sebaran batita dengan status gizi BB/TB berdasarkan infeksi penyakit disajikan pada Tabel 8. Prevalensi wasting pada batita yang didiagnosa atau mengalami gejala penyakit infeksi terdapat sebanyak 13.4%. Berdasarkan uji statistik terdapat korelasi negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita indikator BB/TB (r=-0.061 p=0.011) yang berarti bahwa batita yang mengalami penyakit infeksi lebih dari satu penyakit cendrung mengalami status gizi wasting dibandingkan dengan batita yang hanya mengalami satu penyakit. Hasil penelitian

40 ini sejalan dengan pendapat Moehyi (1996) yang menyatakan bahwa status gizi anak mempunyai hubungan yang timbal balik dengan penyakit infeksi. Anak yang terinfeksi penyakit biasanya akan mempengaruhi status gizinya. Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Indikator BB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya umum dan tidak spesifik. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator gizi buruk yaitu anak dengan nilai z-score < -3,0 SD. Selanjutnya digunakan masalah kurang gizi dengan istilah underweight untuk gabungan kategori gizi buruk dan gizi kurang. Besarnya masalah kurang gizi pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public health problem) adalah jika prevalensi underweight <10% (rendah), 10-19.9% (sedang), 20-29.9% (tinggi) dan sangat tinggi jika >30% (WHO 1995). Tabel 9 Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/U di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur Provinsi DIY Sumsel NTT Status Gizi Batita berdasarkan Indikator BB/U Jumlah Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % n % 20 140 225 10.3 19.9 27.2 38 104 184 19.5 14.8 22.2 116 302 312 59.5 43 37.7 21 156 106 10.8 22.2 12.8 195 702 827 100 100 100 Total 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100 Rata-rata z-score status gizi batita dengan indikator BB/U adalah -0.88 ± 2.8 SD. Masalah kurang gizi pada batita sangat rawan sekali ini terlihat dari tingginya angka prevalensi di ke tiga wilayah penelitan. Prevalensi underweight berturutturut di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta yaitu 49.4% (sangat tinggi), 34.7% (tinggi) dan 19.8% (sedang). Prevalensi underweight hasil penelitian ini adalah 41.2%, hal ini menunjukkaan bahwa masalah underweight merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi pada anak batita (Tabel 9).

41 Tabel 10 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/U Indikator BB/U Karakteristik Jumlah Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi lebih Keluarga n % n % n % n % n % Pendidikan Ibu -Tidak Sekolah 12 0.7 7 0.4 30 1.7 9 0.5 58 3.4 -Tidak Tamat SD 73 4.2 55 3.2 120 7.0 53 3.1 301 1.5 -Tamat SD 184 10.7 160 9.3 270 15.7 104 6.0 718 41.6 -Tamat SMP 62 3.6 50 2.9 147 8.5 56 3.2 315 18.3 -Tamat SMA 49 2.8 51 3.0 147 8.5 57 3.3 304 17.6 -Tamat PT 5 0.3 3 0.2 16 0.9 4 0.2 28 1.6 Umur Ibu Jumlah 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100 16-25 tahun 107 6.2 78 4.5 203 11.8 87 5.0 475 27.6 26-40 tahun 244 14.2 234 13.6 480 27.8 171 9.9 1129 65.5 >40 tahun 34 2.0 14 0.8 47 2.7 25 1.5 120 7.0 Jumlah 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100 Jumlah anggota < 4 orang 118 6.8 113 6.6 251 14.6 96 5.6 578 33.5 5-7 orang 206 11.9 176 10.2 391 22.7 147 8.5 920 53.4 >7 orang 61 3.5 37 2.1 88 5.1 40 2.3 226 13.1 Jumlah 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100 Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebaran batita berdasarkan lama pendidikan ibu dari tabulasi silang adalah ibu batita yang berpendidikan hanya tamat SD (41.6%) mempunyai 20% batita yang berstatus gizi underweight dan status gizi lebih (6.0%). Hasil uji statistik moment pearson correlation test memperlihatkan hubungan yang positif antara status gizi batita indikator BB/U dengan lama pendidikan ibu p<0.05 (r=0.062, p=0.010). Semakin lama ibu mendapatkan pendidikan maka status gizi anaknya cendrung baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Soekirman (1990); Amine et al.(1996); Madanijah (2003); Leslie (1985) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi anak. Dilihat dari tabulasi silang, ibu yang berumur 26-40 tahun (65.5%) mempunyai batita dengan status gizi underweight dan gizi lebih terbanyak yaitu sebesar 27.8% dan 9.9%, dengan uji ststistik korelasi pearson didapat hasil tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U dengan

42 umur ibu (p>0.05). Dari 53.4% rumah tangga batita dengan jumlah anggota 5-7 orang mempunyai batita dengan status gizi underweight dan gemuk terbanyak berturut-turut sebesar 22.1% dan 8.5%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil analisis statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U dengan jumlah anggota keluarga. Tabel 11 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator BB/U Penyakit Infeksi Indikator BB/U Jumlah Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih n % n % n % n % n % - Pernah Infeksi - Tidak Infeksi 221 164 12.8 9.5 206 120 11.9 7 426 304 24.7 17.6 143 140 8.3 8.1 996 728 57.8 42.2 Total 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100 Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa hasil tabulasi silang prevalensi underweight pada kelompok batita yang pernah menderita penyakit infeksi adalah sebesar 24.7%. Dari analisis statistik diperoleh hasil r=-0.061 p=0.011, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita indikator BB/U. Artinya semakin banyak penyakit infeksi yang diderita batita maka status gizinya akan cendrung underweight. Hal ini didukung oleh pendapat Scrimshaw (1986) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh karena dapat menurunkan nafsu makan sehingga konsumsi makanan menurun. Lebih lanjut infeksi membuat ketidakseimbangan hormon dan mengganggu fungsi imunitas sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Status gizi berdasarkan indikator TB/U merupakan gambaran status gizi dalam jangka waktu yang lama (kronis), artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku, pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Status gizi sangat pendek dan pendek dalam pembahasan selanjutnya disebut stunting. Prevalensi stunting merupakan masalah kesehatan

43 masyarakat jika < 20% (rendah), 20-29.9% (sedang), 30-39.9% (tinggi/serius) dan > 40% (sangat tinggi/kritis). Rata-rata z-score status gizi indikator TB/U adalah -0.78 ± 1.76 SD. Tabel 12 Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator TB/U di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur Provinsi Status Gizi Batita berdasarkan Indikator TB/U Total Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % n % DIY Sumsel NTT 2 33 78 1 4.7 9.4 20 72 186 10.3 10.3 22.5 173 597 563 88.7 85 68.1 195 702 827 100 100 100 Total 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100 Tabel 12 menyajikan prevalensi status gizi batita berdasarkan indikator TB/U di ketiga provinsi wilayah penelitian. Prevalensi stunting berturut-turut Provinsi Nusa Tenggara Timur 31.9% (tinggi/serius), Sumatera Selatan 15% dan DI Yogyakarta 11.3% termasuk kategori masalah stunting yang rendah. Hasil penelitian ini prevalensi stunting 22.7% (tinggi/serius). Penyebab kejadian stunting terjadi pada saat prenatal dan post natal terutama pada dua tahun pertama (ACC/SCN 1997). Menurut Scmidth et al. (2003), status gizi dan pertumbuhan linier pada bayi hingga usia 12 bulan merupakan determinan dari lingkungan prenatal. Selain itu akan berdampak ketika usia dewasa dengan terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan massa tubuh (Haas et al. 1996) Berdasarkan beberapa studi menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan linier disebabkan karena defisiensi tunggal atau gabungan zat mikro seperti seng, vitamin A, Besi (Allen 1994; Rivera et al. 1998; Muhilal et al. 1988; Angeles et al. 1993). Gangguan Pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997).

44 Tabel 13 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dengan status gizi indikator TB/U Karakteristik Keluarga Pendidikan Ibu Indikator TB/U Sangat Pendek Pendek Normal Jumlah n % n % n % n % -Tidak Sekolah 4 0.2 10 0.6 44 2.6 58 3.4 -Tidak Tamat SD 22 1.3 53 3.1 226 13.1 301 17.5 -Tamat SD 56 3.2 142 8.2 520 30.2 718 41.6 -Tamat SMP 19 1.1 36 2.1 260 15.1 315 18.3 -Tamat SMA 11 0.6 36 2.1 257 14.9 304 17.6 -Tamat PT 1 0.1 1 0.1 26 1.5 28 1.6 Jumlah 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100 Umur Ibu 16-25 tahun 32 1.9 62 3.6 381 22.1 475 27.6 26-40 tahun 73 4.2 195 11.3 861 49.9 1129 65.5 >40 tahun 8 0.5 21 1.2 91 5.3 120 7.0 Jumlah 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100 Jumlah anggota < 4 orang 31 1.8 83 4.8 464 26.9 578 33.5 5-7 orang 66 3.8 151 8.8 703 40.8 920 53.4 >7 orang 16 0.9 44 2.6 166 9.6 226 13.1 Jumlah 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100 Berdasarkan Tabel 13 hasil tabulasi silang, ibu yang berpendidikan formal tamat SD (41.6%) terdapat batita dengan status gizi stunting terbanyak yaitu sebesar 11.4%. Dan hasil uji statistik diperoleh nilai p<0.05 (r=0.140, p=0.000), memperlihatkan bahwa status gizi indikator TB/U terdapat hubungan yang positif dengan lama pendidikan ibu. Di mana tingkat pendidikan ibu memegang peranan penting dalam menentukan pola pengasuhan anak sehingga anak dapat memiliki status gizi yang baik. Pada ibu yang bermur 26-40 tahun Status gizi stunting terbanyak yaitu sebesar 15.5%. Hasil analisis statistik status gizi indikator TB/U memiliki hubungan yang signifikan dengan umur ibu pada α < 10% (r= -0.040, p=0.096) Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hurlock (1999) yang menyatakan semakin dewasa ibu maka akan semakin berpengalaman dalam

45 pengasuhan anak sehingga dapat menjaga kesehatan dan status gizi anak lebih baik, dibandingkan dengan ibu yang umurnya masih muda. Batita yang berstatus gizi stunting terbanyak pada keluarga dengan jumlah anggota 5-7 orang yaitu sebesar 12.6% pada Tabel 13 dapat dilihat lebih jelas dan hasil uji statistik ternyata tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi indikator TB/U dengan jumlah anggota keluarga. Tabel 14 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator TB/U Status Gizi Batita berdasarkan Indikator TB/U Penyakit Infeksi Sangat Pendek Pendek Normal Total n % n % n % n % - Pernah Infeksi - Tidak Infeksi 71 42 4.1 2.4 171 107 9.9 6.2 754 579 43.7 33.6 996 728 57.8 42.2 Total 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100 Tabel 14 menyajikan hasil tabulasi silang prevalensi stunting pada kelompok batita yang pernah menderita penyakit infeksi adalah sebesar 14% lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak terinfeksi. Dari analisis statistik diperoleh hasil r=-0.105 p=0.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita indikator TB/U. Artinya semakin banyak penyakit infeksi yang diderita batita maka status gizinya akan cendrung stunting. Hal ini didukung oleh pendapat Martorell et al. (1994) yang menyatakan bahwa hambatan pertumbuhan linier atau stunting, umumnya terjadi pada usia 2-3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari pengaruhpengaruh yang saling berinteraksi dari energi dan asupan gizi yang buruk serta infeksi penyakit. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan seseorang (Blum 1974). Dengan fasilitas kesehatan, ketanggapan dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik maka diharapkan dapat mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Status gizi merupakan salah satu indikator dari derajat kesehatan, terutama status gizi balita. Dalam penelitian ini pemanfaatan pelayanan kesehatan dilihat hubungannya dengan status gizi pada batita di ketiga wilayah penelitian.

46 Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan kesehatan yang diadakan di setiap sarana pelayanan kesehatan baik yang berbasis masyarakat (posyandu, poskesdes atau POD/WOD) maupun yang dikelola langsung oleh pemerintah (RS, puskesmas, pustu, polindes dan bides) yang terdiri dari penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak (KIA), pengobatan, pemberian makanan tambahan (PMT), suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit. Secara umum berdasarkan pemanfaatan masing-masing jenis pelayanan kesehatan pada batita rata-rata skor pemanfaatan pelayanan kesehatan di Sumsel 2.8 + 2.8 SD, DI Yogyakarta 4.4 + 2.6 SD dan Nusa Tenggara Timur 3.6 + 2.6 SD dan secara keseluruhan rata-rata pemanfaatan pelayanan kesehatan di ketiga wilayah penelitan adalah 3.6 + 2.9 SD, skor tertinggi 8 dan terendah 0. Persentase batita yang memanfaatkan masing-masing pelayanan kesehatan di ketiga wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Persentase rumah tangga batita yang memanfaatkan jenis-jenis pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Jenis Pelayanan Kesehatan Penimbangan Penyuluhan Imunisasi KIA Pengobatan PMT Suplemen Gizi Konsultasi Resiko Penyakit SPM* Ϯ 80 Ϯ 80 100^ 100^ 100^ Ϯ 100 Ϯ 80 Ϯ 80 Sumsel DI Yogyakarta NTT Total GAP Total n % n % n % n % 393 180 332 187 238 529 499 66 56 25.5 47.3 26.6 33.9 75.4 71.1 9.4 Keterangan: *SPM (Standar Pelayanan Minimal) Ϯ n= 1724 174 119 67 75 74 42 127 49 89.2 61 34.4 38.5 37.9 21.5 65.1 25.1 684 414 438 294 376 533 464 140 82.7 50.1 53 35.6 45.5 64.4 56.1 16.9 1251 713 837 556 688 1104 1090 255 72.6 41.4 48.5 32.2 40 64 63.2 14.8 sampai tahun 2010 ^sampai tahun 2015 Berdasarkan Permenkes RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang standar pelayanan minimal (SPM) 2010-2015 di Kabupaten/Kota, maka dapat dilihat bahwa pemanfaatan masing-masing jenis pelayanan kesehatan pada batita di ketiga wilayah penelitian masih jauh untuk mencapai target SPM. GAP tertinggi pada penelitian ini terdapat pada pelayanan kesehatan ibu dan anak (67.7%), sedangkan terendah pada penimbangan (8.4%). Untuk meningkatkan -8.4-38.6-42.5-67.7-60 -36-16.8-65.2

47 pencapaian target pelayanan kesehatan tersebut pemerintah telah membuat program desa siaga dan Poskesdes (pos kesehatan desa) yang melibatkan semua lapisan masyarakat (Depkes 2006) Dengan meliha hasil cakupan pelayanan kesehatan ini, menunjukkan bahwa masyarakat belum termotivasi dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan secara optimal untuk menjaga kesehatan batitanya, sehingga diharapkan peran serta aktif petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan yang baik dan benar tentang keuntungan-keuntungan yang didapat dari pemanfaatan program-program yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan bidan di desa diharapkan dapat digunakan masyarakat sebagai sarana untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak. Pemanfaatan Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan bidan di desa sebagai sarana pelayanan kesehatan yang sederhana dalam masyarakat dapat dilihat dari berapa sering masyarakat tersebut menggunakannya baik untuk usaha untuk pencegahan maupun untuk pengobatan terhadap suatu penyakit, kunjungan ke pelayanan kesehatan oleh masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal maupun eksternal. Tabel 16 Hubungan karakteristik keluarga dan batita dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan ke kesahatan Variabel a Umur ibu (tahun) 0.001 a Lama pendidikan ibu (tahun) 0.058 a Jumlah anggota keluarga -0.014 Penyakit infeksi 0.075 Keterangan: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.01 (2-arah). *Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-arah). a Jumlah contoh (n) = 1724 rumah tangga batita r koefisien korelasi, p signifikansi, n jumlah contoh Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan r p 0.964 0.017* 0.555 0.002** Untuk melihat hubungan variabel karakteristik keluarga dan batita dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan maka digunakan uji statistik moment pearson correlation test. Lama pendidikan ibu berkorelasi positif dengan

48 frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan p < 0.05 (r=0.058, p=0.017) artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan mempengaruhi pengetahuannya tentang kesehatan terutama pola pengasuhan yang baik, hal ini dapat dilihat dari semakin tinggi pendidikan ibu cendrung partisipasinya untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan semakin sering baik untuk usaha pencegahan maupun pengobatan dalam rangka menjaga kesehatan batitanya. Frekuensi kunjungan memiliki hubungan yang signifikan dengan penyakit infeksi yang diderita oleh batita p<0.05 (r=0.075 p=0.002) artinya frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan merupakan upaya rumah tangga dalam rangka memperoleh pelayanan pengobatan untuk kesembuhan penyakit yang diderita oleh batitanya (Tabel 16). Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat masih bersifat kuratif. Masyarakat masih menganut paradigma sakit yaitu mengobati setelah menderita suatu penyakit. Sedangkan misi pelayanan kesehatan adalah paradigma sehat yaitu lebih baik mencegah daripada mengobati, maka sangat diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung usaha sosialisasi misi tersebut terutama untuk masyarakat dengan ekonomi rendah. Tabel 17 Hubungan akses ke pelayanan kesehatan dan ketanggapan pelayanan kesehatan terhadap frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan Variabel Akses terhadap Yankes - Waktu tempuh terdekat (menit) - Jarak tempuh terdekat (m) Ketanggapan pelayanan kesehatan b a Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan r p -0.06-0.202 0.055 Keterangan: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.01 (2-arah). *Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-arah). a Jumlah contoh (n) = 1724 rumah tangga batita b Jumlah contoh (n) = 843 rumah tangga batita r koefisien korelasi, p signifikansi, n jumlah contoh 0,014* 0,000** 0.108 Tabel 17 menyajikan akses ke pelayanan kesehatan (waktu dan jarak tempuh) dan ketanggapan pelayanan kesehatan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan. Dari hasil analisis statistik terdapat korelasi negatif frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan waktu dan jarak tempuh dengan nilai p<0.05 berturut-turut (r=-0.060, p=0.014) dan (r=-0.202, p=0.000) artinya semakin lama waktu dan jarak tempuh ke pelayanan kesehatan maka akan

49 semakin sulit akses ke pelayanan kesehatan sehingga akan menurunkan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan. Sedangkan keberadaan transportasi ke pelayanan kesehatan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan (p>0.05). Hubungan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Frekuensi kunjungan ke Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan bidan di desa merupakan indikator tingkat partisipasi dari masyarakat terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Untuk melihat hubungan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan digunakan uji statistik moment pearson correlation test dan didapatkan hasil (r=0.304, p=0.000) menunjukkan hubungan yang positif. Artinya semakin sering rumah tangga batita memanfaatkan pelayanan kesehatan maka akan semakin mudah mendeteksi masalah gizi dan kesehatannya sehingga akan mudah pula mencegah dan menanggulanginya sejak dini. Hasil ini mendukung pernyataan ibu yang rajin ke pelayanan kesehatan akan dapat mencegah anaknya menjadi kurang gizi (Depkes 2005). Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status gizi Batita Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan seseorang (Blum 1974). Dengan fasilitas kesehatan, ketanggapan dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik maka diharapkan dapat mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Status gizi merupakan salah satu indikator dari derajat kesehatan, terutama status gizi balita. Dalam penelitian ini pemanfaatan pelayanan kesehatan yang terdiri dari: penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pengobatan, pemberian makanan tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit dilihat hubungannya dengan status gizi pada batita. Hubungan frekuensi kunjungan batita ke pelayanan kesehatan khususnya untuk mendapatkan pelayanan penimbangan dilihat dari status gizinya dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara frekuensi penimbangan dengan status gizi batita indikator BB/TB (r=0.043

50 p=0.071), BB/U (r=0.054 p=0.026) dan TB/U (r=0.086 p=0.000). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering batita memanfaatkan pelayanan penimbangan maka akan semakin cepat diketahui permasalahan kesehatannya sehingga dapat menjaga status gizinya agar tetap baik. Tabel 18 Hubungan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/TB Jenis Pelayanan Kesehatan Penimbangan Penyuluhan Imunisasi KIA Pengobatan PMT Suplemen Gizi Konsultasi Resiko Penyakit Indikator BB/TB Sangat Jumlah Kurus Normal Gemuk kurus n % n % n % n % n % 64 146 137 73 107 103 142 68 116 94 60 150 138 72 176 34 3.7 8.5 7.9 4.2 6.2 6.0 8.2 3.9 6.7 5.5 3.5 8.7 8.0 4.2 10.2 2.0 **Signifikan α< 5% *Signifikan α<10% 114 27 72 69 65 76 88 53 73 68 48 93 78 63 119 22 6.6 1.6 4.2 4.0 3.8 4.4 5.1 3.1 4.2 3.9 2.8 5.4 4.5 3.7 6.9 1.3 301 823 649 475 596 528 773 351 693 431 416 708 662 462 962 162 17.5 47.7 37.6 27.6 34.6 30.6 44.8 20.4 40.2 25 24.1 41.1 38.4 26.8 55.8 9.4 81 168 153 96 119 130 165 84 154 95 96 153 153 96 212 37 4.7 9.7 8.9 5.6 6.9 7.5 9.6 4.9 8.9 5.5 5.6 8.9 8.9 5.6 12.3 2.1 473 1251 1011 713 887 837 1168 556 1036 688 620 1104 1031 693 1469 255 27.4 72.6 58.6 41.4 51.5 48.5 67.7 32.3 60.1 39.9 36.0 64.0 59.8 40.2 85.2 14.8 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 18 ternyata status gizi batita indikator Uji Statistik χ 2 =9.328 p=0.025** χ 2 =8.290 p=0.040** χ 2 =4.087 p=0.252 χ 2 =2.630 p=0.452 χ 2 =7.597 p=0.055* χ 2 =6.470 p=0.009** χ 2 =4.895 p=0.180 χ 2 =0.529 p=0.913 BB/TB terdapat hubungan yang signifikan dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan p<0.05 (χ 2 =9.328, p=0.025), penyuluhan (χ 2 =8.290, p=0.040) dan PMT (χ 2 =6.470, p=0.009), serta pelayanan pengobatan (χ 2 =7.597, p=0.055) pada p<0.10. Penimbangan merupakan pemantauan pertumbuhan batita untuk mengetahui masalah gizi secara dini, penyuluhan dapat memberikan tambahan wawasan kepada rumah

51 tangga batita dalam perawatan dan peningkatan status gizi batita, pengobatan adalah usaha yang diberikan pelayanan kesehatan untuk membantu menyembuhkan penyakit infeksi yang diderita batita, sedangkan PMT adalah upaya pelayanan kesehatan dalam rangka membantu perbaikan gizi batita yang mengalami kurang gizi. Dalam penelitian Lutter et al. (2003) PMT dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan pertumbuhan terjadi pada dua periode usia 3-6 bulan, dan periode yang memiliki respon terbesar terhadap makanan tambahan pada usia 9-12 bulan yaitu periode puncak kejadian penyakit Diare. Menurut penelitian di Botswana dan beberapa penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa status gizi dan pemberian makanan tambahan anak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan anak (Gobotswang 1998; Tharakan and Suchindran 1999, Yosnelli 2008). Tabel 19 Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/U di ketiga wilayah penelitian Jenis Pelayanan Kesehatan Penimbangan Penyuluhan Imunisasi KIA Pengobatan PMT Suplemen Gizi Konsultasi Resiko Penyakit Indikator BB/U Jumlah Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % n % 99 286 221 164 191 194 264 121 230 155 141 244 227 158 332 53 *Signifikan pada α < 10% 5.7 16.6 12.8 9.5 11.1 11.3 15.3 7.0 13.3 9.0 8.2 14.2 13.2 9.2 19.3 3.1 74 252 178 148 168 158 222 104 203 123 131 195 181 145 277 49 4.3 14.6 10.3 8.6 9.7 9.2 12.9 6.0 11.8 7.1 7.6 11.3 10.5 8.4 16.1 2.8 215 515 428 302 391 339 493 237 443 287 260 470 446 284 619 111 12.5 29.9 24.8 17.5 22.7 19.7 28.6 13.7 25.7 16.6 15.1 27.3 25.9 16.5 35.9 6.4 85 198 184 99 137 146 189 94 160 123 195 88 177 106 241 42 4.9 11.5 10.7 5.7 7.9 8.5 11.0 5.5 9.3 7.1 11.3 5.1 10.3 6.1 14 2.4 473 1251 1011 713 887 837 1168 556 1036 688 620 1104 1031 693 1469 255 27.4 72.6 58.6 41.4 51.5 48.5 67.7 32.3 60.1 39.9 36.0 64.0 59.8 40.2 85.2 14.8 Uji Statistik χ 2 =6.698 p=0.082* χ 2 =7.182 p=0.066* χ 2 =2.873 p=0.412 χ 2 =0.273 p=0.965 χ 2 =2.263 p=0.520 χ 2 =5.563 p=0.051* χ 2 =3.992 p=0.262 χ 2 =0.436 p=0.933 Pada Tabel 19 dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa status gizi batita indikator BB/U pada α<10% terdapat hubungan yang signifikan dengan pelayanan

52 penimbangan (χ 2 =6.698, p=0.082), penyuluhan (χ 2 =7.187, p=0.066) dan PMT (χ 2 =5.563, p=0.051). Dalam hubungan PMT dengan status gizi underweight menurut Waterlow (1993) bahwa pada kondisi tingkat sirkulasi Insulin-Like Growth Factor (IGF-1) menurun dan akan meningkat dengan cepat apabila tersedia energi dan zat gizi. Tubuh akan mempertahankan tingkat IGF-1 dalam beberapa waktu sebelum menunjukkan hasil pada peningkatan massa otot sebelum pada peningkatan pertumbuhan linier. Dengan kata lain bahwa pemberian makanan tambahan pada batita yang underweight dengan cepat dapat meningkatkan berat badannya tetapi tidak demikian untuk peningkatan tinggi badan. Tabel 20 Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator TB/U di ketiga wilayah penelitian Jenis Pelayanan Kesehatan Penimbangan Penyuluhan Imunisasi KIA Pengobatan PMT Suplemen Gizi Konsultasi Resiko Penyakit Indikator TB/U Jumlah Sangat pendek Pendek Normal n % n % n % n % 27 86 62 51 55 58 72 41 61 52 40 73 58 55 1.6 5.0 3.6 3.0 3.2 3.4 4.2 2.4 3.5 3.0 2.3 4.2 3.4 3.2 96 5.6 17 1.0 **Signifikan α< 5% *Signifikan α< 10% 60 218 153 125 139 139 180 98 173 105 105 173 158 120 241 37 3.5 12.6 8.9 7.3 8.1 8.1 10.4 5.7 10.0 6.1 6.1 10 9.2 7.0 14.0 2.1 386 947 796 537 693 640 916 417 802 531 475 858 815 518 1132 201 22.4 54.9 46.2 31.1 40.2 37.1 53.1 24.2 46.5 30.8 27.6 49.8 47.3 30.0 77.1 78.8 473 1251 1011 713 887 837 1168 556 1036 688 620 1104 1031 693 1469 255 27.4 72.6 58.6 41.4 51.5 48.5 67.7 32.3 60.1 39.9 36.0 64.0 59.8 40.2 85.2 14.8 Pemanfaatan pelayanan penimbangan dan suplemen gizi memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi indikator TB/U. Pelayanan Uji Statistik χ 2 =7.046 p=0.030** χ 2 =2.787 p=0.248 penimbangan signifikan pada α <5% (χ 2 =7.046, p=0.030) dan suplemen gizi χ 2 =0.737 p=0.692 χ 2 =2.558 p=0.278 χ 2 =2.292 p=0.318 χ 2 =0.472 p=0.790 χ 2 =5.387 p=0.068* χ 2 =0.578 p=0.749

53 signifikan pada α <10% (χ 2 =5.387, p=0.068) untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 20. Dari hasil analisis ini suplemen gizi pada batita di pelayanan kesehatan cukup bermanfaat, berdasarkan studi yang menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan linier disebabkan oleh defisiensi tunggal atau gabungan zat mikro seperti seng, vitamin A, Besi (Allen 1994; Rivera et al. 1998; Muhilal et al. 1988; Angeles et al. 1993), maka program suplementasi dapat ditambahkan multivitamin Seng, Calcium, Vitamin D dan Fosfor. Hasil penelitian meta analisis membuktikan bahwa suplementasi Seng, Calcium, Vitamin D dan Fosfor pada balita berhubungan nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan linier (TB/U) pada anak balita (Kenneth HB et al. 2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Batita Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita dalam penelitian ini dianalisis dengan uji statistik regresi linier berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dan pemanfaatan pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai status gizi indikator BB/TB. Meskipun secara umum terdapat faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap nilai keragaman status gizi batita (F=2.711, p=0.019), nilai R 2 =0.005 menunjukkan bahwa hanya 0.5% yang dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan faktor-faktor tersebut, selebihnya dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain (Tabel 21). Menurut Suhardjo (1989) besarnya jumlah keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah anggota keluarga semakin banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak pula. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masingmasing anggota keluarga. Tabel 21 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/TB di ketiga wilayah penelitian Variabel Independen β t Sig X3 Jumlah anggota keluarga -0.044-2.132 0.03 X5 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan 0.045 2.209 0.027 Keterangan: R 2 = 0.005 F = 2.711 (p=0.019)

54 Hasil uji statistik regresi linier berganda untuk faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi batita di ketiga wilayah indikator BB/U menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu, penyakit infeksi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai status gizi indikator BB/U. Meskipun secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap keragaman status gizi batita di ketiga wilayah penelitian indikator BB/U (F=2.091, p=0.005), nilai R 2 =0.005 menunjukkan bahwa hanya 0.5% yang dapat dijelaskan hubungan liniernya oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan 99.5% dimungkinkan dari faktor lain (Tabel 22). Status gizi indikator BB/U merupakan indikator yang dapat melihat masalah gizi pada anak tetapi tidak diketahui apakah bersifat akut atau kronis. Unicef (1998) mengemukakan bahwa status gizi balita dipengaruhi secara langsung oleh 2 faktor yaitu konsumsi dan penyakit infeksi. Dua faktor ini yang mengakibatkan masalah gizi akut. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang baik oleh batita dapat membantu memperbaiki status gizi batita melalui beberapa pelayanan kesehatan yang tersedia. Tabel 22 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/U di ketiga wilayah penelitian Variabel Independen β t Sig X X X 2 4 5 Lama pendidikan ibu Penyakit infeksi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan 0.060-0.084 1.206 3.630-0.639 2.238 0.092 0.069 0.025 Keterangan: R 2 =0.005 F =2.091 (p=0.005) Status gizi indikator TB/U merupakan indikator masalah gizi kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama (Depkes 2009). Hasil analisis menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu, penyakit infeksi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai status gizi batita di ketiga wilayah penelitian indikator TB/U. Meskipun secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap keragaman status gizi indikator TB/U (F=2.079, p=0.044), nilai R 2 =0.014 menunjukkan bahwa hanya 1.4% yang dapat dijelaskan hubungan liniernya oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan 98.6% dimungkinkan dari faktor lain (Tabel 23).