DIAGNOSIS LABORATORIK ANEMIA DEFISIENSI BESI LABORATORIC DIAGNOSIS OF IRON DEFICIENCY ANEMIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

Indek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

Ruswantriani, Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes

BAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

MAKALAH GIZI ZAT BESI

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB II LANDASAN TEORI

HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

BAB I PENDAHULUAN. β-thalassemia mayor memiliki prognosis yang buruk. Penderita β-thalassemia. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Proposal

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak

ANEMIA DEFISIENSI BESI Emmy Kartamihardja Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah merah atau kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ABSTRAK. Dewi Tantra, 2008, Pembimbing I : Aloysius Suryawan,dr., SpOG Pembimbing II : Penny Setyawati,dr.,SpPK., M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit idiopatik, yang diperkirakan melibatkan. reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran

Mata Kuliah : Kep. Medikal Bedah Topik : Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Hematologi; Anemia

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ASUPAN MIKRONUTRIEN DENGAN JENIS ANEMIA PADA IBU HAMIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

ANGKA KEJADIAN DAN KARAKTERISTIK ANEMIA PADA PASIEN YANG BEROBAT DI KLINIK PRATAMA UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

MENSTRUASI TERHADAP PENINGKATAN KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI DI SMP MUHAMMADIYAH 21 BRANGSI KECAMATAN LAREN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

Transkripsi:

DIAGNOSIS LABORATORIK ANEMIA DEFISIENSI BESI 1 Dina Sophia Margina, 2 Sianny Herawati, 2 I W P Sutirta Yasa 1 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2 Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar ABSTRAK Anemia defisiensi besi adalah anemia di mana kadar zat besi dalam tubuh lebih rendah dari normal. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh akibat pendarahan menahun, rendahnya masukan besi ke dalam tubuh, gangguan absorpsi, dan akibat kebutuhan yang meningkat. Untuk mendiagnosis anemia defisiensi besi diperlukan pemeriksaan laboratorik. Terapi anemia defisiensi besi dapat berupa terapi kausal, pemberian preparat besi dan terapi tambahan lain. Kata kunci: anemia defisiensi besi LABORATORIC DIAGNOSIS OF IRON DEFICIENCY ANEMIA ABSTRACT Iron deficiency anemia is a decreament of iron level in the body. Iron deficiency anemia is oftenly seen, especially in the tropical countries or the third world country that associated with social economic rate. Iron deficiency anemia happens in more than one third world s population. Iron deficiency anemia can be caused by chronic hemorrhage, low intake of iron, absorption disturbance, and increasement of demand. To diagnose iron deficiency anemia, laboratoric examination is needed. The treatment can be causal treatment, iron supplementation and another additional treatment. Keyword: iron deficiency anemia 1

PENDAHULUAN Hingga saat ini masih terdapat kasus penyakit yang masih belum dapat ditanggulangi secara maksimal. Salah satu dari kasus tersebut adalah masalah kekurangan zat besi atau dikenal dengan sebutan anemia defisiensi besi di mana masalah ini merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai pada masyarakat 1. Anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin atau jumlah sel darah merah dalam darah di mana menurunnya kadar hemoglobin ini biasanya disertai dengan penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit. Anemia bukan merupakan diagnosis, tapi merupakan kumpulan gejala dari suatu penyakit. Anemia kerap kali dianggap sebagai penyakit biasa. Ketika mengalami gejala kurang darah seperti lelah, lesu, pucat, dan berkeringat dingin, banyak orang mengabaikannya. Padahal jika tidak segera ditangani dan diatasi, kondisi ini bisa menimbulkan dampak yang lebih serius terhadap kesehatan 1,2. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat rendahnya kadar zat besi dalam tubuh sehingga terjadi kekosongan persediaan cadangan besi tubuh dan menyebabkan penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, sehingga pembentukan hemoglobin berkurang 1,4. Dilihat dari derajat beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: deplesi besi (iron depleted state) dimana cadangan besi menurun, dicerminkan dengan penurunan feritin serum, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu dan pasien belum menderita anemia; eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) yaitu cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. Ditandai dengan konsentrasi besi serum dan saturasi transferin yang rendah, kadar reseptor transferin serum meningkat; anemia defisiensi besi yaitu cadangan besi kosong disertai dengan anemia defisiensi besi yang ditandai dengan anemia hipokromik mikrositik, besi serum menurun, TIBC (total ironbinding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif, dan adanya respon 2

terhadap pengobatan dengan preparat besi 1-3. Prevalensi Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering ditemukan. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia defisiensi besi seperti pada tabel 1. Tabel 1 Prevalensi Anemia Defisiensi Besi 1 Afrika Amerika Indonesia Latin Laki dewasa Wanita tak hamil Wanita hamil 6% 20% 60% 3% 17-21% 39-46% 16-50% 25-48% 46-92% Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali diperkirakan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi. Didapatkan pula pada penduduk di suatu desa di Bali angka prevalensinya sebesar 27% penderita anemia defisiensi besi 1,2. Yang paling rentan terkena anemia defisiensi besi adalah perempuan hamil. Di India, Amerika Latin, dan Filipina prevalensi anemia defisiensi besi pada perempuan hamil berkisar di antara 35% sampai 99% 1-3. Di Bali sendiri didapat prevalensi anemia defisiensi besi pada perempuan hamil yang mengunjungi puskesmas sebesar 50% sampai 75%. Survey yang dilakukan di 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil prevalensi sebesar 46% di mana sebagian besar merupakan derajat anemia ringan. Dijumpai faktor resiko berupa tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil besi 1-3. Etiologi Anemia defisiensi besi dapat disebabkan baik oleh akibat pendarahan yang terjadi menahun, rendahnya masukan besi ke dalam tubuh, terjadi gangguan absorpsi dalam tubuh, dan akibat kebutuhan besi yang meningkat 1,3,4. Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menahun, dapat berasal dari: saluran cerna (gastrointestinal) yaitu akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi 3

cacing tambang; pendarahan yang terjadi dari saluran genital wanita seperti menorrhagia atau metrorhagia; dari saluran kemih seperti hematuria (jarang ditemukan); dan dari saluran napas seperti hemoptoe 1,2,3. Anemia defisiensi besi oleh karena faktor nutrisi dapat berupa akibat kurangnya jumlah kandungan besi total dalam makanan atau kualitas besi (bioavaibilitas) yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh gangguan absorpsi besi dapat diakibatkan oleh gastrektomi dan tropical sprue atau kolitis kronik. Anemia defisiensi besi dapat juga disebabkan oleh karena kebutuhan besi dalam tubuh yang meningkat yaitu prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, kehamilan, dan terapi eritropoietin. Pada kebanyakan kasus anemia defisiensi besi yang terjadi pada orang dewasa, penyebab utama terjadinya anemia defisiensi besi adalah pendarahan kronik, khususnya dari uterus atau saluran cerna. Faktor nutrisi atau defisiensi dari makanan jarang sekali menjadi penyebab tunggal anemia defisiensi besi. Diperkirakan perlu 8 tahun bagi seorang pria dewasa normal untuk menderita anemia defisiensi besi hanya akibat diet yang buruk atau malabsorpsi yang menyebabkan tidak ada asupan besi sama sekali 1,2,4. Didapat perbedaan etiologi anemia defisiensi besi di masyarakat dengan anemia defisiensi besi di klinik di mana di lapangan pada umumnya merupakan anemia dengan derajat ringan atau sedang, sedangkan di klinik ditemukan anemia dengan derajat berat. Di lapangan lebih sering ditemukan karena faktor nutrisi, sedangkan di klinik ditemukan karena faktor pendarahan 3,4. Patogenesis Pada anemia defisiensi besi, pendarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi dalam tubuh makin menurun. Pertama besi menghilang dari sumsum tulang dan distribusi sel darah merah menjadi abnormal. Juga ditandai dengan penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Keadaan ini disebut iron depleted state. Kemudian dilanjutkan dengan menurunnya transportasi besi, 4

direfleksikan dengan menurunnya kadar besi serum. Penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis 1-5. Pada fase ini yang pertama dijumpai adalah free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit meningkat. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositik sehingga disebut iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kehilangan besi pada epitel serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya 1-5. Manifestasi Klinis Gejala pada anemia defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: gejala umum anemia, gejala khas akibat anemia defisiensi besi dan gejala penyakit yang mendasari anemia defisiensi besi. Gejala umum anemia yang dijumpai pada anemia defisiensi besi bila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl, berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunangkunang, serta telinga berdenging 1-7. Gejala khas terjadi akibat defisiensi besi berupa chlorosis (kekurangan zat besi yang mempengaruhi wanita pada masa pubertas dan menyebabkan kulit berubah menjadi kehijau-hijauan), glossitis (peradangan pada lidah di mana lidah terlihat merah dan halus), stomatitis angularis (cheilosis) (adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan) 1-7. Gejala khas lainnya berupa disfagia (nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring), atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia, koilonychia / kuku sendok (spoon nail) (kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung seperti sendok), pica (keinginan makan yang tidak biasa, seperti makan tanah (geophagia) dan es (pagophagia)), dan sklera mata berwarna biru 1-7. Gejala yang timbul akibat penyakit yang mendasari anemia defisiensi besi, sebagai contoh pada anemia karena pendarahan kronik akibat kanker kolon ditemukan gejala seperti gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain sesuai dengan lokasi dari kanker 1-7. 5

Pemeriksaan Laboratorium Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut. Pada pemeriksaan kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan sediaan apusan darah didapatkan anemia hipokromik mikrositik dengan penurunan kadar hemoglobin 1-7. MCV (Mean Corpuscular Volume), MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), dan MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) menurun di mana MCV < 70 fl, MCH < 27 pg. RDW (red cell distribution width) meningkat yang berarti ada anisositosis. Pada anemia, indeks eritrosit menurun secara progresif sejalan dengan memberatnya anemia 1,5,6. Sediaan apusan darah menunjukkan sel mikrositik hipokrom dan kadang-kadang ditemukan sel target poikilosit berbentuk pensil. Hitung retikulosit rendah, ditemukan gambaran sediaan apus dimorfik pada penderita anemia yang baru mendapat terapi besi dan menghasilkan suatu populasi eritrosit baru yang terisi dengan baik dan berukuran normal. Jumlah trombosit seringkali meningkat, terutama jika pendarahan berlanjut 1-7. Pada pemeriksaan besi sumsum tulang, pada pasien dengan anemia defisiensi besi, tidak ada besi dari eritroblas cadangan (makrofag) dan yang sedang berkembang yang ditemukan dari pengecatan sumsum tulang denagn biru prusia (Perl s stain) dengan hasil cadangan besi negatif. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik dengan normoblas kecil-kecil (mikronormoblas) dominan. Didapatkan pula besi serum turun < 50 mg/dl dan daya ikat besi total (total iron-binding capacity, TIBC) meningkat > 350 mg/dl sehingga TIBC kurang dari 10% tersaturasi 1,2,3,7. Reseptor transferin serum berperan dalam transportasi besi transferin ke dalam sel. Peningkatan kadar reseptor transferin ditemukan pada penderita anemia defisiensi besi. Pengukuran kadar reseptor transferin digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia akibat penyakit kronik. Rasio reseptor transferin dengan log feritin serum biasanya digunakan untuk membedakan kedua anemia tersebut. Rasio > 1,5 menunjukkan anemia defisiensi besi sedangkan rasio < 1,5 menunjukkan anemia akibat penyakit kronik 1,2. 6

Kadar feritin serum sangat rendah < 20 µg/dl. Apabila terjadi inflamasi, feritin serum sampai 60 µg/dl masih dapat menunjukkan anemia defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia defisiensi besi yang paling kuat yang banyak dipakai di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis 1-7. Pada anemia defisiensi besi, sintesis heme terganggu yang menyebabkan protoporfirin menumpuk dalam eritrosit. Protoporfirin bebas meningkat sampai lebih dari 100 mg/dl di mana keadaan normalnya kurang dari 30 mg/dl. Dapat pula dilakukan pemeriksaan feses untuk cacing tambang atau pemeriksaan lain tergantung dari dugaan penyebab anemia defisiensi besi tersebut 1-7. DIAGNOSIS LABORATORIK Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi, dapat dilakukan tiga tahap. Tahap pertama menentukan ada tidaknya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Tahap kedua memastikan ada tidaknya defisiensi besi. Tahap tiga menentukan penyebab terjadinya defisiensi besi 1,3,6,7. Pada tahap pertama dan kedua, anemia deifisiensi besi dapat ditegakkan diagnosisnya dengan menggunakan kriteria 1,3,6,7 : Anemia hipokromik mikrositik pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC 31% dengan salah satu a, b, c, atau d. a. Dua dari tiga parameter: besi serum < 50 mg/dl; TIBC > 350 mg/dl; dan saturasi transferin < 15%, atau b. Feritin serum < 20 mg/l, atau c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl s stain) menunjukkan cadangan besi (butirbutir hemosiderin) negatif, atau d. Dengan pemberian sulfat ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl. Kemudian pada tahap ketiga ditentukan penyebab dasar defisiensi besi. Tahap ini adalah tahap yang paling rumit tapi sangat penting. Pada pasien dewasa difokuskan mencari sumber pendarahan dengan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti 1,3,6,7. Diagnosis Banding Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya yang dapat kita lihat pada tabel 2 1. 7

Tabel 2 Perbandingan Anemia Defisiensi Besi dengan Anemia Hipokromik Monositik Lainnya 1 Anemia Defisiensi Besi Anemia Akibat Penyakit Kronik Trait Thalassemia Anemia Sideroblastik Derajat anemia Ringan sampai berat Ringan Ringan Ringan MCV Menurun Menurun / Menurun Menurun / Normal Normal MCH Menurun Menurun / Menurun Menurun / Normal Normal Besi serum Menurun < 30 Menurun < 50 Normal / Normal / TIBC Meningkat > Menurun < 300 Normal / Normal / 360 Saturasi Menurun < Menurun / Meningkat > Meningkat > transferin 15% Normal 10-20% 20% 20% Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat Positif dengan tulang ring sideroblast Protoporfirin eritrosit Meningkat Meningkat Normal Normal Feritin serum Menurun < 20 Normal 20-200 Meningkat > Meningkat > 50 µg/l µg/dl 50 µg/l µg/l Elektrofoesis Normal Normal Hb. A2 Normal Hb meningkat 8

Penatalaksanaan Setelah diagnosis ditegakkan, maka dapat dilakukan pemberian terapi, yaitu pemberian terapi kausal dengan memberikan terapi terhadap penyebab pendarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, menorrhagia. Terapi ini ditujukan untuk mencegah anemia kambuh kembali 1,2,6,7. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh dilakukan dengan pemberian terapi besi oral dimana terapi besi oral merupakan pilihan pertama yang efektif, murah, dan aman. Preparat besi yang tersedia adalah ferrous sulphat, ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan furrous succinate 1,2,6,7. Pemberian terapi oral seharusnya dilakukan pada saat lambung kosong yang lebih serimg memberikan efek samping daripada diberikan setelah makan. Efek samping yang utama adalah gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan konstipasi yang biasanya mengganggu kepatuhan pasien dalam menjalani terapi 1,2,6,7. Untuk mengurangi efek samping dapat diberikan preparat besi setelah makan atau dosis pemberian preparat dikurangi. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C tetapi efek samping meningkat. Cara lain dengan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi 1-7. Selain terapi besi oral, terapi besi parenteral merupakan terapi yang sangat efektif namun lebih beresiko dan lebih mahal 1,3,7. Indikasi pemberian terapi besi parenteral: (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral, (2) kepatuhan terhadap terapi sangat rendah, (3) gangguan pencernaan yang dapat kambuh jika diberikan besi, (4) penyerapan besi terganggu, (5) kehilangan darah sangat banyak sehingga tidak cukup diberikan besi secara oral, (6) kebutuhan besi dalam jumlah besar dalam waktu pendek seperti kehamilan pada trimester tiga, (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritroprotein pada anemia akibat penyakit kronik. Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin 1,2. Pengobatan lain yang dapat diberikan berupa diet makanan bergizi dengan protein yang tinggi terutama protein hewani, vitamin C diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan 9

absorpsi besi, dapat dilakukan transfusi darah dengan jenis darah PRC (Packed Red Cell) dan dengan indikasi (1) adanya penyakit jantung anemia dengan ancaman payah gantung, (2) anemia yang sangat simtomatik dengan gejala yang mencolok, (3) pasien membutuhkan peningkatan kadar hemoglobin dengan cepat 1,2,3. KESIMPULAN Anemia defisiensi besi adalah anemia di mana kadar zat besi dalam tubuh lebih rendah dari normal sehingga terjadi kekosongan cadangan besi dalam tubuh. Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan, baik di klinik maupun di masyarakat.anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh akibat pendarahan menahun, rendahnya masukan besi ke dalam tubuh, gangguan absorpsi, dan akibat kebutuhan yang meningkat. Gejala anemia defisiensi besi dibedakan dalam tiga golongan, yaitu gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi dan gejala penyakit dasar. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, anemia defisiensi besi dapat diukur melalui kadar hemoglobin, indeks eritrosit, MCV, MCHC, MCH, besi serum, TIBC, feritin serum, protoporfirin eritrosit, reseptor transferin serum, dan sumsum tulang. Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi, dapat dilakukan tiga tahap, yaitu menentukan ada tidaknya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit, memastikan ada tidaknya defisiensi besi, menentukan penyebab terjadinya defisiensi besi. Perlu juga dilakukan diagnosis banding untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia hipokromik mikrositik lainnya. Terapi yang dapat diberikan berupa terapi kausal, pemberian preparat besi secara oral atau parenteral, serta pengobatan lain untuk menigkatkan kadar besi dalam tubuh. DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo AW, Setiyodi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2007; p.634-40. 2. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2005; p.25-34. 10

3. Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Iron Deficiency Anemia. Dalam : BLOOD: Principle and Practice Hematology. 2 nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003; p.1399-433. 4. Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U. Iron Deficiency Anemia. Dalam: Williams Hematology. 6 th edition. McGraw- Hill Medical Publishing Division; p.447-70. 5. Clark SF. Nutrition in Clinical Practice: Iron Deficiency Anemia. Available from: URL: http://ncp.sagepub.com. (Accessed: November 18 th 2012) 6. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK. Iron Deficiency Anemia. Dalam: Oxford Handbook of Clinical Medicine. 7 th edition. Oxford University Press, 2007; p. 312-13. 7. Provan D. Iron Deficiency Anemia. Dalam: ABC of Clinical Haematology. 2 nd edition. BMJ Books, 2003; p.1-4 11