BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 94 TAHUN 2012 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PEMERINTAH KABUPATEN MERANGIN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. satu hal dan pengetahuan umum yang berlaku bagi keseluruhan hal

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

: PERATURAN WALIKOTA BENGKULU TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK.

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KLUNGKUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Berbagai Teori Tentang Sikap dan Perilaku Menurut Beberapa Referensi

SALINAN BUPATI BULELENG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK PEMERINTAH KABUPATEN BULELENG

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TABANAN BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

PROVINSI SULAWESI SELATAN

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.18,2016 Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. KESEHATAN.KAWASAN.LINGKUNGAN UMUM. Kawasan, Bebas, Asap Rokok.

WALIKOTA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. BADAN PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN. secara nasional berdasarkan prinsip asuransi social dan prinsip ekuitas, dengan

TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2014

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN KAWASAN TANPA ROKOK

BUPATI LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG

PERATURAN BERSAMA MENTERI KESEHATAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 188/MENKES/PB/I/2011 NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA PERATURAN DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA NOMOR : TAHUN... TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

- 1 - BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

Menimbang : a. bahwa rokok mengandung zat psikoaktif membahayakan yang dapat menimbulkan adiksi serta menurunkan derajat kesehatan manusia;

- 1 - WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DAN KAWASAN TERBATAS MEROKOK

WALIKOTA BANDA ACEH PROVINSI ACEH QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masa kehamilan (Prawirohardjo, 2000). Menurut Manuaba (2001), tujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 7 Tahun : 2015

WALIKOTA BALIKPAPAN PERATURAN WALIKOTA BALIKPAPAN NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG KAWASAN SEHAT TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan

BAB II TINJAUAN TEORI

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Penetapan Unda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BERITA DAERAH KOTA PADANG PANJANG Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

KAWASAN TANPA ASAP ROKOK DAN TERBATAS MEROKOK

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. angka kematian bayi, angka kelahiran, dan angka kematian ibu.( A.Gde Munin

PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI DHARMASRAYA PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bermain merupakan seluruh aktivitas anak termasuk bekerja

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ASAP ROKOK

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengetahui dengan objek yang diketahui. Namun dalam pertemuan ini subjek tidak

SALINAN TENTANG. Nomor. Nomor. Provinsi

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Pada hakikatnya

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA

LEMBARAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG Tahun

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK

- 1 - BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REJANG LEBONG

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 11 Tahun : 2009 Seri : E

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2007 NOMOR 11 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK WALIKOTA BOGOR,

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2010 NOMOR 5.A

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Tanpa Rokok 2.1.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok Kawasan Tanpa Rokok merupakan ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk melakukan kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan rokok. Penetapan kawasan tanpa rokok adalah upaya untuk perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman dan gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. Penetapan kawasan tanpa rokok ini perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkuatan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan untuk melindungi masyarakat dari asap rokok (Pedoman Kawasan Tanpa Rokok, 2011). 2.1.2 Peraturan Daerah Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pemerintah Republik Indonesia telah mengatur kebijakan pelarangan merokok melalui Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang dijabarkan dalam UU nomor 36 tahun 2009 dan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/PB/I/2011 serta PP Nomor 109 tahun 2013. Di Bali sudah diterapkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2011 tentang kawasan tanpa rokok (Perda KTR). Lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Karena bahaya yang ditimbulkan rokok tidak hanya terhadap perokok aktif tetapi juga sangat berbahaya bagi perokok pasif. Selain dampak kesehatan asap rokok orang lain juga akan berdampak terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya pendapatan karena sakit dan tidak dapat 6

8 bekerja, pengeluaran biaya obat dan biaya perawatan. Penetapan KTR di suatu wilayah pada dasarnya adalah kebijakan untuk memberikan perlindungan terhadap perokok pasif dari dampak buruk asap rokok, serta menyediakan udara bersih dan sehat yang merupakan hak asasi manusia. Perda KTR ini meliputi 7 kawasan, yaitu tempat umum, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain anak-anak, tempat ibadah, angkutan umum dan tempat lain yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok (Pemprov Bali, 2011).

2.1.3 Area Kawasan Tanpa Rokok 1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Suatu tempat atau alat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Faslitias pelayanan kesehatan yang dimaksud adalah Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Poliklinik, Puskesmas, Balai pengobatan, Laboratorium, Posyandu, Tempat praktek kesehatan swasta. 2. Tempat Proses Belajar Mengajar Sarana yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan pelatihan. Tempat kegiatan proses belajar mengajar yang di maksud adalah sekolah, perguruan tinggi, balai pendidikan dan pelatihan, balai latihan kerja, bimbingan belajar, dan tempat kursus. 3. Tempat Anak Bermain Area atau tempat baik terbuka maupun tertutup, yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak. Tempat anak bermain yang dimaksud adalah kelompok bermain, penitipan anak, pendidikan anak usia dini (PAUD), dan taman kanak-kanak. 4. Tempat Ibadah Bangunan atau ruang tertutup atau terbuka yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga. Tempat ibadah yang dimaksud adalah pura, masjid atau mushola, gereja, vihara, dan klenteng. 5. Angkutan Umum

Alat trasnportasi bagi masyarakat yang berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi. Angkutan umum yang dimaksud adalah bus umum, taxi, angkutan kota termasuk kendaraan wisata, bus angkutan anak sekolah dan bus angkutan karyawan, angkutan antar kota, angkutan pedesaan, angkutan air, dan angkutan udara. 6. Tempat Kerja Ruang atau lapangan terbuka atau tertutup, bergerak atau tetap dimana tenaga bekerja, atau yang dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber bahaya. Tempat kerja yang dimaksud adalah perkantoran pemerintah baik sipil maupun TNI dan POLRI, perkantoran swasta, industri, dan bengkel. 7. Tempat Umum Semua tempat terbuka atau tertutup yang dapat diaskses oleh masyarakat umum dan atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tempat umum yang dimaksud adalah pasar modern, pasar tradisional, tempat wisata, tempat hiburan, hotel, restoran, tempat rekreasi, halte, terminal angkutan umum, terminal angkutan barang, pelabuhan, dan bandara. 8. Tempat Lain yang ditetapkan Tempat terbuka yang dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat. 2.1.4 Sanksi Pelanggaran Perda KTR Ketentuan Pidana dalam Perda KTR diatur dalam Bab VII, Pasal 18, ayat (1) dan (2). Pada Pasal 18, ayat (1) bahwa setiap orang dan/atau badan yang melanggar

ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Pada ayat (2) bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran (Pemprov Bali, 2011). Anggota Sekaa Teruna Teruni 2.2.1 Definisi Anggota STT Sekaa Teruna Teruni merupakan sebuah organisasi sosial kemasyarakatan sebagai wadah dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah Desa. Selain itu, Sekaa Teruna Teruni bertugas membantu Desa Adat dalam menyelengarakan kegiatan agama dan budaya di Desa setempat. Anggota dari Anggota STT adalah setiap anggota masyarakat yang berusia 13 tahun sampai dengan 45 tahun yang berada di desa (Permensos RI, 2010). 2.2.2 Peran Anggota STT terhadap Perda KTR Sebagai wadah sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab social dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa (Permensos RI, 2010). Peran Anggota STT terhadap Perda KTR sangat serat kaitannya dengan salah satu fasilitas yang termasuk dalam kawasan tanpa rokok, yaitu tempat ibadah atau Pura. Selain melakukan ibadah beberapa kegiatan Anggota STT juga banyak yang dilaksanakan di pura. Sosialisasi Perda KTR dari Sekaa Teurna Teruni sangat di perlukan hal ini dapat

dilihat dari survei kepatuhan KTR yang masih rendah di tempat ibadah. Melihat tingginya angka merokok pada remaja, tidak menutup kemungkinan bahwa banyak anggota anggota STT yang menjadi perokok. Pengetahuan 2.3.1 Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dari manusia dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba namun sebagaian besar pengetahuan manusia melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat menjawab masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan untuk menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. (Notoatmodjo, 2007). Penelitian yang dilakukan Yasinta, dkk (2013) mengenai kepatuhan mahasiswa terhadap kawasan tanpa rokok di Universitas Dian Nuswantoro Semarang yang menunjukkan hasil pengetahuan baik (28%) tentang KTR. 2.3.2 Tingkat Pengetahuan Menurut Taxonomy Bloom dalam Notoatmodjo (2007) pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkatan, yaitu: 1. Tahu (know) Tahu (know) merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Cara mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari meliputi

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan sebagainya. Tahu juga diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipeelajari sebelumnya, termasuk mengingat kembali terhadap suatu rangsangan yang telah diterima. Dalam hal ini subjek mengetahui apa itu kawasan tanpa rokok dari sudut pandangnya. 2. Memahami (comprehension) Menurut Mubarak et al (2007) memahami (comprehension) diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara luas. Seseorang yang paham terhadap objek atau materi mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang telah dipelajari. Dalam hal ini subjek dapat menjelaskan kawasan tanpa rokok dengan benar. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum- hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Dalam hal ini subjek dpaat menggunakan pengetahuan terhadap kawasan tanpa rokok dalam situasi dan kondisi yang sesungguhnya. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat

menggambarkan (membuat bagan), membedakan, mengelompokan dan sebagainya. Dalam hal ini subjek mempunyai kemampuan dalam menjabarkan kawasan tanpa rokok secara spesifik. 5. Sintesis (synthesis) Sistesis menunjuk kepada suatu komponen untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada. Dalam hal ini subjek mulai menghubungkan kawasan tanpa rokok sebagai upaya perlindungan perokok pasif dengan timbulnya suatu penyakit yang lebih berbahaya dari perokok itu sendiri. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Dalam hal ini subjek membuat keputusan akan kawasan tanpa rokok dan subjek akan menanggapi kawasan tanpa rokok itu secara positif maupun negatif. 2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Budiman (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu: 1. Pendidikan Sebuah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok

orang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah mendapatkan informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut. 2. Informasi Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan perubhan atau peningkatan pengetahuan. 3. Sosial, Budaya, dan Ekonomi Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan seseorang tanpa melalui penalaran sehingga akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlkukan untuk kegiatan tertentu sehingga status social ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang 4. Lingkungan Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi kareana adanya interaksi timbal Balik ataupun tidak, yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. 5. Pengalaman Pengalaman sebagai sumber pengetahuan merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 6. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia seseorang akan berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Sikap 2.4.1 Definisi Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2007). Menurut Alport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu: a. Kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu b. Kehiduppan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek c. Kecendrungan untuk bertindak Christina, dkk (2012) mengenai pengaruh pengetahuan dan sikap guru dan siswa tentang rokok dan kebijakan kawasan tanpa rokok terhadap partisipasi dalam penerapan kawasan tanpa rokok di SMP Negeri 1 Kota Medan. 2.4.2 Tingkat Sikap Menurut Taxonomy Bloom dalam Notoatmodjo (2007) tingkatan sikap dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu: 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) berani memberikan pendapat dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan merupakan suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah merupakan berarti bahwa orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap. 4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung.secara langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. 2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Sikap Menurut Azwar (2013) menjelaskan faktor-faktor yang memperngaruhi sikap, yaitu: 1. Pengalaman pribadi Apa yang pernah kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi kita terhadap stimulus social. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap, untuk dapat mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis.

2. Pengaruh orang lain Orang lain di sekitar merupakan salah satu diantara komponen social yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, akan membawa banyak pengaruh terhadap pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. 3. Pengaruh Budaya Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. 4. Media masa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain sebagainya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. 5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu system mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu tentang pemahaman akan baik dan buruk, antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. 6. Pengaruh faktor emosional Tidak semua bentuk sikap yang ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap

merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanann ego. Perilaku 2.5.1 Definisi Perilaku Perilaku manusia merupakan semua tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati. Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup yang bersangkutan). Sedangkan dari segi kepentingan kerangka analisis, perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007). Febriani (2014) mengenai Pengaruh Persepsi Mahasiswa terhadap Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Dukungan Penerapannya di Universitas Sumatera Utara. Solicha (2012) mengenai Tingkat Pengetahuan dan Sikap Pengunjung di Lingkungan RSUP Dr. Kariadi tentang Kawasan Tanpa Rokok. 2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu maupun kelompok dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Faktor Pendorong (predisposing factor) Faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan,

norma sosial, dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu maupun masyarakat. 2. Faktor Pemungkin (Enabling factor) Faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku dan tindakan, antara lain umur, status sosial, ekonomi, pendidikan, sumber daya manusia serta sarana dan prasarana untuk terjadinya perilaku kesehatan. 3. Faktor Penguat (Reinforcing factor) Faktor-faktor yang memperkuat terjadinya perubahan perilaku seseorang, kadang-kadang meskipun orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya yang dikarenakan adanya sikap suami atau istri, orang tua, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan. Dalam pendekatan menggunakan teori Lowrence Green pengetahuan Anggota STT termasuk kedalam faktor pendorong (predisposing factor). Faktor Pemungkin lebih pada adanya dukungan dari tingkat pendidikan. Dan faktor penguat lebih pada respon yang meliputi sikap Anggota STT.