II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
III HASIL DAN PEMBAHASAN

II METODOLOGI PENELITIAN

II. BAHAN DAN METODE

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model


PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

KARAKTERISTIK BACKSCATTER CITRA ALOS PALSAR PADA TEGAKAN HUTAN TANAMAN

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

III. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

KARAKTERISKTIK BACKSCATTER CITRA ALOS PALSAR POLARISASI HH DAN HV TERHADAP PARAMETER BIOFISIK HUTAN DI SEBAGIAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB II METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

III. BAHAN DAN METODE

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

BAB I PENDAHULUAN. global, sehingga terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi hutan dapat merusak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

II. METODOLOGI. A. Metode survei

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 7. Lokasi Penelitian

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA IMAS NANIK HENDRAYANTI

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

7 II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011, yang meliputi kegiatan persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian di hutan hujan tropis (tropical rain forest) Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Kondisi lokasi penelitian relatif datar, dengan demikian mengurangi efek topografi pada penelitian ini. Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada koordinat 98 o 43 00 BT sampai dengan 98 o 64 00 BT dan 2 o 54 00 LU sampai dengan 2 o 86 00 LU dengan ketinggian rata-rata 1.600 m dpl dengan kemiringan lereng datar dan landai. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Pengolahan dan analisis data citra satelit dilakukan di Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Lokasi penelitian berada pada hutan hujan tropis yang memiliki ciri pohon yang tinggi, rapat, hijau sepanjang tahun, dan memiliki musim kering yang pendek sampai tidak ada (Primack dan Corlett 2005). Hutan hujan tropis mempunyai suhu bulanan rata-rata 20 o C 50 o C dengan curah hujan dalam satu tahun antara 2000 mm dan 5000 mm (Arief 2001). Raymond et al. (2003) mencirikan hutan hujan tropis dengan struktur tajuk yang memiliki strata. Strata tajuk yang paling dominan merupakan pohon yang paling besar, selanjutnya strata tajuk lebih kecil dan strata tajuk semak belukar. Variasi strata tajuk ini disebabkan oleh perbedaan ukuran tumbuhan serta perbedaan waktu tumbuh. Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schimidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsolik, Latosol, Aluvial dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996, diacu dalam Indriyanto 2008)

8 Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

9 2.2 Data, Hardware, Software dan Alat 2.2.1 Data Penelitian Data primer yang dipergunakan adalah: (1) Citra ALOS PALSAR Provinsi Sumatera Utara liputan Juni tahun 2009 dengan resolusi spasial 50 meter dan 6,25 meter dan resolusi radiometric 16 bits per piksel. Citra ALOS PALSAR yang digunakan merupakan citra yang telah ortho rektifikasi; dan (2) data hasil pengukuran tegakan hutan pada lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder terdiri dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000 dan Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara skala 1 : 250.000. Citra ALOS PALSAR resolusi 6,25 meter dan resolusi 50 meter dengan polarisasi HH dan HV disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Citra ALOS PALSAR yang digunakan pada penelitian ini merupakan citra radar yang menggunakan gelombang mikro. Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan, radar merupakan penginderaan jauh aktif (active remote sensing) yang memanfaatkan microwave dengan panjang gelombang antara 1 mm sampai dengan 1 m. Pada Tabel 1 disajikan tata nama band dan frekuensi yang digunakan pada radar. Tabel 1 Frekuensi standard dan tata nama band radar. Tata nama band yang umum digunakan dan yang digunakan yang digunakan NATO Band Frekuensi (GHz) Band NATO Frekuensi (GHz) UHF L S C X Ku (J) K Ka (Q) 0.3 1 1 2 2 4 4 8 8 12 12 18 18 27 27-40 Sumber: Hoekman (1990) B C D E F G H I J K 0.25 0.5 0.5 1 1 2 2 3 3 4 4 6 6 8 8 10 10 20 20 40

10 (a) (b) Gambar 3 Citra ALOS PALSAR resolusi 6,25 meter, (a) polarisasi HH dan (b) polarisasi HV

11 (a) (b) Gambar 4 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter, (a) polarisasi HH dan (b) polarisasi HV

12 Sifat sistem radar Sifat sistem radar dipengaruhi oleh: (1) Panjang gelombang dan kemampuan daya tembusnya terhadap atmosfer dan permukaan tanah, dan (2) Sudut depresi antena merupakan salah satu aspek geometrik pada citra radar dan penyebab terjadinya efek backscatter radar, efek bayangan pada objek (Purwadhi 2001). Daya tembus terhadap atmosfer paling baik pada panjang gelombang yang lebih besar karena tidak terpengaruh hambatan atmosfer, sedangkan daya tembus terhadap permukaan tanah tergantung panjang gelombang dan konstanta dielektrik objeknya. Daya tembus besar pada panjang gelombang lebih besar dan material penutup kurang dari 1/10 panjang gelombangnya (biasanya sekitar 2-3 meter), daya tembus kecil pada konstanta dielektrik tinggi (objek yang kelembabannya tinggi). Panjang gelombang radar lebih dari 3 cm hanya sedikit berpengaruh oleh awan, kabut tebal, asap dan kabut tipis, dan hanya panjang gelombang yang besar yang benar-benar mampu menembus hujan lebat. Pada panjang gelombang yang lebih kecil, pantulan radar oleh tetes-tetes air masih dapat berpengaruh sehingga memberikan faktor gangguan yang sangat tinggi. Panjang gelombang yang lebih besar akan menghasilkan informasi yang jauh lebih sedikit mengenai kekasaran permukaan vegetasi dibandingkan panjang gelombang yang lebih kecil, tetapi panjang gelombang yang lebih besar akan banyak memberikan informasi mengenai kondisi medan. Di bidang kehutanan, panjang gelombang yang kecil lebih disukai, sedangkan para ahli tanah dan geologi biasanya lebih menyukai panjang gelombang yang lebih besar, karena akan diperoleh lebih banyak informasi yang relevan (Howard 1996). Ukuran backscatter dari objek sama seperti reflectance dalam sistem optik adalah rasio antara sinyal emisi dengan sinyal yang diterima dan akan berlainan tergantung kepada jenis objeknya. Nilai ini sering disebut sebagai nilai radar cross section (σ o ) dan dinyatakan dalam besaran desibel (db). Intensitas atau kekuatan gelombang radar yang diterima kembali oleh sensor (backscatter) menentukan karakteristik spektral objek citra radar. Sebagai bagian dari dari topografi, kekasaran permukaan adalah sifat terrain yang paling berpengaruh terhadap nilai backscatter objek, tergantung kepada panjang

13 gelombang dan sudut pandang sensor. Sebuah permukaan dapat terlihat kasar apabila perbedaan tinggi mendekati panjang gelombangnya. Permukaan halus akan terlihat gelap sedangkan permukaan kasar akan terlihat cerah pada citra radar, hal ini merupakan perilaku scattering gelombang radar. Intensitas atau kekuatan gelombang pantulan pada citra radar dipengaruhi sifat objek dan sifat sistem radarnya (Purwadhi 2001). Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh sifat objek terhadap nilai backscatter pada citra radar ALOS PALSAR. Tiga tipe backscatter yang dikenal adalah surface scattering, volume scattering, dan corner reflector. Jika permukaan objek seragam maka akan terjadi surface scattering (backscatter permukaan) dan surface scattering dapat terjadi dalam bentuk specular reflector (pantulan cermin) atau diffuse reflector (pantulan baur) tergantung dari panjang gelombang dan kekasaran permukaan objek. Pantulan baur yaitu pantulan kesegala arah termasuk yang kembali ke sensor yang menyebabkan rona cerah, hal ini terjadi pada objek yang memiliki permukaan kasar seperti daerah bebatuan, vegetasi yang heterogen dan air dengan ombak besar. Pantulan cermin (specular reflector) yaitu arah pantulan berlawanan dengan arah datangnya gelombang atau sensor menyebabkan rona gelap, hal ini terjadi pada objek yang memiliki permukaan halus, seperti permukaan air tenang, permukaan tanah yang diratakan atau diperkeras. Jika permukaan objek dengan dielektriknya tidak seragam maka akan terjadi volume scattering dimana gelombang radar penetrasi menembus permukaan dan pantulan gelombangnya berasal dari objek yang berada dibawah permukaan. Corner reflector atau pantulan sudut terjadi sebagai hasil dari bentuk sudut objek alami maupun objek buatan. Pantulan sudut menyebabkan pantulan gelombang kembali ke arah sensor yang menyebabkan rona sangat cerah. Objek yang bersudut siku-siku seperti gedung bertingkat dan lereng terjal. Tipe-tipe backscatter disajikan pada Gambar 5.

14 Pantulan cermin (backscatter rendah) Pantulan baur (backscatter tinggi) corner reflector (pantulan sudut) volume scattering Gambar 5 Tipe backscatter (Smith 2006). Kondisi topografi permukaan bumi sangat mempengaruhi backscatter. Variasi lokal medan mengakibatkan sudut datang gelombang radar yang berbedabeda. Variasi topografi mengakibatkan backscatter pada lereng yang menghadap ke sensor akan memantulkan gelombang yang lebih besar dibandingkan lereng sebaliknya, atau lereng yang membelakangi sensor. Kekuatan gelombang pantulan karena pengaruh kondisi topografi biasanya dikatakan sebagai efek geometri sensor radar terhadap medan. Kekuatan backscatter mempengaruhi rona pada citra radar. Citra radar bagian lereng depan akan lebih cerah dibandingkan dengan bagian lereng yang membelakangi sensor. Fisiognomi vegetasi berkayu sangat berpengaruh terhadap rona, dan tekstur citra radar yang terekam. Seringkali batas citra pada formasi tanaman, dan kadang-kadang juga batas subformasi atau tipe hutan dapat diidentifikasi secara tepat serta didelineasi, tergantung pada panjang gelombang radar yang digunakan, perekaman dapat berupa sinyal campuran yang dihasilkan oleh kekasaran permukaan tajuk pepohonan, vegetasi dibawahnya (understory), dan juga tekstur medan, yang kadang-kadang juga menyebabkan stratum kanopi utama justru tidak mempunyai pengaruh terbesar (Howard 1996).

15 ALOS PALSAR Advanced Land Observing Satelite (ALOS) adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari Japanese Earth Resources Satellite-1 (JERS-1) dan Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegashima Space Center. Satelit ini di desain untuk dapat beroperasi selama tiga sampai lima tahun, dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dengan resolusi spasial 2,5 m yang dirancang untuk memperoleh data Digital Terrain Model (DTM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dengan resolusi spasial 10 m untuk pemantauan tutupan lahan secara lebih tepat, dan Phased Array type L-band Synthetic Apeture Radar (PALSAR) untuk pemantauan semua kondisi cuaca pada siang dan malam hari. Tabel 2 Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experimental mode)*1 Center Frequency 1270 MHz(L-band) Chirp Bandwidth 28MHz 14MHz 14MHz,28MHz 14MHz HH or HH+HV or HH or VV HH+HV+VH+VV Polarization VV VV+VH 8 to 8 to 60deg. 18 to 43deg. 8 to 30deg. Incident angle 60deg. 100m Range Resolution 7 to 44m 14 to 88m (multi look) 24 to 89m 40 to 40 to 70km 250 to 350km 20 to 65km Observation Swath 70km Bit Length 5 bits 5 bits 5 bits 3 or 5bits Data rate 240Mbps 240Mbps 120Mbps,240Mb ps 240Mbps < -23dB (Swath Width 70km) NE sigma zero *2 < -25dB (Swath Width 60km) < -25dB < -29dB > 16dB (Swath Width 70km) S/A *2,*3 > 21dB (Swath Width 60km) > 21dB > 19dB Radiometric scene: 1dB / orbit: 1.5 db accuracy Sumber: Jaxa (2006)

16 Sensor PALSAR (Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar) adalah sensor microwave yang aktif dengan menggunakan gelombang L-band yang dapat menembus lapisan awan dan dapat mengobservasi siang dan malam hari. Sensor PALSAR yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut sensor SAR (synthetic aperture radar) yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area 250 km hingga 350 km. Hal ini merupakan cakupan pengamatan tiga sampai lima kali lebih luas dibandingkan citra SAR konvensional. Karakeristik PALSAR dapat dilihat pada Tabel 2. 2.2.2 Hardware, Software dan alat Hardware atau perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dan printer, sedangkan alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System), kompas, clinometer, phiband, tallysheet, kamera digital dengan lensa fish eye. Perangkat lunak atau software untuk pengolahan data digunakan ERDAS Imagine Ver 9.1, ArcView 3.3 (extension clustering), HemiVeiw 2.1 dan SPSS Statistic 17.0. 2.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan penelitian yaitu: 1) persiapan, 2) pra pengolahan citra ALOS PALSAR, 3) pengolahan citra ALOS PALSAR, 4) desain penarikan contoh, 5) pengambilan data lapangan, 6) pengolahan data lapangan, dan 7) pemilihan peubah tegakan. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 6.

17 mulai Pra pengolahan citra ALOS PALSAR Clustering Data lapangan Dendrogram evaluasi Analisis Merging & labelling Peubah tegakan yang berpengaruh selesai Gambar 6 Tahapan penelitian. 2.3.1 Persiapan Kegiatan pada tahap persiapan adalah pengumpulan data digital berupa data vektor dan data raster, pembuatan tallysheet, dan pengolahan citra ALOS PALSAR agar dapat diolah dan dianalisis untuk keperluan penelitian. 2.3.2 Pra Pengolahan Citra Tahapan pra pengolahan citra ALOS PALSAR dimaksudkan untuk memperoleh citra ALOS PALSAR yang siap dianalisis. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini terdiri dari pemotongan citra (cropping) dan reduksi noise. (1) Pemotongan citra (cropping) Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan wilayah penelitian sehingga analisis dapat lebih fokus pada lokasi penelitian dan pemrosesan citra berlangsung lebih cepat. (2) Reduksi noise Noise terjadi akibat adanya interaksi sinyal balik yang beragam dari berbagai objek yang ada di area tersebut. Interaksi gelombang akan membuat

18 sinyal pancar balik tersebut menghilang atau malah diperkuat sehingga akan menghasilkan piksel yang cerah dan gelap yang disebut spekcle noise. Citra ALOS PALSAR resolusi 6.25 meter dilakukan reduksi noise, sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter tidak dilakukan reduksi noise karena tidak mengalami gangguan. Metode yang digunakan pada tahap ini adalah filter frost dengan window size 7 x 7. Filter frost akan mengganti nilai piksel yang menjadi prioritas dengan bobot dari jumlah nilai dalam window size (moving window) 7 x 7. Faktor bobot akan berkurang menurut jarak piksel dari piksel prioritas. Rumus yang digunakan adalah: DN = dimana nxn Kαe α t (Lopes et al. 1990) dan K Ī σ n σ α 4 nσ σ 2 = 2 2 = Konstanta = rata-rata lokal I = variance local = moving window size = image coefficient of avariation value σ = keragaman rata - rata t X 0,Y 0 X,Y = jarak = posisi piksel tujuan = posisi piksel ke-i terhadap piksel tujuan 2.3.3 Pengolahan Citra (1) Konversi Digital Number Kegiatan ini mengkonversi digital number menjadi nilai backscatter citra ALOS PALSAR yang dilakukan pada setiap polarisasi HH dan HV baik untuk citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter maupun pada citra ALOS PALSAR

19 resolusi 6,25 meter. Nilai backscatter tiap piksel dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini (Shimada et al. 2009). σ =10 x log10 (DN 2 ) + CF Keterangan: σ = Koefisien backscatter dalam desibel (db) DN = Digital Number CF = Calibration Factor (-83) (2) Klasifikasi tidak terbimbing Klasifikasi tidak terbimbing atau klastering (clustering) merupakan suatu teknik klasifikasi yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi (piksel) ke dalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun (Jaya 2009). Jumlah klaster awal pada penelitian ini ditetapkan sebanyak 20 klaster. Proses klastering selanjutnya menggunakan metode rata-rata bergerak (migrating means) atau dikenal juga dengan istilah metode K-mean clustering. Agar memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang digunakan, maka diperlukan suatu teknik untuk menyusun urutan pengelompokan klaster, dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Diagram yang menggambarkan pengelompokan ini dinamakan dendrogram. (3) Dendrogram Dendrogram adalah kurva yang menggambarkan pengelompokan klaster, untuk memudahkan analisis pengkelasan. Salah satu metode penggambarannya ialah metode tetangga terdekat (nearest neighbor method) yaitu metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster. Metode ini sering disebut dengan metode single linkage. (4) Merging Kelas yang memiliki jarak dekat dengan kelas lainnya digabungkan (merge) menjadi satu kelas yang sama. 2.3.4 Desain Penarikan Contoh Penentuan plot contoh dilakukan secara systematic sampling dengan area prioritas (area of interest) mempertimbangkan kemudahan aksesibilitas dan ketersebaran plot contoh di lokasi penelitian. Bentuk plot contoh berupa persegi

20 empat berukuran 50 m x 50 m dengan jumlah 45 plot contoh. Peta sebaran plot contoh disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Peta sebaran plot contoh.

21 2.3.5 Pengambilan Data Lapangan Pengambilan data di lapangan dimulai dengan tahapan sebagai berikut: (1) Penentuan Titik Pusat Plot Posisi titik pusat plot di lapangan ditentukan atas dasar gambaran titik pusat plot dipeta/citra. Titik pusat plot ditentukan koordinatnya dengan menggunakan GPS. (2) Pembuatan plot contoh Plot contoh berbentuk persegi empat dengan ukuran 50 m x 50 m untuk pengukuran pohon dengan diameter 20 cm ke atas, di dalamnya plot contoh dibuat sub plot contoh berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran tiang dengan diameter 10 cm sampai dengan diameter kurang dari 20 cm dan sub plot contoh berukuran 5 m x 5 m untuk pengukuran pancang dengan diameter 5 cm sampai dengan diameter kurang dari 10 cm. Gambar plot contoh disajikan pada Gambar 8. 50 m Kuadran IV Kuadran I 10m 5 5 10m 50 m Titik Pusat Plot Kuadran III Kuadran II Gambar 8 Plot contoh. (3) Pengambilan data lapangan Data lapangan yang dikumpulkan pada setiap plot contoh merupakan dimensi tegakan yang dapat mempengaruhi nilai backscatter citra ALOS PALSAR. Data-data plot contoh yang dikumpulkan adalah: a Titik koordinat pusat plot contoh; diambil dengan menggunakan GPS untuk mendapatkan posisi koordinat x dan y pusat plot di lapangan. b Diameter; diameter diukur pada setinggi dada (130 cm). (1) Tingkat pancang, diukur diameter 5 cm sampai dengan diameter < 10 cm, sub plot untuk pengukuran pancang berukuran 5 x 5 meter pada kuadran I.

22 (2) Tingkat tiang diukur diameter 10 cm sampai dengan diameter < 20 cm, sub plot untuk pengukuran pancang berukuran 10 x 10 meter pada kuadran I. (3) Pohon diukur pada diameter 20 cm, diukur pada plot contoh 50 x 50 m. c Tinggi total; diukur dari pangkal batang sampai ujung tajuk tanaman. d Diameter tajuk; merupakan diameter rata-rata tajuk yang diukur dua kali pada arah Utara-Selatan dan Timur-Barat. e Tebal tajuk; diukur dari pangkal bebas cabang sampai ujung tajuk. f Kemiringan lapangan (slope); merupakan beda tinggi pada pusat plot dengan kondisi di sekitarnya. g Arah kemiringan lapangan (Aspect) yang ditentukan dari pusat plot sampel. h LAI (leaf area index); diambil menggunakan kamera dengan lensa fish eye. i Gambar dokumentasi plot contoh. 2.3.6 Pengolahan Data Lapangan Data lapangan yang telah tercatat di tallysheet selanjutnya direkapitulasi dan dilakukan perhitungan untuk mengetahui data setiap plot contoh. (1) Posisi koordinat plot contoh dari GPS. (2) Nilai rata-rata diameter, rata-rata tinggi pohon, rata-rata lebar tajuk, dan ratarata tebal tajuk setiap plot. (3) Kerapatan pancang, tiang dan pohon setiap plot dalam hektar (ha). Rumus kerapatan sebagai berikut: keterangan: K = Kerapatan (pancang, tiang dan pohon setiap plot/sub plot dalam ha) (4) Luas bidang dasar per hektar (m 2 /ha) setiap plot contoh. n 2 ( 1/ 4). π. d i= LBDSj = 1 Lp keterangan: LBDSj = Luas Bidang Dasar (m 2 /ha) dari plot ke j π = 3.14 d = DBH (m) Lp = Luas plot/sub plot (ha)

23 (5) Luas tajuk per hektar (m 2 /ha) setiap plot contoh L Tjk = n = i = 1 L Tjk ¼. π.d Lp 2 tjk keterangan: L Tjk = Luas tajuk (m 2 /ha) π = 3.14 D tjk = diameter tajuk pohon (m) Lp = luas plot/sub plot (ha) (6) Penghitungan biomasa Pendugaan biomasa pohon di atas permukaan tanah pada hutan hujan tropis dengan ketinggian 1600 m di atas permukaan laut menggunakan allometric yang dikembangkan oleh Basuki et al. (2009) ln(tagb) = c + αln(d) keterangan: TAGB = total above-ground biomass c = -1.201 α = 2.196 d = diameter (7) Pengukuran LAI Pengukuran LAI dilakukan dengan menggunakan kamera berlensa fisheye. Pengambilan foto dilakukan di tengah plot mengarah ke atas dari lantai hutan. Posisi kamera foto pada tripot dengan ketinggian 150 cm. Penghitungan nilai LAI menggunakan software Hemiview 2.1 2.3.7 Pemilihan Peubah Tegakan Pada penelitian ini, analisis diskriminan digunakan sebagai alat analisis untuk mengetahui peubah tegakan yang menjadi faktor pembeda kelas pada hutan hujan tropis. Peubah-peubah tegakan yang menjadi variabel independen dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap nilai backscatter. Analisis diskriminan merupakan metode statistik untuk mengelompokkan atau mengklasifikasi sejumlah obyek ke dalam beberapa kelompok, berdasarkan beberapa peubah. Pada prinsipnya analisis diskriminan bertujuan untuk mengelompokkan setiap obyek ke dalam dua atau lebih kelompok berdasar pada

24 kriteria sejumlah peubah bebas. Pengelompokkan ini bersifat mutually exclusive, dalam artian jika obyek A sudah masuk kelompok 1, maka ia tidak mungkin juga dapat menjadi anggota kelompok 2. Analisis kemudian dapat dikembangkan pada peubah mana saja yang membuat kelompok 1 berbeda dengan kelompok 2, berapa persen yang masuk ke kelompok 1, berapa persen yang masuk ke kelompok 2. Ciri analisis diskriminan adalah jenis data dari peubah dependent bertipe nominal (kategori), seperti kode 0 dan 1, atau kode 1, 2 dan 3 serta kombinasi lainnya (Santoso et al. 2001). Model analisis diskriminan yang digunakan bentuknya sebagai berikut: D = b 0 + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 +.. + b n X n dimana X 1 ~ X n prediktor atau peubah tegakan secara berturut-turut terdiri dari kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, diameter batang pancang, diameter batang tiang, diameter batang pohon, tinggi pancang, tinggi tiang, tinggi pohon, LBDS pancang, LBDS tiang, LBDS pohon, biomasa pancang, biomasa tiang, biomasa pohon, tebal tajuk pancang, tebal tajuk tiang, tebal tajuk pohon, diameter tajuk pancang, diameter tajuk tiang, diameter tajuk pohon, persentasi tutupan tajuk, dan Leaf Area Index (LAI). Metode analisis fungsi diskriminan pada penelitian ini adalah metode stepwise, yaitu dengan memasukkan semua peubah tegakan dalam analisis untuk menentukan peubah tegakan mana saja yang dapat membedakan kelas pada hutan hujan tropis. Setelah semua peubah tegakan dimasukkan dalam fungsi diskriminan, kemudian dilakukan evaluasi kontribusi dari masing-masing peubah tegakan dimana peubah tegakan yang tidak memberikan kontribusi dihilangkan, dan peubah tegakan yang memberikan kontribusi paling besar dalam membedakan kelas merupakan peubah tegakan yang mempengaruhi backscatter. Peubah tegakan yang memberikan kontribusi besar adalah peubah-peubah tegakan yang memiliki nilai F hitung yang lebih lebih besar. Untuk evaluasi keakuratan fungsi diskriminan dilakukan penghitungan hit ratio. Hit ratio merupakan persentase jumlah contoh yang kelasnya dapat diprediksi secara tepat keanggotaanya dengan menggunakan fungsi diskriminan.