KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA IMAS NANIK HENDRAYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA IMAS NANIK HENDRAYANTI"

Transkripsi

1 1 KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA IMAS NANIK HENDRAYANTI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 2 KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Oleh : Imas Nanik Hendrayanti E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

3 3 IMAS NANIK HENDRAYANTI. E Kajian Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah untuk Klasifikasi Tutupan Hutan dan Lahan Skala Regional Pulau Jawa. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. RINGKASAN Pulau Jawa adalah pulau dengan populasi terpadat di dunia yang luas daratannya 6.9% (13,219,000 ha) dari wilayah kepulauan Indonesia dan dihuni hampir juta jiwa atau sebesar 60% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2007). Seiring pertumbuhan populasi maka kebutuhan ruang pertanian, pemukiman dan industri pun semakin meningkat. Fenomena ini disebabkan oleh pesatnya perubahan penutupan lahan, terutama area kehutanan yang menjadi wilayah pembangunan. Untuk memonitor kecepatan perubahan ini maka dibutuhkan pengembangan tehnik pemantauan sumber daya hutan yang murah dan cepat. Dalam beberapa hal, penginderaan jarak jauh terbukti sebagai alat yang efektif dan akurat untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan. Di Indonesia, penginderaan jarak jauh optik sudah umum digunakan. Akan tetapi data penginderaan jarak jauh optik memiliki keterbatasan untuk memonitor dan mendeteksi objek di bawah awan, kondisi berasap, atau berkabut. Kini, perkembangan data radar seperti ALOS PALSAR telah memberikan perspektif baru. Data-data tersebut telah digunakan oleh publik sejak satelit ALOS (Advance Land Observing Satelit) diluncurkan oleh Jepang pada 24 Januari Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR untuk mengelompokkan penutupan lahan di Pulau Jawa. Data-data yang digunakan berupa citra ALOS PALSAR 2007 yang beresolusi 200 m x 200 m, citra Landsat 7 ETM+ dan data tematik lainnya. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2008 dengan wilayah kajian Pulau Jawa. Alat yang digunakan adalah alat digitasi, GPS, printer, dan seperangkat komputer yang dilengkapi software Arcview 3.2., ERDAS Imagine Ver 9.1. dan Minitab. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa data citra resolusi rendah ALOS PALSAR dapat digunakan untuk mendeteksi kelas-kelas penutupan lahan menjadi empat kelas umum, seperti badan air, vegetasi/hutan biomassa tinggi, vegetasi/hutan biomassa rendah, dan lahan pertanian. Luasan masing-masing tutupan lahan citra ALOS hasil klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised Classification), adalah: lahan pertanian seluas 5,794, ha (43.95%), vegetasi/hutan biomassa rendah seluas 4,513, ha (34.24%), vegetasi/hutan biomassa tinggi seluas 2,548, ha (19.34%), dan tubuh air seluas 325, ha (2.47%). Sementara, luasan masing-masing tutupan lahan citra ALOS hasil klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) adalah: lahan pertanian seluas 5,735,114,42 ha (43.51%), vegetasi/hutan biomassa rendah seluas 4,796, ha (36.39%), tubuh air seluas 89, ha (0.68%), dan vegetasi/hutan biomassa tinggi seluas 2,560, ha (19.43%), dengan nilai Kappa Accuracy (KA) sebesar % dan Overall Accuracy (OA) sebesar %. Hasil klasifikasi terbimbing citra Landsat 7 ETM+ menunjukan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan ALOS PALSAR di mana sembilan kategori tutupan lahan dapat diidentifikasi, yakni: vegetasi/hutan rapat 398, ha (3.01%), vegetasi/hutan sedang 1,469, ha (11.09%), vegetasi/hutan jarang 3,593, ha (27.14%), sawah kering 1,812, ha (27.14%), sawah basah 1,095, ha (8.27%), pemukiman 712, ha (5.38 %), semak/plk 1,800, ha (13.59%), badan air 174, Ha (1.32 %), dan awan 2,186, ha. (16.51%). Nilai akurasi klasifikasi, adalah % untuk Kappa Accuracy (KA) dan % untuk Overall Accuracy (OA) Kata kunci : Penginderaan jauh, radar, ALOS PALSAR, klasifikasi tutupan lahan.

4 4 IMAS NANIK HENDRAYANTI. E Study of Low Resolution of ALOS PALSAR Image for Classifying Regional Scale Forest and Land Cover of Java Island. Under Supervision of Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya. SUMMARY Java Island is the densets populated island in the world which occupied approximately 6.9% (13,219,000 ha) of the Indonesian archipelago territory and dwelled by approximately million people or 60% of Indonesian citizen (BPS, 2007). In line with the population growth, the need of space for their agriculture, settlement as well industries are significantly increased. This phenomenon had caused a rapid change of land cover, mainly from vegetated areas to built up areas. To monitor this rapid changes, there is a need to develop fast and cheap forest resource monitoring technique. To some extends, therefore, remote sensing had been proven as an effective and accurate tools to detect land cover changes. In Indonesia, the use of optical remote sensing data has been a common way. However, the optical remote sensing data have a limitation to monitor and detect under cloud as well as smoke or haze condition. Today, the advent of radar data such ALOS PALSAR had come with new persepective. These data had been ready to public uses since the ALOS satellite (Advance Land Observing Satellite) launched by Japan on 24th of January The objective of this research is to evaluate the capability of ALOS PALSAR image for classifying land cover in Java Island. The data that used are resolution ALOS PALSAR image acquired in 2007 having resolution of 200 m x 200 m, Landsat 7 ETM+ and other thematic data. The research was carried from May to August 2008 in Java Island. The hardware and equipments used are personal computer, printer, digitizer and GPS, while the softwares are Arcview 3.2, ERDAS Imagine Ver 9.1, and Minitab 14. The classification results show that, low resolution image data could be used to detect land cover classes into only 4 general classes, i.e., of water body, high biomass vegetation/forest, low biomass vegetation/forest, and agriculture field. The extend of each land cover derived using unsupervised classification of ALOS PALSAR are : agriculture field having size of 5,794, ha (43.95%), low density biomass vegetation/forest having size of 4,513, ha (34.24%), high density biomass vegetation/forest having size of 2,548,908.7 ha (19.34%) and water body having size of 325, ha (2.47%). While the extend of each land cover derived using supervised classification are agriculture field of 5,735, ha (43.51%), low density biomass vegetation/forest of 4,796, ha (36.39%), high density biomass vegetation/forest of 2,560, ha (19.43%) and water body of 89, ha (0.68%). The accuracies of this supervised classification are : 96.38% of Kappa Accuracy (KA) and 94.80% of Overall Accuracy (OA). The supervised classification result of Landsat 7ETM+ shows a more promising result in comparison with ALOS PALSAR where nine categories of land coverage are possible to be identified, such as: dense vegetation/forest of 398, ha (3.01%), medium density vegetation/forest of 1,469, ha (11.09%), sparse vegetation/forest of 3,593, ha (27.14%), dry field of 1,812, ha (27.14%), wet field of 1,095, ha (8.27%), settlement of 712, ha (5.38%), shrub (PLK) of 1,800, ha (13.59%), water of 174, ha (1.32%),and cloud of 2,186, ha (16.51%). These classification accuracies are 88.29% Kappa Accuracy (KA) and 86.52% Overall Accuracy (OA). Keywords: far remote sensing, radar, ALOS Palsar, land cover classification.

5 5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah untuk Klasifikasi Tutupan Hutan dan Lahan Skala Regional Pulau Jawa adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2008 Imas Nanik Hendrayanti E

6 6 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian Nama NIM Departemen : Kajian Citra Alos Palsar Resolusi Rendah untuk Klasifikasi Tutupan Hutan dan Lahan Skala Regional Pulau Jawa. : Imas Nanik Hendrayanti : E : Manajemen Hutan Menyetujui : Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr NIP : Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP : Tanggal Lulus :

7 i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga skripsi dapat diselesaikan dengan baik serta memperoleh banyak manfaat dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga bagi penulis selama menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah untuk Klasifikasi Tutupan Hutan dan Lahan Skala Regional Pulau Jawa. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Papah, Mamah, tercinta di rumah yang telah memberikan semua hal yang terbaik, perhatian, kasih sayang, dukungan, untaian doa tulus, serta pengorbanan dalam menyekolahkan sampai penulis menyelesaikan program sarjana ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr, selaku pembimbing yang senantiasa bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bantuan, dukungan, masukan positif serta kesabaran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Ellias selaku dosen penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Ir. Dones Rinaldi selaku dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Terima kasih atas segala nasehat yang diberikan kepada penulis. 4. Imas Nunik Hendrayani (kaka), Dini Nur Amalia (adik) tercinta terima kasih atas perhatian dan kasih sayang yang kalian berikan, itu semua menjadi kekuatan yang besar untuk penulis dalam menjalani kehidupan. 5. Pak Uus Saepul M dan Ka Edwine, serta keluarga besar Lab. Remote Sensing dan GIS, atas semua ilmu, bantuan dan motivasi yang selalu diberikan selama penulis menyusun skripsi.

8 ii 6. Keluarga besar penulis di Cilacap, yang senantiasa memberikan dukungan pada penulis. 7. Teman-teman di Fakultas Kehutanan IPB khususnya program studi Manajemen Hutan 41, yang selalu menjadi penyemangat dan motivasi penulis, terima kasih teman atas semua perjalanan kuliah selama empat tahun ini. 8. Sahabat tersayang Dega, Aditya, Vivie, Linda, Ozo, Rizal, Arif, Oki, Rendi, Riski, Clara, Babeh, Eris, Nita, Ayu, Eka, Nisa, Mba Helia, Rian, Wendha, Lita, Syaiful, Suci, Ratna, Mba Deasy terimakasih atas persahabatan yang selama ini terjalin begitu indah. 9. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut memberikan sumbangsih yang tidak ternilai. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis terbuka untuk saran dan masukan demi perbaikan kedepannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor, September 2008 Penulis

9 iii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Majenang pada tanggal 21 September 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Disman dan Marhaeningsih. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 47 Jakarta pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan BEM-E (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan) sebagai staf Departemen Kemahasiswaan dan Kesejahteraan Sosial periode 2005/2006, Sekretaris Kelompok Studi Politik, Ekonomi, dan Sosial Kehutanan Forest Management Student Club (FMSC) tahun Penulis juga pernah melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di BKPH Gunung Slamet Barat (KPH Banyumas timur), BKPH Rawa Timur (KPH Banyumas Barat) dan KPH Ngawi, serta kegiatan Praktek Kerja Lapang di KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Selain itu penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan, mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah untuk Klasifikasi Tutupan Hutan dan Lahan Skala Regional Pulau Jawa dibawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

10 iv DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i RIWAYAT HIDUP... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penelitian... 2 C. Manfaat Penelitian... 3 II. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Pulau Jawa... 4 B. Provinsi Banten... 5 C. Provinsi Jawa Barat... 6 D. Provinsi Jawa Tengah... 8 E. Provinsi Jawa Timur III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat...12 B. Perangkat Keras (Hardware) dan Perangkat Lunak (Software)...12 C. Data Citra Satelit ALOS PALSAR Tahun PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) Karakteristik Sistem Landsat...18 D. Metode Pengolahan Data Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Koreksi Geometrik (Rektifikasi) Penajaman Citra (Image Enhancement) Cropping Mosaik...21

11 v 6. Analisis Citra Secara Visual (Visual Image Interpretation) Pemeriksaan Lapangan (Ground Check)...24 E. Pengolahan Citra Digital (Image Processing) Klasifikasi Landsat Klasifikasi ALOS PALSAR...38 F. Evaluasi Konsistensi Tutupan Lahan...41 G. Pelaporan...41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Klasifikasi Tidak Terbimbing Citra ALOS PALSAR Klastering Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan 15 dan 8 Kelas Klastering Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan 5 dan 4 Kelas...49 B. Klasifikasi Terbimbing Citra ALOS PALSAR...56 C. Klasifikasi Citra Landsat 7 ETM Analisis Separabilitas Analisis Akurasi Hasil Klasifikasi...59 D. Evaluasi Luasan Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra ALOS PALSAR Hasil Klasifikasi Tidak Terbimbing Citra ALOS PALSAR Hasil Klasifikasi Terbimbing Citra ALOS PALSAR Hasil Klasifikasi Citra Landsat dengan Metode Terbimbing Perbandingan Antara Citra Landsat 7 ETM+ dan ALOS PALSAR...66 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran VI. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 78

12 vi DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Luas Tutupan Lahan Pada Provinsi Banten Luas Tutupan Lahan Pada Provinsi Jawa Barat Luas Tutupan Lahan Pada Provinsi Jawa Tengah Luas Tutupan Lahan Pada Provinsi Jawa Timur Lembar Citra Landsat 7 ETM+ yang Dihimpun dan Digunakan Dalam Kegiatan Analisis Karakteristik Citra ALOS Karakteristik PALSAR Karakteristik Data Pada Sistem Landsat (TM dan ETM+) Tampilan Visual Hasil Interpretasi Tutupan Lahan Kategori Tutupan Lahan Berdasarkan Kunci Interpretasi Pada Citra Landsat 7 ETM+ (Kombinas Band 5-4-2) Kategori Tutupan Lahan Berdasarkan Kunci Interpretasi Pada Citra ALOS PALSAR (Kombinas Band 1-2-1) Deskripsi Kelas Penutupan Lahan Pada Citra ALOS PALSAR Deskripsi Kelas Penutupan Lahan Kriteria Tingkat Keterpisahan Bentuk Matriks Kesalahan Kriteria Tingkat Keterpisahan Bentuk Matriks Kesalahan Matriks Jarak Euclidean 15 Kelas Citra ALOS PALSAR Matriks Jarak Euclidean 8 Kelas Citra ALOS PALSAR Matriks Jarak Euclidean 5 Kelas Citra ALOS PALSAR Nilai Separabilitas Citra ALOS PALSAR 5 Kelas Matriks Jarak Euclidean Citra ALOS PALSAR 4 Kelas Matriks Separabilitas Citra ALOS PALSAR 4 Kelas Matriks Separabilitas Citra ALOS PALSAR Matriks Kontingensi Dari Area Contoh Pada Citra ALOS PALSAR Matriks Separabilitas Citra Landsat 7 ETM

13 vii 27. Matriks Kontingensi Dari Area Contoh Pada Citra Landsat 7 ETM Luas 4 Kelas Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Luas Kelas Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Metode Supervised Classification Luas Kelas Tutupan Lahan Citra Landsat 7 ETM Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra Landsat 7 ETM+ dan ALOS PALSAR Perbandingan Luas Masing-Masing Penutupan Lahan Pada Citra ALOS PALSAR Hasil Klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ dan ALOS PALSAR... 70

14 viii DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Peta Batas Provinsi Pulau Jawa Citra Satelit ALOS PALSAR tahun 2006 Pulau Jawa Citra Landsat 7 ETM Peta Tutupan Lahan Pulau Jawa Satelit ALOS PALSAR Satelit Landsat Hasil Croping Citra ALOS PALSAR Citra Landsat Hasil Mosaik Diagram Alir Metode Penelitian Dendogram Citra ALOS PALSAR 15 Kelas Dendogram Citra ALOS PALSAR 8 Kelas Hasil Unsupervised Classification Citra ALOS PALSAR 8 Kelas Dendogram Citra ALOS PALSAR 5 Kelas Hasil Unsupervised Classification Citra ALOS PALSAR 5 Kelas Dendogram Citra ALOS PALSAR 4 Kelas Hasil Unsupervised Classification Citra ALOS PALSAR 4 Kelas Hasil Supervised Classification Citra ALOS PALSAR Hasil Klasifikasi Pada Citra Landsat 7 ETM Diagram Luas Tutupan Lahan/Hutan Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan Metode Tidak Terbimbing (Unsupervised Classification) Diagram Luas Tutupan Lahan/Hutan Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan Metode Terbimbing (Supervised Classification) Diagram Luas Tutupan Lahan/Hutan Klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ dengan MetodeTerbimbing (Supervised Classification)... 68

15 ix DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Nilai tiap GCP hasil koreksi geometrik citra ALOS PALSAR Nilai tiap GCP hasil koreksi geometrik citra Landsat 7 ETM+...80

16

17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Total luas kawasan hutan di Indonesia, sampai tahun 2005, seluas juta ha (Departemen Kehutanan, 2006). Keberadaan hutan Indonesia menjadi sangat penting dimana hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia. Oleh karena itu, dilakukan berbagai kegiatan untuk mempertahankan dan meningkatkan luas tutupan hutan yang telah ada saat ini. Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang ada di Indonesia, mempunyai daratan seluas 13,219,000 ha atau 6.9% dari luas Indonesia, dan dihuni oleh juta jiwa atau sekitar 60% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2007). Tingginya jumlah penduduk di Pulau Jawa ini mendorong perkembangan ekonomi yang cukup pesat. Namun dampak lainnya adalah adanya tekanan terhadap lingkungan, seperti terjadinya konversi secara besar-besaran khususnya pada kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman. Dinamika perubahan penutupan lahan yang cepat menyebabkan perlu dikembangkannya tehnik pemantauan sumberdaya hutan yang cepat dan murah. Oleh karena itu, teknologi penginderaan jauh sangat dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang penutupan lahan dan vegetasi yang akurat, cepat dan efisien agar dapat merencanakan tata ruang wilayah di Pulau Jawa. Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh, khususnya citra optik yang digunakan untuk melakukan pemantauan sumberdaya hutan. Posisi geografis Indonesia yang berada pada daerah tropis menjadi salah satu kendala dalam menggunakan data citra optik. Indonesia memiliki dua musim tiap tahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, awan menjadi kendala dalam menggunakan data citra optik. Sedangkan yang menjadi kendala pada musim kemarau adalah asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Adanya awan dan asap sangat mengganggu dalam proses identifikasi dan pemantauan objek dipermukaan bumi, hal ini seringkali membuat informasi terbaru dibawah awan atau asap tidak tersedia.

18 2 Untuk mengatasi kelemahan dari citra optik maka saat ini telah tersedia suatu sistem penginderaan jauh aktif (Radar). Radar memiliki kemampuan untuk melakukan perekaman pada segala cuaca, baik pada siang atau malam hari, serta mampu mengatasi kendala tutupan awan dan asap. Salah satu satelit yang membawa sensor radar yang diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 adalah satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite). ALOS membawa 3 jenis sensor, yaitu PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Apeture Radar), PRISM (Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type- 2). Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Apeture Radar), merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR (Synthetic Aperture Radar), Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang memiliki keistimewaan dapat menembus lapisan awan tebal. Sensor ini cocok digunakan untuk memperoleh informasi penutupan lahan di Pulau Jawa, yang berada di wilayah tropik dan equatorial serta hampir setiap saat wilayahnya tertutup awan. Dewasa ini teknologi Radar telah banyak dimanfaatkan dan diaplikasikan di berbagai sektor, seperti sistem SLAR (Side Looking Apeture Radar) yang digunakan untuk pemetaan geologi dalam kawasan hutan lebat di Amazon, Brazil (Correa, 1980 dalam Lo,1996) dan pemetaan radar skala besar mengenai vegetasi di Nigeria oleh Hunting Technical Services di Inggris (Parry dan Trevett, 1979 dalam Lo, 1996). Citra ALOS juga sudah dimanfaatkan yaitu untuk melakukan pemantauan banjir di Jakarta (Tejakusuma et al, 2007), pengidentifikasian penutupan lahan (Arifin, 2007), pengkajian pemetaan sumberdaya alam, dan memonitoring keadaan hutan Kalimantan Timur untuk mendeteksi illegal loging serta pendugaan potensi atau volume kayu (Badan Planologi, 2007 dalam Carolita, 2007). Dalam penelitian digunakan citra ALOS PALSAR dengan resolusi sedang untuk mendeteksi tutupan lahan skala regional di Pulau Jawa. B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi kemampuan atau tingkat ketelitian citra ALOS PALSAR resolusi rendah guna mengidentifikasi tutupan hutan skala regional di Pulau Jawa.

19 3 C. Manfaat Penelitian 1. Sebagai komplemen dari citra optik untuk mengisi data tutupan lahan yang tidak bisa di cover oleh citra optik. 2. Sebagai bahan perencanaan penataan ruang di Pulau Jawa.

20 A. Letak dan Luas BAB II KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambar 1. Peta Batas Provinsi Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan Paparan Sunda. Pulau Jawa memiliki luas wilayah sebesar 13,219,000 ha, dengan penduduk sekitar juta jiwa (BPS, 2007). Secara geografis, Pulau Jawa terletak pada : Letak Geografis : 7º30 10 LS dan 111º15 47 BT Secara administratif Pulau Jawa dibagi menjadi enam Daerah Tingkat I: a. Daerah Khusus Ibukota Jakarta b. Provinsi Banten c. Provinsi Jawa Barat d. Provinsi Jawa Tengah e. Provinsi Jawa Timur f. Daerah Istimewa Yogyakarta

21 5 B. Provinsi Banten Sebelum tahun 2000 Provinsi Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun saat ini telah menjadi provinsi sendiri. Wilayah ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun Saat ini wilayah Banten tercatat memiliki luas 8, km2 yang mencakup sisi barat dari Provinsi Jawa Barat. Ibukota Provinsi Banten adalah Serang. Secara administratif, provinsi ini terdiri atas empat kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, dan Tangerang serta dua kota yaitu Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Menurut data penduduk tahun 2004, provinsi ini tercatat memiliki jumlah penduduk sebanyak 9,083,114 jiwa. Letak Geografis : 105º1 11 BT ~ 106º7 12 BT 5º7 50 LS ~ 7º1 1 LS Batas Wilayah : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Provinsi DKI dan Provinsi Jawa Barat Sebelah Selatan : Samudera Hindia Sebelah Barat : Selat Sunda dan Lampung 1. Topografi Berdasarkan ketinggiannya dari permukaan laut (dpl), Provinsi Banten merupakan wilayah yang terletak pada ketinggian 0 sampai 1,000 meter dpl. Berdasarkan kelas ketinggian, ketinggian 0~200 meter dpl meliputi wilayah sepanjang Pantai Utara, Pantai Barat, dan Pantai Selatan. Sedangkan ketinggian 501~1,000 meter dpl, meliputi wilayah Kabupaten Pandeglang bagian utara, Puncak Gunung Sanggabuana dan Gunung Halimun. Berdasarkan kelas kemiringan wilayah dengan kemiringan curam 25~40 % sebesar 38.15% dan wilayah dengan kemiringan 0 ~8 % sebesar 4.62% luas Provinsi Banten. 2. Jenis Tanah Provinsi Banten memiliki jenis tanah Aluvial, Latosol, Podsolik, Podsolik Merah Kuning,dan Regosol. Jenis tanah yang paling mendominasi adalah jenis tanah Latosol (42.26 %) dan tanah Podsolik (47.20%).

22 6 3. Iklim Iklim pada Provinsi Banten adalah iklim tropis yang dipengaruhi angin muson. Curah hujan rata-rata 2,000~4,000 mm/th dengan suhu berkisar 24.5ºC~29.9ºC, dan kelembaban rata-rata 65~85 %. 4. Tutupan Lahan Berdasarkan Badan Planologi Kehutanan (2005), penutupan lahan Provinsi Banten memiliki wilayah hutan seluas 157,000 ha dan non hutan seluas 779,190 ha. Luas tutupan lahan pada Provinsi Banten disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Tutupan Lahan pada Provinsi Banten No Keterangan Luas (Ha) A. Hutan 1 Hutan lahan kering primer 8,000 2 Hutan lahan kering sekunder 57,000 3 Hutan rawa sekunder 2,000 4 Hutan mangrove sekunder 3,000 5 Hutan Tanaman 89,000 Jumlah Hutan 157,000 B. Non Hutan 1 Semak/Belukar 25,000 2 Belukar rawa 2,000 3 Perkebunan 3,000 4 Pertanian lahan kering 88,000 5 Pertanian lahan kering, semak 271,000 6 Sawah 260,000 7 Tambak 15,000 8 Pemukiman 66,000 9 Tanah terbuka 12, Rawa 1,000 Jumlah Non Hutan 779,000 C. Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Indonesia. Provinsi ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1950 dengan Ibukota Bandung. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah sebesar 4,435,416 ha. Secara geografis Provinsi Jawa Barat terletak pada : Letak Geografis : 104º48 BT ~ 104º48 BT 5º50 LS ~ 7º50 LS Batas Wilayah : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Provinsi Jawa Tengah

23 7 Sebelah Selatan : Samudera Indonesia Sebelah Barat : Selat Sunda 1. Topografi Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung Pulau Sumatera hingga ujung Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1,500 meter dpl, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100~1,500 meter dpl dan wilayah dataran luas di utara dengan ketinggian 0.10 meter dpl. 2. Jenis Tanah Provinsi Jawa Barat memiliki 9 jenis tanah yaitu Latosol, Podsolik Merah Kuning, Aluvial, Andosol, Regosol, Gleisol, Grumosol, dan Mediteran. 3. Iklim Ditinjau dari iklimnya, Jawa Barat beriklim tropis dengan suhu 9ºC di Puncak Gunung Pangrango dan 34ºC di Pantura, memiliki curah hujan rata-rata 2,000 mm/th. Namun di beberapa daerah pengunungan curah hujannya antara 3,000 mm/th sampai 5,000 mm/th. 4. Fisiografi Ditinjau dari fisiografinya, bagian utara wilayah Jawa Barat merupakan daerah berdataran rendah, sedangkan bagian selatan kawasan berbukit-bukit, dan pada bagian tengah kawasan dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergununggunung. 5. Tutupan Lahan Berdasarkan Badan Planologi Kehutanan (2005), penutupan lahan Provinsi Jawa Barat memiliki wilayah hutan seluas 640,000 ha dan non hutan seluas 3,077,000 ha. Luas tutupan lahan pada Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 2.

24 8 Tabel 2. Luas Tutupan Lahan pada Provinsi Jawa Barat No Keterangan Luas (ha) A. Hutan 1 Hutan lahan kering primer 18,000 2 Hutan lahan kering sekunder 186,000 3 Hutan rawa sekunder 0 4 Hutan mangrove sekunder 2,000 5 Hutan Tanaman 434,000 Jumlah Hutan 640,000 B. Non Hutan 1 Semak/Belukar 53,000 2 Belukar rawa 0 3 Perkebunan 190,000 4 Pertanian lahan kering 628,000 5 Pertanian lahan kering, semak 751,000 6 Sawah 1,093,000 7 Tambak 73,000 8 Pemukiman 238,000 9 Tanah terbuka 48, Rawa 12,000 Jumlah Non Hutan 3,077,000 D. Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang diapit oleh dua provinsi di Pulau Jawa. Dengan Ibukota Semarang, Provinsi Jawa memiliki luas wilayah sebesar 3.25 juta ha. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah adalah 30,775,846 jiwa. Secara geografis, Provinsi Jawa Barat terletak pada : Letak Geografis : 108º30 BT ~111º30 BT 5º40 LS ~ 8º30 LS Batas Wilayah : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Provinsi Jawa Timur Sebelah Selatan : Samudera Hindia dan DIY Sebelah Barat : Jawa Barat 1. Topografi Menurut tingkat kemiringan lahan di Jawa Tengah sebesar 38% lahan memiliki kemiringan 0~2%, 31% lahan memiliki kemiringan 2~15%, 19% lahan memiliki kemiringan 15~40%, dan sisanya 12% lahan memiliki kemiringan lebih dari 40%.

25 9 Kawasan Pantai Utara Jawa Tengah memiliki dataran rendah yang sempit. Di kawasan Brebes selebar 40 km dari pantai dan di Semarang hanya selebar 4 km. Dataran ini bersambung dengan depresi Semarang-Rembang di sebelah timur. 2. Keadaan tanah Menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1969, jenis tanah wilayah Jawa Tengah didominasi oleh tanah Latosol, Aluvial, dan Gromosol sehingga hamparan tanah di provinsi ini termasuk tanah yang mempunyai tingkat kesuburan yang relatif subur. 3. Iklim Jawa Tengah memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata 2,000 mm/th dan suhu rata-rata 21~32ºC. Daerah dengan curah hujan tinggi terutama terdapat di Nusakambangan bagian barat dan sepanjang Pegunungan Serayu Utara. Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah Blora dan sekitarnya serta di bagian selatan Kabupaten Wonogiri. 4. Tutupan Lahan Berdasarkan Badan Planologi Kehutanan (2005), penutupan lahan provinsi Jawa Tengah memiliki wilayah hutan seluas 701,000 ha dan non hutan seluas 2,735,000 ha. Luas tutupan lahan pada Provinsi Jawa Tengah disajikan pada Tabel 3.

26 10 Tabel 3. Luas tutupan lahan pada Provinsi Jawa Tengah No Keterangan Luas (Ha) A. Hutan 1 Hutan lahan kering primer 0 2 Hutan lahan kering sekunder 52,000 3 Hutan rawa sekunder 0 4 Hutan mangrove sekunder 9,000 5 Hutan Tanaman 640,000 Jumlah Hutan 701,000 B. Non Hutan 1 Semak/Belukar 36,000 2 Belukar rawa 4,000 3 Perkebunan 24,000 4 Pertanian lahan kering 696,000 5 Pertanian lahan kering, semak 415,000 6 Sawah 1,078,000 7 Tambak 53,000 8 Pemukiman 423,000 9 Tanah terbuka 5, Rawa 12,000 Jumlah Non Hutan 2,735,000 E. Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur dengan Ibukota Provinsi Surabaya, memiliki luas wilayah seluas 47,922 km2 dan dengan jumlah penduduk sebesar 33,423,234 jiwa. Secara geografis Provinsi Jawa Timur terletak pada : Letak Geografis : 111º BT ~ 114º 4 BT 7º12 LS ~ 8º48 LS Batas Wilayah : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Selat Bali Sebelah Selatan : Samudera Indonesia Sebelah Barat : Jawa Tengah 1. Topografi Berdasarkan karakteristik tinggi tempat diatas permukaan laut, provinsi Jawa Timur terletak pada ketinggian 0~1,000 meter dpl. Kelas ketinggian terluas adalah pada 0~500 meter dpl sebesar 83%, sedangkan yang paling kecil luasnya terdapat pada ketinggian lebih dari 1,000 meter dpl sebesar 6%.

27 11 2. Keadaan tanah Menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1969, jenis tanah wilayah Jawa Timur didominasi oleh Tanah Latosol, Aluvial, Rensina, Regosol Coklat, dan Andosol. 3. Iklim Jawa Timur memiliki temperatur yang bervariasi, antara 17ºC~30ºC, dengan kelembaban udara berada antara 70 %~80 %. Jawa Timur memiliki curah hujan yang relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa, yaitu ratarata 2,000 mm/th 4. Tutupan Lahan Berdasarkan Badan Planologi Kehutanan (2005), penutupan lahan provinsi Jawa Timur memiliki wilayah hutan seluas 1,558,110 ha, dan non hutan seluas 3,256,000 ha. Luas tutupan lahan pada Provinsi Jawa Timur disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Tutupan Lahan Pada Provinsi Jawa Timur No Keterangan Luas (Ha) A. Hutan 1 Hutan lahan kering primer 337,000 2 Hutan lahan kering sekunder 192,000 3 Hutan mangrove primer 15,000 4 Hutan mangrove sekunder 11,000 5 Hutan Tanaman 1,003,000 Jumlah Hutan 1,558,000 B. Non Hutan 1 Semak/Belukar 19,000 2 Belukar rawa 0 3 Perkebunan 86,000 4 Pertanian lahan kering 1,231,000 5 Pertanian lahan kering, semak 337,000 6 Sawah 1,054,000 7 Tambak 91,000 8 Pemukiman 394,000 9 Tanah terbuka 33, Rawa 0 Jumlah Non Hutan 3,256,000

28 12 A. Waktu dan Tempat BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2008 dengan daerah penelitian Pulau Jawa. Data yang digunakan merupakan data sekunder. Kegiatan pengolahan dan analisis dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. B. Perangkat Keras (Hardware) dan Perangkat Lunak (Software) Software dan hardware yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Komputer pribadi, b. Erdas Imagine Ver 9.1. c. Arc View GIS Ver 3.2. C. Data Data utama yang digunakan pada penelitian ini adalah : a. Citra ALOS PALSAR polarisasi HH dan HV rekaman tahun 2006 dengan resolusi 200 m (Gambar 2) b. Citra Landsat 7 ETM+ rekaman tahun 2004, 2005 dan 2006 sebanyak 12 scene (Tabel 5). Citra yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 3. Tabel 5. Lembar Citra Landsat 7 ETM+ yang Dihimpun dan Digunakan dalam Kegiatan Analisis No Path Row Tanggal Perekaman

29 13 Gambar 2. Citra Satelit ALOS PALSAR Tahun 2006 Pulau Jawa Gambar 3. Citra Landsat 7 ETM+

30 14 Data pendukung lainnya : a. Peta digital tutupan lahan Pulau Jawa tahun 2003 (Gambar 4). b. Peta digital PDTK (Peta Dasar Tematik Kehutanan). c. Peta digital batas wilayah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DIY.

31 Gambar 4. Peta Tutupan Lahan Pulau Jawa 15

32 16 1. Citra Satelit ALOS PALSAR Tahun 2006 ALOS (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS (Gambar 5) diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegashima Spaca Center. Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun, dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang dirancang untuk dapat memperoleh data Digital Terrain Model (DTM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) untuk pemantauan tutupan lahan secara lebih tepat, dan Phased-Array type L-band Synthetic Apeture Radar (PALSAR) untuk pemantauan cuaca pada siang dan malam hari. Karakteristik citra ALOS disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik Citra ALOS Alat Peluncur Roket H-II Tempat peluncur Pusat Ruang Angkasa Tanegashima Berat Satelit 4,000 kg Power 7,000 W Waktu Operasional 3 sampai 5 tahun Orbit Sun-Synchronous Sub Recurr Orbit Recurrent periode 46 hari Sub cycle 2 hari Tinggi Lintasan 692 km di atas Equator Inclinasi : Akurasi Ketingggian 2.0 x (dengan GCP) Akurasi posisi 1 m (off-line) Kecepatan Perekaman 240 Mbps (via Data Relay Technology Satellite) 120 Mbps (Transmisi Langsung) Onboar Data Recorder Solid-state data recorder (90 Gbytes) Sumber : NASDA(2006) 2. PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) Sensor PALSAR yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas

33 17 cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experiment mode) Frekuensi 1,270 MHZ (L-Band) Lebar Kanal 28/114 MHz Polarisasi HH/VV/HH +HV atau VV+VH HH atau VV HH+HV+VH+VV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m 100 m (multi (4 look) look) 30 m Lebar Cakupan 70 Km km 30 Km Incidence Angle 8-60 derajat derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 db (70 Km) <-25 db (60 Km) <-25 db <-29 db Panjang bit 3 bit atau 5bit 5 bit 3 bit atau 5bit Ukuran AZ: 8.9 m x EL : 2.9 m Sumber : NASDA(2006) Gambar 5. Satelit ALOS PALSAR (Jaxa, 2006)

34 18 3. Karakteristik Sistem Landsat Thematic Mapper (TM) merupakan alat scanning mekanis, mempunyai resolusi spektral (7 band), spatial (30m x 30m) dan radiometrik (8 bit) lebih baik. Satelit Landsat 7 pada Gambar 6. Merupakan implementasi lanjutan dari seri satelit sebelumnya (program satelit ERTS yang diberi nama baru Landsat). Satelit yang berorbit sirkular dan sun-synchronous ini diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tanggal 15 April 1999 dengan sudut inklinasi antara 98.2 º hingga 99.1 º, ketinggian 705 km di atas ekuator, periode orbit setiap 99 menit, dapat mencapai lokasi yang sama setiap 16 hari (repeat cycle), dan beresolusi radiometrik 8-bit (DN). Landsat-7 dilengkapi dengan sensor ETM+ ( Tabel 8). Tabel 8. Karakteristik data pada sistem Landsat (TM dan ETM+) Instrument Band spektral (μm) IFOV (m) Dynamic range (bits) TM blue 30 x green 30 x red 30 x NIR 30 x MIR 30 x MIR 30 x thermal IR 120 x ETM+ sama dengan TM dengan tambahan x 15 8 Gambar 6. Satelit Landsat.

35 19 D. Metode Pengolahan Data 1. Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (pre-image processing) merupakan tahap awal dari pengolahan citra satelit Landsat 7 ETM+, dan citra ALOS PALSAR. Berupa perbaikan atau koreksi terhadap data citra yang masih memiliki kesalahan (distorsi) di dalamnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas data citra yang akan berpengaruh terhadap hasil akhir yang akan dicapai. Langkah awal sebelum masuk pada kegiatan pengolahan awal citra yaitu melakukan proses import dan merging data citra. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 scene citra Landsat 7 ETM+ (format *.tif). Langkah berikutnya melakukan penggabungan masing-masing citra saluran multispektral (saluran biru, hijau, merah, inframerah dekat, inframerah sedang I, inframerah sedang II, dan inframerah panas) menjadi satu data citra multispektral. Saluran spektral yang digunakan pada penelitian ini yaitu band 1, band 2, band 3, band 4, band 5, dan band 7, mengabaikan band 6 dan 8 (saluran pangkromatik) yang terdapat pada Landsat 7 ETM+. Sedangkan untuk citra ALOS PALSAR melakukan penggabungan band HH dan HV. 2. Koreksi Geometrik (Rektifikasi) Pada citra ALOS PALSAR dan citra Landsat yang digunakan belum terkoreksi secara geometrik, sehingga perlu dilakukan koreksi geometrik terlebih dahulu. Rektifikasi dilakukan agar citra mempunyai koordinat sama dengan peta dengan datum WGS 84 serta sistem koordinat UTM. Atas dasar acuan yang digunakan rektifikasi dapat dibedakan atas : (1) Rektifikasi citra ke citra (image to image retification) dan (2) Rektifikasi citra ke peta (image to map rectification). Pada penelitian ini digunakan teknik rektifikasi citra ke peta (image to map rectification) antara citra Landsat 7 ETM+ dan citra ALOS PALSAR, dengan PDTK (Peta Dasar Tematik Kehutanan). Resampling merupakan suatu proses transformasi citra dengan memberikan nilai piksel terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem koordinat ke sistem koordinat yang lain (Jaya, 2007).

36 20 Tahap-tahap melakukan koreksi geometrik : a) Memilih titik kontrol lapangan (Ground control point) pada citra dengan syarat tersebar merata di seluruh citra, relatif permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu pendek (misal : jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Secara teoritis, jumlah minimum GCP yang harus dibuat adalah : ( t + 1 ) ( + 2 ) GCP min = + t 2 dimana t : orde dari persamaan transformasi b) Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk melakukan interpolasi spasial. Persamaan ini umumnya berupa persamaan polinomial baik orde 1, 2 dan 3. Pada penelitian ini digunakan orde 1. Orde I disebut juga Affine transformation (diperlukan minimal 3 GCP): p' = ao + a1x + a2y l' = b + b X + b Y o 1 2 Ket: p' dan l ' = posisi piksel pada citra yang belum terkoreksi X dan Y = posisi koordinat peta c) Menghitung kesalahan RMSE (Root Mean Squared Error) dari GCP yang terpilih. Nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0.5 piksel. Kesalahan rata-rata dari rektifikasi ini dihitung sebagai berikut : ( X X ) ( Y Y ) 2 2 RMS error = r i + r i Berdasarkan proses rektifikasi yang telah dilakukan pada citra Landsat 7 ETM+ titik kontrol yang dipilih sebanyak 84 GCP dan untuk citra ALOS PALSAR titik kontrol yang dipilih sebanyak 80 GCP. Setelah GCP terpilih selanjutnya dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. Ketelitian diharapkan dalam koreksi geometris adalah nilai akar kesalahan rata-rata kuadrat (RMSE) yang lebih kecil dari 0.5 piksel. Nilai RMSE yang diperoleh dari kedua citra tersebut sesuai dengan yang disyaratkan, yaitu kurang dari 0.5 piksel. Untuk citra ALOS PALSAR dengan 80 GCP diperoleh nilai RMSE sebesar piksel, sedangkan untuk citra Landsat 7 ETM+ dengan 84 GCP diperoleh nilai RMSE sebesar piksel.

37 21 3. Penajaman Citra (Image Enhancement). Untuk mendapatkan citra dengan tampilan visual yang baik, maka diperlukan suatu operasi untuk memperbaiki nilai kontras citra. Operasi ini disebut dengan penajaman citra. Teknik penajaman citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah histogram equalize, berupa perentangan Digital Number-nya pada skala keabuan Tujuannya adalah agar kelompok-kelompok digital number mempunyai jarak antar yang satu dengan yang lainnya, sehingga memudahkan identifikasi fitur. 4. Cropping Cropping adalah pemotongan citra yang telah dikoreksi yang digunakan sesuai dengan lokasi pengamatan, citra yang dilakukan pemotongan yaitu citra ALOS PALSAR. Hal ini bertujuan untuk lebih memfokuskan perhatian ke areal penelitian juga untuk mereduksi volume data citra, agar mudah dalam proses di komputer. Hasil cropping dapat dilihat pada Gambar Mosaik Mosaik (Mozaick) merupakan suatu proses penggabungan dari beberapa citra secara bersama membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid dan koordinatnya terinterkoneksi) (Jaya, 2007). Mosaik dilakukan pada citra Landsat yang terdiri dari gabungan 12 citra untuk wilayah Pulau Jawa. Adapun hasil mosaik dapat dilihat pada Gambar 8.

38 22 Gambar 7. Hasil Croping Citra ALOS PALSAR. Gambar 8. Citra Landsat Hasil Mosaik.

39 23 6. Analisis Citra Secara Visual (Visual Image Interpretation) Klasifikasi visual atau kualitatif merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra, dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial, spektral, dan temporal. Unsur interpretasi berdasarkan tingkat kerumitan dibedakan menjadi empat tingkat yaitu : a. Kunci interpretasi primer, yaitu : rona dan warna. b. Kunci interpretasi sekunder, yaitu : bentuk, ukuran, dan tekstur. c. Kunci interpretasi tersier, yaitu : pola dan bayangan. d. Kunci interpretasi lebih tinggi, yaitu : situs atau asosiasi. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal dalam mengidentifikasi pola sebaran, penentuan jumlah kelas tutupan lahan dan macam kelas tutupan lahan yang ada di daerah penelitian. Untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi secara visual, citra Landsat ditampilkan ke dalam format RGB (Red Green Blue) untuk dapat menghasilkan warna komposit. Menurut Jaya (2007), kombinasi yang terdiri dari salah satu band visible (band 1, 2, dan 3), band 4 (near infrared) dan band 5 (middle infrared) dapat memberikan separabilitas antar kelas yang tinggi. Perbedaan yang jelas antar kelas akan lebih mempermudah dalam deteksi dan identifikasi secara visual karena tampilan objek yang ada pada citra bisa dengan mudah dibedakan. Untuk kategori tutupan lahan berdasarkan kunci interpretasi pada citra Landsat disajikan pada Tabel 10. Sedangkan untuk citra ALOS PALSAR memiliki polarisasi HH dan HV, agar citra mudah diinterpretasi maka harus dibuat komposit RGB dari citra ALOS terpolarisasi yang tersedia yaitu HH dan HV. Kombinasi band yang digunakan adalah (HH-HV-HH). Untuk kategori tutupan lahan berdasarkan kunci interpretasi pada citra Landsat disajikan pada Tabel 11. Dari kegiatan interpretasi visual citra Landsat dan ALOS dapat diidentifikasikan sembilan kelas tutupan lahan (termasuk awan) yang bisa dibedakan secara visual satu dengan lainnya. Awan tidak termasuk dalam salah satu kelas tutupan lahan yang menutupi lapisan permukaan bumi tetapi ikut

40 24 diklasifikasi sebagai salah satu kelas tutupan lahan karena dapat mempengaruhi hasil klasifikasi pada citra Landsat dan dapat mempengaruhi hasil klasifikasi. Dalam penelitian ini, kombinasi band yang digunakan dalam interpretasi, untuk citra Landsat band (mengacu pada standar dari Departemen Kehutanan untuk analisis hutan dan vegetasi). Hasil dari interpretasi visual citra dari kelas-kelas tutupan lahan citra ALOS PALSAR dan Landsat disajikan pada Tabel Pemeriksaan Lapangan (Ground Check) Kegiatan pengecekan lapangan dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan atau kondisi lapangan secara nyata sebagai pelengkap informasi dan pembanding bagi analisis selanjutnya. Adapun gambar hasil pemeriksaan lapangan disajikan pada Tabel 9.

41 25 25 Tabel 9. Tampilan Visual Hasil Interpretasi Tutupan Lahan No Tampilan di Lapangan Tampilan Citra Landsat 7 ETM+ Tampilan Citra ALOS PALSAR Kombinasi Band kombinasi Band Deskripsi 1 Tubuh air Tubuh air Lahan yang tergenang air tanpa ada vegetasi yang menaunginya. 2 Vegetasi/hutan Rapat Vegetasi/hutan rapat Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk >70%.

42 26 Tabel 9. Lanjutan No Tampilan di Lapangan 3 Vegetasi/hutan sedang Tampilan Citra Landsat 7 ETM+ Kombinasi Band Tampilan Citra ALOS PALSAR kombinasi Band Deskripsi Vegetasi/hutan sedang Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk ± 40-70%. 4 Vegetasi/hutan jarang Vegetasi/hutan jarang Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk <40%. 26

43 27 Tabel 9. Lanjutan No Tampilan di Lapangan 5 Permukiman Tampilan Citra Landsat 7 ETM+ Kombinasi Band Tampilan Citra ALOS PALSAR kombinasi Band Deskripsi Permukiman Lahan yang merupakan tempat tinggal dan pusat kegiatan manusia, serta jalan. 6 Awan Awan Areal yang diliputi oleh awan. 27

44 28 Tabel 9. Lanjutan No Tampilan di Lapangan Tampilan Citra Landsat 7 ETM+ Tampilan Citra ALOS PALSAR Kombinasi Band kombinasi Band Deskripsi 7 Sawah basah Sawah basah Lahan sawah yang sudah ditumbuhi padi (sebelum panen) dan masih banyak mengandung air. 8 Semak Semak Lahan yang didominasi oleh tumbuhan kecil sampai sedang, tidak mempunyai batang yang jelas, banyak cabang, dan memiliki penutupan lahan yang rapat dan relatif sedang. 28

45 29 Tabel 9. Lanjutan No Tampilan di Lapangan Tampilan Citra Landsat 7 ETM+ Tampilan Citra ALOS PALSAR Kombinasi Band kombinasi Band Deskripsi 9 Sawah kering Sawah kering Lahan sawah kering (pasca panen). 29

46 30 Tabel 10. Kategori Tutupan Lahan Berdasarkan Kunci Interpretasi Pada Citra Landsat 7 ETM+ (Kombinasi Band 5-4-2) No Kategori Tutupan Warna Ukuran Bentuk Tekstur Pola Bayangan Lahan 1 Badan air Biru tua Bervariasi Tidak beraturan Halus Acak mengelompok - 2 Sawah basah Ungu Tua Bervariasi Beraturan Agak halus Teratur - (awal tanam) 3 Sawah kering Kuning- Bervariasi Beraturan Agak halus Teratur - (pasca panen) kehijauan 4 Permukiman Coklat Bervariasi Beraturan Kasar Acak mengelompok - kemerahan 5 Semak atau PLK Hijau- Bervariasi Tidak beraturan Agak kasar Acak - kecoklatan 6 Vegetasi/hutan rapat Hijau Tua Bervariasi Tidak beraturan Halus-kasar Acak - 7 Vegetasi/hutan sedang Hijau mudahijau Bervariasi Tidak beraturan Halus-kasar Acak - tua 8 Vegetasi/hutan jarang Hijau muda Bervariasi Tidak beraturan Halus-kasar Acak - 9 Awan Putih Bervariasi Tidak beraturan Halus - kasar Acak menyebar Ada 30

47 31 Tabel 11. Kategori Tutupan Lahan Berdasarkan Kunci Interpretasi Pada Citra ALOS PALSAR (Kombinasi Band 1-2-1) No Kategori Tutupan Warna Ukuran Bentuk Tekstur Pola Bayangan Lahan 1 Vegetasi/hutan Hijau muda- Bervariasi Tidak beraturan Kasar, terlihat 3 dimensi Menyebar - biomassa rendah ungu 2 Vegetasi/hutan Hijau muda- Bervariasi Tidak beraturan Kasar, terlihat 3 dimensi Menyebar Ada biomassa tinggi ungu cerah 3 Tubuh air Hitam Bervariasi Beraturan Halus Menyebar - 4 Lahan pertanian Ungu muda Bervariasi Beraturan Agak halus Sebagian besar mengelompok - 31

48 32 Tabel 12. Deskripsi Kelas Penutupan Lahan Pada Citra ALOS PALSAR No Tutupan lahan Deskripsi berdasarkan citra Landsat 7 ETM+ 1 Vegetasi/hutan biomassa Vegetasi/hutan rapat, vegetasi/hutan sedang tinggi 2 Vegetasi/hutan biomassa Vegetasi/hutan jarang, semak belukar, pertanian rendah lahan kering, urban area 3 Lahan pertanian Sawah basah, sawah kering 4 Tubuh air Tubuh air Berdasarkan hasil klasifikasi secara visual proses identifikasi pada citra radar lebih sulit untuk diinterpretasi karena tampilan warna dari citra radar yang kurang menarik jika dilihat secara langsung. Citra radar tersusun atas banyak piksel yang merupakan hamburan balik atau backscatter dari obyek yang diamati. Warna yang lebih gelap menandakan hamburan balik yang rendah, dan memungkinkan tidak ada informasi yang diterima dari obyek, sedangkan warna yang lebih terang menandakan hamburan balik yang tinggi. Instrumen PALSAR pada citra ALOS merupakan sensor radar yang menggunakan frekuensi saluran L (λ = 19.3~76.9 cm). Sensor ini mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan ScanSAR didisain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang lebih lebar dibandingkan SAR konvensional. Data ALOS PALSAR yang digunakan memiliki polarisasi ganda yaitu HH dan HV. Polarisasi HH mengirim dan menerima energi polarisasi secara horizontal (HH), sedangkan HV mengirim energi polarisasi horizontal dan menerima energi polarisasi vertikal (HV). HH adalah polarisasi searah (co-polarization) dan HV adalah polarisasi silang (cross-polarization). Karena rumitnya interaksi sinyal radar dengan obyek dan hasil baliknya (hamburan balik atau backscatter) yang dipengaruhi orientasi lereng, kekasaran permukaan, tutupan vegetasi/hutan, kandungan air pada tanah dan vegetasi/hutan, sehingga tidak selalu dapat diperkirakan apakah citra dengan polarisasi searah atau citra dengan polarisasi silang yang mempunyai informasi lebih baik untuk pengguna tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1990). Polarisasi mempengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan oleh sistem radar. Pada kasus tertentu polarisasi HV menghasilkan citra dengan kontras yang lebih kecil dan menunjukan pembedaan vegetasi/hutan yang sedikit dari citra polarisasi HH.

49 33 Kekasaran permukaan adalah fungsi variasi relief permukaan bumi yang secara kuat mempengaruhi hamburan balik radar (Lillesand dan Kiefer, 1990). Kekasaran permukaan menyebabkan perbedaan pantulan pulsa radar. Perbedaan pantulan radar dapat digolongkan berdasarkan tiga jenis permukaan obyek, yaitu: pantulan baur (pantulan ke segala arah) menyebabkan rona cerah, pada permukaan kasar seperti daerah berbatu, vegetasi/hutan yang heterogen dan air. Pantulan cermin (arah pantulan berlawanan dengan arah datangnya sinar) menyebabkan rona gelap pada permukaan obyek yang halus, seperti permukaan air tenang dan permukaan tanah yang diratakan atau dikeraskan. Pantulan sudut (pantulan kembali kearah sensor) menyebabkan rona sangat cerah dan melebar pada obyek yang bersudut siku-siku seperti lereng terjal atau cliff (Purwadhi, 2001). Radar melakukan perekaman dengan arah menyamping. Medan yang diindera juga tidak selalu memiliki arah yang sama, sehingga dalam mencitra berbagi relief atau topografi permukaan bumi akan memberikan hasil yang berbeda. Hal ini timbul melalui variasi geometri sensor terhadap medan. Variasi lokal medan mengkibatkan sudut datang sinyal radar yang berbeda-beda. Bila terjadi pada lereng, hasil balik tenaga radar bagi lereng yang menghadap ke arah sensor (lereng depan) akan memantulkan tenaga yang lebih besar dibandingkan lereng yang membelakangi sensor, hal ini menyebabkan citra pada bagian lereng depan akan lebih cerah dibandingkan dengan lereng belakang (Purwadhi, 2001). Kelembaban benda (tanah, batu, vegetasi/hutan dan material lainnya) mempengaruhi seberapa jauh penetrasi energi gelombang mikro menuju ke benda tersebut. Jika tanah memiliki kelembaban yang tinggi, maka penetrasi energi hanya sampai pada kedalaman beberapa sentimeter saja (tidak dalam) sehingga energi akan menghambur lebih kuat dan secara umum menyebabkan rona terang pada citra dan sebaliknya. Pada vegetasi, terutama tanaman pertanian dan kanopi hutan biasanya memiliki kelembaban tinggi dan area permukaan yang relatif luas, sehingga dapat memberikan hamburan balik yang kuat. Kemampuan pulsa radar untuk melakukan penetrasi dipengaruhi oleh panjang gelombang atau frekuensi (parameter sistem).

50 34 Berdasarkan tampilan kenampakan setiap tutupan lahan dan deskripsinya pada Tabel 9 dapat diketahui : a. Vegetasi/hutan biomassa tinggi, letak obyek secara umum tersebar dari areal datar (vegetasi/hutan sedang) hingga berlereng (vegetasi/hutan rapat). Penampakkan vegetasi/hutan pada bagian depan lereng akan lebih cerah dibandingkan dengan lereng belakang. Pada lereng yang terjal terjadi pantulan sudut, dimana pantulan pulsa radar mengenai permukaan datar sebagai pantulan cermin. Pantulan ini mengenai lereng terjal dan lereng tersebut memantulkan ke antena radar sehingga tampak rona sangat cerah pada citra radar. Bayangan radar terjadi apabila pancaran pulsa radar mengenai bukit. Efek pemendekan lereng depan (fore shortening) terjadi apabila lereng depan lebih landai dari garis tegak lurus terhadap arah pengamatan, karena pulsa radar mencapai bagian bawah terlebih dahulu dari puncaknya. Efek rebah ke dalam (layover) terjadi apabila pancaran pulsa radar membentur puncak terlebih dahulu karena jaraknya yang lebih dekat dari antena sehingga menyebabkan puncak lereng tergambar sebelum bagian bawahnya (terjadi perebahan). b. Vegetasi/hutan biomassa rendah, letak objek secara umum tersebar pada areal yang datar hingga berlereng (vegetasi/hutan jarang, semak, pertanian lahan kering dan permukiman). Dengan kenampakan pola yang tidak teratur, pantulan baur permukaan kasar dan kelembaban sedang menghasilkan rona yang sedang. c. Tubuh air, letak objek yang umumnya pada daerah datar tidak banyak mempengaruhi kenampakan pada citra. Pantulan yang terjadi adalah pantulan cermin karena permukaan pada tubuh air halus dan memiliki kelembaban yang tinggi sehingga kenampakan rona pada citra gelap. d. Lahan pertanian, letak obyek pada daerah datar (sawah basah dan sawah kering) dengan kenampakan pola yang teratur dapat dilihat, pantulan baur permukaan kasar dan kelembaban tinggi menghasilkan rona yang cerah.

51 Tabel 13. Deskripsi Kelas Penutupan Lahan No Kelas Penutupan Lahan Deskripsi 1 Badan air Lahan yang tergenang air tanpa ada vegetasi/hutan yang menaunginya. 2 Sawah basah (awal tanam) Lahan sawah yang sudah ditumbuhi padi (sebelum panen) dan masih banyak mengandung air. 3 Sawah kering (pasca panen) Lahan sawah kering (pasca panen). 4 Permukiman Lahan yang merupakan tempat tinggal dan pusat kegiatan manusia serta jalan. 5 Semak atau plk Lahan yang didominasi oleh tumbuhan kecil sampai sedang, tidak mempunyai batang yang jelas, banyak cabang, dan memiliki penutupan lahan yang rapat dan relatif sedang. 6 Vegetasi/hutan rapat Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk >70%. 7 Vegetasi/hutan sedang Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan. % penutupan tajuk ± 40-70% 8 Vegetasi/hutan jarang Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk <40%. 9 Awan Areal yang diliputi oleh awan. 35

52 36 E. Pengolahan Citra Digital (Image Processing) Pengolahan citra digital (image processing) mengacu kepada teknik klasifikasi citra. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi dapat dibedakan menjadi klasifikasi kualitatif dan kuantitatif. Pada klasifikasi kualitatif, pengelompokkan piksel ke dalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan (brightness) maupun warna dari piksel yang bersangkutan. Pada klasifikasi kuantitatif, pengelompokkan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan nilai kecerahan (brightness value atau digital number) contoh yang diambil sebagai contoh (training area). 1. Klasifikasi Landsat Klasifikasi yang dilakukan pada citra Landsat yaitu klasifikasi kuantitatif dengan metode klasifikasi terbimbing, yaitu klasifikasi dimana analis mempunyai sejumlah piksel yang mewakili dari masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan (Jaya 2007). Metode yang digunakan dalam klasifikasi ini adalah kemungkinan maksimum (maximum likelihood). a. Penentuan dan Pemilihan Area Contoh (Training Area) Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area) dilakukan untuk mengambil informasi statistik kelas-kelas tutupan lahan. Pengambilan informasi statistik dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari tiap kelas tutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra komposit. Informasi statistik dari setiap tutupan lahan ini digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi. Informasi yang diambil adalah nilai ratarata, simpangan baku, nilai digital minimum, dan maksimum, serta matriks kovarian untuk setiap kelas tutupan lahan. Banyaknya piksel training area yang perlu diambil untuk mewakili masingmasing kelas tutupan lahan adalah sebanyak (N) yang digunakan ditambah satu (N+1). Pembuatan area contoh pada citra Landsat berdasarkan kepada jumlah kelas tutupan lahan yang diperoleh yaitu sebanyak sembilan kelas, dimana seluruh tutupan lahan tersebut dapat teridentifikasi dengan jelas pada citra. Kondisi tutupan lahan pada citra Landsat yang banyak awan cukup menyulitkan dalam pembuatan areal contoh.

53 37 b. Analisis Separabilitas Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang menunjukan keterpisahan statistik antar kelas penutupan lahan, apakah suatu kelas layak untuk digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat keterpisahan. Kriteria tingkat keterpisahan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kriteria tingkat keterpisahan Nilai Transformasi keterpisahan Keterangan 2,000 Sempurna (excellent) 19,000 1,999 Sangat baik (good) 1,700 1,899 Baik (fair) 1,600 1,699 Cukup baik (poor) < 1600 Tidak terpisahkan (inseparable) Sumber : Jaya (2007) c. Akurasi Hasil Klasifikasi Salah satu cara untuk mengevaluasi ketepatan hasil klasifikasi adalah dengan melakukan evaluasi akurasi yaitu dengan membuat matriks kesalahan (error matrix). Matriks kesalahan adalah matriks bujur sangkar yang berfungsi untuk melihat penyimpangan klasifikasi yaitu berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas. Idealnya semua elemen yang bukan diagonal dalam matrik tersebut harus bernilai nol yang artinya tidak ada penyimpangan dalam matriks (Lillesand dan Kiefer, 1990). Bentuk matriks kesalahan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Bentuk matriks kesalahan. Data Acuan Diklasifikasikan sebagai kelas Training Area A B C D Total Baris X k+ A X ii B D Xkk Total kolom X +k N User s Accuracy Xkk/ X +k Sumber : Jaya (2002) Producer s Accuracy X kk /X k+ Persentase ketepatan hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat dari nilai User s Accuracy, Producer s Accuracy, Overall Accuracy dan Kappa Accuracy. Kappa Accuracy merupakan suatu ukuran yang paling banyak digunakan karena

54 38 mempertimbangkan semua elemen dalam matriks kesalahan sehingga dinyatakan r r dengan rumus : N X kk X k + X + k k k Kappa Accuracy (K) = x 100% r Producer s Accuracy = User s Accuracy = Overall Accuracy = dimana : N X kk X k + X kk X + k r 2 X kk k N k x100% x100% x100% X k + N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan R = Jumlah baris atau lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xi+ = Jumlah semua kolom pada baris ke-i (Xij) X+j = Jumlah semua kolom pada lajur ke-j (Xij) 2. Klasifikasi ALOS PALSAR a. Klasifikasi tidak terbimbing Klasifikasi ini sering juga disebut dengan klastering (clustering). Klastering dapat didefinisikan sebagai suatu tehnik klasifikasi atau identifikasi yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi (piksel) kedalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun (Jaya, 2007). b. Dendogram Dendogram adalah kurva yang menggambarkan pengelompokan klaster, untuk memudahkan analisis pengkelasan, Jaya (2007) menyatakan bahwa pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang digunakan maka diperlukan urutan pengelompokan klaster dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil, kurva yang menggambarkan pengelompokan ini disebut dengan dendogram. Teknik penggambarannya disebut dengan istilah nested atau hierarchical classification. Metode penggambarannya terdiri atas metode tetangga terdekat (nearest neighbour method) yaitu metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster. Metode ini sering disebut juga metode single linkage X + k

55 39 c. Merging Selanjutnya dilakukan pengkelasan kembali dilakukan setelah mempertimbangkan kemiripan (similarity) antara kelas. Kelas yang memiliki jarak dekat dengan kelas lainnya digabungkan (merge) menjadi satu kelas yang sama. Beberapa elemen dasar yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis klaster adalah, melakukan pemilihan unit data dalam citra digital (piksel), memilih peubah yang akan digunakan band-band atau kanal yang akan digunakan, menentukan apa yang akan diklaster, dalam ilmu remote sensing atau citra digital adalah nilai kecerahan (brightness value) atau yang dikenal dengan istilah DN (digital number), menghomogenkan peubah, mencari ukuran-ukuran kesamaan yang akan digunakan (dissimilarity), menentukan kriteria klastering, mengimplementasikan algoritme dan komputer serta menetapkan jumlah klaster dan labeling. d. Labeling Labeling merupakan proses pemberian identitas label pada setiap kelas yang telah dihasilkan. Sebelum memberikan label pada kelas yang telah dihasilkan, maka harus mengetahui ciri-ciri dari obyek yang akan diberi label dengan cara melakukan interpretasi visual dari tiap kelas yang dibandingkan dengan penutupan lahan. e. Analisis Separabilitas Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang menunjukan keterpisahan statistik antar kelas penutupan lahan, apakah suatu kelas layak untuk digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat keterpisahan. Kriteria tingkat keterpisahan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Kriteria Tingkat Keterpisahan Nilai Transformasi Keterpisahan Keterangan 2,000 Sempurna (excellent) 19,000 1,999 Sangat baik (good) 1,700 1,899 Baik (fair) 1,600 1,699 Cukup baik (poor) < 1,600 Tidak terpisahkan (inseparable) Sumber : Jaya (2007)

56 40 f. Akurasi Hasil Klasifikasi Salah satu cara untuk mengevaluasi ketepatan hasil klasifikasi adalah dengan melakukan evaluasi akurasi yaitu dengan membuat matriks kesalahan (Error matrix). Matriks kesalahan adalah matriks bujur sangkar yang berfungsi untuk melihat penyimpangan klasifikasi yaitu berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas. Idealnya semua elemen yang bukan diagonal dalam matrik tersebut harus bernilai nol yang artinya tidak ada penyimpangan dalam matrik (Lillesand dan Kiefer, 1990). Bentuk matriks kesalahan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Bentuk Matriks Kesalahan. Data Acuan Diklasifikasikan sebagai kelas Training Area A B C D Total Baris X k+ A X ii B D Xkk Total kolom X +k N User s Accuracy Xkk/X +k Sumber : Jaya (2002) Producer s Accuracy X kk /X k+ Persentase ketepatan hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat dari nilai User s Accuracy, Producer s Accuracy, Overall Accuracy dan Kappa Accuracy. Kappa Accuracy merupakan suatu ukuran yang paling banyak digunakan karena mempertimbangkan semua elemen dalam matriks kesalahan yang dinyatakan r r dengan rumus : N X kk X k + X + k Kappa Accuracy (K) = k k x 100% r N 2 k X k + X + k X X kk Producer s Accuracy = x100% User s Accuracy = k + X X kk + k x100% Overall Accuracy = r k X N kk x100 %

57 41 dimana : N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan R = Jumlah baris atau lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xi+ = Jumlah semua kolom pada baris ke-i (Xij) X+j = Jumlah semua kolom pada lajur ke-j (Xij) F. Evaluasi Konsistensi Tutupan Lahan Dalam melakukan pengujian konsistensi tutupan lahan pada citra ALOS dan Landsat, terlebih dahulu diketahui luas tiap tutupan lahan yang telah dibentuk oleh citra ALOS PALSAR dan Landsat 7 ETM+. Setelah itu dilakukan perbandingan antara jumlah luas tutupan lahan Pulau Jawa tahun 2003 dengan luas tutupan lahan citra ALOS dan Landsat. G. Pelaporan Pelaporan berupa kelas tutupan lahan hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR dan Landsat 7 ETM+. Adapun tahapan dan metode penelitian disajikan pada Gambar 9.

58 42 Mulai Citra Landsat 7TM Peta digital terkoreksi Pulau Jawa Citra ALOS PALSAR Pra-pengolahan citra (koreksi geometrik, radiometrik) Registrasi Mosaik Pemotongan citra (Cropping) Supervised Classification Unsupervised Classification Data Lapangan (Ground-Check) Seleksi traning area 1. Merging 2. Labeling (Analisis Separabilitas) Analisis Akurasi /Accuracy Assesment Citra Hasil Klasifikasi Citra Hasil Klasifikasi Peta Penutupan lahan Landsat Evaluasi konsistensi Peta menutupan lahan ALOS PALSAR Selesai Gambar 9. Diagram Alir Metode Penelitian

59 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Klasifikasi Tidak Terbimbing Citra ALOS PALSAR Metode klasifikasi citra pada citra ALOS PALSAR tahun 2006 (wilayah Pulau Jawa), menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised classification). Metode klasifikasi tidak terbimbing digunakan dalam penelitian ini untuk menghasilkan kelas pengelompokkan spektral berdasarkan kesamaan tertentu. Setelah dilakukan metode klasifikasi tidak terbimbing, selanjutnya dilakukan pengklasifikasian kembali menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised classification). Metode ini mengkombinasikan antara unsupervised classification dengan supervised classification. Citra ALOS PALSAR dibagi menjadi lima belas kelas awal, selanjutnya dengan menggunakan metode tetangga terdekat (nearest neighbour method) dibentuklah matrik jarak Euclidean yang berisi nilai spektral dari tiap kelas yang dibentuk. Berdasarkan matrik Jarak Euclidean, dibuat pengelompokan kelas nilai spektralnya diurutkan dari kelas yang memiliki nilai spektral terbesar sampai kelas yang memiliki nilai terkecil agar bisa membentuk sebuah dendogram. 1. Klastering Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan 15 dan 8 Kelas Klastering (Clustering) adalah serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi piksel kedalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun (Jaya, 2007). Pada citra ALOS PALSAR dibentuk lima belas kelas tutupan lahan, Berdasarkan matriks jarak Euclidean pada Tabel 18, kelas-kelas diurutkan untuk membentuk sebuah dendogram menggunakan metode tetangga terdekat (nearest neigbour method) di mulai dari kelas C8 (18.1), C9 (18.1), C11 ( 183.4), C10 (47.0), C7 (191.9), C6 (79.3), C5 (170.5), C4 (21.2), C3 (27.5), C2 (25.1), C1 (157.9), C13 (270.9), C12 (117.3), C14 (279.6), C15 (1,891.6). Adapun dendogram yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10.

60 44 Tabel 18. Matriks Jarak Euclidean 15 Kelas Citra ALOS PALSAR C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15 C , , , , , , , , , ,215.6 C , , , , , , , , ,344.7 C , , , , , , , ,882.8 C , , , , , , , ,401.0 C , , , , , , , ,558.4 C , , , , , ,246.0 C , , , , ,266.7 C , , , ,177.7 C , , , ,405.5 C , ,013.2 C , ,854.8 C ,484.3 C ,675.8 C14 1,

61 45 Gambar 10. Dendogram Citra ALOS PALSAR 15 Kelas Berdasarkan dendogram pada Gambar 10, terdapat nilai spektral dari kelas yang dibentuk saling berdekatan untuk kelas yang memiliki nilai spektral yang berdekatan maka dari itu, merging (penyatuan) kelas harus dilakukan untuk mengurangi jumlah pembagian kelas yang tidak diperlukan. Kelas yang disatukan menjadi satu kelas baru adalah kelas C2, C3, C4, C5, kelas C6 dengan C7, lalu kelas C8 dengan C9, kelas C10 dengan C11, kelas C12 dengan C13. Sedangkan untuk C1, C14, dan C15 dapat dipisahkan dengan baik,. Pada proses penyatuan kelas ini terbentuk delapan kelas baru. Karena kelas yang dihasilkan masih berupa kelas spektral maka identitas kelas tidak bisa langsung diketahui. Identitas kelas-kelas yang sudah dibentuk bisa diketahui dengan membandingkan antara data hasil klasifikasi dengan data peta tutupan lahan dan hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM+. Kelas yang digabung menjadi satu kelas baru adalah kelas C2, C3, C4, C5 yang didefinisikan sebagai tubuh air 2, sedangkan untuk kelas C1 didefinisikan sebagai tubuh air 1, kelas C6 dengan C7 didefinisikan sebagai lahan tambak, kelas C8 dengan C9 didefinisikan sebagai lahan pertanian, sedangkan kelas C10 dengan

62 46 C11 didefinisikan sebagai lahan sawah 1, kelas C12 dengan C13 didefinisikan sebagai lahan sawah 2, untuk kelas C14 didefinisikan sebagai vegetasi/hutan biomassa rendah, dan C15 didefinisikan sebagai vegetasi/hutan biomassa tinggi. Dari delapan kelas baru yang terbentuk, untuk mengetahui keterpisahannya kembali dibuat matriks jarak Euclidean dan dendogramnya. Matriks Jarak Euclidean disajikan pada Tabel 19, dendogram disajikan pada Gambar 11, dan gambar hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR disajikan pada Gambar 12. Gambar 11. Dendogram Citra ALOS PALSAR 8 Kelas

63 47 Tabel 19. Matriks Jarak Euclidean 8 kelas ALOS PALSAR No Tutupan lahan Tubuh air 2 Lahan tambak Lahan pertanian Lahan sawah 1 Lahan sawah 2 Vegetasi/hutan biomassa rendah Vegetasi/hutan biomassa tinggi 1 Tubuh air Tubuh air Lahan tambak Lahan Pertanian Lahan sawah Lahan sawah Vegetasi/hutan biomassa rendah

64 48 Gambar 12. Hasil Unsupervised Classification Citra ALOS PALSAR 8 Kelas 48

65 49 2. Klastering Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan 5 dan 4 Kelas Berdasarkan dendogram pada Gambar 11, masih terdapat kelas yang nilai spekralnya berdekatan dan dapat digabungkan menjadi satu kelas baru. Kelas yang digabung menjadi kelas baru adalah kelas tubuh air 1 (18.29) dengan tubuh air 2 (18.29), kelas lahan pertanian (24.84), lahan sawah 1 (23.33), dan lahan sawah 2 (28.16) juga disatukan menjadi kelas tutupan lahan yang baru. Setelah dilakukan penyatuan (merging), dihasilkan lima kelas tutupan lahan baru yaitu, tubuh air (35.37) yang merupakan gabungan antara (tubuh air 1 dan tubuh air 2), lahan pertanian (50.47) juga merupakan gabungan antara (lahan pertanian, lahan sawah 1, lahan sawah 2), lahan tambak (62.42), vegetasi/hutan biomassa rendah (50.47), vegetasi/hutan biomassa tinggi (58.65). Untuk matriks jarak euclideannya disajikan pada Tabel 20, sedangkan untuk dendogram dan hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR lima kelas dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14. Tabel 20. Matriks Jarak Euclidean 5 Kelas Citra ALOS PALSAR No Tutupan lahan Lahan Tambak Lahan pertanian Vegetasi/hutan biomassa rendah Vegetasi/hutan biomassa tinggi 1 Tubuh air Lahan Tambak Lahan pertanian Vegetasi/hutan biomassa rendah Gambar 13. Dendogram Citra ALOS PALSAR 5 Kelas

66 50 Gambar 14. Hasil Unsupervised Classification Citra ALOS PALSAR 5 Kelas 50

67 51 a) Separabilitas ALOS PALSAR 5 Kelas Berdasarkan hasil klasifikasi tidak terbimbing yang dilakukan pada citra ALOS PALSAR menghasilkan lima kelas tutupan lahan yaitu, tubuh air, lahan tambak, vegetasi/hutan biomassa rendah, dan vegetasi/hutan biomassa tinggi. Untuk mengetahui keterpisahan statistik antar kelas tutupan lahan maka dilakukanlah analisis separabilitas menggunakan metode Transformed Divergence (TD). Berdasarkan Tabel 21, dihasilkan nilai separabilitas tiap kelas. Untuk kategori keterpisahan yang sangat baik atau excellent (TD 2,000) sebanyak lima pasang kelas yaitu kelas tutupan lahan, tubuh air dengan vegetasi/hutan biomassa rendah, tubuh air dengan vegetasi/hutan biomassa tinggi, tubuh air dengan lahan pertanian, lahan tambak dengan vegetasi/hutan biomassa rendah, lahan tambak dengan vegetasi/hutan biomassa tinggi. Untuk keterpisahan sangat baik atau good (TD 1,900-1,999) sebanyak dua pasang kelas yaitu hubungan antara tubuh air lahan tambak, lahan pertanian lahan tambak. Untuk keterpisahan baik atau fair (TD 1,800-1,900) sebanyak satu pasang kelas yaitu hubungan kelas lahan pertanian dan vegetasi/hutan biomassa tinggi, yang menunjukan keterpisahan kurang baik atau poor (TD 1,600-1,800) hubungan antara vegetasi/hutan biomassa tinggi dengan vegetasi/hutan biomassa rendah. Terdapat satu pasang kelas yang masuk kedalam kategori tidak terpisahkan (inseparable), yaitu hubungan antara vegetasi/hutan biomassa rendah dengan lahan pertanian. Adanya pasangan yang masuk dalam kriteria kurang baik dan tidak terpisahkan disebabkan karena secara spektral nilai antara kelas yang bersangkutan relatif hampir sama. Tabel 21. Tabel Nilai Separabilitas Citra ALOS PALSAR 5 Kelas No Tutupan lahan Vegetasi/hutan biomassa tinggi Lahan tambak Tubuh air Lahan pertanian 1 Vegetasi/hutan 1,739 2,000 2,000 1,542 biomassa rendah 2 Vegetasi/hutan 2,000 2,000 1,839 biomassa tinggi 3 Lahan tambak 1,999 1,988 4 Tubuh air 2,000

68 52 Karena klasifikasi citra ALOS PALSAR kedalam lima kelas penutupan lahan masih menunjukan adanya kombinasi kelas penutupan lahan yang belum terpisahkan, maka dilakukan kembali klasifikasi kedalam empat kelas penutupan lahan yang lebih sederhana. Berdasarkan dendogram pada klasifikasi citra ALOS PALSAR lima kelas pada Gambar 10 dan nilai separabilitas citra ALOS PALSAR lima kelas pada Tabel 21, maka dihasilkan empat kelas penutupan lahan yaitu, tubuh air, merupakan gabungan dari kelas penutupan lahan tubuh air dan lahan tambak. Kelas penutupan lahan pertanian, vegetasi/hutan biomassa rendah, vegetasi/hutan biomassa tinggi tetap menjadi satu kelas tutupan lahan sendiri. Jika dilihat dari matriks jarak Euclidean yang dihasilkan pada Tabel 22, serta dendogram pada Gambar 12. Untuk nilai spektral dari kelas tubuh air sebesar (97.15), lahan pertanian sebesar (50.47), vegetasi/hutan biomassa rendah (50.47), vegetasi/hutan biomassa tinggi (58.65). Berdasarkan nilai spektralnya kelas tutupan lahan tubuh air memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan kelas tutupan lahan lainnya sehingga bisa terpisahkan dengan baik, sedangkan untuk kelas lahan pertanian, vegetasi/hutan biomassa rendah, dan vegetasi/hutan biomassa tinggi memiliki nilai spektral yang berdekatan sehingga masih mungkin dilakukan penyatuan kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR. Tabel 22. Matriks Jarak Euclidean Citra ALOS PALSAR 4 Kelas No Tutupan lahan Lahan pertanian Vegetasi/hutan biomassa rendah Vegetasi/hutan biomassa tinggi 1 Tubuh air Lahan pertanian Vegetasi/hutan biomassa rendah 58.65

69 53 Gambar 15. Dendogram Citra ALOS PALSAR 4 Kelas b) Separabilitas ALOS PALSAR 4 Kelas Tabel 23. Tabel Nilai Separabilitas Citra ALOS PALSAR 4 Kelas No Tutupan lahan Vegetasi/hutan biomassa tinggi Lahan pertanian Tubuh air 1 Vegetasi/hutan biomassa rendah 1,739 1,542 2,000 2 Vegetasi/hutan biomassa tinggi 1,839 2,000 3 Lahan pertanian 2,000 Berdasarkan Tabel 23. dihasilkan nilai separabilitas atau keterpisahan antara pasangan tiap kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR. Untuk kategori keterpisahan yang sangat baik atau excellent (TD 2,000) sebanyak empat pasang kelas yaitu kelas tutupan lahan, tubuh air dengan vegetasi/hutan biomassa rendah, tubuh air dengan vegetasi/hutan biomassa tinggi, tubuh air dengan lahan pertanian tinggi. Untuk keterpisahan baik atau fair (TD 1,800-1,900) sebanyak satu pasang kelas yaitu hubungan kelas lahan pertanian dan vegetasi/hutan biomassa tinggi, yang menunjukan keterpisahan kurang baik atau poor (TD 1,600-1,800) hubungan antara vegetasi/hutan biomassa tinggi dengan vegetasi/hutan biomassa rendah. Terdapat satu pasang kelas yang masuk ke dalam kategori tidak terpisahkan (inseparable), yaitu hubungan antara vegetasi/hutan biomassa rendah dan lahan pertanian.

70 54 Kelas tutupan lahan tubuh air sudah bisa terpisahkan dengan baik, karena secara spektral nilai antar kelas tubuh air dan tutupan lahan yang lain tidak berdekatan atau berbeda. Berdasarkan dendogram pada Gambar 15 jumlah nilai spektral tutupan lahan tubuh air sebesar air Pada kelas tutupan lahan, lahan pertanian, vegetasi/hutan biomassa dan vegetasi/hutan biomassa tinggi tingkat keterpisahannya masih rendah, dan ada yang belum terpisahkan antar kelas penutupan lahannya. Hal ini disebabkan karena secara spektral nilai antara kelas yang bersangkutan relatif hampir sama. Berdasarkan dendogram pada Gambar 15, untuk vegetasi/hutan biomassa rendah dan lahan pertanian memiliki nilai spektral yang sama yaitu 50.47, sedangkan vegetasi/hutan biomassa rendah memiliki nilai spektral sebesar Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR 4 kelas disajikan pada Gambar 16.

71 55 Gambar 16. Hasil Unsupervised Classification Citra ALOS PALSAR 4 Kelas. 55

72 56 B. Klasifikasi Terbimbing Citra ALOS PALSAR Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan perciri kelas (kelas signature) yang diperoleh melalui permbuatan training area. (Jaya, 2007). Dasar dalam menentukan kelas-kelas pada klasifikasi terbimbing ini, adalah jumlah klaster yang telah terbentuk pada saat melakukan klasifikasi tidak terbimbing pada citra ALOS PALSAR. Pengelompokan kelas pada citra ALOS PALSAR ke dalam empat kelas tutupan lahan menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing masih menghasilkan pasangan kelas tidak terpisahkan (inseparable). Maka dari itu dilakukan pengklasifikasian kembali pada citra ALOS PALSAR menggunakan metode klasifikasi terbimbing untuk melihat kemampuan citra ALOS untuk membedakan penutupan lahan di Pulau Jawa. Berdasarkan Gambar 17. Hasil klasifikasi citra pada citra ALOS PALSAR menggunakan klasifikasi terbimbing dapat dikelaskan menjadi empat kelas tutupan lahan yang terdiri dari, tubuh air, vegetasi/hutan biomassa tinggi, vegetasi/hutan biomassa rendah, dan lahan pertanian. a. Separabilitas citra ALOS PALSAR Berdasarkan Tabel 24 dihasilkan nilai separabilitas tiap kelas. Untuk kategori keterpisahan yang sangat baik atau excellent (TD 2,000) sebanyak empat pasang kelas yaitu kelas tutupan lahan, tubuh air dengan vegetasi/hutan biomassa rendah, tubuh air dengan vegetasi/hutan biomassa tinggi, tubuh air dengan lahan pertanian, lahan pertanian dengan vegetasi/hutan biomassa tinggi. Untuk keterpisahan sangat baik atau good (TD 1,900-1,999) sebanyak dua pasang kelas yaitu hubungan antara vegetasi/hutan biomassa rendah dengan vegetasi/hutan biomassa tinggi dan lahan pertanian dengan vegetasi/hutan biomassa rendah. Pembentukan kelas penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR dibagi ke dalam empat kelas penutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing, menghasilkan nilai keterpisahan yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing.

73 57 Tabel 24. Matrik Separabilitas Citra ALOS PALSAR No Tutupan lahan Tubuh air Lahan pertanian Vegetasi/hutan biomassa rendah 1 Vegetasi/hutan 2,000 2,000 1,927 biomassa tinggi 2 Tubuh air 2,000 2,000 3 Lahan pertanian 1,944 b. Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi Berdasarkan perhitungan matrik kesalahan pada citra ALOS PALSAR menggunakan metode klasifikasi terbimbing menghasilkan Kappa Accuracy (KA) sebesar % dan Overall Accuracy (OA) sebesar %. Hal ini menunjukan bahwa dari seluruh piksel yang digunakan pada area contoh sebesar % dari piksel-piksel tersebut dapat terkelaskan dengan benar. Hasil matriks kontingensi dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Matriks Kontingensi Dari Area Contoh Pada Citra ALOS PALSAR Tutupan lahan Vegetasi/hutan biomassa Tubuh air Lahan pertanian Vegetasi/hutan biomassa Total PA (%) rendah tinggi 1. Vegetasi/hutan biomasaa rendah 2. Tubuh air Lahan pertanian Vegetasi/hutan biomassa tinggi Total UA (%) OA (%) KA (%) 96.38

74 58 Gambar 17. Hasil Supervised Classification Citra ALOS PALSAR 58

75 59 C. Klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Berdasarkan hasil klasifikasi citra pada citra Landsat 7 ETM+ yang dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing dapat dikelaskan menjadi sembilan kelas yang terdiri dari vegetasi/hutan rapat, vegetasi/hutan sedang, vegetasi/hutan jarang, sawah kering, sawah basah, pemukiman, semak atau PLK (Pertanian Lahan Kering), tubuh air, dan awan. Adapun hasil klasifikasi pada citra Landsat 7 ETM+ dapat dilihat pada Gambar Analisis Separabilitas Analisis tingkat keterpisahan (separabilitas) diperlukan untuk menunjukan tingkat keterpisahan statistik antar kelas berdasarkan nilai rata-rata digital number tiap kelas tutupan lahan, untuk melihat apakah kelas tersebut layak digabung atau tidak. Nilai separabilitas yang diperoleh dengan menggunakan kombinasi seluruh band yang ada pada citra Landsat 7 ETM+ menunjukan keterpisahan yang sangat baik atau excellent (TD 2,000) sebanyak 25 pasang kelas, sepuluh pasang kelas terpisahkan baik atau good (TD 1,900-1,999). Adapun matrik separabilitas yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel Analisis Akurasi Hasil Klasifikasi Berdasarkan perhitungan matrik kesalahan pada citra Landsat 7 ETM+ menghasilkan Kappa Accuracy (KA) sebesar % dan Overall Accuracy (OA) sebesar %. Hal ini menunjukkan bahwa dari seluruh piksel yang digunakan pada area contoh sebesar % dari piksel-piksel tersebut dapat terkelaskan dengan benar. Hasil matrik kontingensi dapat dilihat pada Tabel 27. Citra Landsat 7 ETM+ dengan kemampuan resolusi 30 x 30 meter dan memiliki 7 saluran (band) mampu mengklasifikasi sembilan kelas penutupan lahan di Pulau Jawa yaitu vegetasi/hutan rapat, vegetasi/hutan sedang, vegetasi/hutan jarang, sawah kering, sawah basah, pemukiman, semak atau PLK, tubuh air, dan awan.

76 60 Tabel 26. Matrik Separabilitas Citra Landsat 7 ETM+ No Tutupan lahan Pemukiman Tubuh air Semak/PLK Awan Vegetasi/hutan sedang Vegetasi/hutan jarang Sawah kering Vegetasi/hutan rapat 1 Sawah basah 2,000 2,000 2,000 1,906 2,000 1,993 2,000 2,000 2 Pemukiman 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 1,994 2,000 3 Tubuh air 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 1,976 4 Semak/plk 2,000 1,974 1,999 2,000 2,000 5 Awan 1,999 1,939 1,998 2,000 6 Vegetasi/hutan 1,948 2,000 1,991 sedang 7 Vegetasi/hutan 2,000 2,000 jarang 8 Sawah kering 2,000 60

77 61 Tabel 27. Matriks Kontingensi dari Area Contoh Pada Citra Landsat 7 ETM+ No Tutupan lahan Awan Sawah basah Pemukiman Tubuh air Semak/PLK Vegetasi/ hutan sedang Vegetasi/ hutan jarang Sawah kering Vegetasi/ hutan rapat Total PA (%) 1. Awan Sawah basah Pemukiman Tubuh air Semak/PLK Vegetasi/hutan sedang 7. Vegetasi/hutan jarang 8. Sawah kering Vegetasi/hutan rapat Total ,263 3,764 UA (%) OA KA

78 62 Gambar 18. Hasil Klasifikasi Pada Citra Landsat 7 ETM+ 62

79 63 D. Evaluasi Citra Landsat 7 ETM+ dan Citra ALOS PALSAR Untuk Skala Regional 1. Hasil Klasifikasi Tidak Terbimbing Citra ALOS PALSAR Berdasarkan hasil klasifikasi tidak terbimbing citra ALOS PALSAR, jumlah luasan masing-masing kelas tutupan lahan hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR ini tersaji pada Tabel 28. Tabel 28. Luas 4 Kelas Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Metode Unsupervised classification. No Tutupan lahan Luas (Ha) Persen 1 Vegetasi/hutan biomassa rendah 4,513, Vegetasi/hutan biomassa tinggi 2,548, Tubuh air 325, Lahan pertanian 5,794, Total 13,182, Kelas tutupan lahan yang mendominasi adalah lahan pertanian sebesar 5,794, ha (43.95%), untuk vegetasi/hutan biomassa rendah luasnya 4,513, ha (34.24%), vegetasi/hutan biomassa tinggi seluas 2,548, ha (19.34%), dan tubuh air seluas 325, ha (2.47%). 2. Hasil Klasifikasi Terbimbing Citra ALOS PALSAR Berdasarkan hasil klasifikasi terbimbing (Supervised classification) citra ALOS PALSAR, jumlah luasan masing-masing kelas tutupan lahan hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR ini tersaji pada Tabel 29. Kelas tutupan lahan yang mendominasi adalah pertanian memiliki luas 5,735,114,42 ha (43.51%), vegetasi/hutan biomassa rendah seluas 4,796, ha (36.39%). Tubuh air seluas 89, ha (0.68%), dan vegetasi/hutan biomassa tinggi seluas 2,560, ha (19.43%). Tabel 29. Luas Kelas Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Metode Supervised classification No Kelas Tutupan Lahan Luas (Ha) Persen 1 Vegetasi/hutan biomassa rendah 4,796, Vegetasi/hutan biomassa tinggi 2,560, Tubuh air 89, Lahan pertanian 5,735, Total 13,181,

80 64 3. Hasil Klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Dengan Metode Terbimbing Hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM+ dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum dapat memberikan nilai akurasi yang memenuhi standar klasifikasi yang baik yaitu dengan nilai akurasi diatas 85%. Dari hasil klasifikasi tersebut diperoleh data mengenai jumlah piksel masing-masing kelas pada setiap Area of Interest (AOI). Jumlah piksel ini kemudian dikonversikan ke dalam satuan luas (ha) untuk memudahkan dalam analisis. Jumlah luasan masing-masing kelas tutupan lahan hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM+ ini tersaji pada Tabel 30. Tabel 30. Luas Kelas Tutupan Lahan Citra Landsat 7 ETM+ No Kelas Tutupan Lahan Luas (ha) Persen 1 Vegetasi/hutan Rapat 398, Vegetasi/hutan sedang 1,469, Vegetasi/hutan jarang 3,593, Sawah kering 1,812, Sawah basah 1,095, Urban area 712, Semak, PLK 1,800, Tubuh air 174, Awan 2,186, Total 1,324, Berdasarkan Tabel 30, kelas tutupan lahan yang mendominasi adalah vegetasi/hutan jarang sebesar 3,593, ha (27.14%), kelas tutupan awan memiliki luasan yang cukup luas sebesar 2,186, ha (16.51%). Pada citra Landsat tutupan awan yang cukup banyak lebih dari 5% luasan keseluruhan sangat mengurangi keakurasian serta ketepatan didalam melakukan pengklasifikasian tutupan lahan pada suatu wilayah. Untuk luasan sawah pada wilayah Pulau Jawa sebesar 1,812, ha (27.14%) untuk sawah kering, sedangkan sawah basah seluas 1,095, ha (8.27%). vegetasi/hutan rapat seluas 398, ha (3.01%), vegetasi/hutan sedang seluas 1,469, ha (11.09%), sedangkan untuk pemukiman memiliki luasan sebesar 712, ha (5.38 %), untuk semak atau PLK 1,800, ha (13.59%), dan tubuh air 174, ha (1.32 %).

81 65 Tabel 31. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra Landsat 7ETM+ dan ALOS PALSAR No Kelas Tutupan Lahan Landsat 7 ETM+ Luas (ha) No Kelas Tutupan Lahan ALOS PALSAR Luas (ha) Metode Tidak Terbimbing Luas (ha) Metode Terbimbing 1 Vegetasi/hutan rapat 398, Vegetasi/hutan 4,513, ,796, biomassa rendah 2 Vegetasi/hutan sedang 1,469, Vegetasi/hutan 2,548, ,560, biomassa tinggi 3 Vegetasi/hutan jarang 3,593, Tubuh air 325, , Sawah kering 1,812, Lahan Pertanian 5,794, ,735, Sawah basah 1,095, Urban area 712, Semak/PLK 1,800, Tubuh air 174, Awan 2,186, ,324,3174.3

82 66 4. Perbadingan Antara Citra Landsat 7 ETM+ dan ALOS PALSAR Berdasarkan Tabel 32. Hasil klasifikasi terbimbing dan tidak terbimbing citra ALOS PALSAR dengan resolusi 200 x 200 meter berhasil mengidentifikasi empat kelas tutupan lahan. Sedangkan hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM+ dengan resolusi 30 x 30 meter berhasil mengidentifikasi sembilan kelas tutupan lahan. Perbandingan luas tutupan lahan yang dihasilkan dari citra Landsat 7 ETM+ dengan citra ALOS PALSAR hasil klasifikasi menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised Classification) dan (Supervised Classification) disajikan pada Tabel 32. Luasan masing-masing tutupan lahan citra ALOS hasil klasifikasi tidak terbimbing yaitu, lahan pertanian sebesar 5,794, ha (43.95%), untuk vegetasi/hutan biomassa rendah luasnya 4,513, ha (34.24%), vegetasi/hutan biomassa tinggi seluas 2,548,908.7 ha (19.34%), dan tubuh air seluas 325, ha (2.47%). Luasan masing-masing tutupan lahan citra ALOS hasil klasifikasi terbimbing yaitu, lahan pertanian memiliki luas 5,735,114,42 ha (43.51%), vegetasi/hutan biomassa rendah seluas 4,796, ha (36.39%), tubuh air seluas 89, ha (1%), dan vegetasi/hutan biomassa tinggi seluas 2,560, ha (19.43%). Persen luasan tiap tutupan lahan citra ALOS PALSAR dengan metode tidak terbimbing (Unsupervised Classification) dan metode terbimbing (Supervised Classification) tersaji pada Gambar 19 dan Gambar 20. Gambar 19. Diagram Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan Metode Tidak Terbimbing (Unsupervised Classification).

83 67 Gambar 20. Diagram Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra ALOS PALSAR dengan Metode Terbimbing (Supervised Classification). Sedangkan hasil klasifikasi terbimbing citra Landsat 7 ETM+ menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan ALOS PALSAR dimana sembilan kategori tutupan lahan dapat diidentifikasi yakni, vegetasi/hutan rapat 398, ha (3.01%), vegetasi/hutan sedang 1,469, ha (11.09%), vegetasi/hutan jarang 3,593, ha (27.14%), sawah kering 1,812, ha (13.69%), sawah basah 1,095, ha (8.27%), pemukiman 712, ha (5.38 %), semak/plk 1,800, ha (13.59%), badan air 174, ha (1.32 %), dan awan 2,186, ha (16.51%). Tutupan lahan awan pada citra Landsat 7 ETM+ memiliki total luas sebesar 2,186, ha (16.51%). Tutupan awan yang cukup tinggi menyebabkan tidak teridentifikasinya jenis tutupan lahan yang ada dibawah awan. Jadi dari citra Landsat 7ETM+ terdapat 16.51% data yang hilang atau tidak bisa teridentifikasi. Luasan tiap tutupan lahan citra Landsat metode terbimbing (Supervised classification) tersaji pada Gambar 21.

84 Gambar 21. Diagram Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ dengan Metode Terbimbing (Supervised Classification). 68

85 69 Tabel 32. Perbandingan Luas Masing-Masing Penutupan Lahan Pada Citra ALOS PALSAR No Tutupan lahan Citra ALOS PALSAR Unsupervised Classification Citra ALOS PALSAR Supervised Classification Luas Persen Luas Persen 1 Vegetasi/hutan biomassa rendah 4,513, ,796, Vegetasi/hutan biomassa tinggi 254, ,560, Tubuh air 325, , Lahan pertanian 5,794, ,735, Total 13,182, ,181,

86 70 Tabel 33. Hasil Klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ dan ALOS PALSAR No Tampilan Citra Landsat Tampilan Citra ALOS PALSAR Tampilan Citra ALOS PALSAR (Unsupervised Classification) (Supervised Classification) Deskripsi 1 Tubuh air Tubuh air Lahan yang tergenang air tanpa ada vegetasi/hutan yang menaunginya. 2 Vegetasi/hutan Rapat Vegetasi/hutan rapat Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk >70%. 70

87 71 Tabel 33. Lanjutan No Tampilan Citra Landsat Tampilan Citra ALOS PALSAR Tampilan Citra ALOS PALSAR (Unsupervised Classification) (Supervised Classification) Deskripsi 3 Vegetasi/hutan sedang Vegetasi/hutan sedang Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk ± 40-70%. 4 Vegetasi/hutan jarang Vegetasi/hutan jarang Suatu satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk < 40%. 71

88 72 Tabel 33. Lanjutan No Tampilan Citra Landsat 5 Pemukiman Tampilan Citra ALOS PALSAR (Unsupervised Classification) Tampilan Citra ALOS PALSAR (Supervised Classification) Deskripsi Pemukiman Lahan yang merupakan tempat tinggal dan pusat kegiatan manusia, serta jalan. 6 Awan Awan Areal yang diliputi oleh awan. 72

89 73 Tabel 33. Lanjutan No Tampilan Citra Landsat Tampilan Citra ALOS PALSAR Tampilan Citra ALOS PALSAR (Unsupervised Classification) (Supervised Classification) Deskripsi 7 Sawah basah Sawah basah Lahan sawah yang sudah ditumbuhi padi (sebelum panen) dan masih banyak mengandung air. 8 Semak Semak Lahan yang didominasi oleh tumbuhan kecil sampai sedang, tidak mempunyai batang yang jelas, banyak cabang, dan memiliki penutupan lahan yang rapat dan relatif sedang. 73

90 74 Tabel 33. Lanjutan No Tampilan Citra Landsat Tampilan Citra ALOS PALSAR Tampilan Citra ALOS PALSAR (Unsupervised Classification) (Supervised Classification) Deskripsi 9 Sawah kering Sawah kering Lahan sawah kering (pasca panen). 74

KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA IMAS NANIK HENDRAYANTI

KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA IMAS NANIK HENDRAYANTI 1 KAJIAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH UNTUK KLASIFIKASI TUTUPAN HUTAN DAN LAHAN SKALA REGIONAL PULAU JAWA IMAS NANIK HENDRAYANTI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang dan Lumbir). Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2011, diawali dengan tahap pengambilan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT Oleh : DERY RIANSYAH A24103087 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Juni Juli 2012 di area Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Mamberamo Alasmandiri,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa ISSN 0853-7291 Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa Petrus Soebardjo*, Baskoro Rochaddi, Sigit Purnomo Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. BAB III PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. 3.1 Lokasi Area Studi Dalam tugas akhir ini daerah Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PEMETAAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT TM 5 (Studi Kasus: Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh : EDEN DESMOND

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Meliputi Bagian Hutan (BH) Tuder dan Balo, pada Kelas Perusahaan Jati.

Lebih terperinci

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 2008:132-137 KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Muchlisin Arief, Kustiyo, Surlan

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

Analisa Pantauan dan Klasifikasi Citra Digital Remote Sensing dengan Data Satelit Landsat TM Melalui Teknik Supervised Classification

Analisa Pantauan dan Klasifikasi Citra Digital Remote Sensing dengan Data Satelit Landsat TM Melalui Teknik Supervised Classification Analisa Pantauan dan Klasifikasi Citra Digital Remote Sensing dengan Data Satelit Landsat TM Melalui Teknik Supervised Classification (Studi Kasus Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara)

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL) 54 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 54-60 PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian 7 II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011, yang meliputi kegiatan persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci