LIMBAH PEMANENAN KAYU, FAKTOR EKSPLOITASI DAN KARBON TERSIMPAN PADA LIMBAH PEMANENAN KAYU DI IUPHHK-HA PT. INDEXIM UTAMA, KALIMANTAN TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

POTENSI LIMBAH DAN TINGKAT EFEKTIVITAS PENEBANGAN POHON DI HUTAN DATARAN RENDAH TANAH KERING META FADINA PUTRI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Rawa Gambut Tropika. (Characteristics of Logging Waste in Tropical Peat Swamp Forest)

III. METODOLOGI PE ELITIA

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

V HASIL DAN PEMBAHASAN

LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

LIMBAH PEMANENAN KAYU DAN FAKTOR EKSPLOITASI DI IUPHHK-HA PT. DIAMOND RAYA TIMBER PROVINSI RIAU MORIZON

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

Oleh/By : Marolop Sinaga ABSTRACT

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

III METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan bahan 3.3 Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

PENGARUH PEMBUATAN TAKIK REBAH DAN TAKIK BALAS TERHADAP ARAH JATUH POHON : STUDI KASUS DI HUTAN TANAMAN DI PULAU LAUT, KALIMANTAN SELATAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

IV. METODE PENELITIAN

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

FAKTOR EKSPLOITASI HUTAN TANAMAN MANGIUM ( Accacia mangium Wild): STUDI KASUS DI PT TOBA PULP LESTARI Tbk., SUMATERA UTARA

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Potensi Limbah Penebangan dan Pemanfaatannya pada Hutan Jati Rakyat di Kabupaten Bone

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB III METODE PENELITIAN

Iklim Perubahan iklim

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

Bab II SISTEM PEMANENAN HASIL HUTAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

Teak Harvesting Waste at Banyuwangi East Java. Juang Rata Matangaran 1 dan Romadoni Anggoro 2

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN REHABILITASI TOSO DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT ZANI WAHYU RAHMAWATI

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

Yosep Ruslim 1 dan Gunawan 2

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

LIMBAH PEMANENAN KAYU, FAKTOR EKSPLOITASI DAN KARBON TERSIMPAN PADA LIMBAH PEMANENAN KAYU DI IUPHHK-HA PT. INDEXIM UTAMA, KALIMANTAN TENGAH DWI RATNA PURNAMASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

LIMBAH PEMANENAN KAYU, FAKTOR EKSPLOITASI DAN KARBON TERSIMPAN PADA LIMBAH PEMANENAN KAYU DI IUPHHK-HA PT. INDEXIM UTAMA, KALIMANTAN TENGAH DWI RATNA PURNAMASARI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

RINGKASAN DWI RATNA PURNAMASARI. E14070012. Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu di IUPHHK- HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh JUANG R. MATANGARAN. Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Salah satu sumberdaya yang banyak dimanfaatkan adalah kayu, untuk mengubahnya bernilai ekonomi diperlukan kegiatan mengeluarkan kayu dari hutan yang disebut dengan pemanenan kayu. Adanya kegiatan pemanenan kayu, timbul masalah diantaranya adalah limbah pemanenan kayu. Besarnya limbah dapat dijadikan dasar penentuan nilai faktor eksploitasi. Nekromassa merupakan komponen penting dari penyimpanan karbon dan harus diukur agar diperoleh penyimpanan karbon yang akurat. Besarnya nekromassa tersebut akan mempengaruhi potensi simpanan karbon dalam hutan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung volume limbah yang terjadi di petak tebang, TPn dan TPK, menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap volume limbah, menentukan nilai faktor eksploitasi serta mengetahui besarnya karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu. Limbah dalam penelitian ini berupa tunggak, batang bebas cabang, batang bagian atas, dan cabang dengan diameter minimal 30 cm. Pengambilan data dilakukan pada plot contoh (100m x 100m) sebanyak 10 plot. Pengaruh kelerengan, intensitas tebang, LBDS, dan keterampilan penebang terhadap volume limbah dianalisis dengan model regresi linier berganda. Perhitungan faktor eksploitasi dilakukan dengan pendekatan persen limbah dan pendekatan indeks tebang, indeks sarad, serta indeks angkut. Sampel limbah kayu diambil sebanyak 3 kali ulangan dengan potongan melintang batang setebal 5 cm pada masingmasing bagian pohon. Perhitungan nekromassa pada penelitian ini menggunakan pendekatan volume. Nekromassa dan karbon nekromassa diperoleh dari hasil uji analisis laboratorium. Volume limbah rata-rata yang terjadi adalah 46,57 m 3 /ha. Limbah pemanenan kayu sebagian besar terjadi di petak tebang. Limbah di petak tebang sebesar 29,20 m 3 /ha, limbah di TPn sebesar 1,17 m 3 /ha dan limbah di TPK sebesar 0 m 3 /ha. Limbah yang terjadi di petak tebang sebagian besar disebabkan oleh kesalahan operator chainsaw dalam melakukan penebangan, pemotongan dan pembagian batang. Limbah di TPn berupa log yang cacat akibat gerowong, belah dan bengkok, sedangkan di TPK tidak ditemukan adanya limbah dari batang yang diteliti. Persentase limbah di bawah cabang pertama berdasarkan total pohon yang ditebang sebesar 25,16 %. Faktor yang berpengaruh sangat nyata terhadap ragam volume limbah adalah LBDS pohon yang ditebang dan intensitas tebang. Besarnya faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah sebesar 0,7484 dan berdasarkan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks angkut sebesar 0,7484. Karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu sebesar 13,91 ton C/ha, yang terdiri dari karbon batang sebesar 10,76 ton C/ha, tunggak sebesar 2,26 ton C/ha, dan cabang sebesar 0,89 ton C/ha. Kata kunci: hutan, pemanenan kayu, limbah pemanenan kayu, faktor eksploitasi, karbon

ABSTRACT DWI RATNA PURNAMASARI. E14070012. Logging waste, Exploitation Factor and Storaged Carbon on Wood Harvesting Waste at IUPHHK-HA Area of PT. Indexim Utama, Central Kalimantan. Supervised by JUANG R. MATANGARAN. Forest was one of renewable natural resource. One of mostly used resource was wood. Thus to change it into economically valued, its need to exclude it from forest that named by wood harvesting. Wood harvesting activity could cause any problem such as wood harvesting waste. Total of waste could be used as an estimation base of exploitation factors value. Necromass was essential component of carbon storage and have to be measured to obtain accurate carbon storage. Total of necromass will affect the carbon storage potential of forest. This research was supposed to calculate waste volume that occurred on felling area, TPn (temporary wood collecting site) and TPK (final wood collecting site), to analyze factors that affect waste volume, to estimate value of exploitation factor, and to estimate total of storaged carbon on wood harvesting waste. Waste on this research was in form of stump, non-branched stem, upper stem and branch with minimum diameter 30 cm. Data were collected from 10 sample plots with 100 m x 100 m dimension. Effect of slope, tree felling intensity, basal area and feller skill to waste volume were analyzed by using multilinear regression model. Exploitation factor was calculated by using waste percentage approach and also felling index, skidding index, and hauling index approaches. Logging waste sample was collected in 3 repetitions by using 5 cm stem cross section of each trees part. Necromass in this research was calculated by using volume approach. Necromass and necromass carbon were obtained from laboratory analysis result. Average waste volume was 46,57 m 3 /ha. Wood harvesting waste mostly occurred in felling area. Waste on felling area was amounted 29,20 m 3 /ha, while at TPn amounted 1,17 m 3 /ha and at TPK amounted 0 m 3 /ha. Waste at felling area mostly caused by chainsaw operator s mistake in logging, stem cutting and bucking. Waste at TPn was in form of log deformed by hole, crack and crooked, while at TPK wasn t found any waste from researched stems. Waste percentage of non-branched stem based on logged trees was 25,16 %. Most significant factors that affect waste volume variance were trees basal area of logged tree and tree felling intensity. Total of exploitation factor based on waste percentage approach was 0,7484, while based on felling index, skidding index, and hauling index was 0,7484. Storaged carbon of wood harvesting waste was 13,91 ton C/ha, that including stem carbon amounted 10,76 ton C/ha, stomp carbon amounted 2,26 ton C/ha, and branch carbon amounted 0,89 ton C/ha. Keywords: forest, wood harvesting, wood harvesting waste, exploitation factor, carbon

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2012 Dwi Ratna Purnamasari NRP E14070012

Judul Skripsi Nama NRP : Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah : Dwi Ratna Purnamasari : E14070012 Menyetujui : Dosen Pembimbing, Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS NIP. 19631221 198803 1 001 Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Hutan, Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001 Tanggal Lulus :

i KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji syukur ke-hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah. Karya tulis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kabupaten Barito Utara, Propinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 6 Oktober hingga 16 Nopember 2011 dan dilanjutkan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 21 Nopember hingga 10 Desember 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya limbah kayu yang terjadi di petak tebang, TPn dan TPK, serta besarnya faktor eksploitasi dan simpanan karbon pada limbah pemanenan kayu yang diharapkan dapat menjadi bahan masukkan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Atas dasar informasi tersebut, maka limbah kayu yang terjadi akan ditekan serendah mungkin. Sehingga pemanfaatan kayu dapat dilakukan dengan efisien dan efektif. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Februari 2012 Penulis

ii RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Dwi Ratna Purnamasari, dilahirkan di Bogor, pada tanggal 17 Agustus 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah bernama Endang Supriatna dan ibu bernama Rinah. Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis yaitu SD Negeri Nanggewer 03 pada tahun 1995 hingga 2001, SMP Negeri 15 Bogor pada tahun 2001-2004 dan SMA Kosgoro Bogor pada tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan (2009-2010). Selain kegiatan akademis, penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan yaitu Staf Divisi Kewirausahaan Forest Manajemen Student Club (FMSC) pada tahun 2008-2009, serta berbagai kepanitiaan FMSC. Penulis pernah melaksanakan kegiatan magang Site Plan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi pada tahun 2009. Selama pendidikan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Burangrang-Cikiong, Jawa Barat, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah dibimbing oleh Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS.

iii UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT atas rahmat dan ridha-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayahanda Endang Supriatna dan Ibunda Rinah, Kakakku Shinta Ernawati, S.Pd.I dan Acep Ugan, S.Pd.I serta Adikku Slamet Riyadi yang senantiasa memberikan kasih sayang, motivasi, dan doanya setiap waktu. 2. Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, nasehat, saran dan ilmu, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya dengan baik. 3. Ujang Suwarna, S.Hut, MSc.F selaku ketua sidang yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini, serta arahan dan bimbingan dalam penyusunan proposal penelitian. 4. Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan nasehat dan masukan dalam penulisan skripsi ini. 5. Seluruh Staf dan Karyawan PT. Indexim Utama, khususnya Ir. Agus Setio Sadmoko dan Ir. Abd. Rohim yang telah memberikan kesempatan, bantuan, dan arahan dalam pelaksanaan penelitian. 6. Bapak Ason, Bapak Yosep, Pardi, Adam, dan Yamin yang telah membantu dalam proses pengambilan data di lapangan. 7. Sahabat-sahabatku Ria M., Finny N., Sri M., Tri R., Nurul A., dan Yanti F. atas kasih sayang, semangat, dan dukungannya. 8. Panguyuban Karya Salemba Empat atas beasiswa yang diberikan untuk penyelesaian skripsi ini. 9. Teman-teman kelompok PKL (Ari Nuh, Abdul Aziz, Ria Melini, Finny N., dan Tri R.) atas kebersamaan dan pengalaman selama di Kalimantan. 10. Pak Hassanudin dan teman-teman seperjuangan Bagian Pemanfaatan Hutan. 11. Teman-teman seperjuangan Angkatan 44 Departemen Manajemen Hutan. 12. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

iv DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 3 1.3 Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis... 4 2.2 Limbah Pemanenan Kayu... 4 2.2.1 Pengertian Limbah Pemanenan Kayu... 4 2.2.2 Klasifikasi Limbah... 5 2.2.3 Batasan Limbah... 7 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah... 8 2.2.5 Upaya untuk Meminimalkan Besarnya Limbah Pemanenan Hutan... 10 2.3 Faktor Eksploitasi... 12 2.4 Siklus Karbon... 14 2.5 Biomassa... 15 2.6 Karbon... 16 2.7 Kadar Abu... 18 2.8 Kadar Zat Terbang... 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 19 3.2 Objek dan Alat Penelitian... 19 3.3 Metode Penelitian... 20

v 3.3.1 Batasan Masalah... 20 3.3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan... 20 3.3.3 Pengumpulan Data di Lapangan... 21 1. Penentuan Plot Contoh... 21 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan... 21 3. Pengukuran Sortimen di Petak Tebang... 21 4. Pengukuran Sortimen di TPn... 22 5. Pengukuran Sortimen di TPK... 22 6. Pengambilan Sampel Kayu di Lapangan... 23 3.4 Pengumpulan Data di Laboratorium... 23 3.4.1 Kadar Air... 23 3.4.2 Berat Jenis... 24 3.4.2 Kadar Zat Terbang... 24 3.4.3 Kadar Abu... 25 3.4.4 Kadar Karbon... 25 3.4.5 Nekromassa... 26 3.4.6 Karbon... 25 3.5 Pengolahan dan Analisis Data... 26 3.5.1 Peritungan Volume... 26 3.5.2 Perhitungan Persen Limbah... 27 3.5.3 Analisis Hubungan Faktor yang Berpengaruh Terhadap Volume Limbah Akibat Kegiatan Penebangan... 27 3.5.4 Faktor Eksploitasi... 28 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan... 29 4.2 Letak dan Luas Areal... 30 4.3 Topografi... 30 4.4 Keadaan Tanah dan Hidrologi... 31 4.5 Iklim... 31 4.6 Keadaan Hutan... 31 4.6.1 Fungsi Hutan dan Penutupan Lahan... 31 4.6.2 Potensi Tegakan... 32

vi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pelaksanaan Pemanenan IUPHHK-HA PT. Indexim Utama... 34 5.2 Bentuk Limbah Pemanenan Kayu... 36 5.3 Jumlah Pohon yang Ditebang... 39 5.4 Volume dan Presentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Lokasi Terjadinya Limbah... 40 5.4.1 Limbah Pemanenan Kayu di Petak Tebang... 42 5.4.2 Limbah Pemanenan Kayu di TPn... 44 5.4.3 Limbah Pemanenan Kayu di TPK... 45 5.5 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Bagian Pohon... 45 5.6 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Kondisi Limbah... 47 5.7 Analisis Hubungan Faktor yang Berpengaruh Terhadap volume Limbah Akibat Kegiatan Penebangan... 50 5.8 Faktor Eksploitasi... 53 5.9 Biomassa Limbah Pemanenan Kayu (Nekromassa)... 56 5.10 Karbon Limbah Pemanenan Kayu... 57 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 59 6.2 Saran... 59 DAFTAR PUSTAKA... 60 LAMPIRAN... 64

vii DAFTAR TABEL Halaman 1. Volume dan jenis limbah eksploitasi hutan berdasarkan sumbernya di HPH Padeco dan Bamasco... 5 2. Sebaran tanah areal IUPHHK PT. Indexim Utama... 31 3. Kondisi penutupan vegetasi areal kerja PT. Indexim Utama berdasarkan fungsi hutannya... 32 4. Jumlah pohon yang ditebang... 39 5. Limbah pemanenan kayu berdasarkan lokasi... 40 6. Volume limbah rata-rata pada tiap plot contoh... 42 7. Limbah pemanenan kayu yang terdapat di TPn... 44 8. Volume limbah berdasarkan bagian pohon... 45 9. Volume limbah berdasarkan kondisi limbah... 48 10. Volume limbah kayu hasil tebangan pada masing-masing kemiringan lereng, intensitas tebang dan luas bidang dasar... 51 11. Analisis ragam... 52 12. Hubungan antar peubah dengan besarnya limbah... 53 13. Nilai faktor eksploitasi pada setiap petak contoh... 54 14. Rata-rata biomassa limbah pemanenan kayu (nekromassa)... 56 15. Rata-rata simpanan karbon limbah pemanenan kayu... 57

viii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tunggak yang terlalu tinggi... 37 2. Trimming pangkal... 37 3. Trimming ujung... 38 4. Batang atas... 38 5. Cabang... 38 6. Limbah gerowong... 44 7. Persentase limbah berdasarkan kondisi limbah... 49

ix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan... 65 2. Persentase limbah berdasarkan volume pohon yang ditebang... 69 3. Perhitungan volume limbah berdasarkan bagian pohon... 72 4. Perhitungan volume limbah berdasarkan kondisinya... 81 5. Perhitungan faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah... 86 6. Perhitungan faktor eksploitasi berdasarkan It, Is, dan Ia... 91 7. Kerapatan kayu pada jenis kayu yang ditebang... 96 8. Perhitungan kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon pada jenis yang ditebang... 98 9. Petak kerja penelitian... 100 10. Peta areal IUPHHK-HA PT. Indexim Utama... 101

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim global pada dekade terakhir ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yaitu: karbondiokida (CO 2 ), metana (CH 4 ) dan nitrogen oksida (N 2 O) yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Salah satu cara yang paling efektif dalam penurunan emisi gas rumah kaca dengan memanfaatkan sifat alami pohon penyerap CO 2. Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Salah satu sumberdaya yang banyak dimanfaatkan adalah kayu, untuk mengubahnya bernilai ekonomi diperlukan kegiatan mengeluarkan kayu dari hutan yang disebut dengan pemanenan kayu. Selain itu manfaat hutan yang lainnya yaitu sebagai penyimpan karbon. Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, hutan alam dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi (Hairiah & Rahayu 2007). Pemanenan hasil hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan. Kegiatan yang dilakukan dalam pemanenan hutan antara lain penebangan, penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan. Sebagai akibat dari adanya kegiatan pemanenan hasil hutan, timbul beberapa masalah diantaranya ialah terjadinya limbah pemanenan kayu. Limbah tersebut dapat berbentuk tunggak, batang, cabang dan potongan pendek yang dapat terjadi di petak tebang, TPn dan TPK. Menurut Lasco (2002) diacu dalam Rahayu et al. (2005) menyatakan bahwa kegiatan pemanenan kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50 %. Di hutan tropis Asia penurunan cadangan karbon akibat aktivitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67 %. Cadangan karbon yang hilang dapat dikurangi dengan melaksanakan teknik pemanenan berdampak rendah.

2 Limbah pemanenan sering timbul akibat kesalahan teknis di lapangan dan juga akibat kebijakan perencanaan pemanenan yang kurang tepat. Pemanfaatan kayu yang kurang efisien terjadi karena jumlah kayu yang dimanfaatkan pada umumnya masih rendah dibandingkan dengan volume kayu yang ditebang. Hasil penelitian Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), limbah di petak tebang sebesar 71,5 % serta sisanya terjadi di logpond. Selanjutnya hasil penelitian Sukanda (1995) menyebutkan rata-rata limbah di petak tebang sebesar 85,84 m 3 (99,28 %) dan di TPn sebesar 0,62 m 3 (0,72 %). Kriteria yang berbeda dalam mendefinsikan dan mengklasifikasikan limbah pemanenan kayu dengan kondisi lokasi penelitian yang berbeda akan menghasilkan limbah yang berbeda pula. Keberadaan limbah ini sering kali diabaikan, karena pemanfaatan dianggap menyulitkan dan mahal. Bagian pohon seperti tunggak, cabang dan batang yang cacat, umunya ditinggalkan begitu saja di hutan dan menjadi limbah. Perhitungan paling konservatif pada tahun 1980-an diperoleh limbah hampir 7,5 juta m 3 /tahun dengan nilai sebesar hampir Rp 1,2 triliun/tahun. Konversi limbah tersebut ke luas areal hutan untuk menghasilkan volume kayu sebesar itu adalah lebih dari 124.000 ha/tahun (Tinambunan 2001). Dalam praktek pengelolaan hutan lestari pemborosan seperti ini seharusnya dapat ditekan serendah mungkin. Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Selain itu, limbah pemanenan kayu juga erat kaitannya dengan faktor eksploitasi. Makin besar limbah eksploitasi yang terjadi berarti faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam 1995). Berdasarkan hal itu, besarnya faktor eksploitasi yang terjadi dalam pelaksanaan pemanenan kayu secara mekanis mutlak diperlukan untuk memberikan informasi tentang besaran faktor eksploitasi yang tepat dan membantu perusahaan pengusahaan hutan dalam perencanaan target produksi dan juga memberikan kemudahan bagi Kementerian Kehutanan Rebuplik Indonesia dalam melakukan pengawasan. Nekromassa adalah batang pohon mati, baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah. Menurut penelitian Widyasari (2010) menunjukan bahwa nekromassa paling besar adalah nekromassa batang sebesar 58.862,07 kg/ha. Hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya tunggak kayu yang ada

3 pada areal petak penelitian, sehingga nekromassa pun semakin besar. Tunggaktunggak kayu yang ada di areal diduga sebagai akibat kegiatan penebangan namun dibiarkan terlantar sehingga menjadi limbah pemanenan. Besarnya nekromassa tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penurunan pada biomassa tersimpan pada tegakan di areal tersebut. Nekromassa merupakan komponen penting dari penyimpanan karbon dan harus diukur agar diperoleh penyimpanan karbon yang akurat. Tunggul-tunggul tanaman, cabang yang masih utuh juga dimasukkan ke dalam nekromassa (Hairiah & Rahayu 2007). Besarnya nekromassa tersebut akan mempengaruhi simpanan karbon dalam hutan. Berdasarkan hal tersebut diperlukan penelitian tentang limbah pemanenan kayu, faktor eksploitasi dan karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menghitung volume limbah kayu yang terjadi di petak tebang, TPn, dan TPK akibat kegiatan pemanenan kayu di IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam) PT. Indexim Utama. 2. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap besarnya volume limbah akibat kegiatan penebangan kayu. 3. Menentukan faktor eksploitasi yang terjadi di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama. 4. Mengukur besarnya karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu. 1.3 Manfaat Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dapat memberikan informasi secara kuantitatif mengenai volume limbah, faktor eksploitasi, dan simpanan karbon pada limbah pemanenan kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Atas dasar informasi tersebut, maka limbah kayu yang terjadi akan ditekan serendah mungkin. Sehingga pemanfaatan kayu dapat dilakukan dengan efisien dan efektif.

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Indonesia memiliki berbagai tipe hutan, yaitu: Hutan Hujan Tropis, Hutan Musim, Hutan Gambut, Hutan Rawa, Hutan Payau, Hutan Kerangas, dan Hutan Pantai. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), Indonesia memiliki hutan hujan tropis seluas ± 89.000.000 ha dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Iklim selalu basah 2. Tanah kering dan berbagai macam jenis tanah 3. Topografi berbukit pada tanah dataran rendah (< 1000 m dpl) dan terdapat pada dataran tinggi sampai dengan ketinggian 4000 m dpl 4. Hutan hujan tropis dibedakan menurut ketinggiannya menjadi hutan hujan dataran rendah, hutan hujan sedang dan hutan hujan dataran tinggi. 2.2 Limbah Pemanenan Kayu 2.2.1 Pengertian Limbah Pemanenan Kayu Limbah adalah suatu zat yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang tidak bernilai ekonomis. Limbah pemanenan adalah bagian pohon yang seharusnya dapat dimanfaatkan akan tetapi terpaksa ditinggalkan di hutan (Sastrodimedjo & Simarmata 1981). Limbah pemanenan kayu adalah pohon atau bagian pohon yang tertinggal dan belum dimanfaatkan di areal tebangan yang berasal dari pohon yang ditebang dan pohon-pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan (Simarmata & Haryono 1986), berikut hasil volume dan jenis limbah berdasarkan sumbernya.

5 Tabel 1 Volume dan jenis limbah eksploitasi hutan berdasarkan sumbernya di HPH Padeco dan Bamasco Volume Jenis Limbah (m 3 /ha) Pohon yang Ditebang Pohon Rusak Akibat Total HPH Tunggak Batang Di atas Jumlah Penebangan Penyaradan limbah Bebas Bebas Cabang Cabang Padeco 5,49 3,57 3,92 13,48 8,14 0,80 22,41 Bamasco 3,48 2,42 2,16 8,18 6,30 1,00 15,46 Total 8,97 5,99 6,08 21,84 14,44 1,80 37,87 Rata-rata 4,49 2,99 3,04 10,82 7,22 0,90 18,94 Persentase limbah 44,23 27,69 28,69 57,12 38,13 4,75 100 Sumber: Simarmata dan Haryono (1986) Menurut Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), besarnya limbah yang ditinggalkan dari setiap pohon yang ditebang berdasarkan perhitungan pemanfaatan kayu sampai batas dahan pertama adalah 26 % sedangkan jika dihitung berdasarkan pemanfaatan kayu sampai batas diameter ujung 30 cm adalah 33,1 %. Selanjutnya kedua penulis tersebut mengemukakan bahwa dari setiap pohon yang ditebang, sebesar 71,5 % dari limbah yang terjadi ditinggalkan di areal tebangan dan sisanya sebesar 28,5 % berada di logyard atau logpond. Berdasarkan hasil penelitian Widiananto (1981) mengenai limbah tebangan di areal konsesi HPH PT. ITCI, Kalimantan Timur, diperoleh limbah tebangan sebesar 39,89 % dari total volume pohon. Limbah tebangan berupa batang sebesar 26,52 % dan limbah tebangan berupa cabang sebesar 13,37 %. 2.2.2 Klasifikasi Limbah Soewito (1980) menyatakan bahwa limbah yang terjadi di areal tebangan berasal dari: 1. Limbah dari pohon yang ditebang. Limbah dari pohon yang ditebang terjadi karena pengusaha hutan hanya mengambil bagian kayu yang dianggap terbaik saja sesuai dengan persyaratan ukuran (panjang dan diameter) dan kualitas. Bagian-bagian kayu yang cacat alami (berlubang, bengkok) dan pecah atau patah batang akibat benturan ketika roboh, ditinggalkan di dalam hutan.

6 2. Limbah akibat kerusakan tegakan tinggal. Penebangan dan pembuatan jalan sarad yang kurang hati-hati dan tidak berencana dapat menyebabkan pohon lain yang dipertahankan menjadi rusak, umumnya ialah patah tajuk, luka batang atau banir atau roboh. Sastrodimedjo dan Simarmata (1981) mengklasifikasi limbah berdasarkan tempat terjadinya, sebagai berikut: 1. Limbah yang terjadi di areal tebangan (cutting area), limbah tebangan ini dapat berupa kelebihan tunggak yang diizinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang, sisa cabang dan ranting. 2. Limbah yang tejadi di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), batang-batang yang tidak memenuhi syarat baik kualitas maupun ukurannya. 3. Limbah yang terjadi di Tempat Penumpukan Kayu (TPK), umumnya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah, dan terserang jamur. Hidayat (2000) menggolongkan limbah berdasarkan: 1. Bentuknya a. Berupa pohon hidup yang bernilai komersial namun tidak dipanen meskipun dari segi teknis memungkinkan. b. Berupa bagian batang bebas cabang yang terbuang akibat berbagai faktor, seperti teknis, fisik, biologis, dan lain-lain. c. Berupa sisa bagian pohon yakni dahan, ranting, maupun tunggak. d. Berupa sisa bagian produksi atau akibat proses produksi. 2. Pengerjaan kayunya a. Limbah pemanenan yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan kayu yang dapat berupa kayu-kayu yang tertinggal di hutan, TPn dan TPK. b. Limbah pengolahan kayu yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri kayu seperti pabrik gergajian, plywood dan lain-lain. 3. Tempat terjadinya a. Limbah yang terjadi di tempat penebangan b. Limbah yang terjadi di tempat pengumpulan kayu (TPn) c. Limbah yang terjadi di tempat penimbunan kayu (TPK)

7 Limbah diklasifikasikan berdasarkan sumbernya untuk mengetahui dari bagian pohon yang mana limbah berasal, yaitu: klasifikasi berdasarkan sumber limbah itu sendiri dan terbatas pada areal tebangan. Sumber limbah berasal dari pohon yang ditebang, pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan, sedangkan limbah yang berasal dari pohon yang ditebang berasal dari tunggak, limbah batang bebas cabang, batang kayu di atas cabang pertama (Simarmata & Haryono 1986). 2.2.3 Batasan Limbah Sinaga et al. (1984) menyebutkan bahwa limbah pemanenan kayu meliputi: 1. Limbah tunggak di bagian atas batas yang diperkenankan. 2. Bagian-bagian dari kayu bulat yang pecah atau tercabut seratnya sampai batas cabang. Budiaman (2000) menyebutkan bahwa limbah pemanenan kayu adalah kayu bulat berupa bagian batang komersial, potongan pendek, tunggak, cabang, dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam. 2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama. 3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama. 4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas. 5. Potongan kecil adalah bagian batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis fisik lainnya yang mengurangi nilai ekonomis kayu.

8 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah Limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain topografi, kerapatan tegakan, keterampilan penebangan dan operator traktor serta kebutuhan kayu. Faktor alam tersebut sukar diatasi, walaupun dapat diatasi sudah tidak efisien lagi dengan biaya yang dikeluarkan (Simarmata & Haryono 1986). Timbulnya limbah juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pasaran, jenis dan nilai kayunya, tempat serta fasilitas pasarnya pada saat itu. Dengan demikian ukuran serta kualitas yang tidak memenuhi syarat pada saat itu akan menjadi limbah. Faktor penyebab limbah yang tidak dapat dikuasai adalah faktor alam, yaitu kayu tidak dapat dimanfaatkan karena letaknya tidak memungkinkan pemanenan secara ekonomis antara lain di dalam jurang, atau pada lereng-lereng yang curam, juga apabila pohon yang ditebang ternyata busuk, berlubang atau cacat (Soemitro 1980). Sastrodimejo dan Simarmata (1981) menyatakan bahwa limbah pemanenan kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai berikut: 1. Topografi berkaitan dengan kemungkinan dapat atau tidaknya kayu untuk ditebang dan dimanfaatkan, kesulitan dalam mengeluarkan kayu sehingga ditinggal dan tidak dimanfaatkan. 2. Musim berpengaruh terhadap keretakan batang-batang yang baru ditebang. Pada musim kemarau kayu akan lebih mudah pecah karena udara kering. 3. Peralatan, pemilihan jenis dan kapasitas alat yang keliru dapat menyebabkan kayu tidak dapat dimanfaatkan seluruhnya. 4. Cara kerja, penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi. 5. Sistem upah yang menarik akan memberikan rangsang yang baik terhadap para pekerja sehingga yang bersangkutan bersedia melaksanakan sesuai yang diharapkan. 6. Kurangnya sinkronisasi antara kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya dapat menyebabkan tidak lancarnya kegiatan. 7. Permintaan pasar

9 Simarmata (1985) secara umum menunjukkan bahwa besarnya limbah pemanenan kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Faktor alam a. Jenis kayu b. Keadaan tanah dan topografi c. Kerapatan pohon atau tegakan d. Keadaan cuaca 2. Faktor manajemen dan pemasaran a. Teknik, alat dan pemasaran b. Harga kayu c. Bentuk, ukuran, dan kondisi kayu yang laku di pasar d. Jenis industri yang ada. Hasil penelitian Lim (1992) di IUPHHK PT Kayu Pasaguan menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara luas bidang dasar pohon yang ditebang dengan volume limbah yang terjadi, yang terdiri atas limbah tunggak, limbah batang bebas cabang, limbah batang bagian atas, limbah cabang, limbah kerusakan tegakan tinggal. Semakin besar luas bidang dasar pohon yang ditebang, maka semakin besar volume limbah yang dihasilkan. Penyebab-penyebab terjadinya limbah dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, sebagai berikut : 1. Secara alami, yaitu kayu ditinggalkan karena ada cacat alami sehingga tidak dapat dipasarkan pada saat ini, seperti kayu berlubang, busuk, dan gerowong. 2. Secara mekanis, yaitu kayu ditinggalkan karena ada kerusakan pada kayu akibat kegiatan pemanenan, seperti pecah, patah, dan lain-lain (Sianturi et al. 1984) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lempang et al. (1995) peubah yang berpengaruh nyata terhadap besarnya limbah pemanenan kayu yaitu panjang kayu di tempat penebangan, rata-rata diameter tebangan, volume kayu di tempat tebangan, dan panjang kayu di TPn. Menurut Sastrodimedjo dan Simarmata (1978), terjadinya limbah tebangan yang cukup besar disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai berikut: 1. Kesalahan dalam melaksanakan teknik penebangan.

10 Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang benar dapat menyebabkan bagian pangkal pohon tercabut, retak atau yang disebut barber chair, sehingga akan mengurangi batang yang seharusnya dapat dipakai. 2. Kesalahan dalam menentukan arah rebah. Dalam melaksanakan penebangan pada umumnya operator chainsaw belum memperhatikan arah rebah yang baik. Sering terjadi rebah ke arah jurang, menimpa batang lain, selokan, tunggak dan lain-lain, sehingga batang retak dan pecah. 3. Kesalahan dalam pemotongan batang. Karena diperkirakan tidak kuat disarad sekaligus, maka pohon-pohon tersebut sering kali dipotong menjadi beberapa batang. Pekerjaan demikian ini dikerjakan sendiri oleh penebang tanpa bantuan scaler, sehingga menimbulkan limbah. 4. Manajemen yang kurang baik. Sering terjadi ketidaklancaran hubungan antara kegiatan yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini kerjasama yang baik antara unit-unit kegiatan pemanenan akan menjamin lancarnya kayu sampai di logpond. Sehingga dapat menghindari terlalu lamanya kayu yang tertinggal di hutan atau logyard yang dapat memberikan peluang untuk terjadinya limbah karena penurunan kualita. 2.2.5 Upaya untuk Meminimalkan Besarnya Limbah Pemanenan Hutan Menurut Budiaman (2000) volume limbah kayu bulat dapat dikurangi apabila dilakukan perbaikan dalam teknik penebangan dan pembagian batang. Peningkatan keterampilan pekerja melalui latihan kerja yang diberikan dapat memperkecil jumlah limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan (Sinaga et al. 1984). Soewito (1980) mengemukakan bahwa usaha-usaha untuk mengurangi limbah pemanenan kayu, sebagai berikut: 1. Mendirikan industri pengolahan hasil hutan yang memanfaatkan log berkualitas rendah. 2. Penyusunan pedoman pemanenan kayu.

11 3. Peningkatan kemampuan manajemen dan keterampilan pelaksana melalui pendidikan dan latihan. Untuk mengurangi limbah pemanenan kayu dapat di tempuh melalui dua pendekatan, sebagai berikut: 1. Kegiatan sebelum pemanenan kayu Dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penggunaan teknis dan peralatan pemanenan yang sesuai, dilaksanakannya peraturan TPTI dengan sungguhsungguh dapat mengurangi timbulnya limbah. 2. Kegiatan setelah pemanenan kayu Limbah yang terjadi, baik pada kegiatan penebangan maupun industri akan dapat dikurangi dengan adanya peningkatan pemanfaatannya (Sastrodimedjo & Simarmata 1981). Klassen (2006) menyebutkan contoh spesifik dari limbah kayu yang dapat dihindarkan sebagai berikut : 1. Tunggak yang terlalu tinggi Kelebihan tunggak adalah bentuk nyata limbah kayu yang dapat dan mudah dihindari melalui pengawasan tempat kegiatan penebangan. Penelitian menunjukkan, limbah ini mewakili 1-2 % dari seluruh limbah kayu yang dapat dihindari. 2. Pemotongan banir dan ujung puncak pohon yang tidak tepat Cara memotong kayu log dari pohon yang ditebang akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan limbah. Sering kali penebang memotong pohon jauh di atas banir dimana diameter pohonnya mulai mengecil. Lubang kecil pada banir tersebut yang mengakibatkan berkurangnya volume kayu berkualitas karena dipotong, padahal sebenarnya seluruh log bisa ditarik ke TPn. Limbah kayu yang berada pada kategori ini, mewakili 35-55 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari. 3. Meninggalkan pohon yang sudah di tebang dalam hutan Umumnya, kategori limbah kayu seperti ini merupakan 25-30 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari. 4. Mengenali pohon yang tidak ditebang

12 Menebang pohon yang mempunyai lubang sangat besar menjadi sangat tidak ekonomis untuk ditebang dan seharusnya dapat dihindari karena menyebabkan kerusakan yang tidak perlu pada pohon sekitarnya. Pohon berlubang juga memiliki nilai sebagai pohon bibit atau benih dan pada banyak kasus mempunyai fungsi ekologis dalam hutan. Penebang biasanya dapat menduga apakah suatu pohon berlubang dengan cara memukulkan parangnya pada pohon. Bila pohon dicurigai berlubang besar, penebang harus melakukan potongan secara vertikal untuk menentukan besarnya lubang. Bila ukuran lubang pada pohon tersebut melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh standar pemanfaatan dari perusahaan, pohon tersebut tidak perlu ditebang. Menurut Thaib (1991) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya limbah pemanenan kayu, sebagai berikut: 1. Melakukan inventarisasi tegakan sebelum tebangan dengan teliti. 2. Membuat rencana operasional dilengkapi petunjuk teknis pelaksanaan pemanenan dengan memperhatikan kondisi areal setempat. 3. Peningkatan daya guna peralatan yang ada. 4. Melaksanakan penyempurnaan sistem pengupahan pada kegiatan pemanenan yang merangsang upaya penekanan kayu limbah pemanenan. 5. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan pada kegiatan pemanenan. 6. Meningkatkan keterampilan penebang berupa pelatihan menebang dan pembagian batang. 2.3 Faktor Eksploitasi Sianturi et al. (1984) mendefinisikan faktor eksploitasi adalah indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfaatkan dari volume pohon yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut limbah. Oleh karena itu persentase pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100 persen. Faktor eksploitasi merupakan suatu faktor yang menentukan besarnya target tebangan tahunan. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan. Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu di suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksir besarnya royalti yang harus dibayar di hutan tersebut.

13 Dengan cara penetapan yang demikian maka kayu yang dimanfaatkan akan meningkat, yaitu dalam memanfaatkan kayu limbah yang selama ini umumnya ditinggalkan di hutan untuk menghindari royalti dari kayu tersebut. Faktor eksploitasi adalah perbandingan antara bagian batang yang dimanfaatkan dengan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Batang yang dimanfaatkan adalah bagian batang yang sampai di logpond dan siap dipasarkan, sedangkan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan adalah bagian batang dari atas tunggak yang diizinkan sampai cabang pertama (Dulsalam & Simarmata 1985). Menurut Dulsalam (1995) pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan. Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Lempang et al. (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi, sebagai berikut: 1. Faktor non teknis, terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran. 2. Faktor teknis meliputi : a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencana hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan. b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran. c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat. Kelas diameter menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap besarnya faktor eksploitasi. Makin besar diameter batang maka semakin besar limbah pemanenan kayu, sehingga faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam & Simarmata 1985). Hubungan antara diameter setinggi dada dan panjang kayu bebas cabang dengan faktor eksploitasi di hutan alam Dipterokarpa Pulau Laut

14 merupakan fungsi kuadratik, dan berlaku bagi Unit Kegiatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Selatan. Besarnya faktor eksploitasi di hutan alam Pulau Laut yaitu 80% (Sianturi et al. 1984). Besarnya faktor eksploitasi rata-rata jenis Meranti di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur adalah 0,8. Faktor eksploitasi ini dipengaruhi oleh diameter batang, makin besar diameter batang makin besar faktor eksploitasi. Pada penelitian Lempang et al. (1995) besarnya faktor eksploitasi pada hutan alam di Sulawesi Selatan sebesar 0,8. 2.4 Siklus Karbon Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO 2 di atmosfer dan CO 2 di lautan ke dalam bentuk organik maupun inorganik di daratan dan lautan. Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil, alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO 2 ke atmosfer sebanyak 28% dari konsentrasi CO 2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC 2000 diacu dalam Novita 2010). Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 tera ton = 10 12 t = 10 18 g). Sumber terbesar lainnya terdapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomassa pohon, tumbuhan bawah, nekromassa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau 5% dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4 kali lebih banyak daripada yang disimpan dalam biomassa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO 2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer menampung C terendah hanya sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO 2 per tahun 3,3 Gt (Hairiah et al. 2001). Kinderman et al. (1993) diacu dalam Novita (2009) menyatakan bahwa tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah,

15 ketersediaan kandungan hara dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa, nekromassa, tanah dan tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak sebagai media perantara di dalam siklus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akar yang mati dan karbon tanah). Hairiah et al. (2001) menyatakan bahwa aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi CO 2 di atmosfer dari 285 ppmv (part per million on a volume basis) sebelum revolusi industri pada abad ke-19 hingga 336 ppmv di tahun 1998. Penyebab utama naiknya gas rumah kaca salah satunya adalah deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, terutama di negara-negara tropis. 2.5 Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa pohon sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari biomassa pohon merupakan selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk respirasi dan proses pemanenan. Penentuan biomassa dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan dan dalam limbah pemanenan. Hampir 50% dari biomassa dari vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam bentuk CO 2 apabila hutan tersebut dibakar. Whitmore (1985) menyatakan bahwa biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO 2 dari udara dan merubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas daun yang disinari, suhu dan sifat masing-masing jenis tumbuhan. Sisa hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan dinamakan produktivitas primer bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi primer bersih. Berdasarkan hasil penelitian Tresnawan dan Rosalina (2002), besarnya biomassa primer adalah 366,95 ton/ha terdiri dari 348,02 ton/ha biomassa pohon, 11,74 ton/ha nekromassa pohon, 0,83 ton/ha tumbuhan bawah, 5,35 ton/ha serasah

16 kasar dan 1,01 ton/ha serasah halus. Besarnya biomassa hutan bekas tebangan tahun 2000 adalah 348,14 ton/ha yang terdiri dari 221,39 ton/ha biomassa pohon, 119,13 ton/ha nekromassa pohon, 0,92 ton/ha tumbuhan bawah, 5,77 ton/ha serasah kasar dan 0,93 ton/ha serasah halus. Besarnya biomassa hutan bekas tebangan tahun 1998 adalah 312,37 ha/ton terdiri dari 189,26 ton/ha biomassa pohon, 116,68 ton/ha nekromassa pohon, 1,09 ton/ha tumbuhan bawah, 4,67 ton/ha serasah kasar, dan 0,67 ton/ha serasah halus. 2.6 Karbon Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak konsentrasi karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan (Whitmore 1985). Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa karbon merupakan unsur yang mempunyai porsi terbesar di dalam kayu jika dibandingkan dengan unsur lain dan karbon merupakan elemen yang dominan atas berat biomassa tanaman. Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa komponen karbon daratan menurut keberadaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Simpanan karbon di atas permukaan tanah meliputi : 1. Biomassa pohon. Biomassa pohon dapat dibedakan menjadi biomassa daun, ranting, kulit, cabang dan batang. 2. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput, dan gulma. 3. Nekromassa yaitu batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang. 4. Serasah yaitu bagian tanaman/tumbuhan yang gugur berupa daun dan ranting. Simpanan karbon di bawah permukaan tanah terdiri dari : 1. Biomassa akar. Pada tanah hutan biomassa akar lebih terkonsentrasi pada akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih terpusat pada akar-akar halus yang memiliki daur hidup lebih pendek.

17 2. Bahan organik tanah. Bahan organik tanah meliputi sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi. Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi karena keragaman jenis vegetasi yang tinggi, tumbuhan bawah dan serasah di permukaan tanah yang banyak. Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam biomassa berupa daun, batang, ranting, cabang, bunga dan buah. Menurut Junaedi (2007), hutan tropis dataran rendah areal bekas tebangan menyimpan masa karbon di atas permukaan tanah sebesar 57,68-107,71 ton C/ha dan hutan primer sebesar 229,33 ton C/ha. Hasil penelitian Kusuma (2009) menyatakan bahwa pendugaan potensi karbon di atas permukaan tanah pada tegakan hujan tropis bekas tebangan 1983, menghasilkan massa karbon yang tersimpan adalah 93.440,999 kg C/ha di sekitar TPn, di tengah antara ujung sarad dan TPn 74.636,359 kg C/ha dan di sekitar ujung jalan sarad 73.633,59 kg C/ha sedangkan di plasma nutfah sebagai hutan primer sebesar 123.157,90 kg C/ha. setiap hektarnya rata-rata tersimpan potensi karbon 91.218,51 kg C/ha. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mampu menyerap CO 2. Hutan mampu menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang telah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material yang sukar lapuk di tanah (Whitmore 1985). Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu demikian jika kita perhitungkan dalam skala global (Rahayu et al. 2005).

18 2.7 Kadar Abu Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium, kalsium, dan magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksida tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi 1990). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) kayu mengandung senyawa organik yang tetap tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada oksigen yang melimpah, residu semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsurunsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silika. Karena mineralmineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu. 2.8 Kadar Zat Terbang Kadar zat terbang menunjukan kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950 C yang terkandung pada arang terhadap berat kering bahan bebas air. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan yaitu senyawa alifatik, terpena, dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen & Bowyer 1989).

19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu ini dilaksanakan di IUPHHK PT. Indexim Utama, Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 6 Oktober sampai 16 Nopember 2011. Pengujian contoh uji dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 21 Nopember sampai 10 Desember 2011. 3.2 Objek dan Alat Penelitian Objek penelitian ini adalah pohon yang ditebang beserta limbah kayu yang dihasilkan yang terdapat di petak tebang, TPn, dan TPK. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah sebagai berikut: Phiband meter untuk mengukur diameter pohon dan diameter limbah. Meteran untuk mengukur panjang limbah dan ukuran plot. Haga Hypsometer untuk mengukur tinggi pohon. Kapur untuk menandai log. Clinometer untuk mengukur kemiringan lereng. Cat dan patok untuk menandai batas petak contoh. Global Positioning System (GPS) untuk penentuan koordinat petak contoh. Gergaji untuk memotong contoh uji kayu. Kantong plastik berbagai ukuran sebagai wadah untuk menyimpan contoh uji. Software minitab versi 14 untuk menganalisis data hasil pengukuran. Label untuk memberikan nama pada setiap contoh uji. Kamera untuk dokumentasi. Alatalat bantu lainnya seperti tally sheet serta alat tulis. Sedangkan Untuk mengetahui kandungan karbon pada limbah pemanenan diperlukan contoh uji kayu untuk diuji di laboratorium. Contoh uji kayu yang diambil berasal dari tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas), dan cabang. Alat yang digunakan untuk pengujian di laboratorium adalah mesin pencacah, cawan porselin, saringan 40-60 mesh, oven, desikator, timbangan, dan tanur listrik.

20 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Batasan Masalah Perhitungan limbah kayu dilakukan di petak tebang, TPn, dan TPK. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan limbah pemanenan adalah bagian dari pohon yang ditebang tetapi tidak dimanfaatkan oleh pola pemanfaatan yang berlaku pada saat ini dan dibiarkan dalam hutan. Limbah pemanenan ini dapat berasal dari tunggak, batang bebas cabang, batang utama setelah cabang pertama (batang atas), dan cabang. Cabang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagian dari tajuk yang memiliki diameter 30 cm (Permenhut 8 Tahun 2009). 3.3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Data primer yang dikumpulkan adalah sebagai berikut: 1. Volume limbah dengan mengukur dimensi tunggak, batang bebas cabang, batang utama setelah cabang pertama (batang atas), dan cabang di petak tebang. 2. Volume limbah di TPn dan TPK. 3. Berat jenis kayu dari jenis-jenis pohon yang ditebang dengan pengujian contoh uji kayu tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas), dan cabang di petak tebang. 4. Data berat kering, kadar zat terbang, dan kadar abu jenis-jenis kayu yang diperoleh dengan analisis contoh uji kayu di laboratorium. Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung penelitian yang diperoleh dari pengutipan data perusahaan. Data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai berikut: 1. Letak, luas, dan keadaan umum lokasi penelitian. 2. Laporan Hasil Cruising (LHC) petak yang akan dilakukan penelitian yang digunakan untuk membandingkan pengukuran dimensi pohon di lapangan.

21 3.3.3 Pengumpulan Data di Lapangan 1. Penentuan Plot Contoh Pengambilan data untuk pengukuran limbah dilakukan dengan membuat plot contoh dengan ukuran 100 m x 100 m atau 1 ha pada petak tebang yang sedang dilakukan penebangan. Luasnya plot contoh yang akan dilakukan penelitian adalah 10 ha. Penentuan plot contoh dilakukan secara purposive sampling yaitu suatu teknik pengambilan contoh dengan mengikuti kegiatan yang berlangsung di lapangan sesuai dengan tujuan tertentu. 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Setelah petak contoh ditentukan, maka dilakukan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) yang dilaksanakan pada pohon berdiameter 20 cm pada plot contoh yang telah ditentukan. Inventarisasi ini dilakukan untuk mengetahui potensi awal, kerapatan tegakan tinggal dan kondisi lapangan. Kegiatan yang dilakukan yaitu pencatatan nomor pohon, jenis pohon, diameter pohon setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah, tinggi bebas cabang, tinggi total, dan pengukuran kelerengan. 3. Pengukuran Sortimen di Petak Tebang Setelah penebangan dilakukan pengukuran bagian-bagian pohon yang ditebang. Secara umum bagian-bagian pohon terdiri dari dua kelompok, yaitu bagian dibawah cabang pertama dan bagian di atas cabang pertama. Bagian di bawah cabang pertama terdiri dari tunggak dan batang bebas cabang. Bagian di atas cabang pertama terdiri dari batang atas dan cabang. Bagian-bagian yang diukur adalah sebagai berikut: a. Tunggak adalah bagian pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Dimensi yang diukur adalah diameter dan tinggi tunggak. b. Batang bebas cabang adalah batang utama dari atas banir sampai cabang pertama. Limbah dari batang bebas cabang dapat berupa potongan pendek atau kayu gelondongan dan hasil trimming. Potongan pendek adalah bagian batang utama yang mengandung cacat atau rusak dan perlu dipotong. Potongan pendek juga meliputi batang dengan cacat nampak, pecah, busuk, dan jenis fisik

22 lainnya. Kayu gelondongan dapat menjadi limbah jika jatuh ke jurang atau pecah terlalu banyak sehingga ditinggalkan. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang. c. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama. Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang. d. Cabang adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama. Limbah cabang yang diukur pada diameter minimal 30 cm. Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang. e. Pengumpulan data volume siap sarad. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang. Untuk memudahkan pelaksanannya, semua batang yang diteliti di tempat penebangan diberi nomor kode yang diikuti seterusnya hingga TPK. 4. Pengukuran Sortimen di TPn Data yang dikumpulkan di TPn yaitu volume limbah dan volume batang (sortimen) siap angkut. Limbah dan sortimen yang diukur berasal dari pohon yang sama dengan pohon yang diukur di petak tebang. Limbah di TPn terjadi akibat dari kegiatan trimming. Limbah di TPn berupa sisa potongan, batang bebas cabang yang tidak terangkut karena mengandung cacat (bengkok, mata buaya, gerowong), kayu gelondongan utuh dengan kondisi baik yang mungkin terdapat di TPn karena jumlah kurang dari satu trip sehingga tidak diangkut. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang. 5. Pengukuran Sortimen di TPK Data yang dikumpulkan di TPK adalah volume batang yang sampai di TPK dan limbah berupa kayu gelondongan yang tidak diangkut karena mengandung cacat. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang.

23 6. Pengambilan Contoh Uji Kayu di Lapangan Contoh uji limbah kayu yang akan dilakukan pengujian di laboratorium diambil sebanyak 3x ulangan pada tiap jenisnya pada masing-masing bagian pohon. Contoh uji limbah kayu tersebut terdiri dari tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas), dan cabang. Adapun cara pengambilan contoh uji kayu di lapangan adalah sebagai berikut: a. Contoh uji batang utama, diambil dari bagian ujung, bagian pangkal, dan bagian tengah batang utama dengan membuat potongan melintang batang setebal ± 5 cm. b. Contoh uji batang cabang diambil dari cabang yang besar, sedang, dan kecil yang diameternya 30 cm. Contoh uji diambil dengan cara membuat potongan melintang batang cabang setebal ± 5 cm. c. Contoh uji tunggak dimana setiap contoh uji beratnya ± 1 kg. Selanjutnya contoh uji yang telah diambil di lapangan dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi kode contoh uji agar tidak tertukar antara contoh uji satu dengan contoh uji lainnya. Kode contoh uji pohon adalah sebagai berikut : Batang utama : M BU P (Jenis pohon-batang utama-pangkal) M BU T (Jenis pohon-batang utama-tengah) M BU U (Jenis pohon-batang utama-ujung) Cabang : M C B (Jenis pohon-cabang-besar) M C S (Jenis pohon-cabang-sedang) M C K (Jenis pohon-cabang-kecil) 3.4 Pengumpulan Data di Laboratorium 3.4.1 Kadar Air Contoh uji diambil dari masing-masing bagian pohon (tunggak, batang bebas cabang, batang setelah cabang pertama, dan dahan). Contoh uji penetapan kadar air berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Semua contoh uji harus bersih dari serabut dan ditimbang berat basahnya. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103 ± 2 o C sampai tercapai berat konstan. Penurunan berat yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur ialah kadar air contoh uji.

24 Perhitungan persen kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: KA (%) = 100%.(Haygreen dan Boyer 1982) Keterangan : %KA = persentase kadar air BBc = berat basah contoh (kg) BKc = berat kering contoh (kg) 3.4.2 Berat Jenis Untuk mengetahui biomassa mati (nekromassa) dengan pendekatan volume suatu jenis pohon perlu diketahui berat jenis kayu. Berat jenis kayu diperoleh dengan pengujian contoh uji kayu di laboratorium. Banyaknya contoh uji limbah kayu yang diambil adalah 3 buah contoh uji dari melintang tunggak, batang (batang bebas cabang dan batang atas) dan cabang dengan dimensi 2 cm x 2 cm x 2 cm berdasarkan American Society for Testing Material (ASTM) D 2395-97. Penentuan berat jenis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Setiap contoh uji kayu ditimbang berat basahnya. 2. Pengukuran volume contoh uji kayu mati. 3. Contoh uji kayu dikeringkan dalam oven bersuhu ±105 o C selama 24 jam. 4. Setelah kering tanur ditimbang berat kering contoh uji kayu. Berat jenis dihitung dengan rumus sebagai berikut :...(Haygreen & Bowyer 1989) 3.4.3 Kadar Zat Terbang Untuk mengetahui suatu kandungan karbon dalam nekromassa perlu diketahui kadar zat terbang dan kadar abu. Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan yang tidak termasuk air dengan menggunakan energi panas. Prosedur penentuan kadar zat terbang yang digunakan berdasarkan American Society for Testing Material (ASTM) D 5832-98 adalah sebagai berikut: Contoh uji dari tiap bagian pohon berkayu dipotong menjadi bagianbagian kecil sebesar batang korek api, kemudian dioven pada suhu 80 C selama 48 jam. Setelah Contoh uji dioven, contoh uji digiling menjadi serbuk dengan

25 mesin penggiling (willey mill). Serbuk hasil gilingan disaring dengan alat penyaring (mesh screen) berukuran 40-60 mesh. Serbuk contoh uji tersebut diambil sebanyak ± 2 gr yang dimasukkan ke dalam cawan porselen, kemudian cawan ditutup rapat dengan penutupnya dan ditimbang dengan alat timbang. Setelah itu contoh uji dimasukkan kedalam tanur listrik bersuhu 950 C selama 2 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang kembali. Selisih berat awal dan berat akhir yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering contoh uji merupakan kadar zat terbang. Kadar zat terbang dinyatakan dalam persen dan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 3.4.4 Kadar Abu Prinsip penetapan kadar abu adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal (mineral yang tidak dapat menguap) dengan membakar serbuk menjadi abu dengan menggunakan energi panas. Berdasarkan D 2866-94, langkah-langkah prosedur penentuan kadar abu adalah sebagai berikut: Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 900 C selama 6 jam. Selanjutnya didinginkan didalam desikator dan kemudian ditimbang untuk mencari berat akhirnya. Berat akhir (abu) yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur contoh uji merupakan kadar abu contoh uji. Kadar abu dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut: 3.4.4 Kadar Karbon Penentuan kadar karbon yang dilakukan adalah penentuan kadar karbon tetap yang telah diarangkan. Prosedur penentuan karbon tetap berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 adalah sebagai berikut: Kadar Karbon (%C) = 100% - Kadar Zat Terbang - Kadar Abu

26 3.4.5 Nekromassa Nekromassa dalam penelitian ini menggunakan pendekatan volume yang diperoleh dengan mengalikan volume pada setiap bagian pohon (tunggak, batang, dan cabang) dengan kerapatan kayu pada bagian pohon tersebut yang diperoleh dari uji laboratorium. Nekromassa (kg) = Volume bagian pohon (m 3 ) x Kerapatan kayu (kg/m 3 )...Hairiah dan Rahayu (2007) 3.4.6 Karbon Simpanan karbon pada limbah pemanenan kayu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Karbon (ton/ha) = Nekromassa (ton/ha) x Kadar karbon (%) 3.5 Pengolahan dan Analisis Data 3.5.1 Perhitungan Volume 1. Rumus umum yang digunakan untuk menaksir volume pohon berdiri adalah: Keterangan: V = volume pohon (m 3 ) D = diameter pohon (cm) T = tinggi pohon (m) π = konstanta (3,14) f = angka bentuk (0,7) 2. Perhitungan volume limbah dan batang yang dimanfaatkan dengan menggunakan rumus empiris Brereton : Keterangan : V = volume limbah (m 3 ) Dp = diameter pangkal (cm) Du = diameter ujung (cm) P = panjang limbah (m) π = konstanta (3,14)

27 3. Perhitungan volume limbah per hektar : Volume limbah (m 3 /ha) = Volume total limbah (m 3 ) Luas plot contoh (ha) 4. Perhitungan volume limbah per pohon : Volume limbah (m 3 /pohon) = Volume total limbah (m 3 ) Jumlah pohon yang ditebang 3.5.2 Perhitungan Persen Limbah 1. Perhitungan persen limbah berdasarkan potensi pohon Persen limbah = Volume limbah (m 3 ) x 100% Volume pohon yang ditebang (m 3 ) 2. Perhitungan persen limbah berdasarkan lokasi terjadinya limbah Persen limbah di petak tebang = Volume limbah di petak tebang(m 3 ) x100% Volume limbah total (m 3 ) Persen limbah di TPn = Volume limbah di TPn (m 3 ) x 100% Volume limbah total (m 3 ) Persen limbah di TPK = Volume limbah di TPK (m 3 ) x 100% Volume limbah total (m 3 ) 3.5.3 Analisis Hubungan Faktor yang Berpengaruh Terhadap Volume Limbah Akibat Kegiatan Penebangan Faktor yang berpengaruh terhadap volume limbah diantaranya adalah kelerengan, intensitas tebang, luas bidang dasar pohon yang ditebang, dan keterampilan penebang. Hubungan kelerengan, intensitas tebang, luas bidang bidang dasar pohon yang ditebang, dan keterampilan penebang terhadap volume limbah dapat dianalisis dengan menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda, untuk mengetahui hubungan peubah tersebut terhadap volume limbah dilakukan uji F dan uji t. Analisis data yang dilakukan menggunakan software minitab 14. Persamaan regresi linier berganda yang digunakan adalah : Keterangan : Ŷ b 0, b 1,... b 4 Ŷ = b 0 + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + b 4 X 4 = limbah pemanenan (m 3 /ha) = koefisien regresi

28 X 1 = kelerengan (%) X 2 = intensitas tebang (pohon/ha) X 3 = bidang dasar tegakan (m 2 /ha) = keterampilan penebang X 4 3.5.4 Faktor Eksploitasi Penghitungan faktor eksploitasi dihitung dengan dua cara, yaitu : 1. Faktor eksploitasi (Fe) = 100% volume pohon persen limbah 2. Faktor eksploitasi (Fe) = indeks tebang x indeks sarad x indeks angkut Indeks tebang = Volume batang siap sarad Volume pohon yang ditebang Indeks sarad = Volume batang siap angkut Volume batang siap sarad Indeks angkut = Volume batang di TPK Volume batang siap angkut Limbah yang dihitung dalam penentuan faktor eksploitasi ini merupakan limbah yang berasal dari tunggak dan limbah yang berasal dari batang bebas cabang.

29 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Pengelolaan hutan di areal HPH PT. Indexim Utama dimulai dengan adanya ikatan kerja dalam rangka pengusahaan hutan yang tertuang dalam Forestry Agreement FA/N/030/IV/1976. Perjanjian ini merupakan dasar dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan pada PT. Indexim Utama melalui SK Menteri Pertanian 639/Kpts/Um/10/1977 tanggal 29 Oktober 1977 atas areal seluas 73.000 ha yang terletak dikelompok hutan Sungai Mea-Sungai Luang, Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian keluar SK Menteri Kehutanan RI 836/Kpts-II/1991 tanggal 13 Nopember 1991, luas areal HPH PT. Indexim Utama berubah menjadi 41.870 ha terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) 35.020 ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 6.850 ha. Perubahan luas areal ini merupakan tindak lanjut atas SK Menteri Pertanian 759/Kpts/Um/X/1982 tentang Penunjukan Sebagian Areal HPH PT. Indexim Utama sebagai Hutan Lindung seluas 31.130 ha untuk kepentingan pengaturan tata air, pencegahan banjir, erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah yang menyangkut hajat hidup orang banyak (PT. Indexim Utama 2011). Berdasarkan SK Menteri Pertanian 639/Kpts/Um/10/1977 tanggal 29 Oktober 1977 dan Add. SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia 836/Kpts- II/1991 tanggal 13 Nopember 1991, masa pengusahaan hutan untuk jangka 20 tahun pertama berakhir pada tanggal 28 Oktober 1997 (PT. Indexim Utama 2011). Pada tahun 1998, PT. Indexim Utama mengajukan ijin perpanjangan pengusahaan hutan ke Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Atas dasar SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan 729/Kpts-IV/1998 tanggal 9 Nopember 1998 PT. Indexim Utama mendapat Persetujuan Prinsip Perpanjangan untuk jangka waktu 55 tahun berikutnya. Akhirnya berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan 806/Kpts-VI/1999 tanggal 30 September 1999, tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT. Indexim Utama di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah untuk jangka waktu pengusahaan hutan 55 tahun berikutnya atas areal seluas 52.480 ha (PT. Indexim Utama 2011).

30 4.2 Letak dan Luas Areal Menurut PT. Indexim Utama (2011), lokasi areal kerja IUPHHK PT. Indexim Utama berada dalam kelompok hutan Sungai Mea-Sungai Luang dan berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, terletak di dalam wilayah Kecamatan Purai, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Areal kerja PT. Indexim Utama terletak pada koordinat 115 54 00 sampai 116 00 00 BT dan 0 46 00 sampai 0 56 00 LS dengan batas-batas sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kawasan KPP dan HPH PT. Austral Byna. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan HPH PT. Alas Kusuma. 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan Lindung Lampeong. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan HPH PT. Sindo Lumber. Berdasarkan SK. Menhut 806/Kpts-VI/1999 tanggal 30 September 1999 luas areal IUPHHK PT. Indexim Utama adalah ± 52.480 ha. Berdasarkan penataan areal kerja luas areal efektif untuk produksi adalah 40.723 ha (PT. Indexim Utama 2011). 4.3 Topografi Menurut PT. Indexim Utama (2011), hasil pelaksanaan IHMB menunjukkan bahwa pada titik pusat plot contoh di lapangan terdapat kelas lereng E, namun demikian lokasi tersebut masih dalam bentuk spot-spot dan tidak kompak. Dengan demikian kelas kelerengan yang digunakan didasarkan pada Peta Garis Bentuk skala 1:50.000. Berdasarkan acuan tersebut, topografi pada areal PT. Indexim Utama bervariasi dari datar sampai curam, dengan ketinggian antara 50-650 m diatas permukaan laut. Kondisi topografi dan kelas lereng areal kerja IUPHHK PT. Indexim Utama, yaitu: daerah datar dengan kemiringan lereng 0-8% seluas 17.272 ha (32,91%), daerah landai dengan kemiringan lereng 9-15% sebesar 28.522 ha (54,35%), daerah agak curam dengan kemiringan lereng 15-25% sebesar 4.962 ha (9,46%), daerah curam dengan kemiringan lereng 25-40% seluas 1.724 ha (3,29%), dan daerah sangat curam dengan kemiringan lereng > 40% seluas 0 ha (0%).

31 4.4 Keadaan Tanah dan Hidrologi Menurut PT. Indexim Utama (2011), areal kerja PT. Indexim Utama terdiri dari dua kelompok tanah yang didasarkan pada Peta Jenis Tanah Provinsi Kalimantan Tengah Skala 1:750.000 yang telah ditinjau kembali berdasarkan Hasil Survei Lapang Intensitas 1 % (2003) dan diverifikasi ulang dengan Peta Land System and Land Suitability skala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran tanah areal IUPHHK PT. Indexim Utama Jenis Tanah (USDA, 1990/PPT, 1993) Luas Ha % 1 Podsolik Merah Kuning (PMK) 21,462 41,00 2 Terinklusi Latosol (TLa) 31,018 59,00 Jumlah 52.480 100,00 Sumber: PT. Indexim Utama (2011) Selanjutnya menurut PT. Indexim Utama (2011), areal kerja PT. Indexim Utama seluruhnya tercakup dalam daerah aliran sungai (DAS) Barito, Sub DAS Teweh. Adapun empat Sub DAS yang tercakup dalam areal kerja PT. Indexim Utama, yaitu: Sub DAS Luang 12.062 ha (22,98%), Sub DAS Mea 16.848 ha (32,10%), Sub DAS Teweh Hulu 2.979 ha (5,68%), dan Sub DAS Teweh Tengah 20.591 ha (39,24%). 4.5 Iklim Sesuai dengan pengamatan di Stasiun Meteorologi Beringin Muara Teweh Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2009, curah hujan bulanan rata-rata 252,3 mm dengan hari hujan rata-rata bulanan 16 hari, temperatur udara rata-rata bulanan maksimum ± 28,3ºC dan minimum ± 26,4ºC dengan kelembaban udara rata-rata bulanan 84% dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 4,5 knot (PT. Indexim Utama 2011). 4.6 Keadaan Hutan 4.6.1 Fungsi Hutan dan Penutupan Lahan Fungsi hutan areal kerja PT. Indexim Utama berdasarkan Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 806/Kpts-VI/1999 tanggal 30 September

32 1999 terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Tetap (HP). Kondisi penutupan berdasarkan peta Citra Landsat 5 TM Path 117 Row 61 liputan tanggal 2 Maret 2011, kondisi penutupan lahan didominasi areal berhutan berupa hutan bekas tebangan (PT. Indexim Utama 2011). Secara rinci kondisi penutupan vegetasi menurut fungsi hutan di areal IUPHHK PT. Indexim Utama disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi penutupan vegetasi areal kerja PT. Indexim Utama berdasarkan fungsi hutannya Penutupan Lahan Berdasarkan Penutupan Lahan Fungsi Hutan (ha) Jumlah HPT HP Ha % 1. Hutan Primer (VF) 9.210 56 9.266 17,7 2. Hutan Bekas Tebangan (LOA) 34.783 6.329 41.112 78,1 3. Areal tidak berhutan (NH) 1.291 811 2.102 4,2 Jumlah 45.284 7.196 52.480 100,00 Sumber : PT. Indexim Utama (2011) 4.6.2 Potensi Tegakan Menurut PT. Indexim Utama (2011), jumlah jenis pohon yang berhasil diidentifikasi pada saat pelaksanaan IHMB adalah 102 jenis pohon dengan rincian, yaitu: (1) jenis meranti dipterocarpaceae sebanyak 10 jenis pohon dan jenis meranti non dipterocarpaceae sebanyak 5 jenis pohon; (2) jenis rimba campuran sebanyak 76 jenis pohon; (3) jenis kayu indah sebanyak 5 jenis pohon; dan (4) jenis kayu dilindungi sebanyak 6 jenis pohon. Sedangkan jenis pohon yang dimanfaatkan oleh PT. Indexim Utama sebanyak 18 jenis pohon. Jenisjenis yang dominan di areal PT. Indexim Utama antara lain meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), biwan, bangkirai (Shorea teysmani), kapur (Dryobalanops abnormis), dan balau (Shorea guiso). Selanjutnya menurut PT. Indexim Utama (2011), berdasarkan survei IHMB dalam rangka penyusunan RKUPHHK-HA diperoleh data rata-rata perkiraan potensi tegakan per hektar untuk keseluruhan jenis pohon, yaitu: diameter 10-19 cm sebesar 45,57 m 3 /ha (N = 401,12 batang/ha), diameter 20-39 cm sebesar 64,82 m 3 /ha (N = 131,43 batang/ha), diameter 40-49 cm sebesar 22,43

33 m 3 /ha (N = 13,61 batang/ha), diameter 40 cm sebesar 119,36 m 3 /ha (N = 33,15 batang/ha), dan diameter 50 cm sebesar 96,93 m 3 /ha (N = 19,54 batang/ha). Untuk jenis-jenis yang dapat dipanen, mempunyai potensi tegakan, yaitu: diameter 10-19 cm sebesar 18,94 m 3 /ha (N = 166,99 batang/ha), diameter 20-39 cm sebesar 30,99 m 3 /ha (N = 61,37 batang/ha), diameter 40-49 cm sebesar 10,50 m 3 /ha (N=6,35 batang/ha), diameter 40 cm sebesar 72,82m 3 /ha (N=18,20 batang/ha), dan diameter 50 cm sebesar 62,32 m 3 /ha (N=11,85 batang/ha).

34 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pelaksanaan Pemanenan IUPHHK PT. Indexim Utama Pemanenan hasil hutan merupakan rangkaian kegiatan untuk mempersiapkan dan memindahkan kayu dari hutan ke tempat pengolahan atau penggunaannya. Sistem pemanenan yang dilakukan di PT. Indexim Utama adalah sistem pemanenan secara mekanis artinya semua kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan bantuan mesin. Kegiatan pemanenan kayu terdapat empat komponen utama, yaitu: penebangan (felling), penyaradan (skidding), muat bongkar (loading dan unloading), dan pengangkutan (hauling). Kegiatan penebangan merupakan salah satu mata rantai dalam kegiatan pemanenan kayu yang mempunyai peranan yang sangat penting. Kegiatan ini merupakan awal kegiatan yang menentukan kualitas dan tingkat pemanfaatan kayu. Kegiatan penebangan kayu di PT. Indexim Utama dilakukan dengan menggunakan gergaji rantai (chainsaw) dengan merk Sthil 070. Status pemilikan gergaji ini merupakan milik dari penebang. Sistem kerja yang diterapkan bersifat borongan dengan pembayaran berdasarkan kubikasi. Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan penebangan pada setiap petak tebang dilakukan secara beregu. Dalam setiap regu tebang terdiri dari dua orang, seorang operator dan seorang helper. Untuk setiap petak tebang dikerjakan oleh satu regu tebang dengan satu regu sarad dan satu regu kupas. Seorang operator tebang mempunyai tugas utama untuk melakukan penebangan hingga pembagian batang. Helper bertugas untuk membawa gergaji pada saat perpindahan ke pohon yang akan ditebang berikutnya, membersihkan areal sekitar pohon yang akan ditebang serta bertugas mengisi bahan bakar. Penentuan pohon yang akan ditebang dan arah rebah saat penebangan pohon dilakukan oleh penebang pohon. Sebelum pohon ditebang, operator membersihkan areal di sekitar pohon tersebut dari semak-semak untuk memudahkan operator dalam membuat takik rebah dan takik balas. Bersamaan dilakukannya pembersihan areal, operator penebangan menentukan arah rebah, sedangkan pembantu operator membuat rintisan untuk perlindungan.

35 Penentuan arah rebah tergantung pada tumbuh pohon dan keahlian penebang. Dari pengamatan yang dilakukan, penentuan arah rebah sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu arah kecondongan tajuk dan arah miring pohon, di samping faktor lain seperti kemudahan penyaradan ke TPn (jalan sarad). Liana atau pohon lain yang membelit pada pohon yang akan ditebang dapat menyebabkan berubahnya arah rebah pohon dari arah rebah yang telah ditentukan dan keadaan ini sangat membahayakan keselamatan para pekerja. Pada saat gerimis atau berangin penebangan terpaksa dihentikan karena pandangan ke arah tajuk terhalang, sedangkan pada keadaan berangin arah rebah sukar ditentukan sehingga membahayakan bagi keselamatan penebang. Pohon yang ditebang, yaitu: pohon yang berdiameter 60 cm dengan kondisi yang baik, penebangan RKT 2011 (lokasi penelitian) berada di hutan produksi terbatas, dan merupakan virgin forest. Pohon-pohon yang ditebang, meliputi: jenis Meranti (Shorea sp.), Medang (Astinodaphne), Kapur (Dryobalanops abnormis), Mersawa (Anisoptera marginata), Nyatoh (Palaqium spp.), Balau (Shorea guiso), Bangkirai (Shorea teysmani), Keruing (Dipterocarpus spp.), Sindur (Sindora beccariana), dan Palapi (Terrictian spp.) Pemotongan dan pembagian batang dilakukan di petak tebang, sehingga batang yang disard ke TPn merupakan batang yang siap dimanfaatkan. Pembagian batang dilakukan di petak tebang karena keterbatasan alat sarad yang tidak mampu menyarad kayu yang terlalu besar dan panjang. Namun disisi lain pekerjaan tersebut dilakukan untuk memudahkan penyaradan. Karena bila kayu yang disarad terlalu panjang maka akan menyulitkan penyaradan saat terdapat belokan. Penyaradan merupakan suatu proses untuk mengangkut kayu bulat yang dihasilkan dari kegiaan penebangan di petak tebangan menuju tempat pengumpulan kayu (TPn). Kegiatan penyaradan kayu dari petak tebangan ke TPn dilakukan dengan menggunakan bulldozer merk Caterpillar D7G bertenaga 250 HP. Sebelum penebangan dilakukan, bulldozer membuat jalan sarad dengan mengikuti perencanaan jalan sarad yang telah dibuat. Operator bulldozer tidak dibantu oleh helper, sistem kerja yang diterapkan bersifat borongan dengan sistem pembayaran bagi pekerja dilakukan dengan cara kubikasi, artinya operator

36 bulldozer dibayar berdasarkan banyaknya volume kayu bulat yang disarad dari petak tebangan ke TPn. Dalam hal ini kayu yang dibayar hanya memenuhi syarat untuk diangkut ke TPK atau tempat penimbunan kayu. Untuk menghindari kerugian akibat adanya kayu yang tidak dibayar, operator bulldozer selalu memeriksa kayu lebih dahulu sebelum disarad. Apabila kayu diperkirakan tidak memenuhi syarat, maka kayu itu akan ditinggalkan di dalam hutan sebagai limbah. Penyaradan yang dilakukan sangat tergantung kondisi cuaca dan kondisi alat. Cuaca yang buruk akan menyulitkan operasional di lapangan, oleh karena itu tidak dilakukan kegiatan penyaradan pada saat hujan untuk menghindari pemadatan tanah, efisiensi waktu kerja dan jumlah kayu yang disarad. Selain itu, alat yang digunakan sudah berumur pakai 10 tahun, sehingga alat sering rusak dan berakibat kepada tertundanya penyaradan kayu dan pembuatan jalan sarad. Muat bongkar dilakukan di TPn dan di TPK. Alat yang digunakan dalam kegiatan muat bongkar adalah wheel loader Cat 980 C, wheel loader Cat 980 G dan wheel loader Cat 966 F di lokasi TPK atau log pond. Pengangkutan dilakukan setelah penyaradan dan pemuatan. Alat angkut yang digunakan oleh perusahaan adalah logging truck Nissan TZA 520 YYP dengan umur pakai 8 tahun. Jarak angkut rata-rata ±150 km yang terdiri dari angkutan blok tebangan ke TPK hutan dengan jarak rata-rata 39 km, angkutan dari TPK hutan ke base camp ngurit dengan jarak 41 km, dan angkutan dari base camp ngurit ke logpond dengan jarak 70 km. Pengangkutan yang dilakukan sangat bergantung pada cuaca. Jalan angkutan yang berbelok-belok dan curam menyulitkan pengangkutan pada saat jalan licin. 5.2 Bentuk Limbah Pemanenan Kayu Pengertian limbah pemanenan dalam penelitian ini adalah bagian dari pohon yang ditebang tetapi tidak dimanfaatkan oleh pola pemanfaatan yang berlaku pada saat ini dan dibiarkan dalam hutan. Pengertian pola pemanfaatan yang berlaku ini dipandang dari kondisi fisik dari bagian pohon yang menjadi target produksi PT. Indexim Utama. Beberapa bentuk limbah akibat kegiatan pemanenan kayu, sebagai berikut:

37 Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Tunggak-tunggak sisa penebangan yang ditemukan rata-rata terlalu tinggi dari batas yang disarankan untuk hutan alam yaitu 50 cm di atas permukaan tanah (Gambar 1). Tinggi tunggak yang terdapat pada areal penelitian rata-rata tingginya 1,3 m. Kelebihan tunggak adalah bentuk nyata limbah kayu yang dapat dan mudah dihindari melalui pengawasan tempat kegiatan penebangan. Penebang lebih memilih membuat takik balas yang tinggi untuk kenyamanan mereka pada saat menebang, selain itu penebang kurang tertarik membuat takik rebah lebih rendah karena pertambahan premi yang diharapkan dari pertambahan volume tersebut tidak terlalu besar. Gambar 1 Tunggak yang terlalu tinggi. Batang bebas cabang adalah bagian batang utama yang dianggap limbah apabila kondisi fisik batang mengandung cacat atau rusak akibat pemanenan. Limbah batang bebas cabang dapat berupa potongan pendek yang dihasilkan karena adanya trimming di pangkal (Gambar 2) maupun di ujung (Gambar 3). Gambar 2 Trimming pangkal.

38 Gambar 3 Trimming ujung. Batang bagian atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (Gambar 4). Batang bagian atas yang ditemukan di areal penelitian sebagian besar berdiameter lebih dari 50 cm dengan panjang rata-rata mencapai 7 m. Gambar 4 Batang atas. Cabang pada penelitian ini adalah komponen dari tajuk yang berdiameter minimal 30 cm. Cabang yang ditemukan rata-rata dalam keadaan pecah dan belah (Gambar 5). Gambar 5 Cabang.

39 5.3 Jumlah Pohon yang Ditebang Pohon yang ditebang adalah pohon-pohon terpilih yang masuk dalam pohon layak tebang, yaitu: pohon-pohon yang telah berdiameter 60 cm, sehat, bernilai komersil, dan berlabel merah dari hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP). Kegiatan ITSP (Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan) dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi tegakan pada plot yang diteliti sebelum dilakukannya kegiatan penebangan. Jumlah pohon yang ditebang dari seluruh plot penelitian ditampilkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Jumlah pohon yang ditebang Pohon Layak Tebang Pohon yang Ditebang Petak- Plot Jumlah (pohon/ha) Volume (m 3 /ha) Jumlah (pohon/ha) Volume (m 3 /ha) LBDS (m 2 /ha) 22 H-1 10 105,40 7 66,25 3,73 22 H-2 12 156,28 5 79,73 3,77 23 G-3 19 232,30 10 157,97 7,22 23 G-4 21 199,65 15 150,13 8,99 23 G-5 22 246,24 21 227,63 11,64 22 H-6 11 137,40 7 105,18 5,16 23 H-7 19 178,38 9 80,73 4,13 23 H-8 9 76,04 8 70,19 4,02 23 H-9 10 179,99 7 131,03 7,30 23 H-10 11 114,32 3 36,58 2,13 Rata-rata 14,4 162,60 9,2 110,54 58,08 Hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan pada plot penelitian menunjukkan bahwa potensi rata-rata pohon layak tebang sebesar 14,4 pohon/ha atau 162,60 m 3 /ha. Tidak seluruh pohon layak tebang (berlabel merah) akan ditebang, hal ini tergantung pada penetapan jatah tebang di petak tersebut dan pertimbangan-pertimbangan teknis dari penebang. Pohon yang ditebang hanya 9,2 pohon/ha dari total pohon layak tebang yang berada dalam plot penelitian dengan volume dan LBDS yang dihasilkan sebesar 110,54 m 3 /ha dan 58,08m 2 /ha. Hasil inventarisasi dijelaskan pada Lampiran 1

40 5.4 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Lokasi Terjadinya Limbah Limbah pemanenan kayu dapat terjadi di petak tebang, TPn (tempat pengumpulan kayu), dan TPK (tempat penimbunan kayu). Limbah yang dihitung adalah limbah di bawah cabang pertama yang terdiri atas limbah tunggak dan limbah batang bebas cabang. Volume limbah yang terjadi dari 92 pohon yang ditebang sebesar 303,67 m 3 dengan rata-rata 3,3 m 3 /pohon atau 30,37 m 3 /ha. Persentase limbah pada tiap lokasi berdasarkan total limbah yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Limbah pemanenan kayu berdasarkan lokasi Lokasi Volume (m 3 ) Persen Total (m 3 Rata-rata Rata-rata ) Limbah (%) (m 3 /ha) (m 3 /pohon) Petak Tebang 293,30 29,33 3,19 96,17 TPn 11,68 1,17 0,13 3,83 TPK 0,00 0,00 0,00 0,00* Total Limbah 304,98 30,50 3,32 100,00 Keterangan *: tidak terjadi limbah Berdasarkan Tabel 5, total limbah yang dihasilkan sebagian besar terjadi di petak tebang sebesar 96,17 %, sedangkan limbah yang terjadi di TPn 3,83% dan limbah yang terjadi di TPK 0 %. Dari hasil pengamatan di lapangan, limbah yang terjadi di TPn sedikit sekali karena hasil produksi penebangan dan penyaradan dibayar berdasarkan volume kayu yang sehat. Jadi operator penebangan dan penyaradan saling bekerja sama dan berusaha agar kayu yang dikeluarkan sudah bersih dari cacat sehingga limbah yang terjadi di TPn sedikit. Limbah yang terjadi di petak tebang lebih besar karena kegiatan di petak tebang terdiri dari penebangan, pemotongan, dan pembagian batang. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sastrodimedjo dan Simarmata (1978) yang menyatakan bahwa limbah di petak tebang lebih besar daripada di logpond, limbah yang terjadi di petak tebangan adalah 71,5 % serta sisanya terjadi di logpond. Selanjutnya hasil penelitian Sukanda (1995) menyebutkan rata-rata limbah di petak tebang sebesar 85,84 m 3 (99,28 %) dan di TPn sebesar 0,62 m 3 (0,72 %). Kesalahan dalam pemotongan, pembagian batang dan kurangnya pengawasan di petak tebang

41 menyebabkan besarnya limbah yang terjadi. Selain itu, adanya batang yang cacat alami karena gerowong menambah besarnya limbah yang terjadi. Besarnya persentase limbah bebas cabang yang terjadi berdasarkan total potensi kayu yang ditebang sebesar 25,16 % yang terdiri dari 24,06 % terdapat di petak tebang, 1,10 % terdapat di TPn, dan 0 % terdapat di TPK (Lampiran 2). Besarnya persentase limbah tersebut dapat menunjukkan besarnya tingkat pemanfaatan dari kegiatan pemanenan yang dilakukan. Bila dilihat dari angka tersebut, maka besarnya tingkat pemanfaatan kayu sebesar 74,84 %. Persentase limbah pemanenan yang rendah menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan terhadap potensi kayu yang ada cukup besar. Limbah yang terjadi dalam penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan limbah yang terjadi di IUPHHK PT. Sumalindo Lestari Jaya yang dilakukan oleh Sasmita (2003) menyebutkan bahwa besarnya volume limbah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan mencapai 36 % dari keseluruhan volume kayu yang ditebang, limbah ini terdiri dari limbah yang terjadi di petak tebang, yaitu: 33,15 %, limbah yang terjadi di TPn 2,68 %, dan limbah yang terjadi di TPK sebesar 0,98 %. Perbedaan persentase limbah ini dikarenakan faktor penyebab terjadinya limbah di IUPHHK PT Sumalindo Lestari Jaya yaitu banyak pohon yang cacat ditebang oleh operator, bukan merupakan penyebab yang dominan terhadap terjadinya limbah dalam penelitian ini. Namun hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Partiani (2010) yang menyebutkan persentase limbah bebas cabang berdasarkan total potensi kayu yang ditebang sebesar 24,58 %, terdiri dari 23,60 % di petak tebang, 0,98 % di TPn, dan 0 % di TPK. Kriteria yang berbeda dalam mendefinsikan dan mengklasifikasikan limbah pemanenan kayu dengan kondisi lokasi penelitian yang berbeda akan menghasilkan limbah yang berbeda pula. 5.4.1 Limbah Pemanenan Kayu di Petak Tebang Limbah pemanenan kayu di petak tebang dalam penelitian adalah limbah yang berasal dari pohon yang ditebang terdiri dari limbah di bawah cabang pertama yaitu tunggak dan batang bebas cabang, serta limbah di atas cabang pertama yaitu limbah batang bagian atas dan cabang. Pada umumnya limbah yang

42 yang terjadi masih dalam keadaan baik. Volume limbah pada tiap plot contoh disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Volume limbah rata-rata pada tiap plot contoh Petak /Plot Limbah di Bawah Cabang Pertama Limbah di Atas Cabang Pertama Limbah Total m 3 /pohon m 3 /ha m 3 /pohon m 3 /ha m 3 /pohon m 3 /ha 22 H-1 2,57 17,96 1,35 9,42 3,91 27,38 22 H-2 3,89 19,45 2,04 10,20 5,93 29,65 23 G-3 4,71 47,07 2,07 20,72 6,78 67,79 23 G-4 2,54 38,14 1,90 28,44 4,44 66,58 23 G-5 2,45 51,44 1,14 23,98 3,59 75,42 22 H-6 2,68 18,76 1,69 11,81 4,37 30,57 23 H-7 1,99 17,95 1,01 9,13 3,01 27,08 23 H-8 1,87 14,99 1,67 13,37 3,55 28,36 23 H-9 8,04 56,30 3,63 25,41 11,67 81,71 23 H-10 3,75 11,25 2,75 8,24 6,50 19,49 Rata-rata 3,45 29,33 1,92 16,07 5,37 45,40 Volume limbah penebangan dihitung berdasarkan volume per hektar dan volume per pohon (Lampiran 3). Volume limbah per hektar adalah volume total limbah dari pohon yang ditebang dibagi dengan luasan plot contoh, sedangkan volume limbah per pohon adalah jumlah limbah yang terjadi pada setiap pohon yang ditebang. Berdasarkan Tabel 6, volume limbah yang terjadi di petak tebang adalah 45,40 m 3 /ha terdiri dari limbah di bawah cabang pertama sebesar 29,33 m 3 /ha dan limbah di atas cabang pertama sebesar 16,07 m 3 /ha. Volume limbah yang terjadi pada tiap pohon yang ditebang adalah 5,37 m 3 /pohon terdiri dari limbah di bawah cabang pertama 3,45 m 3 /pohon dan limbah di atas cabang pertama 1,92 m 3 /pohon. Volume rata-rata limbah penebangan per hektar di petak 22 H sebesar 29,20 m 3 /ha, di petak 23 G sebesar 69,93 m 3 /ha dan di petak 23 H sebesar 39,16 m 3 /ha. Limbah rata-rata yang terjadi di petak 23 G lebih besar dibandingkan limbah yang terjadi di petak 22 H dan 23 H. Hal tersebut terjadi karena pada petak 23 G, penebang banyak meninggalkan limbah pada saat trimming pangkal dan ujung karena terdapat cacat pada log yang ditebang, baik cacat alami maupun cacat mekanis. Namun ada juga log dalam keadaan baik. Selain itu, intensitas tebang yang dilakukan pada petak tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan

43 petak 22 H dan 23 H sehingga menghasilkan limbah yang lebih besar. Sistem yang dilakukan pada ketiga petak penebangan tersebut yaitu setelah pohon di tebang langsung disarad ke TPn. Sistem tersebut dinamakan sistem tumbang tarik. Secara umum limbah yang terjadi di petak tebang disebabkan oleh keterampilan penebang dalam menebang setiap pohonnya dan kondisi pohon. Kesalahan dalam melaksanakan teknik penebangan (pembuatan takik rebah dan takik balas) dapat menyebabkan bagian pangkal pohon tercabut, retak atau yang disebut dengan barber chair, yaitu berupa serabut pada pangkal batang. Sehingga akan mengurangi panjang batang bebas cabang yang seharusnya dapat dimanfaatkan. Pemotongan batang di petak tebang dilakukan oleh penebang tanpa bantuan scaler, sehingga menimbulkan limbah. Selain itu, adanya gerowong pada pohon yang ditebang, akan mengurangi panjang batang yang dapat dimanfaatkan. Penebang pertama menebang pohon di plot 22 H-1, 22 H-2, 22 H-6. Penebang kedua menebang pohon di plot 23 G-3, 23 G-4, 23 G-5 dan penebang ketiga menebang pohon di plot 23 H-7, 23 H-8, 23 H-9 dan 23 H-10. Penebang pertama, kedua, dan ketiga memiliki keterampilan yang berbeda-beda dalam menebang pohon. Penebang pertama dan ketiga lebih terampil dari penebang kedua sehingga limbah yang dihasilkan oleh penebang pertama dan ketiga lebih sedikit jika dibandingkan dengan penebang kedua. Peningkatan keterampilan pekerja melalui latihan kerja yang diberikan dapat memperkecil jumlah limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan (Sinaga et al. 1984). 5.4.2 Limbah Pemanenan Kayu di TPn Limbah pemanenan kayu dapat terjadi di TPn. Limbah yang terjadi berbentuk batang yang tidak memenuhi syarat kayu ekspor baik kualita maupun ukurannya. Misalnya kayu yang bengkok, pecah, busuk, dan sebagainya. Pada penelitian ini limbah di TPn terjadi karena kegiatan pemotongan ataupun pembagian batang. Limbah yang terjadi di TPn adalah log yang menjadi limbah karena batangnya belah, bengkok, dan gerowong (Tabel 7). Volume total limbah yang terjadi di TPn sebesar 11,68 m 3 terdapat pada Tabel 7. Limbah ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu: operator bulldozer tetap menyarad log ke TPn yang kayunya sebagian bengkok, log tersebut tidak dipotong terlebih dahulu di petak tebang, pemotong pangkal akibat gerowong

44 (Gambar 6) dan belah karena log tidak langsung diberi paku S dan tidak hatihatinya operator bulldozer dalam menyusun log. Limbah yang terjadi dalam penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan limbah yang terjadi di IUPHHK-HA PT. Salaki Summa Sejahtera yang dilakukan oleh Partiani (2010) yang menyebutkan bahwa besarnya volume limbah yang terjadi di TPn sebesar 14,97 m 3. Tabel 7 Limbah pemanenan kayu yang terdapat di TPn Jenis Pohon Pohon Kode Panjang (m) Dimensi Limbah Diameter (cm) Volume (m 3 ) Keterangan Meranti 5571 5 2,5 98,5 1,90 Gerowong Keruing 1192 148 8,3 61,5 2,46 Belah Meranti 3025 102 5,6 82,5 2,99 Bengkok Meranti 2955 69 3,6 91 2,34 Gerowong Meranti 2320 11 4 71,5 1,61 Gerowong Meranti 12,29 113 0,66 85 0,37 Gerowong Total 11,68 Gambar 6 Limbah gerowong. 5.4.3 Limbah Pemanenan Kayu di TPK Limbah yang terdapat di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) pada umumnya terjadi karena penolakan kualita oleh pihak pembeli. Kayu-kayu yang kondisinya kurang baik tersebut mungkin disebabkan karena terlalu lama disimpan di TPK sehingga kayu pecah, busuk atau terserang jamur. Pada penelitian ini tidak ditemukan limbah pemanenan kayu di TPK yang berasal dari pohon yang diteliti

45 karena tidak dilakukan pemotongan lagi terhadap log yang sampai ke TPK, selain itu kegiatan pengangkutan dan muat bongkar dari TPK ke Logpond telah dilaksanakan dengan baik karena waktu pemuatan dilaksanakan pada siang hari serta waktu penyimpanan log di TPK tidak berlangsung lama sehingga tidak ditemukan adanya log yang busuk atau cacat yang berasal dari batang yang diteliti. 5.5 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Bagian Pohon Limbah pemanenan kayu berdasarkan bagian pohon pada penelitian ini terdiri dari limbah tunggak, batang bebas cabang, batang atas, dan cabang. Keempat bagian pohon tersebut berasal dari petak tebangan, TPn, dan TPK. Besarnya limbah yang terjadi ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Volume limbah berdasarkan bagian pohon Jenis Limbah Total (m 3 ) Volume Rata-rata (m 3 /ha) Rata-rata (m 3 /pohon) Persen Limbah (%) Tunggak 83,39 8,34 0,91 17,91 Batang bebas cabang 221,60 22,16 2,41 47,58 Batang atas 124,39 12,44 1,35 26,71 Cabang 36,33 3,63 0,39 7,80 Total 465,71 46,57 5,06 100,00 Hasil dari Tabel 8 menjelaskan bahwa limbah batang bebas cabang merupakan bagian yang paling banyak menghasilkan limbah sebesar 22,16 m 3 /ha atau 47,58 % dari total limbah yang terjadi pada tiap pohon yang ditebang. Bagian yang kedua adalah batang atas sebesar 12,44 m 3 /ha atau 26,71 %, ketiga adalah tunggak sebesar 8,34 m 3 /ha atau 17,91 %, dan yang keempat adalah limbah yang berasal dari cabang sebesar 3,63 m 3 /ha atau 7,80 %. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukanda (1995) di IUPHHK Narkata Rimba Kalimantan Timur yang menyebutkan bahwa limbah batang bebas cabang merupakan bagian yang paling banyak menghasilkan limbah sebesar 12,67 m 3 /ha (14,65 %), kemudian limbah tunggak sebesar 4,26 m 3 /ha (4,93 %), limbah dari batang bagian atas dan cabang sebesar 11,09 m 3 /ha (12,83 %). Perbedaan

46 besarnya limbah penelitian ini dengan Sukanda (1995) dikarenakan besarnya diameter pohon yang ditebang dan intensitas penebangan yang berbeda. Diameter pohon yang ditebang pada penelitian ini lebih besar dari penelitian Sukanda (1995), sehingga menghasilkan limbah yang lebih besar. Limbah total yang terjadi berdasarkan bagian pohon pada penelitian ini sebesar 46,57 m 3 /ha. Limbah batang bebas cabang banyak ditemukan dalam bentuk sisa potongan akibat kegiatan trimming pangkal dan trimming ujung. Panjang sisa potongan pangkal batang dihitung dari batas potongan pangkal sampai batas potongan tunggak. Panjang sisa potongan ujung batang dihitung dari batas potongan sampai ke batang cabang pertama. Limbah batang bebas cabang memiliki nilai paling besar disebabkan oleh kesalahan penebang dalam pembagian batang serta kondisi pohon yang bergerowong. Brown (1958) menyatakan bahwa penebangan dan pembagian batang merupakan pekerjaan sangat penting karena kesalahan dalam pekerjaan ini akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, yaitu berupa penurunan kualitas, penurunan kelas dan penyusutan volume, yang kesemuanya merupakan suatu pemborosan kayu. Kegiatan membagi batang di lapangan dilakukan langsung di lokasi penebangan oleh penebang tersebut. Penebang melakukan pengukuran batang hanya dengan menggunakan tongkat yang ukurannya berdasarkan perkiraan saja. Meskipun penebang mengetahui ukuran yang sesuai untuk panjang bahan baku industri, namun dengan perkiraan menggunakan tongkat menyebabkan kurang optimalnya batang yang dimanfaatkan. Pembagian batang seharusnya tidak dilakukan oleh penebang melainkan oleh scaler, untuk itu perlu dilakukan pelatihan dan pengawasan dalam kegiatan membagi batang ini. Sastrodimejo dan Simarmata (1981) menyatakan bahwa cara kerja atau penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi. Pada penelitian ini, selain keterampilan penebang, kondisi pohon karena cacat alami yaitu gerowong dan mata kayu menyebabkan log kayu yang dimanfaatkan menjadi berkurang. Sehingga limbah yang terjadi pada batang bebas cabang semakin besar. Bagian yang menghasilkan limbah paling sedikit adalah bagian cabang sebesar 3,63 m 3 /ha atau 7,80 % dari total limbah yang terjadi. Limbah bagian cabang pada umunya belah dan hancur karena terbanting sangat keras dan cabang

47 yang berada di bagian bawah pada saat rebah, hancur tertimpa batang bagian atas. Namun tidak sedikit pula cabang dalam kondisi baik. Limbah dari bagian cabang memiliki nilai paling kecil disebabkan karena tidak semua jenis pohon memiliki percabangan yang sama. Sebagian besar pohon yang ditebang memiliki percabangan yang tidak terlalu besar. Hal tersebut mengakibatkan sedikitnya cabang yang sesuai dengan batasan penelitian ini yaitu diameter minimal 30 cm. Batasan tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas P.55/Menhut-II/2006 tentang Penataan Hasil Hutan yang Berasal dari Negara, Pasal 1 Ayat 38a menyebutkan bahwa kayu berukuran diameter 30 cm sampai dengan 49 cm merupakan kayu bulat sedang yang dapat dipasarkan. Oleh karena itu limbah dari cabang pohon yang berdiameter 30 cm seharusnya dapat dimanfaatkan. 5.6 Volume dan Persentase Limbah Pemanenan Kayu Berdasarkan Kondisi Limbah Limbah pemanenan kayu berdasarkan kondisi limbah pada penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: cacat alami, cacat mekanis, dan baik. Cacat alami adalah cacat yang terjadi karena keadaan pohon yang ditebang, cacat alami dapat berupa mata kayu, busuk hati, gerowong, bengkok dan sebagainya. Cacat mekanis adalah cacat yang disebabkan kesalahan teknis. Kesalahan dalam kegiatan penebangan, penyaradan, muat bongkar, dan pengangkutan yang dapat menimbulkan limbah berupa pecah, belah, dan hancur. Matangaran et al. (2000) menyatakan bahwa limbah pemanenan merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami (defect) yang terjadi secara alami tidak memenuhi persyaratan yang diinginkan. Rata-rata volume limbah berdasarkan kondisinya yang terjadi di petak tebang dan TPn ditampilkankan pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, limbah terbesar terjadi dalam keadaan baik sebesar 18,49 m 3 /ha, selanjutnya diikuti dengan limbah dalam keadaan gerowong, pecah, mata kayu, hancur, belah, dan bengkok. Limbah dalam keadaan baik ini sebagian besar berasal dari batang atas dan batang bebas cabang berupa potongan pangkal dan potongan ujung akibat kegiatan trimming. Banyaknya limbah dalam keadaan baik ini menunjukkan kurangnya keterampilan penebang melakukan kegiatan

48 trimming sehingga tidak mengoptimalkan batang yang dimanfaatkan. Limbah yang terkecil adalah limbah dalam keadaan bengkok sebesar 0,30 m 3 /ha. Tabel 9 Volume limbah berdasarkan kondisi limbah Kondisi limbah Volume total (m 3 Volume rata-rata ) (m 3 /ha) 1. Cacat alami a. Gerowong 96,00 9,60 b. Mata kayu 56,55 5,66 c. Bengkok 2,99 0,30 2. Cacat mekanis a. Pecah 70,34 7,03 b. Belah 27,73 2,77 c. Hancur 27,20 2,72 3. Baik 184,90 18,49 Cacat alami yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu: gerowong, mata kayu, dan bengkok. Penebang biasanya dapat menduga apakah suatu pohon berlubang atau gerowong dengan cara memukulkan parangnya pada pohon. Bila pohon dicurigai berlubang besar, penebang harus melakukan potongan secara vertikal untuk menentukan besarnya lubang. Bila ukuran lubang pada pohon tersebut melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh standar pemanfaatan dari perusahaan, pohon tersebut tidak perlu ditebang. Limbah dalam keadaan gerowong sebesar 9,60 m 3 /ha. Penebang tidak mengetahui pohon tersebut gerowong karena diameter kayu yang ditebang besar dan nampak sehat. Ketika penebang memeriksa pohon yang akan ditebang, pohon dinyatakan sehat, namun setelah ditebang ternyata pohon tersebut dalam kondisi gerowong. Rata-rata limbah yang terjadi dalam keadaan mata kayu sebesar 5,66 m 3 /ha dan dalam keadaan bengkok sebesar 0,30 m 3 /ha. Cacat mekanis yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu berupa pecah, belah dan hancur dengan limbah masing masing sebesar 7,03 m 3 /ha, 2,77 m 3 /ha dan 2,72 m 3 /ha. Persentase limbah berdasarkan kondisi limbah dapat dilihat pada Gambar 7.

49 5,84% 39,70% 5,95% 20,61% Gerowong Mata kayu 12,14% Bengkok Pecah Belah 0,64% Hancur Baik 15,10% Gambar 7 Persentase limbah berdasarkan kondisi limbah. Persentase limbah dalam keadaan baik yang cukup besar (39,70%) menunjukkan bahwa pemanfaatan kayu masih belum efisien, terutama bagian batang bebas cabang dan batang atas. Keadaan limbah yang cukup besar dalam keadaan baik ini cukup memprihatinkan, maka sangatlah diperlukan usaha-usaha untuk mengurangi limbah yang terjadi dalam kegiatan pemanenan kayu agar pemanfaatan hutan menjadi lebih efisien. Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam mengurangi atau menekan limbah yang terjadi dalam pemanenan kayu antara lain: 1. Meningkatkan keterampilan para pekerja, terutama operator penebang melalui kursus atau latihan kerja. 2. Memperbaiki sistem manajemen, terutama dalam pengawasan dari pimpinan dan koordinasi kerja di lapangan. 3. Mendirikan industri kayu terpadu yang dapat memanfaatkan limbah sebagai sumber bahan bakunya. 4. Melaksanakan studi kelayakan tentang alternatif sistem pengangkutan kayu limbah yang ekonomis dan alternatif pemanfaatan limbah pemanenan kayu, termasuk pemasarannya. 5. Perencanaan dan pelaksanaan yang baik dalam kegiatan pemanenan kayu terutama pada kegiatan penebangan dan penyaradan. Limbah dalam kondisi baik ini sebagian besar berasal dari potongan pangkal, potongan ujung batang, dan batang bagian atas. Limbah ini masih mungkin untuk diambil dan dimanfaatkan selanjutnya diarahkan untuk dapat

50 dimanfaatkan semaksimal mungkin. Widarmana et al. (1973) menyatakan bahwa pengujian teknis dan ekonomis dapat dipilih untuk dimanfaatkan bagi produkproduk tertentu, misalnya kayu-kayu limbah tebangan yang berdiameter 30 cm dapat digunakan sebagai bahan penghara industri sawmill. 5.7 Analisis Hubungan Faktor yang Berpengaruh Terhadap Volume Limbah Akibat Kegiatan Penebangan Penebangan adalah kegiatan pemungutan kayu dari pohon-pohon berdiameter sama dengan atau lebih besar dari diameter limit yang ditetapkan, dalam penelitian ini limit yang ditetapkan adalah 60 cm. Limbah yang terjadi di petak tebang berupa tunggak, batang bebas cabang, batang bagian atas, dan cabang. Limbah di petak tebang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kemiringan lereng, jumlah pohon yang ditebang (intensitas tebang), luas bidang dasar, dan keterampilan penebang. Luas bidang dasar yang dihitung dalam penelitian ini yaitu luas bidang dasar pohon yang ditebang yang terdapat di plot contoh. Volume limbah yang digunakan untuk mengetahui hubungan kemiringan lereng, intensitas tebang, luas bidang dasar, dan keterampilan penebang terhadap besarnya limbah adalah jenis kayu limbah dari hasil kegiatan penebangan antara lain limbah tunggak, batang bebas cabang, batang bagian atas, dan cabang. Ratarata volume limbah kayu hasil tebangan pada masing-masing kemiringan lereng, luas bidang dasar, intensitas tebang, dan keterampilan penebang terdapat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10, volume limbah terbesar terdapat pada plot 23 H-9 dengan kemiringan lereng 11 %, intensitas tebang 7 pohon/ha dan LBDS 7,30 m 2 /ha sebesar 82,08 m 3 /ha. Limbah yang paling kecil terdapat pada plot 23 H-10 sebesar 19,49 m 3 /ha dengan kemiringan lereng 51 %, intensitas tebang 3 pohon/ha dan LBDS 2,13 m 2 /ha. Limbah terbesar dan terkecil terdapat pada penebang yang terampil. Kemiringan lereng paling datar 5 % dengan volume limbah yang terjadi sebesar 67,79 m 3 /ha, sedangkan pada kemiringan lereng paling curam (51%) limbah yang terjadi sebesar 19,49 m 3 /ha. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya limbah tidak hanya dipengaruhi oleh kemiringan lereng saja, ada faktor lain yang berpengaruh terhadap besarnya limbah, yaitu intensitas tebang, luas bidang dasar dan keterampilan penebang.

51 Tabel 10 Volume limbah kayu hasil tebangan pada masing-masing kemiringan lereng, intensitas tebang, luas bidang dasar dan keterampilan penebang Petak/ Plot Kemiringan Lereng (%) Intensitas Tebang (pohon/ha) LBDS (m 2 /ha) Keterampilan Penebang Volume Limbah (m 3 /ha) 22 H-1 28 7 3,73 Terampil 27,38 22 H-2 21 5 3,77 Terampil 29,65 23 G-3 5 10 7,22 Tidak terampil 67,79 23 G-4 10 15 8,99 Tidak terampil 66,58 23 G-5 12 21 11,64 Tidak terampil 75,42 22 H-6 50 7 5,16 Terampil 30,57 23 H-7 20 9 4,13 Terampil 27,08 23 H-8 33 8 4,02 Terampil 28,36 23 H-9 11 7 7,30 Terampil 82,08 23 H-10 51 3 2,13 Terampil 19,49 Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya limbah adalah luas bidang dasar pada pohon yang ditebang. Semakin besar luas bidang dasar maka semakin besar pula limbah yang terjadi. Luas bidang dasar terkecil 2,13 m 2 /ha limbah yang dihasilkan pun paling kecil 19,49 m 3 /ha, sedangkan pada luas bidang dasar terbesar 11,64 m 2 /ha limbah yang dihasilkan sebesar 75,42 m 3 /ha. Faktor lain yang berpengaruh terhadap besarnya limbah yang terjadi adalah intensitas tebang. Intensitas tebang tergantung dari jumlah pohon, terutama yang diameternya 60 cm dan layak tebang. Intensitas tebang terbanyak yaitu 21 pohon menghasilkan limbah sebesar 75,42 m 3 /ha sedangkan pada intensitas tebang terendah sebanyak 3 pohon, limbah yang dihasilkan sebesar 19,49 m 3 /ha. Hubungan antara kemiringan lereng, intensitas tebang, luas bidang dasar, dan keterampilan penebang terhadap volume limbah yang terjadi dapat diketahui dengan melakukan analisis regresi linier berganda dengan menggunakan program Minitab versi 14 pada tingkat kepercayaan 95 % atau pada taraf nyata (α) 0,05. Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh peubah-peubah tersebut terhadap volume limbah yaitu uji koefisien regresi secara bersama-sama (uji F) dan uji koefisien regresi secara parsial (uji t). Berdasarkan data keragaman dari kemiringan lereng, intensitas tebang, luas bidang dasar pohon yang ditebang, keterampilan penebang, dan volume limbah penebangan diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :

52 Ŷ = 20,1 0,387 X 1 4,03 X 2 + 12,4 X 3 0,40 X 4 Keterangan: Ŷ = limbah pemanenan (m 3 /ha) X 1 = kemiringan lereng (%) X 2 = intensitas tebang (pohon/ha) X 3 = luas bidang dasar pohon yang ditebang (m 2 /ha) X 4 = keterampilan penebang Berdasarkan persamaan regresi tersebut, diperoleh nilai koefisien determinasi R 2 (adj) sebesar 94,4 %. Hal ini berarti bahwa persamaan regresi tersebut baik untuk menerangkan ragam limbah yang terjadi karena keragaman volume limbah dapat dijelaskan oleh kemiringan lereng, intensitas tebang, luas bidang dasar, dan keterampilan penebang sebesar 94,4 %. Kemudian sisanya sebesar 5,6 % dapat dijelaskan oleh faktor-faktor penyebab lain yang tidak disertakan dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan uji F untuk mengetahui apakah persamaan regresi tersebut dapat digunakan dalam memprediksi ragam limbah atau tidak. Hasil uji F terdapat pada tabel analisis ragam (Tabel 11). Tabel 11 Analisis ragam Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Regresi 4 5121,7 1280,4 38,84 0,001 Sisa 5 164,8 33,0 Total 9 5286,5 Keterampilan penebang merupakan peubah yang bersifat kualitatif. Data kualitatif ini harus diwujudkan dalam bentuk angka atau data kuantitatif agar dapat dilakukan analisis regresi. Analisis ragam pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kemiringan lereng, intensitas tebang, luas bidang dasar pohon yang ditebang, dan keterampilan penebang sangat nyata menjelaskan ragam volume limbah yang terjadi di petak tebang, karena nilai peluang nyata (probabilitas) yang dihasilkan yaitu 0,001 lebih kecil daripada taraf nyata yaitu 0,01. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan secara parsial tiap peubah terhadap ragam volume limbah dilakukan uji t. Hubungan antar peubah dengan besarnya limbah disajikan pada Tabel 12. P

53 Tabel 12 Hubungan antar peubah dengan besarnya limbah Peubah Penduga T Hitung P Kemiringan lereng -2,35 0,066 Intensitas tebang -4,32 0,008 LBDS 6,87 0,001 Keterampilan penebang -0,05 0,959 Hasil pengujian (Tabel 12) menunjukkan bahwa faktor yang sangat nyata mempengaruhi ragam volume limbah adalah luas bidang dasar pohon yang ditebang dan intensitas tebang dengan nilai peluang nyata sebesar 0,001 dan 0,008 (p<0,01). Kemiringan lereng dan keterampilan penebang tidak lagi berpengaruh nyata terhadap keragaman limbah penebangan setelah dijelaskan oleh luas bidang dasar pohon yang ditebang dan intensitas tebang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Lim (1992) di IUPHHK PT. Kayu Pasaguan menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara luas bidang dasar pohon yang ditebang dengan volume limbah yang terjadi, yaitu: limbah tunggak, limbah batang bebas cabang, limbah batang bagian atas, dan limbah cabang. Semakin besar luas bidang dasar pohon yang ditebang, maka semakin besar limbah yang terjadi di petak tebang. Selanjutnya menurut hasil penelitian Partiani (2010) menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara intensitas tebang dengan volume limbah yang terjadi, yaitu: limbah tunggak, limbah batang bebas cabang, limbah batang bagian atas, dan limbah cabang. 5.8 Faktor Eksploitasi Faktor eksploitasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai angka yang menunjukkan persentase pemanfaatan kayu dari suatu batang bebas cabang yang ditebang terhadap volume potensial batang bebas cabang tersebut. Dalam penentuan faktor eksploitasi menggunakan dua pendekatan, yaitu: pendekatan persentase limbah dan perhitungan indeks tebang, indeks sarad, serta indeks angkut. Nilai faktor eksploitasi tiap petak contoh terdapat pada Tabel 13. Limbah yang dihitung dalam penentuan faktor eksploitasi ini merupakan limbah yang berasal dari tunggak dan batang bebas cabang. Nilai faktor eksploitasi sangat bergantung dari besarnya limbah yang terjadi pada pohon yang ditebang. Adanya limbah yang besar di dalam kegiatan pemanenan kayu berarti

54 volume kayu yang dimanfaatkan dan besaran faktor eksploitasi akan semakin kecil. Hal ini menunjukkan pemanfaatan kayu masih kurang efisien. Volume yang seharusnya dapat dimanfaatkan dari satu pohon yang ditebang adalah 100 %, tetapi pada saat penebangan dilakukan terjadi limbah kayu baik karena faktor alam, keadaan pohon, atau karena kesalahan teknis penebangan. Tabel 13 Nilai faktor eksploitasi pada setiap petak contoh Persen Volume yang Indeks Indeks Indeks Faktor eksploitasi plot limbah dimanfaatkan tebang sarad angkut (%) (m 3 /ha) (it) (is) (ia) % (itxisxia) limbah 22 H-1 23,61 55,87 0,76 1,00 1,00 0,7639 0,7639 22 H-2 26,10 52,69 0,76 0,97 1,00 0,7390 0,7390 23 G-3 26,86 103,66 0,73 1,00 1,00 0,7314 0,7314 23 G-4 27,76 118,00 0,75 0,93 0,93 0,7224 0,7224 23 G-5 24,37 169,99 0,76 1,00 1,00 0,7563 0,7563 22 H-6 25,79 77,56 0,80 0,92 1,00 0,7421 0,7421 23 H-7 20,58 74,83 0,80 1,00 1,00 0,7942 0,7942 23 H-8 19,79 67,04 0,80 1,00 1,00 0,8021 0,8021 23 H-9 28,64 86,93 0,71 1,00 1,00 0,7136 0,7136 23 H-10 28,10 38,98 0,71 1,00 1,00 0,7190 0,7190 Rata-rata 25,16 84,56 0,76 0,98 0,99 0,7484 0,7484 Hasil penelitian ini menunjukkan besarnya faktor eksploitasi berdasarkan persentase limbah adalah 0,7484 (Tabel 13). Angka tersebut berarti 74,84 % batang yang dapat dimanfaatkan dan besarnya limbah adalah 25,16 % yang diperoleh dari hasil perhitungan besarnya limbah batang bebas cabang dibandingkan dengan potensi kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan. Hasil perhitungan faktor eksploitasi tiap pohon contoh dengan pendekatan persen limbah disajikan pada Lampiran 5. Selanjutnya nilai faktor eksploitasi rata-rata tiap pohon berdasarkan pendekatan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks angkut sebesar 0,7484. Hasil perhitungan faktor eksploitasi dengan pendekatan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks angkut disajikan pada Lampiran 6. Indeks tebang diperoleh dari perbandingan antara volume siap sarad dengan volume batang bebas cabang dari pohon yang ditebang. Hasil dari penebangan dan pembagian batang dari suatu pohon adalah bagian-bagian batang bebas cabang atau sortimen yang siap sarad.

55 Nilai indeks tebang yang diperoleh adalah 0,76. Sortimen yang berada di TPn tidak semuanya terangkut, karena terjadi kerusakan pada beberapa log. Sortimen yang memenuhi syarat kualita adalah sortimen yang siap angkut. Perbandingan antara sortimen siap angkut dengan siap sarad adalah indeks sarad. Nilai indeks sarad yang diperoleh adalah 0,98. Pengangkutan merupakan proses yang membawa sortimen siap angkut ke TPK. Perbandingan antara sortimen kayu yang ada di TPK dengan siap angkut adalah indeks angkut. Nilai indeks angkut yang diperoleh adalah 0,99. Nilai faktor eksploitasi dari kedua pendekatan tersebut tidak jauh berbeda dengan angka yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan yaitu 0,70. Namun faktor eksploitasi pada penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Dulsalam (1988) yang menyatakan faktor eksploitasi yang diperoleh adalah 0,84. Lebih kecilnya faktor eksploitasi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan kriteria yang berbeda di dalam mendefinisikan dan mengartikan limbah. Pada penelitian ini, pengukuran tinggi limbah tunggak dimulai dari pangkal tunggak sampai ujung tunggak, sedangkan pada penelitian Dulsalam (1988) pengukuran tinggi limbah tunggak dimulai dari kelebihan tunggak dari tinggi yang dibenarkan. Tinggi tunggak yang dibenarkan adalah 1/3 diameter setinggi dada untuk pohon yang tidak berbanir dan untuk pohon yang berbanir adalah setinggi banirnya. Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, Lempang et al. (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi dipengaruhi: 1. Faktor non teknis, terdiri atas keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan tegakan, dan situasi pemasaran. 2. Faktor teknis yang dibagi meliputi : a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencanaan hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan. b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran.

56 c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat. 5.9 Biomassa Limbah Pemanenan Kayu (Nekromassa) Nekromassa merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati. Nekromassa atau biomassa limbah pemanenan kayu dalam penelitian ini adalah limbah yang berasal dari tunggak, batang (penjumlahan dari batang bebas cabang dan batang atas), dan cabang. Hasil perhitungan nekromassa pada penelitian ini disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Rata-rata biomassa limbah pemanenan kayu (nekromassa) Volume Limbah Nekromassa Total Jenis (m 3 /10 ha) (ton/10ha) Nekromassa Pohon T B C T B C (ton/10 ha) 1 Balau 8,22 33,67 4,33 6,58 25,85 3,36 35,79 2 Bangkirai 1,90 8,75 2,36 1,05 5,02 1,48 7,55 3 Kapur 0,75 2,85-0,45 1,68-2,13 4 Keruing 6,23 28,95 2,05 4,63 20,85 1,17 26,64 5 Medang 0,46 1,09-0,21 0,52-0,73 6 Meranti 61,10 260,12 27,59 30,17 117,43 15,59 163,19 7 Mersawa 3,02 6,22-1,80 3,11-4,91 8 Nyatoh 0,79 1,85-0,43 1,08-1,51 9 Palapi 0,49 1,31-0,34 0,99-1,33 10 Sindur 0,44 1,19-0,23 0,62-0,85 Rata-rata (ton/ha) 8,34 34,60 3,63 4,59 17,71 2,16 24,46 Keterangan: T = tunggak, B = batang, C = cabang Perhitungan nekromassa pada penelitian ini menggunakan pendekatan volume. Nekromassa diperoleh dari perkalian volume limbah setiap bagian pohon dengan kerapatan kayu (Lampiran7). Pengukuran terhadap nekromassa ini dibutuhkan untuk mengetahui berapa besar jumlah persediaan karbon per satuan luas yang terambil akibat adanya pemanenan hutan pada limbah kayu. Tabel 14 menunjukkan bahwa nekromassa tertinggi terdapat pada jenis meranti sebesar 16,32 ton/ha dan terendah pada jenis medang sebesar 0,07 ton/ha. Berdasarkan bagian pohon, biomassa tertinggi terdapat pada bagian batang sebesar 17,71 ton/ha, kemudian diikuti bagian tunggak sebesar 4,59 ton/ha dan cabang sebesar 2,16 ton/ha. Hal tersebut terjadi karena limbah yang dihasilkan pada batang lebih besar daripada limbah yang dihasilkan pada tunggak dan cabang. Secara

57 keseluruhan, nilai total rata-rata biomassa limbah pemanenan kayu (nekromassa) pada pohon yang ditebang adalah 24,46 ton/ha. Angka tersebut menunjukkan bahwa sekitar 24,46 ton/ha tegakan kehilangan biomassanya. 5.10 Karbon Limbah Pemanenan Kayu Besarnya simpanan karbon pada limbah pemanenan kayu yang terdiri dari limbah tunggak, batang dan cabang ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata simpanan karbon limbah pemanenan kayu Kadar Karbon (%) Karbon (ton C/10 ha) Total Jenis pohon Karbon (ton T B C T B C C/10 ha) 1 Balau 58,20 69,96 54,12 3,83 18,08 1,82 23,73 2 Bangkirai 54,58 59,26 41,19 0,57 2,97 0,61 4,16 3 Kapur 47,23 64,51-0,21 1,09-1,30 4 Keruing 53,58 73,24 43,40 2,48 15,27 0,51 18,26 5 Medang 43,76 57,69-0,09 0,30-0,39 6 Meranti 46,72 56,53 38,40 14,10 66,39 5,99 86,47 7 Mersawa 46,82 59,19-0,84 1,84-2,68 8 Nyatoh 54,84 62,12-0,24 0,67-0,91 9 Palapi 54,65 65,30-0,19 0,64-0,83 10 Sindur 40,29 49,87-0,09 0,31-0,40 Rata-rata (ton C/ha) 50,07 61,77 44,28 2,26 10,76 0,89 13,91 Keterangan: T = tunggak, B = batang, C = cabang Karbon limbah pemanenan kayu diperoleh dari hasil perkalian antara nekromassa dan persentase kadar karbon contoh uji hasil analisis laboratorium. Kadar karbon untuk setiap bagian pohon berbeda-beda. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, rata-rata persentase tunggak sebesar 50,07 %, batang sebesar 61,77%, dan cabang sebesar 44,28 %. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Elias dan Wistara (2009) yang menyatakan bahwa kadar karbon tertinggi terdapat batang utama, berkisar 43-51 % (rata-rata 47,30 %), kemudian disusul berturutturut oleh kadar karbon tunggak yang berkisar antara 40-45 % (rata-rata 42,31 %), dan kadar karbon cabang yang berkisar antara 39-43 % (rata-rata 40,94%). Batang memiliki kadar karbon tertinggi karena pada masa pertumbuhan dan masa produktif pohon menyerap karbon melalui daun dalam proses fotosintesis dan hasilnya langsung disebarkan ke seluruh bagian pohon lain. Bagian pohon yang mampu menyimpan lebih banyak karbon adalah batang. Menurut White dan Plashett (1981) yang diacu dalam Aminudin (2008) menyebutkan bahwa

58 biomassa bagian-bagian pohon didistribusikan sebesar 60-65% pada bagian batang, 5 % pada bagian tajuk, 10-15% pada bagian daun dan cabang, 5-10% pada bagian tunggak, dan 5 % pada bagian akar. Pengukuran karbon yang tersimpan dalam tumbuhan mati, secara tidak langsung menggambarkan CO 2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Berdasarkan Tabel 15, jenis yang memiliki simpanan karbon terbesar adalah meranti sebesar 8,65 ton C/ha dan simpanan karbon terendah terdapat pada jenis medang sebesar 0,039 ton C/ha. Sama halnya dengan nekromassa, batang memiliki simpanan karbon yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tunggak dan cabang sebesar 10,76 ton C/ha. Hal tersebut terjadi karena kadar karbon, nekromassa, dan volume limbah yang dihasilkan pada batang lebih besar dari tunggak dan cabang sehingga menghasilkan simpanan karbon yang besar. Simpanan karbon pada tunggak dan cabang sebesar 2,26 ton C/ha dan 0,89 ton C/ha. Dari keseluruhan plot penelitian, simpanan karbon yang dihasilkan pada limbah pemanenan sebesar 13,91 C ton/ha. Hal tersebut berarti cadangan karbon pada vegetasi hutan di atas permukaan tanah berkurang sebesar 13,91 C ton/ha.

59 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Limbah pemanenan kayu di PT. Indexim Utama sebagian besar terjadi di petak tebang. Limbah bebas cabang di petak tebang sebesar 29,33 m 3 /ha, limbah di TPn sebesar 1,17 m 3 /ha dan limbah di TPK sebesar 0 m 3 /ha. persentase limbah sebesar 25,16 % dari pohon yang ditebang. Limbah total sampai cabang diameter 30 cm sebesar 46,57 m 3 /ha. 2. Faktor yang sangat nyata mempengaruhi ragam volume limbah adalah luas bidang dasar pohon yang ditebang dan intensitas tebang. 3. Besarnya faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah dan pendekatan indeks tebang, indeks sarad, dan indeks angkut yaitu sebesar 0,7484. 4. Karbon tersimpan pada limbah pemanenan kayu sebesar 13,91 ton C/ha, yang terdiri dari karbon batang sebesar 10,76 ton C/ha, tunggak 2,26 ton C/ha dan cabang sebesar 0,89 ton C/ha. 6.2 Saran 1. Adanya pelatihan yang berkala bagi para pekerja terutama di bidang penebangan mengenai teknik tebangan dan membagi batang yang baik. kemampuan menilai dan menentukan kualitas kayu juga diperlukan agar ketika membagi batang tidak banyak kayu yang terbuang. 2. Memperbaiki manajemen, terutama dalam hal pengawasan dan koordinasi kerja dilapangan sehingga kegiatan pemanenan dapat berlangsung dengan lancar. Meskipun nilai pemanfaatan cukup tinggi, evaluasi dan pengawasan harus dilakukan untuk menjaga kestabilan produksi dan lingkungan. 3. Perlu dilakukan studi kelayakan tentang alternatif sistem pengangkutan kayu limbah yang ekonomis dan alternatif pemanfaatan limbah pemanenan kayu, termasuk pemasarannya.

60 DAFTAR PUSTAKA Achmadi SS. 1990. Diktat Kimia Kayu. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Aminudin S. 2008. Kajian Potensi Cadangan Karbon pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Hutan Rakyat Desa Dengok Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institiut Pertanian Bogor. [ASTM] American Society For Testing Materials. 1990a. ASTM D 2866-94: Standard Test Methods for Total Ash Content of Active Carbon. Philadelphia. USA. [ASTM] American Society For Testing Materials. 1990b. ASTM D 5832-98: Standard Test Methods for Volatile Matter Content of Active Carbon. Philadelphia. USA. [ASTM] American Society For Testing Materials. 2008. ASTM D 2395-97: Standard Test Methods for Specific Gravity of Wood and Wood-Base Materials. Annual Book of ASTM Standard. Baltimore, MD. USA. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Arang Aktif Teknis. Jakarta: Standar Nasional Indonesia 06-3730:1995. Brown NC. 1958. Logging. John Wiley and Sons, Inc. 418 pp. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. FAO Forestry Paper 134. FAO, USA. Budiaman A. 2000. Kuantifikasi kayu bulat kecil limbah pemanenan pada pengusahaan hutan alam. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 8 (2): 34-43. Dulsalam. 1988. Faktor eksploitasi meranti di Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (2): 47-49. Dulsalam. 1995. Usaha Untuk Meminimalisasi Limbah Eksploitasi Dalam Rangka Peningkatan Nilai Produksi. Makalah Penunjang dalam Ekspose Penelitian Hasil Hutan. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan. hlm 17-19. Dulsalam, Simarmata SR. 1985. Faktor Eksploitasi Jenis Meranti di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (1): 10-12. Elias, Wistara INY. 2009. Metode estimasi massa karbon pohon jeunjing (Paraserianthes falcataria L Nielsen) di hutan rakyat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika XV (2):75-82.

61 Hairiah K, Sitompul SM, Noordwijk MV, Palm C. 2001. Methods for sampling carbon stock above and below ground. Bogor: ICRAF Southeast Asia. Hairiah K, Rahayu R. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office. University of Brawijya Indonesia. http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/publicationsfiles/book/pdf. [29 Juni 2011]. Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar. Hadikusumo SA. Penerjemah; Prawirohatmodjo S, Editor. Yogyakarta: Gadjah Mada. Hidayat A. 2000. Penelaahan Efisiensi Pemanenan Akasia (Acacia mangium) pada Hutan Tanaman Industri PT INHUTANI II, Pulau Laut-Kalimantan Selatan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Junaedi A. 2007. Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Terhadap Potensi Kandungan Karbon Dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Klassen A. 2006. Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan Berdampak Rendah. Hasbillah, editor. Jakarta: Tropical Forest Foundation. Kusuma GA. 2009. Pendugaan Potensi Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Tegakan Hutan Hujan Tropis Bekas Tebangan (LOA) 1983 (Studi Kasus IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Lempang M, Madjo MI, Seran D, Gautama I. 1995. Faktor eksploitasi pada pemungutan kayu dengan sistem mekanis di Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9 (2): 5-9. Lim C. 1992. Studi Volume Limbah Pemanenan Kayu Dengan Sistem TPTI di Areal HPH PT Kayu Pasaguan (Alas Kusuma Group) Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Malik J. 2000. Pemanfaatan Kayu Limbah Pemanenan Hutan. Suatu Tinjauan Dalam Rangka Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Info Hasil Hutan 6 (1): 17-24. Matangaran JR, Togar LT, Tjetjep UK, Yovi EY. 2000. Studi Pemanfaatan Limbah Pemanenan Untuk Bahan Baku Industri dalam rangka pengembangan dan pemasaran hasil hutan. Laporan Akhir. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

62 Novita N. 2010. Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan di Merang Sumatera Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institiut Pertanian Bogor. Partiani T. 2010. Limbah Pemanenan Kayu dan Faktor Eksploitasi di Hutan Alam PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut Sumatera Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [PT. IU] PT. Indexim Utama. 2011. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Periode Tahun 2012 s/d 2021. Barito Utara, Kalimantan Tengah. Rahayu S, Lusiana B, Noordwijk MV. 2005. Bogor Carbon Stock Monitoring in Nunukan, East Kalimantan: A Spatial and Modelling Aproach. http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/publicationsfiles/book/pdf. [29 Juni 2011]. Sasmita RL. 2003. Limbah Pemanenan Hutan Alam di PT Sumalindo Lestari Jaya. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sastrodimedjo S, Simarmata SR. 1978. Limbah Eksploitasi pada Beberapa Perusahaan Pengusahaan Hutan di Indonesia. Bogor: Laporan LPHH 120.. 1981. Limbah Eksploitasi. Di dalam : Prosiding Diskusi Industri Perkayuan tahun 1981; Jakarta, 1981. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sianturi A, Soerianegara I, Suparto RS, Manan S. 1984. Faktor eksploitasi di hutan alam dipterokarpa pulau laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1 (1): 1-10. Simarmata SR, Haryono. 1986. Volume dan klasifikasi limbah eksploitasi hutan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (1): 27-31. Simarmata SR. 1985. Volume dan klasifikasi limbah di beberapa pengusahaan hutan di Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (2): 17-19. Sinaga M, Simarmata SR, Mansyur M. 1984. Pengaruh latihan kerja terhadap volume limbah eksploitasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1 (1): 23-28. Soemitro A. 1980. Cara-Cara Penyaradan Untuk Mengurangi Limbah dan Kerusakan Tegakan Tinggal di Hutan Luar Jawa. Di dalam: Prosiding Seminar Eksploitasi Hutan; Bogor, Juli 1980. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

63 Soewito. 1980. Limbah Eksploitasi Hutan pada Areal Bakas Tebangan. Di dalam: Prosiding Seminar Eksploitasi Hutan; Bogor, Juli 1980. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Sukanda. 1995. Penentuan Faktor Eksploitasi, Limbah Kayu dan Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu Dengan Sistem TPTI [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Thaib J. 1991. Kerusakan tegakan dan limbah pemanenan hutan rawa pada kawasan suatu perusahaan hutan di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9 (3): 97-102. Tinambunan D. 2001. Pemborosan Kayu dalam Pemanenan Hutan Alam di Luar Pulau Jawa dan Upaya Mengatasinya. http//www.dephut.go.id/indev/node349. [29 juni 2011]. Tresnawan H, Rosalina U. 2002. Pendugaan biomassa di atas tanah ekosistem hutan primer dan hutan bekas tebangan (studi kasus hutan dusun aro, Jambi). Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8 (1): 15-29. Whitmore TC. 1985. Tropical Rain Forest of The Far East. Oxford University Press. Widarmana S, Padlinurjaji IM, Sarajar CG, Haeruman H, Sofyan K, Atmawidjaya R. 1973. Penelitian Logging Waste dan Kemungkinan Pemanfaatannya di Jawa dan Kalimantan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Widiananto TH. 1981. Suatu Studi Mengenai Limbah Tebangan dalam Eksploitasi Hutan di PT. International Timber Coorporation Indonesia, Kalimantan Timur [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Widyasari NAE. 2010. Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

LAMPIRAN 64

65 Lampiran 1 Hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan Dimensi Pohon Jenis Petak/ Pohon Kode Pohon Dbh Tbc T.total Volume Plot (cm) (m) (m) (m 3 ) Keterangan 1 22H/1 7278 5 Palapi 64 25 29 5,63 ditebang 2 7274 9 Kapur 65 22 27 5,11 ditebang 3 7268 11 Palapi 72 24 28 6,84 tidak ditebang 4 7270 12 Meranti 71 27 31 7,42 tidak ditebang 5 7457 28 Meranti 114 28 37 19,89 ditebang 6 7437 32 Meranti 66 24 30 5,79 ditebang 7 7476 33 Medang 69 21 28 5,46 ditebang 8 7474 34 Meranti 64 29 34 6,53 ditebang 9 7462 36 Meranti 114 25 36 17,85 ditebang 10 7615 43 Meranti 132 26 43 24,89 tidak ditebang Subtotal pohon layak tebang 105,40 10 Subtotal pohon ditebang 66,25 7 1 22H/2 5571 5 Meranti 135 32 43 32,05 ditebang 2 5238 8 Meranti 94 24 35 11,65 ditebang 3 4961 4 Meranti 88 35 44 14,89 ditebang 4 5947 19 Kapur 67 30 42 7,37 tidak ditebang 5 5933 21 Meranti 69 27 36 7,06 tidak ditebang 6 6009 22 Meranti 82 25 45 9,24 tidak ditebang 7 5998 27 Meranti 132 29 48 27,77 tidak ditebang 8 5995 28 Meranti 79 23 34 7,82 tidak ditebang 9 4938 33 Meranti 75 28 36 8,65 ditebang 10 5588 34 Meranti 87 30 41 12,48 ditebang 11 5622 35 Meranti 67 27 40 6,66 tidak ditebang 12 5250 36 Meranti 88 25 35 10,64 tidak ditebang Subtotal pohon layak tebang 156,28 12 Subtotal pohon ditebang 79,73 5 1 23G/3 12.016 3 Meranti 109 26 34 16,97 ditebang 2 11.930 8 Meranti 91 29 35 13,22 ditebang 3 12.001 17 Bintangur 67 24 32 5,92 tidak ditebang 4 11.944 22 Meranti 60 25 34 4,95 tidak ditebang 5 11.946 25 Meranti 73 25 37 7,37 tidak ditebang 6 11.948 30 Meranti 62 26 35 5,49 tidak ditebang 7 11.985 33 Meranti 64 22 39 4,95 tidak ditebang 8 12.132 56 Meranti 73 25 37 7,32 tidak ditebang 9 12.289 74 Meranti 87 34 39 14,02 ditebang 10 12.343 85 Meranti 99 32 42 17,25 ditebang 11 12.656 98 Balau 116 30 40 22,18 tidak ditebang 12 12.652 99 Bintangur 67 25 37 6,17 tidak ditebang 13 12.653 100 Meranti 70 19 26 5,12 ditebang 14 12.623 112 Meranti 82 27 35 9,98 tidak ditebang 15 12.634 119 Meranti 88 34 40 14,47 ditebang 16 12.638 120 Nyatoh 80 32 38 11,25 ditebang 17 12.642 124 Meranti 105 34 40 20,64 ditebang 18 12.688 128 Balau 120 34 41 26,90 ditebang 19 12.000 129 Meranti 100 33 46 18,13 ditebang Subtotal pohon layak tebang 232,30 19 Subtotal pohon ditebang 157,97 10

66 Lanjutan Lampiran 1 Dimensi Pohon Jenis Petak/ Pohon Kode Pohon Dbh Tbc T.total Volume Plot (cm) (m) (m) (m 3 ) Keterangan 1 23G/4 1603 2 Meranti 120 24 35 18,99 ditebang 2 1619 21 Keruing 80 25 36 8,85 tidak ditebang 3 1537 36 Balau 84 19 31 7,38 ditebang 4 1545 40 Balau 76 25 35 8,03 tidak ditebang 5 1561 49 Balau 105 20 29 12,12 tidak ditebang 6 1245 59 Keruing 71 25 35 6,93 ditebang 7 1255 70 Keruing 60 26 38 5,18 tidak ditebang 8 1204 76 Keruing 74 27 35 8,10 ditebang 9 1184 90 Meranti 64 22 30 5,00 tidak ditebang 10 1191 97 Meranti 91 28 33 12,74 ditebang 11 1209 108 Meranti 78 23 30 7,69 ditebang 12 1210 112 Meranti 77 30 35 9,77 ditebang 13 1208 113 Balau 76 28 32 8,89 ditebang 14 854 117 Keruing 75 25 34 7,73 tidak ditebang 15 895 122 Balau 95 25 32 12,40 ditebang 16 866 125 Balau 130 28 40 26,00 ditebang 17 859 130 Meranti 100 16 26 8,79 ditebang 18 1211 146 Meranti 82 28 36 10,35 ditebang 19 1214 147 Keruing 65 22 28 5,11 ditebang 20 1192 148 Keruing 76 15 20 4,76 ditebang 21 1566 149 Bangkirai 62 23 30 4,86 ditebang Subtotal pohon layak tebang 199,65 21 Subtotal pohon ditebang 150,13 15 1 23G/5 1234 5 Nyatoh 65 30 35 6,96 ditebang 2 9882 25 Keruing 91 24 32 11,02 ditebang 3 9869 37 Meranti 80 25 35 8,79 ditebang 4 9870 38 Meranti 72 25 37 7,12 ditebang 5 9864 40 Meranti 110 34 40 22,61 ditebang 6 9861 44 Meranti 65 34 40 7,89 ditebang 7 9859 45 Meranti 91 35 46 15,93 ditebang 8 888 56 Keruing 96 30 38 15,05 ditebang 9 877 58 Keruing 94 18 26 8,74 ditebang 10 9527 74 Meranti 112 27 35 18,61 tidak ditebang 11 9836 75 Meranti 84 30 36 11,74 ditebang 12 9523 91 Bangkirai 61 22 30 4,47 ditebang 13 9515 95 Meranti 73 32 36 9,37 ditebang 14 9510 100 Meranti 64 28 34 6,30 ditebang 15 9507 101 Meranti 91 30 35 13,77 ditebang 16 535 111 Keruing 63 28 34 6,12 ditebang 17 869 112 Keruing 79 34 38 11,66 ditebang 18 537 116 Balau 95 30 36 14,75 ditebang 19 533 119 Meranti 60 28 34 5,46 ditebang 20 9501 120 Meranti 95 19 27 9,42 ditebang 21 9496 124 Keruing 111 24 34 16,39 ditebang 22 9177 131 Meranti 94 29 40 14,07 ditebang Subtotal pohon layak tebang 246,24 22 Subtotal pohon ditebang 227,63 21

67 Lanjutan Lampiran 1 Dimensi Pohon Jenis Petak/ Pohon Kode Pohon Dbh Tbc T.total Volume Plot (cm) (m) (m) (m 3 ) Keterangan 1 22H/6 2617 5 Meranti 120 26 37 20,57 ditebang 2 2320 11 Meranti 83 32 37 12,11 ditebang 3 2325 15 Meranti 94 30 36 14,55 ditebang 4 2525 18 Meranti 85 26 38 10,32 tidak ditebang 5 2599 41 Meranti 64 25 32 5,63 tidak ditebang 6 2620 57 Palapi 65 25 36 5,80 tidak ditebang 7 2672 68 Mersawa 81 30 36 10,82 ditebang 8 2955 74 Balau 85 26 32 10,32 ditebang 9 3025 102 Meranti 119 31 37 24,04 ditebang 10 3010 106 Meranti 91 23 35 10,47 tidak ditebang 11 2959 69 Meranti 88 30 37 12,77 ditebang Subtotal pohon layak tebang 137,40 11 Subtotal pohon ditebang 105,18 7 1 23H/7 11,8 11 Meranti 110 26 34 17,29 tidak ditebang 2 11,9 17 Meranti 89 24 29 10,34 ditebang 3 11,8 23 Meranti 62 24 32 5,09 tidak ditebang 4 11,8 25 Palapi 75 25 32 7,73 tidak ditebang 5 11,8 31 Meranti 73 26 32 7,53 tidak ditebang 6 12,5 36 Meranti 62 22 29 4,71 tidak ditebang 7 11,9 49 Meranti 64 24 29 5,46 tidak ditebang 8 11,9 52 Meranti 81 28 36 9,99 tidak ditebang 9 12,2 59 Meranti 80 29 37 10,20 tidak ditebang 10 12,2 64 Meranti 119 30 37 23,34 tidak ditebang 11 12,2 87 Meranti 80 21 31 7,39 ditebang 12 12,2 89 Mersawa 75 29 38 8,93 ditebang 13 12,3 91 Meranti 65 27 35 6,32 tidak ditebang 14 12,2 95 Meranti 72 26 32 7,40 ditebang 15 12 101 Meranti 78 26 35 8,69 ditebang 16 12,3 109 Meranti 67 35 40 8,52 ditebang 17 12,2 112 Meranti 74 35 42 10,53 ditebang 18 12,3 113 Meranti 85 29 36 11,51 ditebang 19 12,3 114 Meranti 66 31 37 7,42 ditebang Subtotal pohon layak tebang 178,38 19 Subtotal pohon ditebang 80,73 9 1 23H/8 9900 2 Meranti 78 20 25 6,69 ditebang 2 9691 37 Meranti 64 26 33 5,91 ditebang 3 9893 38 Bangkirai 78 25 35 8,36 ditebang 4 9903 45 Meranti 60 25 30 4,95 ditebang 5 9547 48 Mersawa 88 22 29 9,36 ditebang 6 9351 79 Meranti 64 26 36 5,85 tidak ditebang 7 9347 81 Meranti 67 27 33 6,64 ditebang 8 9340 84 Bangkirai 68 21 32 5,34 ditebang 9 9191 97 Meranti 120 29 40 22,95 ditebang Subtotal pohon layak tebang 76,04 9 Subtotal pohon ditebang 70,19 8

68 Lanjutan Lampiran 1 Dimensi Pohon Jenis Petak/Plot Pohon Kode Pohon Dbh Tbc T.total Volume (cm) (m) (m) (m 3 ) Keterangan 1 23H/9 9760 2 Meranti 146 25 34 29,28 tidak ditebang 2 9764 9 Meranti 85 23 31 9,13 tidak ditebang 3 9777 24 Sindur 66 18 26 4,26 ditebang 4 9448 35 Meranti 185 25 36 47,02 ditebang 5 9435 47 Meranti 120 29 40 22,95 ditebang 6 9429 51 Meranti 88 28 38 11,80 ditebang 7 9418 62 Meranti 64 21 28 4,78 ditebang 8 9409 70 Balau 83 28 39 10,55 tidak ditebang 9 9076 154 Meranti 140 25 37 26,93 ditebang 10 9091 164 Mersawa 93 28 37 13,31 ditebang Subtotal pohon layak tebang 179,99 10 Subtotal pohon ditebang 131,03 7 1 23H/10 203 32 Meranti 60 24 32 4,75 tidak ditebang 2 502 49 Meranti 80 31 40 10,90 tidak ditebang 3 520 64 Meranti 100 26 32 14,29 tidak ditebang 4 530 73 Meranti 120 28 38 22,16 ditebang 5 500 81 Meranti 67 23 31 5,67 tidak ditebang 6 833 87 Meranti 90 21 28 9,35 ditebang 7 839 89 Meranti 68 20 28 5,08 ditebang 8 861 100 Meranti 90 24 33 10,68 tidak ditebang 9 888 118 Meranti 75 25 35 7,73 tidak ditebang 10 858 119 Meranti 78 27 36 9,03 tidak ditebang 11 851 121 Meranti 96 29 40 14,69 tidak ditebang Subtotal pohon layak tebang 114,32 11 Subtotal pohon ditebang 36,58 3 Rata-rata pohon layak tebang 162,60 Rata-rata pohon ditebang 110,54

69 Lampiran 2 Persentase limbah berdasarkan volume pohon yang ditebang (batang bebas cabang) Petak/Plot Pohon Kode Jenis Pohon Limbah di Petak Tebang (%) Limbah di TPn (%) Limbah di TPK (%) Total Limbah (%) 1 22 H/1 7278 5 Palapi 22,2 0 0 22,2 2 7274 9 Kapur 41,01 0 0 41,01 3 7457 28 Meranti 34,42 0 0 34,42 4 7437 32 Meranti 19,81 0 0 19,81 5 7476 33 Medang 17,16 0 0 17,16 6 7474 34 Meranti 18,5 0 0 18,5 7 7462 36 Meranti 12,18 0 0 12,18 Rata-Rata 23,61 0 0 23,61 1 22 H/2 4961 4 Meranti 32,49 0 0 32,49 2 5571 5 Meranti 33,86 8,44 0 42,29 3 5238 8 Meranti 17,53 0 0 17,53 4 4938 33 Meranti 26,84 0 0 26,84 5 5588 34 Meranti 11,35 0 0 11,35 Rata-Rata 24,41 1,69 0 26,1 1 23 G/3 12,016 3 Meranti 7,8 0 0 7,8 2 11,93 8 Meranti 24,43 0 0 24,43 3 12.289 74 Meranti 11,49 0 0 11,49 4 12,343 85 Meranti 13,54 0 0 13,54 5 12,653 100 Meranti 21,32 0 0 21,32 6 12,634 119 Meranti 32,28 0 0 32,28 7 12,638 120 Nyatoh 11,96 0 0 11,96 8 12,642 124 Meranti 76,06 0 0 76,06 9 12,688 128 Balau 48,73 0 0 48,73 10 12 129 Meranti 20,98 0 0 20,98 Rata-Rata 26,86 0 0 26,86 1 23 G/4 1603 2 Meranti 22,21 0 0 22,21 2 1537 36 Balau 10,79 0 0 10,79 3 1245 59 Keruing 24,38 0 0 24,38 4 1204 76 Keruing 36,01 0 0 36,01 5 1191 97 Meranti 12 0 0 12 6 1209 108 Meranti 25,52 0 0 25,52 7 1210 112 Meranti 31,49 0 0 31,49 8 1208 113 Balau 26,52 0 0 26,52 9 1211 146 Meranti 23,23 0 0 23,23 10 895 122 Balau 15,17 0 0 15,17 11 866 125 Balau 28,89 0 0 28,89 12 859 130 Meranti 13,11 0 0 13,11

70 Lanjutan Lampiran 2 Petak/Plot Pohon Kode Jenis Pohon Limbah di Petak Tebang (%) Limbah di TPn (%) Limbah di TPK (%) Total Limbah (%) 13 23 G/4 1214 147 Keruing 20,7 0 0 20,7 14 1192 148 Keruing 55,74 44,26 0 100 15 1566 149 Bangkirai 26,44 0 0 26,44 Rata-Rata 24,81 2,95 0 27,76 1 23 G/5 1234 5 Nyatoh 14,83 0 0 14,83 2 9882 25 Keruing 20,82 0 0 20,82 3 9869 37 Meranti 26,31 0 0 26,31 4 9870 38 Meranti 23,37 0 0 23,37 5 9864 40 Meranti 13,1 0 0 13,1 6 9861 44 Meranti 49,71 0 0 49,71 7 9859 45 Meranti 16,1 0 0 16,1 8 888 56 Keruing 15,43 0 0 15,43 9 877 58 Keruing 19,35 0 0 19,35 10 9836 75 Meranti 37,27 0 0 37,27 11 9523 91 Bangkirai 20,88 0 0 20,88 12 9515 95 Meranti 8,27 0 0 8,27 13 9510 100 Meranti 33,29 0 0 33,29 14 9507 101 Meranti 40,37 0 0 40,37 15 535 111 Keruing 40,33 0 0 40,33 16 869 112 Keruing 16,02 0 0 16,02 17 537 116 Balau 20,12 0 0 20,12 18 533 119 Meranti 33,28 0 0 33,28 19 9501 120 Meranti 35,16 0 0 35,16 20 9496 124 Keruing 21,72 0 0 21,72 21 9177 131 Meranti 5,95 0 0 5,95 Rata-Rata 24,37 0 0 24,37 1 22 H/6 2617 5 Meranti 17,57 0 0 17,57 2 2320 11 Meranti 29,39 15,2 0 44,6 3 2325 15 Meranti 14,43 0 0 14,43 4 2672 68 Mersawa 17,05 0 0 17,05 5 2955 74 Balau 21,79 0 0 21,79 6 3025 102 Meranti 8,61 10,94 0 19,54 7 2959 69 Meranti 29,33 15,93 0 45,26 Rata-Rata 19,76 6,01 0 25,79 1 23 H/7 11,872 17 Meranti 24,33 0 0 24,33 2 12,178 87 Meranti 27,17 0 0 27,17 3 12,183 89 Mersawa 16,25 0 0 16,25 4 12,187 95 Meranti 23,85 0 0 23,85 5 11,996 101 Meranti 14,46 0 0 14,46

71 Lanjutan Lampiran 2 Petak/Plot Pohon Kode Jenis Pohon Limbah di Petak Tebang (%) Limbah di TPn (%) Limbah di TPK (%) Total Limbah (%) 6 12,295 109 Meranti 40,06 0 0 40,06 7 12,201 112 Meranti 12,99 0 0 12,99 8 12,292 113 Meranti 5,37 2,83 0 8,2 9 12,296 114 Meranti 17,89 0 0 17,89 Rata-Rata 20,26 0,31 0 20,58 1 23 H/8 9900 2 Meranti 27,23 0 0 27,23 2 9691 37 Meranti 20,01 0 0 20,01 3 9893 38 Bangkirai 12,38 0 0 12,38 4 9903 45 Meranti 18,61 0 0 18,61 5 9547 48 Mersawa 13,71 0 0 13,71 6 9347 81 Meranti 16,38 0 0 16,38 7 9340 84 Bangkirai 32,74 0 0 32,74 8 9191 97 Meranti 17,27 0 0 17,27 Rata-Rata 19,79 0 0 19,79 1 23 H/9 9777 24 Sindur 15,96 0 0 15,96 2 9448 35 Meranti 66,87 0 0 66,87 3 23 H/9 9435 47 Meranti 15,08 0 0 15,08 4 9429 51 Meranti 17,10 0 0 17,1 5 9418 62 Meranti 18,39 0 0 18,39 6 9076 154 Meranti 55,73 0 0 55,73 7 9091 164 Mersawa 11,34 0 0 11,34 Rata-Rata 28,64 0 0 28,64 1 23H/10 530 73 Meranti 15,91 0 0 15,91 2 833 87 Meranti 35,49 0 0 35,49 3 839 89 Meranti 35,07 0 0 35,07 Rata-Rata 28,10 0 0 28,1 Rata-rata Keseluruhan 24,06 1,1 0 25,16

72 Lampiran 3 Perhitungan volume limbah berdasarkan bagian pohon Petak/Plot Volume Pohon Berdiri (m3) Volume Limbah (m3/ha) Tunggak TP TU Batang Atas Cabang Total 1 22 H/1 66,3 5,49 10,14 2,34 7,89 1,53 27,38 2 22 H/2 79,7 5,65 7,78 6,01 7,76 2,44 29,65 3 23 G/3 158 9,06 10,1 27,91 15,25 5,47 67,79 4 23 G/4 153 12,47 8,87 16,8 21,73 6,72 66,58 5 23 G/5 228 12,84 7,4 31,2 20,05 3,93 75,42 6 22 H/6 105 7,58 7,4 3,78 9,96 1,85 30,57 7 23 H/7 80,7 6,62 2,35 8,97 7,78 1,35 27,08 8 23 H/8 84,3 6,75 3,31 4,94 9,74 3,63 28,36 9 23 H/8 131 12,44 36,85 7,01 17,45 7,95 81,71 10 23 H/10 36,6 4,5 3,86 2,9 6,77 1,47 19,49 Jumlah Keseluruhan 83,39 98,07 111,85 124,39 36,33 454,03 72

73 Lampiran 4 Perhitungan volume limbah berdasarkan kondisinya di petak tebang Jenis Volume (m 3 ) Petak/Plot Pohon Kode Pohon Gerowong Mata Kayu Pecah Belah Hancur Baik Keterangan 1 22 H/1 7278 5 Palapi 0,49 - - - - 1,31 Gerowong 17% 2 7274 9 Kapur - - 0,57 2,16-0,87 3 7457 28 Meranti 7,37-1,21-2,80 0,45 4 7437 32 Meranti - - 0,68 - - 1,01 5 7476 33 Medang - - 0,81 - - 0,74 6 7474 34 Meranti - - 0,38 - - 1,56 7 7462 36 Meranti - 0,78 0,20 0,12-3,89 Subtotal 7,85 0,78 3,85 2,28 2,80 9,82 1 22 H/2 4961 4 Meranti - - 1,07 0,40-6,27 2 5571 5 Meranti 7,24 0,74-0,40-2,51 3 5238 8 Meranti - 0,35 2,42-0,62 1,47 4 4938 33 Meranti - - - 2,17-1,00 5 5588 34 Meranti 1,45 - - 0,95 0,56 0,11 Subtotal 8,69 1,09 3,48 3,92 1,18 11,31 1 23 G/3 12,016 3 Meranti - - - - - 4,58 2 11,930 8 Meranti - - - - - 4,43 3 12,289 74 Meranti - - - - - 2,01 4 12,343 85 Meranti - - - 0,73-4,82 5 1191 97 Meranti - - 0,68-0,35 1,40 6 1209 108 Meranti - 0,87 0,63 - - 1,79 73

74 Lanjutan Lampiran 4 Jenis Volume (m 3 ) Petak/Plot Pohon Kode Pohon Gerowong Mata Kayu Pecah Belah Hancur Baik Keterangan 7 23 G/3 12,638 120 Nyatoh - - 0,58 - - 1,08 8 12,642 124 Meranti - 13,79 2,37 - - 2,40 9 12,688 128 Balau 4,27 9,14 1,21 1,73-0,00 Gerowong 6% 10 12,000 129 Meranti - - 0,28 - - 7,27 Subtotal 6,31 22,93 8,23 2,47 0,00 27,86 1 23 G/4 1603 2 Meranti 3,43 - - - 0,75 5,18 2 1537 36 Balau - - 2,56 - - 1,02 3 1245 59 Keruing - - - - - 2,45 4 1204 76 Keruing - - 3,44 - - 1,14 5 1191 97 Meranti - - 0,68-0,35 1,40 6 1209 108 Meranti - 0,87 0,60 - - 1,76 7 1210 112 Meranti - 2,09 - - - 1,12 8 1208 113 Balau - 1,27 0,23 - - 1,28 9 1211 146 Meranti - 0,92 2,28 - - 1,88 10 895 122 Balau - - - 0,46 0,33 2,71 11 866 125 Balau - 3,64 - - 1,19 8,28 12 859 130 Meranti - - 0,52 - - 3,41 13 1214 147 Keruing - 0,24 0,73-0,90 0,63 14 1192 148 Keruing - - - 1,98 0,43 1,29 15 1566 149 Bangkirai 0,33 1,32 0,38 0,74-0,36 Subtotal 3,76 10,36 11,42 3,18 3,95 33,91 74

75 Lanjutan Lampiran 4 Jenis Volume (m 3 ) Petak/Plot Pohon Kode Pohon Gerowong Mata Kayu Pecah Belah Hancur Baik 1 23 G/5 1234 5 Nyatoh - - - 0,49-0,49 2 9882 25 Keruing - - 0,25 1,15-3,36 3 9869 37 Meranti - - - - - 3,94 4 9870 38 Meranti - - - - - 2,18 5 9864 40 Meranti - - 0,14 - - 3,39 6 9861 44 Meranti - 2,55 - - - 2,58 7 9859 45 Meranti - - 0,71 - - 3,08 8 888 56 Keruing 2,14 - - - 0,50 0,55 9 877 58 Keruing - - 0,54 - - 1,23 10 9836 75 Meranti - 2,93 - - - 2,08 11 9523 91 Bangkirai - - - - - 1,53 12 9515 95 Meranti - - - - - 1,04 13 9510 100 Meranti - - 2,30 - - 0,33 14 9507 101 Meranti - 4,88-0,61 0,36 1,54 15 535 111 Keruing - 2,21 - - 0,51 0,38 16 869 112 Keruing 1,00-0,47 0,38-0,52 17 537 116 Balau - - - 0,30 1,10 2,43 18 533 119 Meranti - - 2,47 - - 0,35 19 9501 120 Meranti - - 2,55 - - 3,93 20 9496 124 Keruing 1,10-4,50 - - 0,75 Keterangan 75

76 Lanjutan Lampiran 4 Jenis Volume (m 3 ) Petak/Plot Pohon Kode Pohon Gerowong Mata Kayu Pecah Belah Hancur Baik 21 9177 131 Meranti - 2,30 - - - 1,30 Keterangan Subtotal 4,24 14,87 13,92 2,94 2,47 36,97 1 22 H/6 2617 5 Meranti - - 3,60 - - 4,63 2 2320 11 Meranti 2,55 - - - - 1,24 Gerowong 43% 3 2325 15 Meranti - - - - - 2,59 4 2672 68 Mersawa 1,07-0,39 - - 0,63 Gerowong 21% 5 2955 74 Balau - - 1,95 - - 1,13 6 3025 102 Meranti 2,22 - - - 0,39 2,15 7 2959 69 Meranti 3,80 - - 0,34-1,90 Subtotal 9,65 0,00 5,94 0,34 0,39 14,26 1 23 H/7 11872 17 Meranti - 0,45 - - 0,87 2,29 2 12178 87 Meranti - - 2,44 - - 2,77 3 12183 89 Mersawa - - - - - 1,60 4 12187 95 Meranti - - - - - 2,42 5 11996 101 Meranti - 0,21 - - - 2,81 6 12295 109 Meranti - - 3,08 - - 1,22 7 12201 112 Meranti - - - - - 2,52 8 12292 113 Meranti 0,61 1,14 0,29 - - 0,10 9 12296 114 Meranti - 1,23 - - - 1,03 Subtotal 0,61 3,03 5,81 0,00 0,87 16,76 76

77 Lanjutan Lampiran 4 Jenis Volume (m3) Petak/Plot Pohon Kode Pohon Gerowong Mata Kayu Pecah Belah Hancur Baik 1 23 H/8 9900 2 Meranti - - - - - 1,65 2 9691 37 Meranti - - 0,93 - - 1,49 3 9893 38 Bangkirai - - 1,77-0,26 1,01 4 9903 45 Meranti - - - - - 1,19 5 9547 48 Mersawa - - - - 0,66 1,58 6 9347 81 Meranti - - 0,25 - - 0,99 7 9340 84 Bangkirai - - 3,33 - - 1,98 8 9191 97 Meranti 3,70-1,54 0,48-5,56 Subtotal 3,70 0,00 7,82 0,48 0,92 15,44 1 23 H/9 9777 24 Sindur - - 1,05 - - 0,58 2 9448 35 Meranti 25,51-0,40 0,99 6,07 3,66 3 9435 47 Meranti - - 2,92-4,07 3,11 4 9429 51 Meranti - 1,73 - - - 0,74 5 9418 62 Meranti - - 1,30 - - 0,42 6 9076 154 Meranti 16,53-2,82 4,82-1,68 7 9091 164 Mersawa - 1,76 - - - 1,54 Subtotal 42,04 3,49 8,49 5,81 10,14 11,74 1 23H/10 530 73 Meranti - - - 0,33 4,13 5,53 2 833 87 Meranti 2,94-0,38 2,20 0,36-3 839 89 Meranti - - 1,01 1,32-1,31 Subtotal 2,94 0,00 1,39 3,84 4,49 6,84 Keterangan 77

78 Lampiran 5 Perhitungan faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah Petak/Plot Pohon Kode Jenis Pohon Persentase Limbah (%) Petak Tebang TPn TPK Total Faktor Eksploitasi Keterangan 1 22 H/1 7278 5 Palapi 22,2 0 0 22,2 77,8 2 7274 9 Kapur 41,01 0 0 41,01 58,99 3 7457 28 Meranti 34,42 0 0 34,42 65,58 4 7437 32 Meranti 19,81 0 0 19,81 80,19 5 7476 33 Medang 17,16 0 0 17,16 82,84 6 7474 34 Meranti 18,5 0 0 18,5 81,5 7 7462 36 Meranti 12,18 0 0 12,18 87,82 Rata-Rata 23,61 0 0 23,61 76,39 1 22 H/2 4961 4 Meranti 32,49 0 0 32,49 67,51 2 5571 5 Meranti 33,86 8,44 0 42,29 57,71 3 5238 8 Meranti 17,53 0 0 17,53 82,47 4 4938 33 Meranti 26,84 0 0 26,84 73,16 5 5588 34 Meranti 11,35 0 0 11,35 88,65 Rata-Rata 24,41 1,69 0 26,1 73,9 1 23 G/3 12,02 3 Meranti 7,8 0 0 7,8 92,2 2 11,93 8 Meranti 24,43 0 0 24,43 75,57 3 12,29 74 Meranti 11,49 0 0 11,49 88,51 4 12,34 85 Meranti 13,54 0 0 13,54 86,46 5 12,65 100 Meranti 21,32 0 0 21,32 78,68 6 12,63 119 Meranti 32,28 0 0 32,28 67,72 78

79 Lanjutan Lampiran 5 Petak/Plot Pohon Kode Jenis Pohon Persentase Limbah (%) Petak Tebang TPn TPK Total Faktor Eksploitasi Keterangan 7 23 G/3 12.64 120 Nyatoh 11,96 0 0 11,96 88,04 8 12.642 124 Meranti 76,06 0 0 76,06 23,94 9 12.688 128 Balau 48,73 0 0 48,73 51,27 10 12.000 129 Meranti 20,98 0 0 20,98 79,02 Rata-Rata 26,59 0 0 26,59 73,14 1 23 G/4 1603 2 Meranti 22,21 0 0 22,21 77,79 2 1537 36 Balau 10,79 0 0 10,79 89,21 3 1245 59 Keruing 25,05 0 0 25,05 74,95 4 1204 76 Keruing 36,01 0 0 36,01 63,99 5 1191 97 Meranti 12 0 0 12 88 6 1209 108 Meranti 25,52 0 0 25,52 74,48 7 1210 112 Meranti 31,49 0 0 31,49 68,51 8 1208 113 Balau 26,52 0 0 26,52 73,48 9 1211 114 Meranti 23,23 0 0 23,23 76,77 10 895 122 Balau 15,17 0 0 15,17 84,83 11 866 125 Balau 28,89 0 0 28,89 71,11 12 859 130 Meranti 13,11 0 0 13,11 86,89 13 1214 153 Keruing 20,7 0 0 20,7 79,3 14 1192 154 Keruing 55,74 44,26 0 100 0 Belah 15 1566 155 Bangkirai 26,44 0 0 26,44 73,56 Rata-Rata 24,86 2,95 0 27,81 72,24 79

80 Lanjutan Lampiran 5 Petak/ Plot Pohon Kode Jenis Pohon Persentase Limbah (%) Petak Tebang TPn TPK Total Faktor Eksploitasi Keterangan 1 23 G/5 1234 5 Nyatoh 14,83 0 0 14,83 85,17 2 9882 25 Keruing 20,82 0 0 20,82 79,18 3 9869 37 Meranti 26,31 0 0 26,31 73,69 4 9870 38 Meranti 23,37 0 0 23,37 76,63 5 9864 40 Meranti 13,1 0 0 13,1 86,9 6 9861 44 Meranti 49,71 0 0 49,71 50,29 7 9859 45 Meranti 16,1 0 0 16,1 83,9 8 888 56 Keruing 15,43 0 0 15,43 84,57 9 877 58 Keruing 19,35 0 0 19,35 80,65 10 9836 75 Meranti 37,27 0 0 37,27 62,73 11 9523 91 Bangkirai 20,88 0 0 20,88 79,12 12 9515 95 Meranti 8,27 0 0 8,27 91,73 13 9510 100 Meranti 33,29 0 0 33,29 66,71 14 9507 101 Meranti 40,37 0 0 40,37 59,63 15 535 111 Keruing 40,33 0 0 40,33 59,67 16 869 112 Keruing 16,02 0 0 16,02 83,98 17 537 116 Balau 20,12 0 0 20,12 79,88 18 533 119 Meranti 33,28 0 0 33,28 66,72 19 9501 120 Meranti 35,16 0 0 35,16 64,84 20 9496 124 Keruing 21,72 0 0 21,72 78,28 21 9177 131 Meranti 5,95 0 0 5,95 94,05 80

81 Lanjutan Lampiran 5 Petak/Plot Pohon Kode Jenis Pohon Persentase Limbah (%) Petak Tebang TPn TPK Total Faktor Eksploitasi Keterangan Rata-Rata 23 G/5 24,37 0 0 24,37 75,63 1 22 H/6 2617 5 Meranti 17,57 0 0 17,57 82,43 2 2320 11 Meranti 29,39 15,2 0 44,6 55,4 3 2325 15 Meranti 14,43 0 0 14,43 85,57 4 2672 68 Mersawa 17,05 0 0 17,05 82,95 5 2955 74 Balau 21,79 0 0 21,79 78,21 6 3025 102 Meranti 8,61 10,94 0 19,8 80,2 7 2959 69 Meranti 29,33 15,93 0 45,26 54,74 Rata-Rata 19,74 6,01 0 25,79 74,21 1 23 H/7 11,872 17 Meranti 24,33 0 0 24,33 75,67 2 12,178 87 Meranti 27,17 0 0 27,17 72,83 3 12,183 89 Mersawa 16,25 0 0 16,25 83,75 4 12,187 95 Meranti 23,85 0 0 23,85 76,15 5 11,996 101 Meranti 14,46 0 0 14,46 85,54 6 12,295 109 Meranti 40,06 0 0 40,06 59,94 7 12,201 112 Meranti 12,99 0 0 12,99 87,01 8 12,292 113 Meranti 5,37 2,83 0 8,2 91,8 9 12,296 114 Meranti 17,89 0 0 17,89 82,11 Rata-Rata 20,26 0,31 0 20,58 79,42 1 23 H/8 9900 2 Meranti 27,23 0 0 27,23 72,77 81

82 Lanjutan Lampiran 5 Petak/Plot Pohon Kode Jenis Pohon Persentase Limbah (%) Petak Tebang TPn TPK Total Faktor Eksploitasi Keterangan 3 23 H/8 9893 38 Bangkirai 12,38 0 0 12,38 87,62 4 9903 45 Meranti 18,61 0 0 18,61 81,39 5 9547 48 Mersawa 13,71 0 0 13,71 86,29 6 9347 81 Meranti 16,38 0 0 16,38 83,62 7 9340 84 Bangkirai 32,74 0 0 32,74 67,26 8 9191 97 Meranti 17,27 0 0 17,27 82,73 Rata-Rata 19,79 0 0 19,79 80,21 1 23 H/9 9777 24 Sindur 15,96 0 0 15,96 84,04 2 9448 35 Meranti 66,87 0 0 66,87 33,13 3 9435 47 Meranti 15,08 0 0 15,08 84,92 4 9429 51 Meranti 17,1 0 0 17,1 82,9 5 9418 62 Meranti 18,39 0 0 18,39 81,61 6 9076 154 Meranti 55,73 0 0 55,73 44,27 7 9091 164 Mersawa 11,34 0 0 11,34 88,66 Rata-Rata 28,64 0 0 28,64 71,36 1 23 H/10 530 73 Meranti 15,91 0 0 15,91 84,09 2 833 87 Meranti 35,49 0 0 33,31 66,69 3 839 89 Meranti 35,07 0 0 35,07 64,93 Rata-Rata 28,82 0 0 28,1 71,9 Rata-rata Keseluruhan 24,11 1,1 0 25,21 74,84 82

83 Lampiran 6 Perhitungan faktor eksploitasi berdasarkan It, Is, dan Ia Petak /Plot Pohon Kode Jenis Pohon Volume Pohon yang Ditebang(m 3 ) IT IS IA FE Keterangan 1 22 H/1 7278 5 Palapi 6,15 0,78 1,00 1,00 0,7780 2 7274 9 Kapur 7,39 0,59 1,00 1,00 0,5899 3 7457 28 Meranti 22,69 0,66 1,00 1,00 0,6558 4 7437 32 Meranti 5,64 0,80 1,00 1,00 0,8019 5 7476 33 Medang 4,32 0,83 1,00 1,00 0,8284 6 7474 34 Meranti 8,42 0,81 1,00 1,00 0,8150 7 7462 36 Meranti 19,22 0,88 1,00 1,00 0,8782 Rata-Rata 10,55 0,76 1,00 1,00 0,7639 1 22 H/2 4961 4 Meranti 18,74 0,68 1,00 1,00 0,6751 2 5571 5 Meranti 22,56 0,66 0,87 1,00 0,5771 3 5238 8 Meranti 10,03 0,82 1,00 1,00 0,8247 4 4938 33 Meranti 8,94 0,83 1,00 1,00 0,7316 5 5588 34 Meranti 13,77 0,89 1,00 1,00 0,8865 Rata-Rata 14,81 0,76 0,97 1,00 0,7390 1 23 G/3 12.016 3 Meranti 20,42 0,92 1,00 1,00 0,9220 2 11.930 8 Meranti 10,48 0,76 1,00 1,00 0,7557 3 12.289 74 Meranti 9,75 0,89 1,00 1,00 0,8851 4 12.343 85 Meranti 15,88 0,86 1,00 1,00 0,8646 5 12.653 100 Meranti 6,60 0,79 1,00 1,00 0,7868 6 12.634 119 Meranti 11,59 0,68 1,00 1,00 0,6772 7 12.638 120 Nyatoh 9,05 0,88 1,00 1,00 0,8804 83

84 Lanjutan Lampiran 6 Petak /Plot Pohon Kode Jenis Pohon Volume Pohon yang Ditebang(m 3 ) IT IS IA FE Keterangan 8 23 G/3 12,642 124 Meranti 21,30 0,24 1,00 1,00 0,2394 9 12,688 128 Balau 27,52 0,51 1,00 1,00 0,5127 10 12,000 129 Meranti 18,14 0,79 1,00 1,00 0,7902 Rata-Rata 15,07 0,73 1,00 1,00 0,7314 1 23 G/4 1603 2 Meranti 21,62 0,78 1,00 1,00 0,7779 2 1537 36 Balau 9,48 0,89 1,00 1,00 0,8921 3 1245 59 Keruing 7,12 0,76 1,00 1,00 0,7562 4 1204 76 Keruing 9,11 0,64 1,00 1,00 0,6399 5 1191 97 Meranti 11,67 0,88 1,00 1,00 0,8800 6 1209 108 Meranti 7,82 0,74 1,00 1,00 0,7448 7 1210 112 Meranti 8,53 0,69 1,00 1,00 0,6851 8 1208 113 Balau 7,39 0,73 1,00 1,00 0,7348 9 1211 114 Meranti 12,09 0,77 1,00 1,00 0,7677 10 895 122 Balau 10,07 0,85 1,00 1,00 0,8483 11 866 125 Balau 26,70 0,71 1,00 1,00 0,7111 12 859 130 Meranti 9,05 0,87 1,00 1,00 0,8689 13 1214 153 Keruing 6,19 0,79 1,00 1,00 0,7930 14 1192 154 Keruing 5,57 0,44 0,00 0,00 0,0000 Belah 15 1566 155 Bangkirai 6,21 0,74 1,00 1,00 0,7356 Rata-Rata 10,57 0,75 0,93 0,93 0,7224 1 23 G/5 1234 5 Nyatoh 5,35 0,85 1,00 1,00 0,8517 84

85 Lanjutan Lampiran 6 Petak /Plot Pohon Kode Jenis Pohon Volume Pohon yang Ditebang(m 3 ) IT IS IA FE Keterangan 2 23 G/5 9882 25 Keruing 13,02 0,79 1,00 1,00 0,7918 3 9869 37 Meranti 11,11 0,74 1,00 1,00 0,7369 4 9870 38 Meranti 6,79 0,77 1,00 1,00 0,7663 5 9864 40 Meranti 18,88 0,87 1,00 1,00 0,8690 6 9861 44 Meranti 9,49 0,50 1,00 1,00 0,5029 7 9859 45 Meranti 13,99 0,84 1,00 1,00 0,8390 8 888 56 Keruing 13,86 0,85 1,00 1,00 0,8457 9 877 58 Keruing 4,23 0,81 1,00 1,00 0,8065 10 9836 75 Meranti 11,01 0,63 1,00 1,00 0,6273 11 9523 91 Bangkirai 4,67 0,79 1,00 1,00 0,7912 12 9515 95 Meranti 8,69 0,92 1,00 1,00 0,9173 13 9510 100 Meranti 6,38 0,67 1,00 1,00 0,6671 14 9507 101 Meranti 14,83 0,60 1,00 1,00 0,5963 15 535 111 Keruing 6,41 0,60 1,00 1,00 0,5967 16 869 112 Keruing 9,44 0,84 1,00 1,00 0,8398 17 537 116 Balau 15,55 0,80 1,00 1,00 0,7988 18 533 119 Meranti 6,36 0,67 1,00 1,00 0,6672 19 9501 120 Meranti 9,40 0,65 1,00 1,00 0,6484 20 9496 124 Keruing 16,26 0,78 1,00 1,00 0,7828 21 9177 131 Meranti 15,68 0,94 1,00 1,00 0,9405 Rata-Rata 10,54 0,76 1,00 1,00 0,7563 85

86 Lanjutan Lampiran 6 Petak /Plot Pohon Kode Jenis Pohon Volume Pohon yang Ditebang(m 3 ) IT IS IA FE Keterangan 1 22 H/6 2617 5 Meranti 19,97 0,82 1,00 1,00 0,8243 2 2320 11 Meranti 10,56 0,71 0,78 1,00 0,5540 3 2325 15 Meranti 11,72 0,86 1,00 1,00 0,8557 4 2672 68 Mersawa 8,60 0,83 1,00 1,00 0,8295 5 2955 74 Balau 10,28 0,78 1,00 1,00 0,7821 6 3025 102 Meranti 27,44 0,91 0,88 1,00 0,8020 7 2959 69 Meranti 14,69 0,71 0,77 1,00 0,5474 Rata-Rata 14,75 0,80 0,92 1,00 0,7421 1 23 H/7 11,872 17 Meranti 9,79 0,76 1,00 1,00 0,7567 2 12,178 87 Meranti 10,19 0,73 1,00 1,00 0,7283 3 12,183 89 Mersawa 8,90 0,84 1,00 1,00 0,8375 4 12,187 95 Meranti 7,50 0,76 1,00 1,00 0,7615 5 11,996 101 Meranti 11,69 0,86 1,00 1,00 0,8554 6 12,295 109 Meranti 9,38 0,60 1,00 1,00 0,5994 7 12,201 112 Meranti 12,64 0,87 1,00 1,00 0,8701 8 12,292 113 Meranti 13,21 0,95 0,97 1,00 0,9180 9 12,296 114 Meranti 9,85 0,82 1,00 1,00 0,8211 Rata-Rata 10,35 0,80 1,00 1,00 0,7942 1 23 H/8 9900 2 Meranti 4,88 0,73 1,00 1,00 0,7277 2 9691 37 Meranti 7,44 0,80 1,00 1,00 0,7999 3 9893 38 Bangkirai 8,16 0,88 1,00 1,00 0,8762 86

87 Lanjutan Lampiran 6 Petak /Plot Pohon Kode Jenis Pohon Volume Pohon yang Ditebang(m 3 ) IT IS IA FE Keterangan 4 23 H/8 9903 45 Meranti 4,79 0,81 1,00 1,00 0,8139 5 9547 48 Mersawa 11,52 0,86 1,00 1,00 0,8629 6 9347 81 Meranti 6,07 0,84 1,00 1,00 0,8362 7 9340 84 Bangkirai 6,04 0,67 1,00 1,00 0,6726 8 9191 97 Meranti 33,13 0,83 1,00 1,00 0,8273 Rata-Rata 10,25 0,80 1,00 1,00 0,8021 1 23 H/9 9777 24 Sindur 5,00 0,84 1,00 1,00 0,8404 2 9448 35 Meranti 42,56 0,33 1,00 1,00 0,3313 3 9435 47 Meranti 31,63 0,85 1,00 1,00 0,8492 4 9429 51 Meranti 14,49 0,83 1,00 1,00 0,8290 5 9418 62 Meranti 4,80 0,82 1,00 1,00 0,8161 6 9076 154 Meranti 31,15 0,44 1,00 1,00 0,4427 7 9091 164 Mersawa 13,59 0,89 1,00 1,00 0,8866 Rata-Rata 20,46 0,71 1,00 1,00 0,7136 1 23 H/10 530 73 Meranti 32,24 0,84 1,00 1,00 0,8409 2 833 87 Meranti 10,51 0,65 1,00 1,00 0,6669 3 839 89 Meranti 7,49 0,65 1,00 1,00 0,6493 Rata-Rata 16,74 0,71 1,00 1,00 0,7190 Rata-rata Keseluruhan 13,48 0,76 0,98 0,99 0,7484 87

88 Lampiran 7 Kerapatan kayu pada jenis kayu yang ditebang Jenis Pohon Rata-rata Kerapatan kayu (gr/cm 3 ) Tunggak Batang Cabang 1 Balau 0,80 0,77 0,78 2 Bangkirai 0,55 0,57 0,63 3 Kapur 0,60 0,59-4 Keruing 0,74 0,72 0,57 5 Medang 0,46 0,48-6 Meranti 0,49 0,45 0,57 7 Mersawa 0,60 0,50-8 Nyatoh 0,55 0,59-9 Palapi 0,71 0,75-10 Sindur 0,52 0,52 -

89 Lampiran 8 Petak kerja penelitian RKT 2011 Peta Areal Kerja PT. Indexim Utama 89 100

90 Lampiran 9 Peta areal IUPHHK-HA PT. Indexim Utama PETA AREAL PT. INDEXIM UTAMA LEGENDA : Jalan angkutan kayu : Hutan produksi terbatas : Hutan produksi : Tegakan benih : PUP Kalimantan Tengah 90