5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Deskripsi dan Analisis

PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

INDONESIA Percentage below / above median

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita atau Gross National

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

C UN MURNI Tahun

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL

Tingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat: Perbandingan Antar Propinsi

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

2. TINJAUAN PUSTAKA. Kapasitas Fiskal. Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal

Profil Keaksaraan: Hasil Sensus Penduduk 2010

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Indonesia Economy : Challenge and Opportunity

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

BERITA RESMI STATISTIK

KESEHATAN ANAK. Website:

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. utama pembangunan. Salah satu target dari Millenium Development Goals

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI PAPUA 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2016

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

Disabilitas. Website:

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Perolehan suara PN, PA, dan PC menurut nasional pada pemilu 2004 dan 2009

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BERITA RESMI STATISTIK

V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Iva Prasetyo Kusumaning Ayu, FE UI, 2010.

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN APRIL 2016

FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL. Website:

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

Transkripsi:

86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan data dari 23 provinsi penelitian periode 2006-2011. Rentang waktu tersebut dipilih karena hasil analisis deskriptif ini akan menjadi dasar simulasi kebijakan historis yang menggunakan rentang waktu 2006-2011. Sedangkan data tahun 2005 digunakan sebagai data variabel lag tahun 2006. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya masalah dalam teknis pemrograman yaitu ketidaksesuaian objek observasi (provinsi) antara current data dan lag data yang terjadi pada data panel. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengkaji pertumbuhan beberapa variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan termasuk variavel-variabel dengan satuan nilai rupiah. Oleh karena itu, agar terbanding antar waktu maka analisis deskriptif ini menggunakan variabel-variabel riil yaitu hasil konversi variabel-variabel nominal dengan IHK provinsi tahun dasar 2007. Pendapatan Daerah Profil Kinerja Fiskal Daerah Profil kinerja fiskal daerah dapat ditinjau dari sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah diperoleh dari sumber daya keuangan lokal dan transfer dari pemerintah pusat. Pada umumnya, sumber daya keuangan lokal dicerminkan oleh PAD, namun sumber daya keuangan lokal pada penelitian ini dicerminkan oleh kapasitas fiskal yaitu jumlah PAD dan dana bagi hasil. Alasannya adalah dana bagi hasil bersumber dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam yang masing-masing mencerminkan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah. Selain itu, kapasitas fiskal adalah salah satu alokator pengurang dalam formula DAU dimana daerahdaerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar akan menerima DAU lebih kecil. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal yang lebih besar dapat menurunkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU. Analisis deskriptif terhadap beberapa komponen penting pendapatan daerah selama periode 2006-2011 yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan rendahnya komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian selama tahun 2006-2011 yaitu rata-rata hanya 7.4% per tahun. Hal ini menyebabkan rendahnya komposisi PAD dengan rata-rata 11.6% per tahun. Demikian juga, komposisi bagi hasil pajak sangat rendah dengan rata-rata hanya 6.7% per tahun. Rendahnya PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal dengan ratarata 22.7% per tahun. Sesuai formula alokasi DAU dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan menerima DAU lebih besar maka rata-rata komposisi kapasitas fiskal yang rendah menyebabkan tingginya komposisi DAU yaitu ratarata 60.1% per tahun. Perkembangan pendapatan daerah di provinsi pertanian mengindikasikan perlunya peningkatan kapasitas fiskal dengan melakukan upayaupaya untuk mendorong pendapatan pajak daerah dan bagi hasil pajak. Sementara itu, komposisi pajak daerah di provinsi non-pertanian rata-rata 13.9% atau hampir dua kali lipat dari komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian. Hal

87 ini menyebabkan komposisi PAD cukup besar dengan rata-rata 19.7% per tahun. Komposisi bagi hasil pajak juga lebih besar dibandingkan provinsi pertanian dengan rata-rata 9.9% per tahun. Komposisi PAD dan bagi hasil pajak yang besar menyebabkan komposisi kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian lebih besar yaitu rata-rata 44.8% per tahun. Sementara rata-rata komposisi DAU 41.7% per tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja pendapatan fiskal daerah-daerah di provinsi non-pertanian lebih baik dari pada provinsi pertanian. Hal ini berarti provinsi dengan struktur ekonomi didominasi sektor-sektor nonpertanian cenderung lebih mampu membiayai pembangunan daerahnya dengan dana yang diperoleh dari sumber daya lokal. Tabel 9 Rata-rata Komposisi Pendapatan Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi Pajak Daerah Bagi Hasil PAD Pajak Kapasitas Fiskal DAU NAD 3.5 6.9 5.7 25.8 43.1 Sumut 13.2 17.2 8.7 26.1 58.0 Sumbar 7.8 13.0 5.0 18.3 64.8 Jambi 8.2 12.6 11.0 36.2 51.3 Lampung 9.6 13.1 5.7 23.0 60.4 NTB 6.6 11.8 5.5 19.9 64.9 NTT 2.6 7.2 4.8 12.1 70.3 Kalbar 6.9 10.7 6.3 18.1 66.6 Kalteng 4.7 8.3 7.4 20.1 66.5 Kalsel 11.1 16.7 7.6 37.3 47.7 Sulteng 4.9 8.0 5.5 13.9 68.6 Sulsel 9.5 14.2 7.1 22.1 58.8 Rata-rata 7.4 11.6 6.7 22.7 60.1 Riau 7.6 14.1 10.8 79.8 14.4 Sumsel 8.9 12.6 12.3 48.1 41.2 Kepri 13.9 18.0 13.0 66.7 24.6 Jabar 17.9 24.3 10.5 36.7 47.5 Jateng 11.9 19.8 6.4 26.4 58.3 DIY 13.5 20.9 5.6 26.6 57.1 Jatim 15.5 23.0 9.0 32.9 52.8 Banten 24.2 30.3 14.2 44.5 41.2 Bali 25.1 31.7 6.5 38.3 46.0 Kaltim 7.6 13.3 15.6 78.1 10.6 Sulut 6.4 9.2 4.9 14.7 64.5 Rata-rata 13.9 19.7 9.9 44.8 41.7 Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Selain komposisi pendapatan daerah, kinerja pendapatan daerah dapat juga ditinjau dari pertumbuhannya. Tabel 10 menunjukkan rata-rata pajak daerah di provinsi pertanian tahun 2006-2011 tumbuh 15.1% per tahun. Namun, hal ini tidak sejalan dengan pertumbuhan PAD yang rendah yaitu 12.6% per tahun. Sedangkan, bagi hasil pajak hanya tumbuh rata-rata 1.0% per tahun. Rendahnya pertumbuhan PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal dengan rata-rata 8.4% per tahun.

88 Tabel 10 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi Pajak Daerah PAD Bagi Hasil Kapasitas Pajak Fiskal DAU NAD 8.3 5.8 3.3-3.2 4.0 Sumut 13.0 13.5 0.3 8.9 3.4 Sumbar 10.7 9.7 0.0 6.9 1.4 Jambi 15.5 13.5-4.5 7.7 2.8 Lampung 12.2 10.9 2.8 5.6 3.0 NTB 13.8 18.0 8.2 13.1 2.4 NTT 11.9 6.8 1.1 4.5 2.7 Kalbar 18.6 15.5 2.0 10.8 0.8 Kalteng 26.0 16.9 1.8 13.5 1.1 Kalsel 19.9 14.4-6.2 16.2-0.3 Sulteng 17.7 15.2 2.7 10.0 2.1 Sulsel 14.1 10.7-0.2 6.6 1.2 Rata-rata 2006-2011 15.1 12.6 1.0 8.4 2.1 2006-2007 10.2 10.1 7.3 9.1 5.4 2007-2008 21.6 14.6-5.0 5.2-1.6 2008-2009 -8.0-4.2 1.1-2.0-1.0 2009-2010 19.2 13.6 10.6 11.4-0.9 2010-2011 32.7 28.6 9.3 18.3 8.3 Riau 14.3 10.0-4.6 1.1 18.4 Sumsel 16.3 14.2 1.3 9.1 3.5 Kepri 15.3 13.9 5.0 10.1 9.3 Jabar 14.8 13.6 3.7 10.5 6.4 Jateng 11.0 9.2 3.2 8.1 0.6 DIY 10.0 9.3 5.4 8.4-0.3 Jatim 13.3 13.3 3.2 10.9 1.0 Banten 19.2 17.5 2.3 12.4 6.0 Bali 18.6 17.7 5.9 15.4 0.8 Kaltim 27.6 18.5-16.4 6.3 13.6 Sulut 17.1 14.1 8.0 12.2 6.6 Rata-rata 2006-2011 16.2 13.7 1.5 9.5 6.0 2006-2007 11.5 11.8 5.5 2.2 14.1 2007-2008 20.4 15.6 2.3 16.5-7.3 2008-2009 -3.3 0.8 1.9-2.3 1.4 2009-2010 16.0 12.1 13.9 21.1-9.3 2010-2011 36.1 28.4-15.8 10.0 31.1 Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Meskipun komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi non-pertanian hampir dua kali lipat dari komposisi di provinsi pertanian tetapi pertumbuhannya hanya sedikit lebih besar dengan rata-rata 16.2% per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan PAD di provinsi non-pertanian juga hanya sedikit lebih besar dari provinsi pertanian dengan rata-rata 13.7% per tahun. Sementara itu, meskipun pertumbuhan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian yaitu rata-rata 1.5% per tahun, tetapi pada tahun 2011 terjadi

89 pertumbuhan negatif bagi hasil pajak yaitu minus 15.8%, sementara di provinsi pertanian mencapai 9.3% per tahun. Berkurangnya penerimaan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal tahun 2011 yang hanya 10.0%, sementara di provinsi pertanian mencapai 18.3%. Pertumbuhan kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian yang cenderung berkurang menyebabkan naiknya pertumbuhan DAU bahkan mencapai 31.1% pada tahun 2011. Perkembangan pertumbuhan pendapatan fiskal di provinsi pertanian yang menunjukkan perbaikan kapasitas fiskal disebabkan oleh pertumbuhan bagi hasil pajak yang cenderung meningkat, sebaliknya di provinsi non-pertanian cenderung berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi non-pertanian perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan bagi hasil pajak terutama dari pajakpajak penghasilan. Pengeluaran Daerah Tabel 11 Rata-rata Komposisi Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi Belanja Pertanian Belanja Perindustrian Belanja Perdagangan Belanja Infrastruktur P NAD 3.1 0.7 0.1 15.7 Sumut 2.6 0.4 0.4 13.7 Sumbar 2.7 0.2 0.4 13.7 Jambi 4.0 0.3 0.3 20.8 Lampung 2.5 0.2 0.4 15.3 NTB 3.0 0.2 0.3 10.6 NTT 4.0 0.3 0.3 13.1 Kalbar 3.3 0.1 0.3 19.0 Kalteng 3.5 0.3 0.5 23.8 Kalsel 3.0 0.2 0.5 17.3 Sulteng 3.6 0.3 0.4 15.4 Sulsel 2.9 0.4 0.2 13.6 Rata-rata 3.2 0.3 0.3 16.0 Riau 3.1 0.2 0.7 19.5 Sumsel 2.7 0.1 0.4 24.2 Kepri 1.0 0.3 0.3 16.0 Jabar 1.8 0.3 0.2 11.0 Jateng 2.1 0.4 0.6 9.5 DIY 2.0 0.0 0.6 8.2 Jatim 2.1 0.4 0.3 11.1 Banten 1.2 0.3 0.2 15.6 Bali 2.3 0.4 0.1 9.7 Kaltim 2.0 0.2 0.4 24.8 Sulut 3.2 0.2 0.5 14.2 Rata-rata 2.1 0.3 0.4 14.9 Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Meskipun pendapatan khususnya dari sumber daya lokal cukup tinggi tetapi belum tentu diikuti kinerja perekonomian yang lebih baik dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Oleh karena itu, analisis kinerja fiskal perlu dilakukan juga

90 pada sisi pengeluaran karena merupakan faktor penting yang dapat mendorong perekonomian daerah. Tabel 11 menunjukkan komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian rata-rata 3.2% per tahun atau lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian yang hanya 2.1% per tahun. Komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian yang lebih besar tentu saja terjadi karena struktur ekonominya didominasi oleh sektor pertanian. Namun, komposisi belanja pertanian tergolong rendah sehingga perlu ditingkatkan untuk mempercepat laju pertumbuhan sektor pertanian mengingat sektor tersebut mampu menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sementara itu, Tabel 11 juga menunjukkan komposisi belanja perindustrian dan perdagangan sangat rendah baik di provinsi pertanian maupun provinsi non-pertanian. Hasil analisis deskriptif pada komposisi belanja sektoral mengindikasikan tingginya kapasitas fiskal di provinsi nonpertanian tidak serta merta dialokasikan lebih besar pada belanja pertanian. Padahal data empiris menunjukkan tingginya jumlah tenaga kerja dan penduduk miskin di sektor pertanian. Selama periode 2006-2011, sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja rata-rata 34.7% per provinsi per tahun, sementara headcount index pertanian rata-rata 19.0% per provinsi per tahun. Hal ini menjadi indikasi bahwa meskipun sektor pertanian bukan sektor andalan perekonomian provinsi non-pertanian namun pembangunan pertanian di provinsi tersebut sangat penting mengingat jumlah penduduk miskin mayoritas hidup dari sektor tersebut. Selain komposisi belanja daerah, kinerja pengeluaran fiskal daerah perlu ditinjau dari pertumbuhan belanja daerah. Tabel 12 menunjukkan pertumbuhan belanja pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi nonpertanian. Bahkan pada tahun 2011 pertumbuhan di provinsi pertanian cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu rata-rata 24.9% sementara di provinsi non-pertanian rata-rata hanya 3.4%. Sementara itu, pertumbuhan belanja perdagangan sangat tinggi terutama di provinsi pertanian yang mencapai rata-rata 179.7% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian lebih rendah dengan rata-rata 53.8% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian mencapai 412.5% per tahun, sementara di provinsi pertanian rata-rata 22.7% per tahun. Salah satu strategi pertumbuhan pro-poor adalah pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, profil belanja infrastruktur juga penting untuk dikaji. Tabel 12 menunjukkan meskipun belanja infrastruktur di provinsi pertanian tumbuh 6.4% per tahun namun cenderung berkurang bahkan minus 3.2% pada tahun 2011. Dengan kondisi infrastruktur yang buruk pembangunan infrastruktur di provinsi pertanian hendaknya diprioritaskan. Provinsi pertanian sesungguhnya berpeluang meningkatkan belanja infrastruktur dari DAU dimana komposisinya mendominasi total pendapatan daerah. Pertumbuhan belanja infrastruktur yang rendah sementara ketergantungan pada DAU tinggi yang umumnya terjadi di provinsi pertanian menunjukkan strategi pembangunan daerah kurang tepat dalam mengalokasikan DAU terutama yang memberi dampak besar dalam menurunkan kemiskinan. Dengan perkataan lain, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja-belanja yang tidak berdampak besar menurunkan kemiskinan khususunya untuk pembangunan pertanian dan infrastruktur. Untuk itu, perbaikan kelembagaan terutama di provinsi pertanian perlu dilakukan agar para elit politik di badan legislatif daerah lebih memprioritaskan pembangunan yang berdampak besar menurunkan kemiskinan daerah.

91 Tabel 12 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan P Belanja infrastruktur Belanja Total NAD 12.8 44.3 8.5 22.8 8.5 Sumut 6.8 5.7 22.5 7.4 9.1 Sumbar 6.7 20.3 30.8 1.7 6.2 Jambi 15.1 25.2 39.9 8.4 7.4 Lampung 15.1 100.0 84.7 0.7 8.0 NTB 14.2-3.1 52.5 15.6 8.4 NTT 4.7 12.0 1692.3 6.1 7.4 Kalbar 15.2 26.8 134.9 4.0 6.4 Kalteng 9.7 23.3 6.3-4.5 4.2 Kalsel 19.5 13.8 46.3 7.3 7.9 Sulteng 9.5 13.2 14.9 2.9 7.9 Sulsel 5.5-9.6 22.6 4.6 7.0 Rata-rata 2006-2011 11.2 22.7 179.7 6.4 7.4 2006-2007 49.7 103.9 865.4 33.7 18.5 2007-2008 -2.3 13.9-11.6 10.9 5.5 2008-2009 -14.1-13.8 3.9-5.5 4.1 2009-2010 -2.0 9.6 8.7-3.8 2.0 2010-2011 24.9-0.3 32.0-3.2 6.7 Riau 7.8 115.1 52.4 9.3 1.8 Sumsel 21.6 81.5 49.1-1.4 8.4 Kepri 14.2 51.2 115.5 26.8 16.7 Jabar 9.0 61.1 71.8 8.2 11.5 Jateng 9.0 91.4 44.5 0.1 7.9 DIY -4.7 15.1 43.4 19.9 6.2 Jatim 7.4 96.7 37.0 0.6 7.8 Banten 3.3 3940.1 95.7-4.5 9.0 Bali 12.4-7.1-8.5-1.5 7.4 Kaltim 7.8 54.6 65.5-0.6 3.9 Sulut 12.2 37.9 25.1 14.7 11.3 Rata-rata 2006-2011 9.1 412.5 53.8 6.5 8.3 2006-2007 52.6 2006.1 247.0 22.0 19.4 2007-2008 -7.2 6.9-14.7 17.2 3.0 2008-2009 -8.7 23.1 19.1-2.1 7.2 2009-2010 5.4-16.9 19.0-5.8 4.7 2010-2011 3.4 43.2-1.5 1.2 7.3 Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Kemandirian Fiskal Tingginya belanja daerah yang tidak diimbangi kemampuan PAD yang cukup yang banyak terjadi di provinsi pertanian menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian fiskal. Tabel 13 menunjukkan tingkat kemandirian fiskal di provinsi pertanian selama periode 2006-2011 rata-rata hanya 12.0% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian rata-rata 20.5% per tahun. Jika mengacu pada kriteria

92 Balitbang Depdagri dan UGM (1991) kinerja fiskal provinsi pertanian tergolong kurang mandiri, sedangkan provinsi pertanian tergolong cukup mandiri. Secara rata-rata provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki kemandirian fiskal paling rendah yaitu 6.9% yang berarti peran PAD dalam membiayai belanja daerah di seluruh wilayah di provinsi NAD hanya 6.9%. Sementara provinsi Bali memiliki kemandirian fiskal paling tinggi yaitu 33.4%. Kondisi ini sejalan dengan fakta yang menunjukkan pengumpulan PAD di provinsi NAD paling rendah, sementara di provinsi Bali paling tinggi. Selain itu, pertumbuhan belanja daerah di provinsi NAD lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan belanja daerah seluruh provinsi penelitian, sementara pertumbuhan belanja daerah di provinsi Bali lebih rendah. Rendahnya tingkat kemandirian fiskal daerah di provinsi pertanian mendukung fakta tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU. Tabel 13 Perkembangan Kemandirian Fiskal Daerah, 2006-2011 (%) Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata 1 NAD 7.6 7.1 7.4 6.4 6.4 6.7 6.9 2 Sumut 18.7 15.8 17.8 15.3 17.8 21.9 17.9 3 Sumbar 13.5 12.7 13.2 12.2 13.3 15.8 13.5 4 Jambi 13.2 11.7 13.2 10.9 12.7 16.5 13.0 5 Lampung 12.9 11.4 13.8 12.6 14.3 14.5 13.3 6 NTB 11.2 10.3 11.4 11.6 11.6 16.4 12.1 7 NTT 7.9 7.0 7.1 6.9 7.2 7.7 7.3 8 Kalbar 10.0 10.3 10.3 9.8 11.1 14.6 11.0 9 Kalteng 7.3 7.3 8.1 7.6 9.0 12.7 8.6 10 Kalsel 17.3 16.4 18.3 15.0 17.0 22.5 17.7 11 Sulteng 7.3 6.7 7.9 7.8 9.2 10.1 8.2 12 Sulsel 14.3 13.9 13.7 13.5 15.2 16.8 14.6 Rata-rata 11.8 10.9 11.9 10.8 12.1 14.7 12.0 13 Riau 12.9 12.6 16.2 13.2 12.7 17.8 14.2 14 Sumsel 12.4 10.6 12.5 12.5 13.9 15.8 13.0 15 Kepri 19.6 17.4 21.4 16.1 16.4 18.6 18.2 16 Jabar 26.1 23.1 24.6 22.8 25.2 28.5 25.0 17 Jateng 20.7 19.0 19.1 20.4 21.7 22.1 20.5 18 DIY 21.0 21.0 19.4 21.3 22.0 24.6 21.6 19 Jatim 23.0 22.2 22.8 22.4 23.8 29.3 23.9 20 Banten 28.4 29.3 30.5 29.3 32.2 39.9 31.6 21 Bali 28.3 27.3 33.2 31.9 35.8 43.9 33.4 22 Kaltim 11.8 10.3 13.0 13.8 15.3 22.1 14.4 23 Sulut 9.1 8.9 10.5 8.7 9.4 10.5 9.5 Rata-rata 19.4 18.3 20.3 19.3 20.8 24.8 20.5 Sumber: Kemenkeu RI., data diolah

93 PDRB dan Tenaga Kerja Profil Perekonomian Daerah Kinerja perekonomian daerah seringkali digambarkan dengan PDRB dan tenaga kerja. Tabel 14 menunjukkan share PDRB dan tenaga kerja pertanian dan industri di provinsi pertanian tahun 2006-2011 berkurang, sebaliknya share PDRB dan tenaga kerja perdagangan meningkat. Hal ini mengindikasikan pergeseran struktur ekonomi provinsi pertanian dari sektor tradisional yaitu pertanian ke sektor modern terutama perdagangan. Hal serupa terjadi di provinsi non- pertanian kecuali share tenaga kerja industri yang meningkat meskipun share PDRB industri turun. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja industri di provinsi non-pertanian cenderung berkurang padahal sektor tersebut merupakan sektor yang mendominasi struktur ekonomi provinsi non-pertanian. Rendahnya produktivitas tenaga kerja industri selanjutnya akan berdampak menurunkan upah riil yang diterima tenaga kerja industri sehingga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin industri. Tabel 14 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 (%) Pertanian Industri Perdagangan Tahun Tenaga Tenaga Tenaga PDRB PDRB PDRB Kerja Kerja Kerja 2006 30.0 56.5 11.6 6.2 15.8 15.3 2007 29.5 54.7 11.5 6.4 15.8 16.0 2008 29.2 54.4 11.3 6.2 16.0 16.0 2009 28.9 53.1 11.2 6.1 16.2 16.2 2010 28.3 51.9 11.0 6.0 16.6 16.2 2011 28.0 49.7 10.7 6.1 17.0 16.7 Rata-rata 29.0 53.4 11.2 6.1 16.3 16.1 2006 14.8 38.0 29.4 12.8 17.0 20.2 2007 14.6 36.3 28.5 13.0 17.5 21.0 2008 14.2 35.6 28.0 13.2 17.7 21.2 2009 14.4 34.8 27.2 13.1 18.4 21.5 2010 14.2 33.0 26.5 14.2 18.8 21.6 2011 13.8 30.3 26.1 14.1 18.9 22.7 Rata-rata 14.3 34.7 27.6 13.4 18.0 21.4 Sumber: BPS, data diolah Rata-rata share PDRB dan serapan tenaga kerja per tahun pada Gambar 32 menunjukkan tingginya peran tenaga kerja dalam menghasilkan output PDRB pertanian dimana tambahan 2% serapan tenaga kerja pertanian akan menghasilkan 1% share PDRB pertanian. Sebaliknya peran tenaga kerja pada PDRB industri hanya sekitar 0.5% untuk menambah 1% share PDRB industri. Hal ini berarti tenaga kerja memberi peran lebih besar dalam menciptakan nilai tambah produk pertanian dibandingkan produk industri. Rendahnya peran tenaga kerja pada sektor industri dapat terjadi karena faktor kapital dimana salah satunya adalah

94 belanja perindustrian lebih berperan dalam meningkatkan PDRB industri. Sementara itu, peran tenaga kerja pada sektor perdagangan relatif memberi hasil yang sepadan terutama di provinsi pertanian. Dinamika ketiga sektor tersebut mengindikasikan struktur perekonomian daerah mulai beralih ke sektor jasa-jasa terutama perdagangan. Dengan perkataan lain, struktur perekonomian daerah mulai meninggalkan sektor-sektor riil namun kemampuannya dalam menyerap tenga kerja masih tinggi terutama di sektor pertanian. Tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sementara share PDRB pertanian rendah bahkan cenderung turun harus diatasi dengan mempercepat laju pertumbuhan pertanian. 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 29,0 14,3 22,0 11,2 27,6 19,1 16,3 18,0 17,1 0,0 Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Perdagangan Share PDRB Provinsi Pertanian Share PDRB Seluruh Provinsi Pertanian Share PDRB Provinsi Non-Pertanian 60,0 50,0 53,4 44,4 40,0 34,7 30,0 20,0 10,0 6,1 13,4 9,6 16,1 21,4 18,6 0,0 Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Perdagangan Serapan Tenaga Kerja Provinsi Pertanian Serapan Tenaga Kerja Provinsi Non-Pertanian Serapan Tenaga Kerja Seluruh Provinsi Non-Pertanian Gambar 32. Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 (%) Perbandingan antar provinsi pada Tabel 15 menunjukkan rata-rata share PDRB pertanian di provinsi pertanian sebesar 29.0%, sementara di provinsi nonpertanian sekitar setengahnya yaitu 14.3%. Provinsi-provinsi Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung tercatat memiliki share PDRB pertanian paling besar. Sementara, perekonomian provinsi non-pertanian didominasi sektor industri dengan rata-rata share PDRB industri 27.6% per tahun. Provinsi-provinsi

95 dengan share PDRB industri antara lain Banten, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat. Sementara itu, share PDRB perdagangan relatif merata antar provinsi dengan ratarata per tahun di provinsi pertanian 16.3% dan di provinsi non-pertanian 18.0%. Provinsi Bali tercatat memiliki share tertinggi dengan rata-rata 29.2% per tahun. yang bersumber dari subsektor hotel dan restoran sebagai penunjang pariwisata yang merupakan sektor unggulan di provinsi tersebut. Sedangkan, Kalimantan Timur memiliki share PDRB perdagangan paling rendah yaitu 7.1% per tahun. Tabel 15 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 (%) Provinsi Pertanian Industri Perdagangan PDRB TK PDRB TK PDRB TK 1 NAD 27.0 49.4 10.6 4.6 14.1 15.7 2 Sumut 22.7 47.0 23.9 7.8 19.1 19.7 3 Sumbar 24.3 44.9 11.8 6.9 17.6 20.3 4 Jambi 27.3 56.3 11.4 3.7 14.8 15.6 5 Lampung 37.5 55.7 14.2 8.5 14.7 15.8 6 NTB 22.0 46.1 3.4 10.0 12.7 17.9 7 NTT 39.4 68.4 1.6 7.1 16.3 6.5 8 Kalbar 25.8 62.4 19.0 4.3 22.4 13.3 9 Kalteng 30.5 58.9 8.1 3.5 19.8 13.2 10 Kalsel 22.0 43.0 10.2 7.4 15.0 22.1 11 Sulteng 41.4 59.3 7.4 4.0 11.9 13.7 12 Sulsel 28.2 49.0 12.8 5.8 16.6 19.2 Rata-rata 29.0 53.4 11.2 6.1 16.3 16.1 13 Riau 20.1 48.5 19.3 5.8 8.0 18.0 14 Sumsel 17.6 60.1 22.6 4.8 12.3 14.0 15 Kepri 4.9 14.4 47.2 27.1 19.9 22.0 16 Jabar 11.9 24.7 41.6 18.7 20.9 25.5 17 Jateng 19.9 36.6 33.1 17.6 19.6 21.4 18 DIY 15.1 30.0 13.7 12.9 19.5 24.6 19 Jatim 16.3 43.1 28.2 13.2 28.6 20.1 20 Banten 7.8 19.4 50.9 21.9 17.4 25.5 21 Bali 18.9 32.9 9.2 13.7 29.2 24.3 22 Kaltim 5.6 33.4 29.7 6.3 7.1 21.4 23 Sulut 19.6 38.2 8.2 5.5 16.1 18.1 Rata-rata 14.3 34.7 27.6 13.4 18.0 21.4 Sumber: BPS, data diolah Tabel 16 menunjukkan rata-rata pertumbuhan pertahun PDRB pertanian di provinsi pertanian selama tahun 2006-2011 lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Sebaliknya, pertumbuhan PDRB industri di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi non-pertanian. Sedangkan, PDRB perdagangan tumbuh paling tinggi dibandingkan PDRB pertanian dan PDRB indsutri namun pertumbuhannya di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-

96 pertanian. Namun, pertumbuhan PDRB yang tinggi tidak selalu diikuti PDRB per kapita yang tinggi. Provinsi non-pertanian memiliki rata-rata pertumbuhan PDRB pertanian 5.6% per tahun atau lebih tinggi dari provinsi pertanian dengan rata-rata 5.2% per tahun. Tetapi, PDRB pertanian per kapita provinsi non-pertanian ratarata 2.9 juta rupiah atau lebih rendah dari provinsi pertanian dengan rata-rata 3.2 juta rupiah. Sebaliknya, provinsi pertanian dengan rata-rata pertumbuhan PDRB industri lebih tinggi memiliki PDRB industri per kapita lebih rendah. Tabel 16 Rata-rata PDRB Riil 1 per kapita Sektoral (Juta Rp) dan Pertumbuhannya per tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Pertanian Industri Perdagangan Total Provinsi Per Per Per Per Growth Growth Growth kapita kapita kapita kapita Growth 1 NAD 4.4-1.2 1.7-8.7 2.3 3.9 16.2-2.7 2 Sumut 3.6 7.0 3.7 4.1 3.0 7.1 15.7 6.9 3 Sumbar 3.4 4.0 1.7 5.5 2.5 6.8 14.1 5.5 4 Jambi 3.6 12.6 1.5 8.5 2.0 9.1 13.2 11.1 5 Lampung 3.5 11.9 1.4 18.4 1.4 13.4 9.4 12.5 6 NTB 1.7 3.8 0.3 5.1 1.0 8.1 7.7 3.7 7 NTT 1.8 2.1 0.1 0.9 0.7 5.6 4.5 4.0 8 Kalbar 2.6 2.9 1.9 2.0 2.3 4.4 10.2 4.0 9 Kalteng 4.3 3.5 1.1 4.9 2.8 10.8 14.2 7.8 10 Kalsel 2.7 4.2 1.3 1.5 1.9 7.2 12.6 6.5 11 Sulteng 4.4 6.0 0.8 9.1 1.3 9.7 10.6 9.9 12 Sulsel 2.8 6.0 1.3 7.7 1.7 12.6 10.1 9.9 Rata-rata 3.2 5.2 1.4 4.9 1.9 8.2 11.5 6.6 13 Riau 9.1 9.1 8.8 12.3 3.7 21.0 45.5 12.4 14 Sumsel 2.9 5.9 3.8 4.3 2.1 9.7 16.8 6.8 15 Kepri 1.9 3.5 18.6 3.6 7.8 4.5 39.5 4.5 16 Jabar 1.7 7.6 5.8 1.9 3.0 9.7 14.1 6.0 17 Jateng 2.1 4.6 3.5 6.4 2.1 6.1 10.7 6.0 18 DIY 1.6 3.2 1.4 5.7 2.0 5.8 10.4 4.9 19 Jatim 2.6 4.4 4.5 5.1 4.6 8.8 16.1 6.7 20 Banten 1.0 6.4 6.6 1.7 2.3 8.8 13.0 4.7 21 Bali 2.6 3.7 1.3 6.9 4.1 8.9 13.8 7.1 22 Kaltim 4.4 7.1 23.3-1.3 5.5 10.4 78.3 6.8 23 Sulut 2.4 6.3 1.0 5.4 2.0 9.8 12.3 7.8 Rata-rata 2.9 5.6 7.2 4.7 3.6 9.4 24.6 6.7 Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)

97 Produktivitas Tenaga Kerja Meskipun sektor pertanian mendominasi PDRB di provinsi pertanian tetapi produktivitasnya lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Tabel 17 menunjukkan rata-rata produktivitas tenaga kerja pertanian yang diukur dari PDRB pertanian yang dihasilkan setiap tenaga kerja pertanian sebesar 14.2 juta rupiah per tahun di provinsi pertanian, sementara di provinsi non-pertanian sebesar 19.8 juta rupiah per tahun. Hal ini dapat terjadi karena total PDRB pertanian di provinsi pertanian lebih rendah atau jumlah tenaga kerja pertanian lebih banyak. Walaupun jumlah tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian lebih sedikit dibandingkan provinsi non-pertanian tetapi sharenya yang lebih besar mengindikasikan PDRB yang dihasilkan sektor pertanian di provinsi pertanian relatif lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian khususnya di provinsi pertanian perlu ditingkatkan dengan menambah modal dari belanja pertanian. Tabel 17 Rata-rata Produktivitas Riil 1 Tenaga Kerja Sektoral per Tahun, menurut Provinsi, 2006-2011 (Juta Rp) Provinsi Pertanian Industri Perdagangan 1 NAD 22.0 94.3 36.3 2 Sumut 17.8 112.4 35.5 3 Sumbar 18.2 57.4 28.9 4 Jambi 14.5 92.2 28.1 5 Lampung 14.3 35.3 19.7 6 NTB 8.4 6.0 12.5 7 NTT 5.6 2.2 24.7 8 Kalbar 9.2 98.2 37.4 9 Kalteng 16.1 73.5 46.9 10 Kalsel 13.1 36.3 17.8 11 Sulteng 16.5 44.5 20.5 12 Sulsel 14.9 57.8 22.5 Rata-rata 14.2 59.2 27.6 PROVINSI NON-PERTANIAN 13 Riau 50.1 403.5 53.3 14 Sumsel 10.9 174.1 32.7 15 Kepri 30.4 158.0 80.6 16 Jabar 17.4 79.3 29.3 17 Jateng 11.9 41.2 20.0 18 DIY 10.0 21.1 15.6 19 Jatim 11.9 67.1 44.7 20 Banten 14.2 81.1 23.3 21 Bali 14.0 16.2 29.0 22 Kaltim 32.0 892.6 62.2 23 Sulut 15.4 44.8 26.6 Rata-rata 19.8 179.9 37.9 Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)

98 Upah Riil Tenaga Kerja Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian berdampak pada rendahnya upah riil. Tabel 18 menunjukkan rata-rata upah riil pertanian di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Kondisi ini terkait dengan produktivitas tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian yang lebih rendah. Bahkan, pertumbuhan upah pertanian di provinsi non-pertanian lebih besar. Upah riil pertanian merupakan yang paling rendah di antara ketiga sektor dimana upah di provinsi pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi non-pertanian. Sementara rata-rata upah riil industri dan perdagangan di provinsi pertanian relatif sama. Sedangkan, upah riil industri di provinsi non-pertanian paling tinggi. Perbandingan antar provinsi menunjukkan upah riil pertanian tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Timur. Upah riil industri tertinggi di provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Sedangkan upah riil perdagangan tertinggi di provinsi Kepulauan Riau. Seluruh provinsi dengan rata-rata upah riil tertinggi tersebut merupakan provinsi non-pertanian. Tabel 18 Rata-rata Upah Riil 1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) menurut Provinsi, 2006-2011 Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Upah Growth Upah Growth Upah Growth 1 NAD 705 2.5 891-0.9 878-2.9 2 Sumut 725 0.2 934-1.7 899-0.9 3 Sumbar 599 5.7 722 6.5 845 2.2 4 Jambi 686 3.2 943-2.5 713-1.1 5 Lampung 453 3.8 599 5.7 635-3.9 6 NTB 353 10.5 459 8.4 675 2.4 7 NTT 355 7.8 562-3.7 581 2.0 8 Kalbar 762 0.5 907 2.1 767 0.4 9 Kalteng 805 5.7 852 6.1 802 14.4 10 Kalsel 653 4.9 822 12.5 743 1.9 11 Sulteng 564 6.2 606 22.9 706-4.4 12 Sulsel 483-0.1 708-5.8 771-4.1 Rata-rata 595 4.2 750 4.1 751 0.5 13 Riau 860 0.1 1 205 1.6 897 0.8 14 Sumsel 641 9.5 909 3.4 870 1.4 15 Kepri 841 7.7 1 700 7.8 1 178 3.4 16 Jabar 374 3.8 928 3.0 907-1.0 17 Jateng 359 3.4 569 3.3 622 3.3 18 DIY 409 7.0 697 0.2 718 4.6 19 Jatim 342 3.8 735-1.3 729 3.2 20 Banten 520 13.1 1 122 1.3 1 107 5.1 21 Bali 527 5.4 718 4.5 1 003 6.0 22 Kaltim 1 189 0.3 1 672 7.0 1 047 3.2 23 Sulut 607 6.6 825 4.9 906 0.5 Rata-rata 606 5.5 1 007 3.2 908 2.8 Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)

99 Pengeluaran per Kapita Konsep kemiskinan di Indonesia adalah konsep moneter dengan pendekatan pendapatan penduduk. Namun, data kemiskinan yang dihitung BPS menggunakan indikator pengeluaran per kapita dari hasil SUSENAS. Menurut Ravallion (1995) pengeluaran konsumsi per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun keduanya berasal dari sumber data yang sama. Oleh karena itu, pengukuran tingkat kemiskinan sektoral pada penelitian ini juga menggunakan indikator pengeluaran per kapita. Tabel 19 menunjukkan rata-rata pengeluaran per kapita sektoral sejalan dengan upah riil sektoral dimana sektor pertanian memiliki rata-rata paling kecil dan ppengeluaran per kapita provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Besaran upah riil menunjukkan bahwa upah yang diterima hanya mampu memenuhi konsumsi 2-3 anggota rumahtangga yang dapat terjadi karena perbedaan bobot konsumsi setiap anggota rumahtangg. Hal ini juga mengindikasikan ada sumber pendapatan lain dari pekerjaan tambahan kepala rumahtangga di sektor lain atau pekerjaan anggota rumahtangga lainnya. Tabel 19 Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil 1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) Menurut Provinsi, 2006-2011 Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Konsumsi Growth Konsumsi Growth Konsumsi Growth 1 NAD 288 6.3 366 7.2 437 7.3 2 Sumut 291 8.0 361 8.7 451 8.9 3 Sumbar 294 8.5 382 8.7 454 11.3 4 Jambi 316 8.7 344 13.3 424 11.3 5 Lampung 237 6.7 298 4.4 376 13.8 6 NTB 222 6.3 246 7.6 344 8.0 7 NTT 169 6.1 242 5.5 348 6.6 8 Kalbar 272 7.7 365 24.1 464 15.8 9 Kalteng 321 11.6 388 13.4 445 10.0 10 Kalsel 308 9.8 373 8.3 474 11.0 11 Sulteng 252 9.9 298 11.2 410 17.7 12 Sulsel 219 8.3 321 9.8 414 11.7 Rata-rata 266 8.2 332 10.2 420 11.1 13 Riau 387 7.4 454 14.4 563 8.4 14 Sumsel 283 9.8 356 8.9 415 10.0 15 Kepri 425 9.4 651 13.3 641 11.1 16 Jabar 255 5.9 401 9.7 388 9.8 17 Jateng 229 7.2 294 6.8 340 10.5 18 DIY 258 5.5 376 1.8 448 12.0 19 Jatim 228 6.7 347 13.6 368 10.3 20 Banten 248 5.5 485 8.9 489 10.1 21 Bali 328 8.3 417 12.8 552 13.8 22 Kaltim 355 4.7 666 22.4 627 12.5 23 Sulut 287 8.5 343 11.1 444 12.1 Rata-rata 299 7.2 435 11.3 479 11.0 Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)

100 Profil Kemiskinan Sektoral Daerah Indeks Gini Tabel 20 Perkembangan Indeks Gini Provinsi, 2006-2011 Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Ratarata Perubahan per tahun 1 NAD 0.28 0.27 0.27 0.29 0.30 0.33 0.29 0.011 2 Sumut 0.30 0.31 0.31 0.32 0.35 0.35 0.32 0.010 3 Sumbar 0.33 0.31 0.29 0.30 0.33 0.35 0.32 0.004 5 Jambi 0.31 0.31 0.28 0.27 0.30 0.34 0.30 0.006 7 Lampung 0.31 0.39 0.35 0.35 0.36 0.37 0.36 0.012 15 NTB 0.37 0.33 0.33 0.35 0.40 0.36 0.36-0.002 16 NTT 0.37 0.35 0.34 0.36 0.38 0.36 0.36-0.002 17 Kalbar 0.27 0.31 0.31 0.32 0.37 0.40 0.33 0.026 18 Kalteng 0.21 0.30 0.29 0.29 0.30 0.34 0.29 0.026 19 Kalsel 0.33 0.34 0.33 0.35 0.37 0.37 0.35 0.008 22 Sulteng 0.37 0.32 0.33 0.34 0.37 0.38 0.34 0.002 23 Sulsel 0.36 0.37 0.36 0.39 0.40 0.41 0.38 0.010 Rata-rata 0.32 0.33 0.32 0.33 0.35 0.36 0.33 0.009 PROVINSI NON-PERTANIAN 4 Riau 0.31 0.32 0.31 0.33 0.33 0.36 0.33 0.010 6 Sumsel 0.28 0.32 0.30 0.31 0.34 0.34 0.32 0.012 8 Kepri 0.33 0.30 0.30 0.29 0.29 0.32 0.31-0.002 9 Jabar 0.35 0.34 0.35 0.36 0.36 0.41 0.36 0.012 10 Jateng 0.31 0.33 0.31 0.32 0.34 0.38 0.33 0.014 11 DIY 0.39 0.37 0.36 0.38 0.41 0.40 0.39 0.002 12 Jatim 0.30 0.34 0.33 0.33 0.34 0.37 0.34 0.014 13 Banten 0.33 0.37 0.34 0.37 0.42 0.40 0.37 0.014 14 Bali 0.35 0.33 0.30 0.31 0.37 0.41 0.35 0.012 20 Kaltim 0.30 0.33 0.34 0.38 0.37 0.38 0.35 0.016 21 Sulut 0.36 0.32 0.28 0.31 0.37 0.39 0.35 0.006 Rata-rata 0.33 0.33 0.32 0.34 0.36 0.38 0.34 0.010 Sumber: BPS Sebagai ukuran ketimpangan pendapatan, Indeks Gini selama tahun 2006-2011 cenderung meningkat bahkan peningkatan dan rata-rata Indeks Gini provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian (Tabel 20). Hal ini sesuai hipotesis Kuznets dimana perekonomian tradisional yang didominasi sektor pertanian memiliki ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, ratarata Indeks Gini provinsi non-pertanian yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan penduduk provinsi non-pertanian lebih tidak merata. Jika meningkatnya Indeks Gini dikaitkan dengan pertumbuhan PDRB perdagangan yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan PDRB pertanian dan pertumbuhan PDRB industri terutama di provinsi non-pertanian, maka kondisi ini menunjukkan adanya trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di provinsi-

101 provinsi dengan struktur ekonomi didominasi oleh sektor jasa. Hal ini juga sesuai dengan asumsi hipotesis Kuznets yaitu kesenjangan pendapatan akan meningkat ketika perekonomian mulai beralih dari sektor tradisional ke sektor modern. Dalam kontek pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka kenaikan Indeks Gini ini mengindikasikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh penduduk kaya. Sementara itu, perbandingan antar provinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tinggi, sedangkan distribusi pendapatan di NAD dan Kalimantan Tengah paling merata. Headcount Index Sektoral Tabel 21 Perkembangan Headcount Index Sektoral, 2006-2011 Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Total HCI HCI HCI HCI 1 NAD 33.3-3.5 25.0-3.8 10.7-2.6 23.5-1.7 2 Sumut 16.5-0.6 12.2-0.8 7.4-1.0 12.6-0.7 3 Sumbar 17.0-1.2 11.0-1.3 7.6-1.6 10.5-0.7 5 Jambi 9.9-0.8 10.5-2.3 11.9-1.4 9.5-0.5 7 Lampung 23.7-1.1 20.1 0.3 11.8-1.5 20.3-1.2 15 NTB 26.8-0.9 19.3-0.5 14.6 0.2 23.3-1.5 16 NTT 31.1-1.2 19.0-0.4 13.1-2.8 25.0-1.6 17 Kalbar 11.7-1.1 10.4-0.4 6.3-0.3 11.0-1.3 18 Kalteng 11.0-0.8 8.1 2.3 4.7 0.1 8.2-0.9 19 Kalsel 9.0-0.2 6.6 0.4 3.8-0.5 6.2-0.6 22 Sulteng 26.0-2.7 23.8-3.2 13.2-1.4 19.9-1.6 23 Sulsel 16.0 0.2 10.9 0.2 4.7-0.8 12.7-0.9 Rata-rata 19.3-1.2 14.7-0.8 9.1-1.1 15.2-1.1 4 Riau 13.1-1.1 11.4-0.9 6.5-1.1 10.0-0.7 6 Sumsel 18.5-1.3 15.2-3.4 12.9-1.1 17.3-1.4 8 Kepri 15.3-4.5 8.3-0.7 9.5 1.5 9.2-1.0 9 Jabar 20.8 0.3 12.6-0.6 9.8-0.9 12.5-0.8 10 Jateng 24.8-0.4 15.3-0.4 12.1-0.4 18.6-1.3 11 DIY 31.1 0.8 14.9-2.7 12.3-1.9 17.8-0.6 12 Jatim 26.1-1.9 12.3-1.1 9.4-1.4 17.6-1.4 13 Banten 17.5-0.9 3.2-0.5 6.5-1.1 8.0-0.7 14 Bali 8.7 0.4 5.2-0.4 1.9-0.1 5.7-0.6 20 Kaltim 19.1-1.4 8.8-2.1 4.6-1.3 9.0-0.9 21 Sulut 13.7-0.4 11.2 1.4 5.1-0.5 10.1-0.6 Rata-rata 19.0-1.0 10.8-1.0 8.2-0.7 12.4-0.9 Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Headcount index (HCI) atau sering dinotasikan dengan P 0 adalah indikator kemiskinan yang merupakan persentase penduduk miskin. Perbandingan antar tiga sektor ekonomi pada Tabel 21 menunjukkan sektor pertanian memiliki HCI paling tinggi dibandingkan sektor industri dan sektor perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dari pada HCI pertanian di provinsi non-pertanian dengan rata-rata 19.3% dan 19.0%. Semetnara rata-rata HCI industri di provinsi pertanian dan provinsi nonpertanian 14.7% dan 10.8%. Sementara itu, HCI perdagangan paling kecil dengan

102 rata-rata 9.1% di provinsi pertanian dan 8.2% di provinsi non-pertanian. HCI pertanian yang tinggi memberi kontribusi paling besar pada toal HCI yang berarti jumlah penduduk miskin paling banyak di sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga pertanian yang lebih rendah dibandingkan industri dan perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI sektoral provinsi pertanian lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian. namun, meskipun HCI provinsi pertanian lebih besar tetapi laju penurunannya lebih cepat dibandingkan provinsi non-pertanian terutama di sektor pertanian dan perdagangan (Gambar 12). Dengan demikian, strategi percepatan pengentasan kemiskinan harus difokuskan pada sektor pertanian. Oleh karena itu, meskipun HCI provinsi non-pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi pertanian tetapi jumlah penduduk miskin provinsi non-pertanian yang lebih besar dapat menjadi alasan agar pemerintah daerah di wilayah provinsi non-pertanian lebih memprioritaskan percepatan penurunan kemiskinan penduduk di sektor pertanian. 25,0 20,0 19,3 19,0 15,0 10,0 14,7 10,8 9,1 8,2 15,2 12,4 5,0 0,0 HCI Pertanian HCI Industri HCI Perdagangan HCI Total 0,0-0,2-0,4-0,6-0,8-1,0-1,2-1,4-1,2-0,8-1,0-1,0-0,7-1,1-1,1-0,9 Provinsi Pertanian Provinsi Non-Pertanian Gambar 33. Rata-rata Headcount Index (%) dan Perubahannya per Tahun (persen poin), 2006-2011

103 Proporsi Penduduk Miskin Rumahtangga Pertanian Pada bagian terdahulu telah ditunjukkan bahwa rumah tangga pertanian memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi dengan headcount index yang paling besar dibandingkan headcount index industri dan headcount index perdagangan. Selain itu, proporsi penduduk miskin dapat menunjukkan perbandingan tingkat kemiskinan antar sektor. Tabel 22 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia selama periode 20006-2011 paling banyak berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya cenderung meningkat. Rata-rata proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi pertanian naik dari 62.2% menjadi 64.5% atau ratarata 0.5 persen poin per tahun, dan di provinsi non-pertanian naik dari 48.6% menjadi 49.7% atau rata-rata 0.2 persen poin per tahun. Proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian (disingkat menjadi penduduk miskin pertanian) yang tinggi dan meningkat sementara Indeks Gini meningkat mengindikasikan dampak kebijakan-kebijakan pemerintah daerah lebih menguntungkan penduduk miskin di sektor-sektor non-pertanian. Ini berarti, strategi pengentasan kemiskinan oleh pemerintah daerah tidak memihak penduduk miskin pertanian. Tabel 22 Perkembangan Proporsi Penduduk Miskin Pertanian, 2006-2011 (%) Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Perubahan per tahun (% poin) 1 NAD 64.4 61.1 50.8 59.1 62.9 57.8-1.3 2 Sumut 53.9 51.3 49.4 50.0 56.5 61.6 1.6 3 Sumbar 57.4 57.9 59.7 53.7 64.0 70.3 2.6 4 Jambi 58.8 50.3 48.1 46.1 44.0 63.2 0.9 5 Lampung 60.4 65.0 60.1 62.0 66.7 64.4 0.8 6 NTB 54.2 43.6 55.0 55.1 54.8 56.9 0.5 7 NTT 78.2 76.1 84.0 82.1 80.0 78.7 0.1 8 Kalbar 66.2 59.2 58.6 65.4 69.2 61.7-0.9 9 Kalteng 75.6 61.5 74.0 66.4 70.5 73.2-0.5 10 Kalsel 45.9 49.3 45.8 45.3 52.5 61.5 3.1 11 Sulteng 73.3 69.4 63.4 67.3 68.1 65.7-1.5 12 Sulsel 58.3 56.0 62.4 62.5 66.3 59.2 0.2 Rata-rata 62.2 58.4 59.3 59.6 63.0 64.5 0.5 13 Riau 59.1 49.3 50.7 41.3 58.4 63.9 1.0 14 Sumsel 57.5 60.7 53.3 60.6 53.2 60.8 0.7 15 Kepri 35.5 16.9 20.6 12.6 43.4 9.5-5.2 16 Jabar 33.9 38.1 39.9 37.8 38.4 41.5 1.5 17 Jateng 48.6 50.8 51.8 50.5 53.0 50.9 0.5 18 DIY 48.3 43.6 50.1 47.3 50.3 54.5 1.2 19 Jatim 56.7 55.9 54.8 57.4 58.3 60.5 0.8 20 Banten 39.0 43.8 42.6 39.0 47.0 40.7 0.3 21 Bali 42.6 50.0 55.8 51.1 54.9 49.1 1.3 22 Kaltim 43.6 47.3 49.1 38.4 64.3 58.0 2.9 23 Sulut 70.4 62.8 41.5 44.4 47.4 57.7-2.5 Rata-rata 48.6 47.2 46.4 43.7 51.7 49.7 0.2 Sumber: BPS, data diolah

104 Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Tabel 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, 2006-2011 Provinsi Komposisi DAU (%) Pertumbuhan PDRB Riil 1 Indeks Gini (%) Perubahan HCI (% poin) Distribusi Penduduk Miskin Pertanian (%) 1 NAD 43.1-2.7 0.29-1.7 59.3 2 Sumut 58.0 6.9 0.32-0.7 53.8 3 Sumbar 64.8 5.5 0.32-0.7 60.5 4 Jambi 51.3 11.1 0.30-0.5 51.8 5 Lampung 60.4 12.5 0.36-1.2 63.1 6 NTB 64.9 3.7 0.36-1.5 53.3 7 NTT 70.3 4.0 0.36-1.6 79.9 8 Kalbar 66.6 4.0 0.33-1.3 63.4 9 Kalteng 66.5 7.8 0.29-0.9 70.2 10 Kalsel 47.7 6.5 0.35-0.6 50.0 11 Sulteng 68.6 9.9 0.34-1.6 67.9 12 Sulsel 58.8 9.9 0.38-0.9 60.8 Rata-rata 60.1 6.6 0.33-1.1 61.2 13 Riau 14.4 12.4 0.33-0.7 53.8 14 Sumsel 41.2 6.8 0.32-1.4 57.7 15 Kepri 24.6 4.5 0.31-1.0 23.1 16 Jabar 47.5 6.0 0.36-0.8 38.2 17 Jateng 58.3 6.0 0.33-1.3 51.0 18 DIY 57.1 4.9 0.39-0.6 49.0 19 Jatim 52.8 6.7 0.34-1.4 57.3 20 Banten 41.2 4.7 0.37-0.7 42.0 21 Bali 46.0 7.1 0.35-0.6 50.6 22 Kaltim 10.6 6.8 0.35-0.9 50.1 23 Sulut 64.5 7.8 0.35-0.6 54.0 Rata-rata 41.7 6.7 0.34-0.9 47.9 Sumber: BPS dan Kemenkeu R.I., data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100) Perkembangan fiskal, perekonomian, dan kemiskinan provinsi selama tahun 2006-2011 menunjukkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU yang tinggi terutama di provinsi pertanian tidak diikuti laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 23 dimana provinsi pertanian dengan keuangan daerah mayoritas bersumber dari DAU yaitu rata-rata 60.1% memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 6.6% per tahun. NTT dengan komposisi DAU paling besar yaitu 70.3% memiliki pertumbuhan PDRB paling kecil yaitu 4.0%. Sebaliknya, provinsi non-pertanian dengan komposisi DAU lebih rendah yaitu rata-rat 41.7% memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan rata-rata 6.7% per tahun. Artinya, dapat dindikasikan bahwa laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat lebih dipengaruhi oleh peran kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, peran pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan berkurang akibat ketimpangan pendapatan meningkat. Pertumbuhan ekonomi provinsi non-pertanian sebesar

105 6.7% per tahun yang disertai Indeks Gini 0.34 hanya mengurangi headcount index rata-rata 0.9 persen poin per tahun. Sementara, pertumbuhan provinsi pertanian rata-rata 6.6% per tahun yang disertai Indeks Gini 0.33 dapat mengurangi headcount index rata-rata 1.1 persen poin per tahun. Selain itu, penduduk miskin sebagian besar di sektor pertanian bahkan proporsinya meningkat.terciptanya pertumbuhan ekonomi daerah disertai meningkatnya ketimpangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin pretanian menjadi indikasi laju penurunan kemiskinan di sektor pertanian yang melambat disebabkan oleh kebijakan fiskal daerah yang kurang tepat karena lebih memihak sektor-sektor non-pertanian.