B A B I P E N D A H U L U A N

dokumen-dokumen yang mirip
B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

B A B I P E N D A H U L U A N. banyak negara, definisi tentang masyarakat asli, adat, tradisional atau lokal cukup

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

D A F T A R R E F E R E N S I

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. orang lain baik dalam ranah kebendaan, kebudayaan, ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi rakyat Indonesia guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

BAB I PENDAHULUAN. keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang sedang berperkara

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet. 9, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 358.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga, dipelihara, dan

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. saseorang pasti mendapatkan sesuatu, baik dalam bentuk uang maupun barang

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan segala aktifitasnya berada diatas tanah.

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia memerlukan tangan ataupun

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB I PENDAHULAN. seseorang adalah hal penting yang kadang lebih utama dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. kreditnya, sebab kredit adalah salah satu portofolio alokasi dana bank yang terbesar

BAB 4 PENERAPAN UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan suatu. dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat.

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya, matipun manusia masih memerlukan tanah. berbagai persoalan dibidang pertanahan khususnya dalam hal kepemilikan

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang satu ke orang lain.tanah sebagai benda yang bersifat permanen tetap, banyak

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah. Tujuan dari Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa membuat nasi sendiri, memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

PENERAPAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DALAM PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : H. Sarwohadi, SH, MH (Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dapat diartikan. dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, Aditya Bakti, 2001), hlm Ibid., hlm

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Transkripsi:

1 B A B I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Bangunan, yakni dalam pendekatan disiplin rekayasa konstruksi, oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Geduang ( UU Bangunan Gedung ) 1, dalam Pasal 1 ayat 1, dikonsepsikan sebagai Bangunan Gedung, yang teridentifikasikan sebagai : Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Pengikatan jaminan bangunan gedung secara fidusia menurut asas yang dianut oleh hukum tanah nasional, yaitu asas pemisahan horisontal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ( UU Hak Tanggungan ), diungkapkan dalam penjelasan umumnya pada angka 6 paragraf ke-1, bahwa : 2 Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut, Hukum Tanah Nasional menggunakan juga asas pemisahan horizontal. Dalam rangka asas pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hakhak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. 1 Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, UU No. 28 Th. 2002, LN No. 134, Th. 2002. TLN No. 4247. 2 Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU No.4, Th. 1996, LN No. 42, Th. 1996. TLN No. 3632.

2 Penegasan secara yuridisnya oleh penjelasan umum angka 2 paragraf ke-2 dan ke- 3 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ( UU Jaminan Fidusia ) melandasi konsepsi identifikasi penjaminan bangunan secara fidusia : 3 Selama ini, kegiatan pinjam meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari pasal 51 Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan dewasa ini adalah Gadai, Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia. Undangundang yang berkaitan dengan Jaminan Fidusia adalah pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Bangunan Gedung yang dibangun dan didirikan diatas sebidang tanah atau lahan, berdasarkan asas pemisahan horizontal, tanahnya dapat hak milik orang lain, dengan didasari oleh persetujuan sang pemilik tanah, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA ) 4 penjelasannya mengungkapkan : dan peraturan pelaksanaannya, Pasal 24 UUPA dan Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Bentuk-bentuk hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah misalnya: sewa, bagihasil, pakai atau hak guna-bangunan. Selaras dengan pemikiran Pasal 24 UUPA. Terhadap Bangunan Gedung, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung ( PP Bangunan Gedung ) 5, menetapkan di dalam Pasal 11 beseta penjelasan Pasalnya, bahwa status hak atas tanah dari suatu bangunan gedung wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut : 3 Indonesia, Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, UU No. 42 Th. 1999, LN No. 168 Th. 1999. TLN No. 3889. Pasal 41. 4 Lihat Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Th. 1960, LN No. 104, Th. 1960. TLN No. 2043. UUPA berlaku sejak tanggal 24 September 1960. 5 Lihat Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, PP No.36, Th. 2006, LN No.83, Th. 2005, TLN No. 4532.

3 1) setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain. ( Status hak atas tanah merupakan tanda bukti kepemilikan tanah yang dapat berupa sertifikat hak atas tanah, akte jual beli, girik, petuk, dan/atau bukti kepemilikan tanah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Dalam mengajukan permohona izin mendirikan bangunan gedung, status hak atas tanahnya harus dilengkapi dengan gambar yang jelas mengenai lokasi tanah bersangkutan yang memuat ukuran dan batas-batas persil ). 2 ) dalam hal tanahnya milik pihak lain, bangunan gedung hanya dapat didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung. ( Perjanjian tertulis ini menjadi pegangan dan harus ditaati oleh kedua belah pihak sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum perjanjian ) 3) perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit hak dan kewajiban para pihak, luas, letak, dan batas-batas tanah, serta fungsi bangunan gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah. Menurut hukum perjanjian Indonesia, yang merupakan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, yang hingga kini tetap berlaku, berdasarkan asas konkordansi dan unifikasi hukum, dengan diatur oleh buku ketiga Kitab Undang- Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ) 6. Di dalam Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata, diterangkan bahwa, perjanjian dapat timbul karena hukum atau karena perbuatan manusia, yang ditujukan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dalam kerangka tersebut, KUH Perdata telah mengatur prinsip-prinsip perjanjian yang timbul karena hukum, sebagai perjanjian bernama (benoemde overeenkomsten). Diluar pengaturan oleh KUH Perdata, ilmu hukum mengenal perjanjian yang tidak bernama (onbenoemde overeenkomsten). Terwujudnya perjanjian pemakaian tanah yang dimaksud adalah untuk berdirinya suatu bangunan gedung. Kemudian, setelah dibangun, oleh karena kehendak bisnis pemiliknya, sebagai harta kekayaan (kebendaan), dan bangunan tersebut teleh memiliki nilai komersial, maka dijaminkan olehnya, secara fidusia. Mengingat pengikatan jaminan fidusia adalah suatu perjanjian tambahan atau ikutan (accessoir), yang timbul dengan adanya suatu landasan/dasar, 6 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek) [dengan tambahan Undang- Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan]. Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, cetakan ke-23, Jakarta : Predya Paramita, 1990.

4 bilamana suatu perjanjian mewajibkan adanya pelaksanaan jaminan kebendaan, dimana perjanjian tersebut adalah perjanjian pokok yang mengikat secara konstruksi hukum (obligatoir). Perjanjian ini secara umum diatur oleh Pasal 1754 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1773 KUH Perdata (perjanjian ini merupakan perjanjian bernama, yaitu perjanjian pinjam meminjam), bila transaksinya dengan lembaga keuangan atau pembiayaan, disebut secara khusus, sebagai perjanjian kredit. Diluar dari pengaturan KUH Perdata, perjanjian tersebut merupakan suatu perjanjian tidak bernama, terwujudkan dengan asas kebebasan berkontrak. Secara asas atau prinsip, Pasal 1320 KUH Perdata memberikan pedomannya, sebagai kebebasan berkontrak bagi para pihak, sepanjang kesepakatan yang dibuat didalamnya mengikat bagi para pihak memenuhi syarat subyektif dan obyektif, berlaku sebagai hukum bagi mereka yang membuat dan dalam pelaksanaannya, hal ini diungkapkan oleh Pasal 1338 KUH Perdata. Kebebasan ini, dibatasi oleh apa-apa saja yang ditetapkan di dalam Pasal 1337 dan 1339 KUH Perdata, yaitu sebab dari perjanjian tersebut harus selaras dengan hukum, yakni sebab yang selaras dengan kesusilaan atau ketertiban umum, dan menurut sifatnya perjanjian, dituntut juga mengikat keadilan, kebiasaan, atau undang-undang (hukum), selain daripada adanya suatu kesepakatan para pihak. Kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian yang dibuat, baik itu dibawah tangan atau secara otentik dihadapan Notaris yang berwenang, untuk mewujudkan sekian banyak hubungan hukum bagi para pihak yang terlibat didalamnya, biasanya mencantumkan mekanisme penyelesaian sengketa. Pilihannya adalah antara penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Apabila di pilih melalui pengadilan, berarti penyelesaian sengketanya diatur dan tunduk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ( UU Kekuasaan Kehakiman ) 7 dan Undang-Undang nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum ( UU Peradilan Umum ) 8. Apabila dipilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan, berarti diselesaikan menurut Undang- 7 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48, Th. 2009, LN No. 157, Th. 2009. TLN No. 5076. 8 Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Umum, UU No. 2 Th. 1986, LN No. 20 Th. 1986. TLN No. 3327. jo. UU No. 8 Th. 2004, LN No. 35 Th. 2004. TLN No. 4368. jo. UU No. 49 Th. 2009, LN No. 158 Th. 2009 TLN No. 5077.

5 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ( UU Arbitrase dan APS ) 9. Berturut-turut bunyi dari Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (1) UU Arbitrase dan APS di bawah ini, menegaskan kompetensi (kewenangan) antara lembaga penyelesaian melalui pengadilan atau diluar pengadilan, yaitu dalam hal ini, mediasi yang merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa, dijelaskan dengan: Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa menjadi sangat krusial dan menentukan, bahwasanya setiap perjanjian tidaklah luput dari perselisihan, yang membuat pihak-pihak yang terikat didalamnya berperkara. Pemicu yang kerapkali tidak terelakkan, biasanya perbedaan penafsiran, benturan kepentingan, ketidakselarasan praktek bisnis maupun ketidakseimbangan hak-hak dengan kewajiban-kewajiban. Mediasi menjadi sesuatu yang sangat signifikan, apalagi Mahkamah Agung, mengundangkan peraturan khusus yang mengaturnya, yang didasari dengan pemikiran yuridis, bahwa untuk menghindari perkara yang menumpuk pada lembaga peradilan dan memberikan kepastian hukum, dengan menyediakan mediasi sebagai suatu kewajiban bagi pihak-pihak yang menjalani perkara, baik pihak yang terkait langsung, maupun terhadap pihak yang tidak terkait secara langsung, yaitu terhadap hakim dan institusi peradilan itu sendiri untuk menyelenggarakannya. Perauran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ( Perma Mediasi ) 10, di dalam Pasal 2 dan 4 9 Indonesia, Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No.30 Tah. 1999, LN No. 138, Th. 1999. TLN No. 3872. 10 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma No. 1 Th. 2008, (berlaku tanggl 31 Juli 2008).

6 berturut-turut menjelaskan ruang lingkup dan kekuatan berlaku Perma Mediasi ini dan jenis perkara yang di mediasikan, yakni : (1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. (2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini. (3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. (4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Perma Mediasi, menyatakan Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 juncto 10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan ( PBI Mediasi Perbankan ) 12 menguraikan mediasi dalam Pasal 1 ayat 5. Yang dikatakannya sebagai, proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaikan dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Ketika perdamaian tercapai dalam kerangka mediasi yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, Perma Mediasi menyatakan bahwa jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator 13, dan PBI Mediasi Perbankan menyatakan bahwa kesepakatan antara nasabah atau perwakilan nasabah dengan bank yang dihasilkan 11 Ibid, Pasal 1 ayat 7. 12 Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Tentang Mediasi Perbankan, PBI No. 8/5/PBI/2006 Th. 2006, LN No. 7, Th. 2006. TLN No. 4601, Jo. PBI No. 10/1/PBI/2008, LN No. 10 Th. 2008, TLN No. 4808. 13 Op cit, Pasal 17 ayat 1.

7 dari proses mediasi dituangkan dalam akta kesepakatan yang ditandatangani oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank. 14 Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank yang telah disepakati dan dituangkan dalamm akta kesepakatan. 15 Uraian yang berlandaskan konstruksi yuridis di atas telah membawa kepada sudatu pemahaman, bahwa penyelesaian sengketa/perselisihan dengan jalan mediasi yang ditempuh, dalam pengertian hukum yang bersumber pada UU Arbitrase dan APS, dan PBI Mediasi Perbankan, adalah setiap perselisihan yang dapat timbul dari sebab apapun juga, diselesaikan dengan mengedepankan untuk memilih secara tegas mediasi sebagai media jalan keluarnya, mengeyampingkan metode penyelesaian yang diketahui secara konvensional, yaitu berperkara di hadapan majelis arbiter/arbitrator di arbitrase atau dihadapan majelis hakim di pengadilan. Berbeda dengan Perma Mediasi, bahwa setiap orang yang berperkara dan hakim yang akan menjalankan persidangan di Pengadilan, wajib mendahulukan mediasi, dan Perma Mediasi adalah suatu alat paksa untuk mendamaikan dan menghindari menumpuknya perkara. Walaupun tujuan peraturan hukum tersebut, sama-sama menjunjung tinggi perdamaian atas kesepakatn yang bermartabat dan melindungi harga diri masing-masing pihak, sehingga terpenuhi keinginan dan kepentingannya. Karena dengan mediasi, suatu perselisihan tidak akan menghabiskan banyak waktu maupun biaya, tidak melibatkan prosedur tertentu dalam berperkara serta terjaga kerahasiaan yang melingkupi perselisihannya (termasuk kepada pencitraan maupun nama baik pihak-pihak yang berselisihan). Peraturan hukum yang mengatur mediasi, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam penjaminan bangunan gedung secara fidusia, adalah antara bank dalam kedudukannya selaku kreditor dengan pemilik bangunan, sekaligus juga debitor yang mendirikan dan membangun bangunan gedung, yang telah menjadikan bangunan miliknya sebagai obyek jaminan. Persoalannya, PBI Mediasi Perbankan, dalam mewujudkan akta mediasi yang dibuat antara bank 14 Op cit, Pasal 12. 15 Ibid, Pasal 13.

8 dengan nasabahnya, tidak dijelaskan, apakah wajib dituangkan dalam suatu akta otentik atau dibawah tangan. Meskipun pedoman asas-asas perdamaian diuraikan dalam Pasal-Pasal dalam KUH Perdata yaitu dari 1851 sampai dengan 1864. Pembuktian dengan tulisan yang diatur oleh KUH Perdata dalam buku keempat (Pembuktian dan Kadaluwarsa), bab kedua, yaitu dimulai dari Pasal 1867 dan berakhir di Pasal 1894, mendudukan akta otentik sebagai suatu alat pembuktian yang sempurna, untuk meneguhkan suatu hak dan atau peristiwa bagi orang-orang yang berkepentingan maupun para ahli warisnya, dibandingkan dengan akta di bawah tangan, yang dalam suatu pembuktian, adalah dengan cara wajib mengakui atau memungkiri tulisan atau tanda tangan secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya,bagi mereka cukuplah dengan menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Tetapi, syarat mutlak, suatu akta otentik adalah wajib dibuat dihadapan seorang Notaris, pejabat umum yang tunduk diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( UUJN ) 16, yang mengakui dan menempatkan kedudukannya sebagai pejabat yang imparsial (tidak berpihak) dan cakap secara profesi (profesional). Sehingga dalam membuat akta mediasi yang bersumber kepada perselisihan atas penjaminan bangunan gedung secara fidusia, pihak yang berselisih dihadapkan kepada pilihan untuk membuat kesepakatan damai antara akta dibawah tangan atau otentik. 1.2. Pokok-Pokok Permasalahan Atas dasar pemaparan yang melatar belakanginya diatas, penulisan tesis hukum ini berjudul PEMBUATAN AKTA MEDIASI DARI PERSOALAN PERSELISIHAN PENJAMINAN BANGUNAN SECARA FIDUSIA. Setelah pemaparan dalam latar belakang, pokok-pokok masalahnya teridentifikasi dengan dibatasi pada: 16 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU No. 30 Th. 2004, LN No. 117, Th. 2004. TLN No. 4432.

9 1. Bagaimana PBI Mediasi Perbankan sebagai suatu lex speciali derogate legi lex generali dari UU Arbitrase dan APS, dan Perma Mediasi, mewujudkan dan mengakomodasikan suatu akta mediasi yang dituangkan dengan kesepakatan perdamaian bagi mereka yang berselisih dari adanya persoalan perselisihan penjaminan bangunan secara fidusia? 2. Bagaimana UU Jabatan Notaris mengatur pembuatan akta mediasi secara notariil, yang dibuat dihadapan seorang Notaris yang berwenang, mengenai kesepakatan perdamaian dalam menyelesaikan persoalan perselisihan atas penjaminan bangunan secara fidusia? 1.3. Metode Penelitian Tesis ini merupakan penelitian normatif-yuridis, yakni sebagai suatu sarana untuk mengembangkan pembuatan akta otentik yang merupakan kewenangan Notaris. Penerapannya ialah kaidah hukum penyerahan hak milik secara fidusia (jaminan fidusia) dan asas hukum mediasi dalam kerangka alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui mediasi dalam tulisan ini dengan akta perdamaian. Ruang lingkupnya merupakan hukum jabatan Notaris, hukum jaminan, hukum alternatif penyelesaian sengketa khususnya tentang mediasi. Penelitian terhadap data sekunder di bidang hukum sebagai teknik pengumpulan data, yang merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu, berupa data-data: 17 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat di Indonesia, dan terdiri dari: a) Norma atau kaidah dasar, yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; b) Peraturan dasar, yakni Batang Tubuh Undang-Undang dasar 1945 dan perubahannya dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Peraturan perundang-undangan, meliputi: i. Undang-Undang dan peraturan yang setaraf, ii. Peraturan Pemerintah dan peraturan yang 17 Soenaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 150-151.

10 setaraf, iii. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, dan iv. Peraturan Menteri dan peraturan yang setaraf; d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat; e) Yurisprudensi; f) Traktak atau Perjanjian Internasional, dan; g) Bahan hukum dari masa Hindia Belanda yang hingga kini msaih berlaku. 2. Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum. 3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti misalnya, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif. Penelitian ini didasari atas sistematika hukum positif atau sistematika peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu proses penelaahan (analisis) dari pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Setelah dilakukan analisa, maka konstruksi dilaksanakan dengan cara memasukan aturan-aturan hukum tertentu, ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum. 18 Alat pengumpulan data adalah studi dokumen atau bahan pustaka, kemudian pengolahan, analisa dan konstruksi datanya dilakukan secara kualitatif, yaitu tujuannya tidak semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut yang melatarbelakanginya. 19 Tipe penelitian yang dipilih yaitu problem identification yaitu identifikasi yang terdapat dalam rumusan pokok permasalahan, yang kemudian ditelusuri dengan jalan preskriptif-eksplanatoris, yakni pengujian hipotesa-hipotesa dalam ilmu dan pengetahuan hukum, dalam rangka penilaian kembali peraturan perundang-undangan yang ada sehingga dapat ditemukan suatu 18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 62-80. 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Press, 1986), hal. 66-68.

11 jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan dengan cara memberikan rekomendasi ilmiah. 20 1.4. Sistematika Penulisan Penulisan Tesis ini terbagi tiga bab, secara sistematis adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN ; pada bab ini menguraikan mengenai alasanalasan serta pemaparan yang melatarbelakangi permasalahan yang disesuaikan dengan judul penelitian, kemudian pentingnya identifikasi yang merupakan pembatasan masalah yang diajukan, diuraikan pula metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II MEDIASI PENJAMINAN BANGUNAN SECARA FIDUSIA (TEORI DAN KONSEPSIONAL) ; pada bab ini menguraikan teori dan konsepsional berkenaan metode penyelesaian sengketa, dengan fokusnya meruncing kepada mediasi, juga mengenai fidusia dan penjaminan bangunan sebagai objek persoalan untuk kemudian dapat diformulasikan penyelesaiannya dengan jalan mediasi dan penuangnya ke dalam kesepakatan akta mediasi. BAB II AKTA MEDIASI YANG MENYELESAIKAN PERSOALAN PERSELISIHAN PENJAMINAN BANGUNAN SECARA FIDUSIA (ANALISA DAN PEMBAHASAN); pada bab ini memberikan penguraian hukum positif mengenai mediasi dan proses penuangkan kedalam akta Notaris, spesifiknya dari hasil perselisihan yang berasal dari hubungan hukum penjaminan fidusia dan persetujuan pendirian bangunan diatas tanah hak milik orang lain yang ditarik dari kaidah hukum, peraturan perundang-undangan atau hukum kebiasaan juga kaidah hukum fundamental atau dasar yang dihasilkan oleh pemikiranpemikiran yuridis. BAB III PENUTUP (SIMPULAN DAN SARAN) ; pada bab ini akan menarik suatu Simpulan dan memberikan Saran-Saran berkaitan dengan hasil penelitian ini. 20 Sri Mamudji et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum, 2005), hal. 4-5.