II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi. Pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan. pendapatan perkapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

ANALISA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PULAU SUMATERA. Etik Umiyati

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh masing-masing orang, daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

IDENTIFIKASI PERTUMBUHAN DAN KETIMPANGAN EKONOMI ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

KAJIAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU HAFID ZULRIZAL

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

ANALISIS TINGKAT PERTUMBUHAN DAN DISPARITAS ANTAR DAERAH PADA ERA OTONOMI DAERAH. Adrian Sutawijaya Universitas Terbuka.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung mengambarkan tingkat. keberhasilan pembangunan dimasa yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI DKI JAKARTA 2014

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

Analisa Keterkaitan Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Sumatera

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Rustiadi et al. (2009) proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik, dengan kata lain proses pembangunan merupakan proses memanusiakan manusia. Indonesia dan berbagai negara berkembang, seringkali mengenal istilah pembangunan lebih berkonotasi fisik, bahkan seringkali secara lebih sempit diartikan sebagai membangun infrastruktur/fasilitas fisik. Pengertian dari pemilihan alternatif yang sah dalam definisi pembangunan diatas diartikan bahwasanya upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam tatanan kelembagaan atau budaya yang dapat diterima. Todaro dalam Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompokkelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma menurut Anwar (2005), mengarahkan pembangunan wilayah kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency) dan berkelanjutan (sustainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam proses perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang ditentukan oleh perubahan keadaan sosial, ekonomi serta realitas politik. Pembangunan dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara/wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakatnya.

Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development). Isu pembangunan daerah yang berimbang menurut Murty (2000) tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar setiap daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap daerah yang jelasjelas beragam. 2.2. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Menurut Chaniago et al. (2000) disparitas diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Apabila dihubungkan dengan pembangunan sektoral atau wilayah, disparitas pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Disparitas pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Disparitas antar wilayah sangat terkait dengan distribusi pendapatan. Iskandar (1993) menjelaskan betapa pentingnya pemerataan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan oleh adanya peningkatan pendapatan dan perubahan distribusi pendapatan. Tetapi peningkatan pendapatan tidak akan banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sedangkan peningkatan pendapatan dalam arti meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nyata. Terjadinya disparitas regional dipicu oleh adanya perbedaan faktor anugerah awal (endowment factor). Disparitas mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di 10

berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di pelbagai wilayah tersebut (Sukirno, 1976). Menurut Myrdal (1957) perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah akan mengakibatkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) yang dalam hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat, bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar wilayah atau disparitas regional (Arsyad, 1999). Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman (1968) bahwa terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya disparitas pendapatan antar daerah. Disparitas pembangunan antar wilayah merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya. Menurut Anwar (2005), disparitas pembangunan baik dalam aspek antar kelompok masyarakat maupun menurut aspek spasial antar wilayah merupakan masalah pembangunan antar-wilayah yang tidak merata dan harus memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Terlebih lagi dalam negara berkembang seperti Indonesia, yang mempunyai struktur sosial dan kekuasaan (power) yang mengandung perbedaan tajam, akibat dari sisa-sisa penjajahan, sehingga strategi pembangunan semestinya diarahkan kepada peningkatan efisiensi ekonomi yang menyumbang kepada pertumbuhan yang sejalan dengan pemerataannya (equity). Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah-masalah sosial politik. Hampir di semua negara, kebijakan-kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparitas antar wilayah. Namun pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, strategi pembangunan masa lalu yang terlalu menekankan efisiensi dan mengabaikan distribusi pemerataan ekonomi, telah melahirkan banyak kesenjangan dalam kehidupan masyarakat yang semakin melebar. Anwar (2005) juga menyebutkan bahwa dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini (cenderung hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi makro dan menekankan 11

kepada kapital fisik) ternyata pada sisi lain telah menimbulkan masalah ketimpangan pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Ditambah dengan terjadinya penyakit dari penentu kebijakan yang urban bias, menyebabkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di kawasan metropolitanmegapolitan yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Disparitas pembangunan pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antarwilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash), yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju ke pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasankawasan pusat pertumbuhan (Rustiadi et al., 2009). Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pertumbuhan selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah hinterland. Akhirnya keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk ke kota-kota, sehingga timbul berbagai penyakit urbanisasi yang luar biasa di perkotaan (Anwar, 2005). Ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan agregat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter regional yang sinergis (saling memperkuat) (Rustiadi et al., 2009). Pengukuran keberimbangan pembangunan wilayah dapat didekati dengan mengukur disparitas pembangunan antar wilayah. Disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah dapat dilakukan secara deskriptif dengan 12

memperbandingkan PDRB, pertumbuhan PDRB atau PDRB per kapita antar wilayah. Kesenjangan statis antar wilayah secara lebih terukur dapat dilakukan dengan menggunakan indeks-indeks kesenjangan spasial seperti Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Pengukuran didasarkan pada variasi hasilhasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah : semakin besar nilai indeks yang menunjukkan variasi produksi ekonomi antar wilayah semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya, sebaliknya semakin kecil nilai ini menunjukkan kemerataan antar wilayah yang baik. Pengukuran indeks Williamson dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan penimbang. Dengan adanya penimbang tersebut, walaupun suatu daerah mempunyai PDRB per kapita yang ekstrim tinggi, namun kalau jumlah penduduknya relatif kecil, maka tidak akan terlalu menyebabkan kesenjangan terlalu tinggi. Sebaliknya walaupun besaran PDRB perkapita suatu wilayah hanya moderat saja dibandingkan wilayah lain yang kecil, namun jumlah penduduknya relatif besar maka akan menyebabkan kesenjangan secara keseluruhan. 2.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Antar Wilayah Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas regional, dimana faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000) faktor-faktor utama tersebut adalah: (1) Faktor Geografi Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. (2) Faktor Sejarah Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. 13

(3) Faktor Politik Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. (4) Faktor Kebijakan Diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri sejak tahun 1980-an diduga menjadi penyebab semakin melebarnya disparitas di Indonesia. (5) Faktor Administratif Disparitas pembangunan antar wilayah dapat terjadi karena pengaruh kemampuan pengelolaan administrasi.. (6) Faktor Sosial Masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Sedangkan masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. (7) Faktor Ekonomi Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas regional diantaranya adalah sebagai berikut : a. Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b. Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor diantaranya adalah lingkaran setan kemiskinan, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. c. Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. d. Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya. Menurut Tambunan (2003), faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia antara lain: 14

(1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Ekonomi dari suatu wilayah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi akan cenderung tumbuh lebih pesat, sedangkan wilayah dengan konsentrasi ekonomi yang rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. (2) Alokasi Investasi Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per-kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. (3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar wilayah juga merupakan penyebab terjadinya disparitas ekonomi regional. Jika perpindahan faktor produksi antar wilayah tidak ada hambatan, maka akan tercapai pembangunan ekonomi antar wilayah yang optimal. (4) Perbedaaan Sumberdaya Alam Pembangunan ekonomi di wilayah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan wilayah miskin sumberdaya alam. (5) Perbedaaan Kondisi Demografis Antar Wilayah Perbedaan kondisi demografis antar wilayah, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja, mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, tingginya jumlah penduduk merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi faktor produksi. 15

(6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Wilayah. Ketidaklancaran perdagangan antar wilayah disebabkan terutama oleh kurang memadainya infrastruktur, khususnya keterbatasan transportasi dan komunikasi. Faktor infrastruktur juga sangat berpengaruh pada kinerja perdagangan luar negeri (ekspor-impor). 2.4. Disparitas Pembangunan Wilayah di Indonesia Disparitas Pembangunan pada saat ini masih banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Rustiadi et al. (2009) menunjukan bahwa berdasarkan indeks Williamson, Indonesia masih memiliki disparitas antar wilayah yang tinggi dengan indeks disparitas sebesar 1,56. (Tabel 2). Hal ini dapat dimengerti karena dari segi geografis, Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan tingkat keragaman antar wilayah. Setiap daerah dikaruniai sumberdaya yang berbeda, ada yang berlimpah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun buatan sedangkan ada daerah yang kurang sekali sumberdayanya. Kawasan Barat Indonesia (KBI) memiliki indeks disparitas 1,27 dengan migas dan 1,23 tanpa migas. Karakteristik wilayah dan sosial budaya masyarakat di KBI memang tak terlalu beragam antar daerah sehingga disparitas antar wilayah tidak terlalu tinggi. Beberapa daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah seperti Aceh dengan minyak dan gas bumi, Riau dengan minyak dan gas bumi, serta barang tambang lainnya dan hasil hutan. Disamping itu secara umum KBI memiliki tanah yang subur, yang cocok untuk pertanian atau perkebunan karena di wilayah ini banyak gunung berapi. Keadaan ini membuat pertanian serta kegiatan ekonomi secara luas lebih maju di KBI. Indeks disparitas di Kawasan Timur Indonesia mencapai 3,20 dengan migas atau 4,26 tanpa migas. Angka ini lebih tinggi dibanding KBI karena tingkat keragaman geografis dan sosial budaya masyarakat antar daerah di KTI juga lebih tinggi. Ada beberapa daerah yang berlimpah sumberdaya alam seperti Kalimantan dan Irian, sedangkan daerah di sekitarnya kurang. Daerah-daerah yang cocok untuk pertanian dan perkebunan yang intensif seperti di Sulawesi, sedangkan sebagian NTT dan NTB memiliki iklim dan tanah yang kering sehingga tidak cocok untuk pertanian. Kalimantan Timur dan Papua memiliki daerah-daerah 16

yang kaya sumberdaya alam seperti minyak, barang tambang dan hasil hutan. Karakteristik sosial budaya masyarakat di masing-masing pulau sangat beragam sehingga tingkat kemajuan yang dicapai antar wilayah juga berbeda. Tabel 2. Tingkat disparitas antar provinsi, pulau, kawasan dan nasional tahun 2000 berdasarkan Indeks Williamson Provinsi 1. NAD 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bangka Belitung 8. Bengkulu 9. Lampung SUMATERA 10. DKI 11. Jawa Barat 12. Banten 13. Jawa Tengah 14. DI Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Bali JAWA & BALI Migas 3,56 0,31 0,44 0,84 0,33 0,42 0,10 0,37 0,34 1,50 0,51 0,81 0,79 0,67 0,40 1,38 0,39 1,18 IW Non- Migas 2,39 0,34 0,44 0,26 0,26 0,37 0,10 0,37 0,36 0,73 0,51 0,83 0,79 0,70 0,43 1,61 0,39 1,31 Provinsi 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur KALIMANTAN 21. Sulawesi Utara 22. Gorontalo 23. Sulawesi Tengah 24. Sulawesi Selatan 25. Sulawesi Tenggara SULAWESI 26. NTB 27. NTT 28. Maluku 29. Maluku Utara 30. Papua LAINNYA Migas 0,46 0,24 0,33 1,76 2,53 0,25 0,31 0,20 0,48 0,43 0,43 0,81 0,27 0,67 0,15 3,85 4,78 IW Non- Migas 0,46 0,24 0,31 0,42 0,58 0,25 0,31 0,20 0,48 0,43 0,43 0,81 0,27 0,67 0,02 4,15 4,94 KBI 1,27 1,23 KTI 3,20 4,26 Indonesia 1,56 1,53 Sumber : Abel (2006) Secara deskriptif kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan dengan perbandingan secara langsung antara proporsi penduduk, luas wilayah dengan proporsi kontribusi wilayah terhadap PDRB secara keseluruhan (PDRB Nasional). Tabel 3 memperlihatkan deskripsi pembangunan Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) diperbandingkan. Dalam Tabel 2 terdeskripsikan bahwa di tahun 2002, KTI yang meliputi 74,2 % wilayah 17

nasional, hanya dihuni 18,7 % penduduk dan hanya menghasilkan 17,4 % PDRB Nasional. Tabel 3. Persentase penduduk, luas wilayah dan PDRB pulau-pulau di KBI dan KTI tahun 2000 dan 2002 Kawasan/Pulau Luas Wilayah (%) Penduduk (%) PDRB (%) 2000 2002 2000 2002 KBI 35,79 81,50 81,32 82,62 82,60 Jawa 10,89 61,45 58,65 59,99 60,07 Sumatera 24,62 20,92 21,15 21,27 21,09 Bali 0,28 1,55 1,52 1,37 1,43 KTI 64,21 18,50 18,68 17,38 17,40 Kalimantan 27,73 5,56 5,58 9,58 9,48 Sulawesi 7,36 7,30 7,27 4,20 4,49 Nusa Tenggara 15,16 2,89 3,82 2,30 1,59 Papua 21,30 0,94 0,90 1,72 1,50 Maluku 4,42 0,93 1,11 0,37 0,35 Sumber : Rustiadi et al (2009) 2.5 Tinjauan Penelitian-Penelitian Terdahulu tentang Disparitas Antar Wilayah Williamson (1966) melakukan penelitian tentang disparitas antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan disparitas pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping pola dan faktor penentu disparitas, Williamson juga mengamati proses terjadinya disparitas. Penelitian dan pengkajian tentang pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada disparitas ekonomi antar wilayah juga banyak dilakukan di Indonesia diantaranya oleh Sjafrizal (1997) serta Welly dan Waluyo (2000) dengan menggunakan data PDRB tanpa migas tahun 1983-1997 menunjukkan indeks ketimpangan bergerak dari 0,49 0,54. Indeks ketimpangan Indonesia jika dibandingkan dengan kelompok negara maju (0,49-0,54) dan berpendapatan menengah (0,46) akan berada di atas rata-rata. 18

Akita dan Alisjahbana (2002) dalam penelitiannya mengukur disparitas antar wilayah di Indonesia dengan menggunakan indeks Theil. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa selama periode tahun 1993-1997, terjadi peningkatan disparitas pendapatan regional yang cukup signifikan dari 0,262 menjadi 0,287 dimana sumber disparitas yang paling besar disumbangkan di dalam provinsi (sekitar 50%). Sedangkan pada tahun 1998, indeks Theil mengalami penurunan, dimana 75% dari penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya disparitas antar provinsi. Penelitian yang dilakukan oleh Giannetti dan Mariassunta (2002) menyatakan bahwa daerah-daerah khusus dengan sektor canggih pada awal periode sampel memiliki pendapatan perkapita yang lebih serupa, sementara daerah-daerah khusus dengan sektor-sektor tradisional tertinggal. Qing dan Kaiyuen (2005) menyatakan hasil empiris menunjukkan bahwa di antara semua faktor signifikan secara statistik, PDB per kapita dan dikotomi desa-kota adalah dua variabel yang paling penting yang mempengaruhi kesenjangan fiskal, dengan kontribusi total 60%. Faktor-faktor yang relatif penting lainnya adalah struktur ekonomi dan kepadatan penduduk. Epifani dan Garcia (2005) menyatakan secara khusus migrasi dari pinggiran ke inti dapat mengurangi kesenjangan pengangguran dalam jangka pendek, tetapi memperburuk keadaan dalam jangka panjang. Chen dan Groenewold (2010) menganalisis efektivitas dari berbagai kebijakan oleh pemerintah daerah dan pusat dalam mengatasi disparitas, dan menemukan bahwa kebijakan pengurangan biaya migrasi internal efektif dalam mengurangi kesenjangan output per kapita. Kebijakan peningkatan produktivitas pertanian di wilayah pedalaman paling mungkin untuk mengurangi kedua kesenjangan. Fan et al. (2011) mempertimbangkan tiga unsur strategi dalam mengatatasi kesenjangan jangka panjang, yaitu infrastruktur, investasi sosial dan perlindungan, dan reformasi tata pemerintahan. Goletsis dan Chletsos (2011) mengidentifikasi kesenjangan regional dan pola pertumbuhan daerah merupakan faktor penting yang mempengaruhi perumusan kebijakan. Indikator tunggal, biasanya PDB berbasis, pendekatan telah mengungkapkan kekurangan yang signifikan. 19