Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak

dokumen-dokumen yang mirip
Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit.

SUMBERDAYA INDUSTRI KELAPA SAWIT DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi

KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERSPEKTIF PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Bagi perekonomian Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

BAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas perkebunan unggulan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN INTEGRASI KERBAU DAN SAPI POTONG KELAPA SAWIT DI SUMATERA BARAT

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK

Seminar Oplimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak 3,25 persen dan 2,89 persen seperti disajikan p

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

HASIL SAMPINGAN KELAPA SAWIT HARAPAN BESAR BAGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI RIAU

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

I. PENDAHULUAN. perkebunan kelapa sawit adalah rata rata sebesar 750 kg/ha/tahun. Berarti

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

KONSEP PEDOMAN SISTEM INTEG RASI SAPI DI PERKEBU NAN KELAPA SAWIT

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

DESAIN PEMBANGUNAN KEBUN DENGAN SISTEM USAHA TERPADU TERNAK SAPI BALESIA

POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI DAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Afrizon dan Andi Ishak

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

PENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN BERBASIS TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2013

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS SAPI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

INTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat)

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

REVITALISASI PERTANIAN

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

PENDAHULUAN. cukup penting sebagai penghasil telur dan daging untuk mendukung ketersediaan

Bab 4 P E T E R N A K A N

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN

AGRIBISNIS KAMBING - DOMBA

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sawit nasional karena kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia dan

KELAPA. (Cocos nucifera L.)

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN JAGUNG UNTUK PAKAN DI INDONESIA

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

PENDAHULUAN. Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan. keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS. Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS. Prof. Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS.

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PELEPAH DAN DAUN SAWIT SEBAGAI PAKAN SUBSTITUSI HIJAUAN PADA PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI-KELAPA SAWIT DI PROVINSI BENGKULU

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak pemanfaatan sumberdaya pakan berupa limbah pert

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS BAWANG MERAH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Transkripsi:

Agro inovasi Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id

2 AgroinovasI Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi Sapi Di Perkebunan Sawit Dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sekitar 7,8 juta hektar, Indonesia masih merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, yang pada tahun 2008 telah mencapai 19 juta ton dengan nilai ekspor sekitar US$ 12 miliar (Badrun, 2010). Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang cepat ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: (i) secara agroekologis sangat cocok dikembangkan di Indonesia; (ii) secara sosial ekonomis sangat layak dan memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pelaku usaha; dan (iii) produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Saat ini perkebunan kelapa sawit tersebar di hampir seluruh pelosok Indonesia, kecuali NTT, NTB dan Bali. Kebun sawit banyak dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan, dan dalam jumlah terbatas terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua. Ditinjau dari segi ekonomi, pekebun dengan luas tanaman produktif 2 ha dapat menghasilkan sekitar Rp. 6 juta/bulan (Rp. 2.000/kg TBS). Hasil ini tidak memerlukan curahan tenaga kerja yang terlalu banyak, karena panen tandan buah segar (TBS) dapat dilakukan setiap 2 minggu, dan kegiatan pemupukan serta perawatan kebun relatif sangat ringan dibandingkan budidaya tanaman lainnya. Dari segi produktivitas, minyak sawit (3,4 juta ton/ha/th) sangat efisien dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, dan rape seed masing-masing sebesar: 0,38; 0,48; dan 0,67 ton/ha/tahun. Sepuluh lokasi utama perkebunan sawit berdasarkan luas arealnya di Indonesia berturut-turut terdapat di propinsi: (1) Riau (1,70 juta ha); (2) Sumatera Utara (1,05 juta ha); (3) Kalimantan Tengah (0,87 juta ha); (4) Sumatera Selatan (0,71 juta ha); (5) Kalimantan Barat (0,50 juta ha); (6) Jambi (0,49 juta ha); (7) Kalimantan Timur (0,43 juta ha); (8) Sumatera Barat (0,40 juta ha); (9) Kalimantan Selatan (0,29 juta ha); dan NAD (0,28 juta ha). Di samping itu, perkembangan areal perkebunan sawit masih akan terus meningkat di Sulawesi dan Papua, termasuk perkembangan secara terbatas juga tetap terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Di pulau Jawa (Banten) luas perkebunan kelapa sawit diperkirakan tidak akan berkembang bahkan cenderung menyusut, dan tidak akan ada penanaman kelapa sawit di NTT, NTB maupun Bali. Dari luas areal perkebunan sawit tersebut, sekitar 44% merupakan usaha perkebunan rakyat, dan sisanya merupakan usaha perkebunan besar milik PTPN maupun swasta. Diperkirakan perluasan usaha perkebunan besar milik swasta akan meningkat lebih cepat dibandingkan usaha perkebunan rakyat karena kemampuan pembiayaan atau akses kredit yang lebih kuat. Hal tersebut sangat terkait erat dengan kemampuan segmen ini dalam membangun pabrik pengolahan minyak sawit dan produk derivatifnya. Memperhatikan kenyataan tersebut, sub-sektor peternakan memperkirakan adanya ketersediaan biomasa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan

AgroinovasI ternak, baik berupa rumput, daun dan pelepah sawit, maupun bahan-bahan sisa hasil pengolahan lainnya seperti lumpur sawit, dan bungkil inti sawit. Perkiraan nilai tambah yang disumbangkan oleh bahan-bahan tersebut kepada sub-sektor peternakan, khususnya sapi potong, dapat mencapai kontribusi daya tampung sebesar 2 ekor sapi dewasa/ha/tahun. Bungkil inti sawit (BIS) yang merupakan hasil samping pengolahan minyak sawit merupakan bahan baku pakan yang pada saat ini sudah menjadi produk komersial yang bernilai jual tinggi. Produksi BIS diperkirakan mencapai 2,7 juta ton/tahun, di mana sebanyak 0,3 juta ton digunakan sebagai bahan baku pakan unggas dan 0,4 juta ton untuk pakan ternak pada usaha penggemukan sapi. Dengan demikian, masih tersisa sekitar 2 juta ton yang belum secara optimal dimanfaatkan bagi kepentingan di dalam negeri. Pada tahun 2010 tercatat angka ekspor sebesar 2,5 juta ton dengan nilai USD 216,9 juta, yang agak menurun dibandingkan dengan angka tahun 2009 yang mencapai 2,6 juta ton, namun dengan nilai yang lebih rendah yaitu sebesar USD 143,9 juta karena perbedaan harga internasional. Kinerja ekspor BIS pada kurun waktu 2006-2010 menunjukkan angka peningkatan sebesar 13,9%. Berbagai kendala yang dihadapi oleh sub-sektor peternakan, dalam meningkatkan populasi, produktivitas dan daya saing peternakan telah diidentifikasi, salah satunya adalah terbatasnya lahan dan sumber pakan untuk menopang usaha peternakan secara lebih intensif. Untuk itu perlu dicarikan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi. Permasalahan utama yang dirasakan masih menjadi kendala ini adalah fakta mengenai masih tingginya volume impor bahan baku pakan ternak yang nilainya mencapai lebih dari Rp. 10 triliun per tahun. Impor mengakibatkan terkurasnya devisa negara dan menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi pengembangan usaha peternakan, yang pada akhirnya dapat menghambat berbagai upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Saat ini, sebagian besar BIS diekspor untuk dijadikan bahan baku pakan. Di lain pihak, pabrik pakan di dalam negeri masih enggan menggunakan BIS karena berbagai alasan dan kendala, baik dalam aspek teknis, ekonomis, maupun alasanalasan lainnya. Bahan pakan sumber protein untuk pabrik pakan ternak (nonruminansia) lebih banyak menggunakan bungkil kedelai atau tepung ikan yang hampir sepenuhnya merupakan komponen impor. Usaha peternakan sapi atau ternak ruminansia pada umumnya hampir tidak mempunyai akses atau tidak berkeinginan untuk menggunakan BIS sebagai sumber gizi dalam ransum ternak untuk keperluan penggemukan atau produksi susu. Integrasi sebagai Alternatif Salah satu alternatif yang dapat dijadikan sebagai kawasan untuk pembudidayaan ternak ruminansia adalah lahan perkebunan sawit yang tersedia cukup luas. Pada tahun 2010, luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar, yang terdiri dari 44% perkebunan rakyat, 48% perkebunan swasta, dan 8% milik BUMN 3

4 AgroinovasI (Dewan Minyak Sawit Indonesia, 2011). Secara teoritis, lahan perkebunan sawit tersebut dapat menghasilkan biomassa yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Mathius (2007) menyatakan bahwa dengan lahan seluas 7,8 juta hektar secara teoritis mampu menghasilkan 41,9 juta ton biomassa berupa pelepah, daun, solid, BIS, serat perasan dan tandan kosong, yang apabila 70%-nya saja dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, maka jumlah ternak yang dapat ditampung adalah sebanyak 13 juta ekor sapi dewasa. Angka tersebut hampir sama dengan jumlah populasi sapi potong yang ada di Indonesia saat ini yaitu 13,63 juta ekor, yang dikelola oleh 4,6 juta rumah tangga. Selain dapat memanfaatkan biomassa yang tersedia, peternakan sapi potong di perkebunan sawit memberikan keuntungan positif bagi pekebun, sebagai berikut: 1) Dapat dimanfaatkannya ternak sapi sebagai alat untuk mengangkut TBS dari kebun sawit ke tempat pengumpulan yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan bermotor, 2) Dengan demikian, kebutuhan areal lahan untuk lajur kendaraan dapat dikurangi, sehingga dapat menambah areal tanaman sawit, 3) Ternak sapi dapat menghasilkan kotoran yang dapat digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman kelapa sawit, 4) Ternak sapi dapat memakan tanaman liar di sekitar pohon sawit (gulma) yang mengganggu pertumbuhan pohon sawit, 5) Dapat dimanfaatkannya limbah pabrik kelapa sawit (serat/fiber) yang belum termanfaatkan untuk pakan ternak, 6) Dapat memberikan penghasilan tambahan, terutama bagi pekebun, dari penjualan ternak hasil penggemukan atau dari sapi pedet hasil pembiakan, dan 7) Dalam beberapa kasus, kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk pembangkit energi biogas untuk keperluan energi penjaga kebun. Dengan demikian secara teoritis integrasi antara peternakan sapi di kebun kelapa sawit dapat memberikan sinergi yang sangat positif. Namun, BIS yang merupakan salah satu hasil samping (by product) pabrik pengolahan minyak sawit saat ini justru lebih banyak diekspor, belum dimanfaatkan untuk memperkuat industri pakan ternak. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen yang tepat untuk mendorong penggunaan BIS dalam industri pakan ternak atau industri peternakan nasional, dan sekaligus meningkatkan daya saing industri minyak sawit berwawasan lingkungan. Tantangan Meskipun pengintegrasian secara in-situ antara ternak sapi di kebun sawit memberikan sinergi positif, pada kenyataannya belum banyak kebun sawit atau peternak sapi yang melaksanakan pengintegrasian tersebut. Sejauh ini hanya beberapa perkebunan sawit yang sukses melaksanakan antara lain: PT. Agricinal di Propinsi Bengkulu, PT Asian Agri di Propinsi Jambi dan Riau, dan PT Tribakti Sari Mas di Propinsi Riau. Hal ini mengakibatkan keberadaan kebun sawit yang

AgroinovasI 5 luas belum memberikan dampak terhadap berkembangnya industri peternakan. Pemanfaatan BIS untuk memperkuat industri pakan ternak maupun industri peternakan nasional masih sangat terbatas, dan sebagian lagi justru masih menjadi masalah karena belum dimanfaatkan untuk keperluan apapun. Langkah Pengembangan Berdasakan penelaahan terhadap kekuatan, kelemahan, dan peluang, dan tantangan terhadap pemanfaatan BIS, diperlukan strategi tertentu guna mengupayakan pengembangan industri peternakan yang memanfaatkan potensi perkebunan sawit di Indonesia, khususnya pemanfaatan BIS secara maksimal. Untuk merumuskan strategi yang tepat maka perlu dilakukan langkah-langkah di antaranya sebagai berikut: a. Melakukan pemutakhiran decission analysis yang disebabkan oleh adanya teknologi terapan yang mampu meningkatkan penggunaan bahan-bahan derivatif kelapa sawit sebagai sumber pakan ternak (non-ruminansia dan ruminansia). i) Potensi penggunaan BIS bagi pakan ternak ruminansia dapat mencapai 75% dalam ransum ternak ruminansia, sedangkan pada unggas sekitar 5-20% (ayam ras pedaging dan petelur), sebagai substitusi jagung atau bahan pakan lainnya. ii) Kontaminasi cangkang dalam produk BIS merupakan salah satu pembatas dalam proses aplikasinya bagi pengguna industri pabrik pakan. Industri ini maksimum hanya mampu menyerap 20-25% dari produksi BIS yang ada di dalam negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa 75-80% dari produk BIS saat ini memang harus ditujukan untuk diekspor. Estimasi kebutuhan BIS untuk bahan baku pakan sekitar 0,75 juta ton, di mana 0,35 juta ton untuk pakan ternak unggas dan sekitar 0,4 juta ton untuk pakan ternak ruminansia. iii) Produk samping yang mempunyai potensi bagi pakan ternak lainnya hasil produk samping industri pengolahan sawit adalah lumpur sawit dan solid heavy phase. Pemanfaatan dua produk samping ini masih memerlukan kajian yang lebih komprehensif terkait dengan aspek teknis maupun biaya produksi dan harga jual yang kompetitif. iv) Scalling up hasil-hasil penelitian pada produk BIS dalam skala komersial dan aplikatif masih sangat rendah. Mediasi pemerintah diperlukan dalam menjembatani gap tersebut dengan melibatkan peran swasta maupun BUMN/D. Hal ini juga dapat dilakukan dengan pendekatan penggunaan dana-dana CSR dari perkebunan sawit swasta maupun BUMN, antara lain dengan membangun suatu pilot pengembangan pabrik bahan baku pakan, konsentrat, maupun pakan lengkap dalam bentuk pellet atau blok. v) Penelitian terkait BIS di negara penghasil BIS relatif sangat sedikit, sehingga Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan hal ini sebagai kekuatan untuk menghasilkan referensi yang berkualitas. a. Melakukan kajian antar sub-sektor di dalam Kementerian Pertanian mengenai

6 AgroinovasI pengaturan/pilihan kebijakan yang mampu memberikan nilai tambah bagi setiap sub-sektor maupun kemampuan daya saing secara nasional. vi) Koordinasi antara Ditjen Perkebunan, Ditjen PKH, Ditjen P2HP, dan Badan Litbang Pertanian. vii) Terus melakukan kajian teknis, ekonomis dan sosial terkait pemanfaatan BIS untuk pakan ternak. c. d. Melakukan road show ke berbagai daerah yang memiliki potensi kelapa sawit dalam rangka menjaring opini dan membangun sinergi penciptaan nilai tambah dengan semangat nasionalisme. viii. Pengembangan sapi di lahan perkebunan sawit tidak semata-mata disebabkan oleh masalah teknis, namun faktor sosial/budaya dan ekonomi menjadi hal yang penting. Usaha sawit sudah merupakan usaha yang mapan, dengan harga TBS yang booming sejak tahun 2010 maka semakin resisten para petani sawit untuk bersinergi dengan usaha sapi, kecuali bila benar-benar dapat ditunjukkan bahwa keberadaan sapi justru mampu meringankan kerja dalam pemanenan TBS, penggunaan pupuk, dan penyediaan energi alternatif bagi rumah tangga pekebun. ix. Perubahan paradigma dan mind set para pelaku usaha sawit harus dilakukan secara bertahap, salah satunya melalui penguatan sistem model usaha yang terintegrasi, yang disesuaikan dengan kondisi agroekologi dan sosial budaya setempat. x. Sosialisasi program integrasi sapi di perkebunan sawit perlu dilakukan terus menerus dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah serta pelaku usaha. Memberikan rekomendasi dan dorongan prioritas bagi pelaksanaan kegiatan penelitian (konsorsium) di bidang pemanfaatan derivatif produk kelapa sawit sebagai pakan ternak. xi. Teknologi untuk pemanfaatan BIS diarahkan pada pembangunan pabrik pakan konsentrat, utamanya bagi ternak ruminansia. Dari 52 pabrik pakan yang ada di Indonesia, 80% adalah pabrik pakan unggas yang sudah well established, padahal penggunaan BIS dalam ransum unggas baru mencapai 2-3%. Atien Priyanti, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor