3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung) secara tidak terencana dan tidak terkontrol serta menghasilkan keturunan yang disebut peranakan Fries Holland atau peranakan Fries Holstein yang umumnya disingkat PFH. Sapi PFH disebut non descript yang artinya tidak masuk breed tertentu atau dapat juga disebut Holstein Grade (Soetarno, 2003). Ditinajau dari segi sifat-sifat reproduksi, sapi PFH tergolong bangsa sapi perah yang masak kelaminya (sexual maturity) lambat. Sapi FH betina umumnya baru dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18 bulan, sehingga beranak pertama kali adalah umur 23 30 bulan (Mukhtar, 2006). Secara topografis, dalam membagi daerah pemusatan pemeliharaan sapi-sapi PFH di jawa menjadi dua daerah, yaitu daerah dataran rendah dan daerah dataran tinggi. Daerah dataran rendah mempunyai ketinggian sampai 300 m diatas permukaan laut dan mempunyai temperatur harian rata-rata sekitar 28 35 0 C, kelembaban relatif 75% dan curah hujan 1.800 2.000 mm, sedangkan daerah dataran tinggi mempunyai ketinggian lebih dari 750 m di atas permukaan laut dan mempunyai temperatur harian rata-rata 16 23 0 C, kelembaban relatif 70% dan curah hujan 1.800 (Paggi dan Suharsono, 1978 cit. Hardjosubroto, 1980). B. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Proses reproduksi yang berjalan normal akan diikuti oleh produksi ternak yang baik pula. Makin tinggi kinerja reproduksi, makin tinggi pula produktivitas ternak tersebut. Kinerja reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi reproduksi yang tinggi dengan produktivitas ternak yang tinggi pula (Hardjopranjoto, 1995). Birahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi sedangkan siklus birahi adalah jarak antara birahi yang satu mm
4 sampai pada birahi berikutnya. Tanda-tanda pada ternak antara lain gelisah dan bersuara melenguh, nafsu makan berkurang, suka menaiki sapi lain jika dilepas di lapangan, bibir vulva membengkak, berwarna merah, lebih panas dari biasanya dan mengeluarkan lendir bening (Toelihere, 1985). Sapi mempunyai siklus birahi yang berlangsung 20 21 hari. Lama birahi antar individu dalam suatu spesies berbeda antar bangsa. Lama birahi pada sapi 18 28 jam (Djanuar, 1985). Siklus birahi terbagi dalam 4 tahap yaitu : proestrus (tahap persiapan birahi) berupa berkembangnya folikel ovarium yang dipengaruhi oleh FSH; estrus merupakan tahap yang secara fisik ditandai dengan kegelisahan, sapi agresif, menaiki sejenisnya sampai keluar cairan lendir transparan; metestrus (post estrus) yang ditandai dengan terhentinya birahi secara mendadak dan diikuti peristiwa ovulasi, rongga folikel yang berangsur-angsur mengecil dan terhentinya pengeluaran lendir; diestrus (tahap akhir estrus) yang ditandai dengan perkembangan corpus luteum, pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan tampak pada dinding uterus, hal ini terjadi bila sapi bunting (Effendi et al., 2002). Beberapa peternak sudah mulai mengawinkan sapi perah dara pada umur sekitar 14 17 bulan tanpa menimbulkan kerugian. Kalau pertumbuhan sapi perah dara itu baik, maka pada umur tadi besar tubuh sudah memungkinkan untuk dikawinkan. Diharapkan nantinya pada umur sekitar 23 26 bulan, sapi perah itu sudah mulai berproduksi susu (Siregar, 1992). C. Pubertas Alat reproduksi sapi dara telah terbentuk jauh sebelum dilahirkan. Sesudah dilahirkan organ tersebut berkembang tahap demi tahap sampai hewan mencapai dewasa kelamin dan mampu untuk mengandung dan melahirkan anak. Peristiwa ini disebut pubertas. Sesudah pubertas, alat reproduksi berkembang terus, sampai tercapai pertumbuhan yang sempurna sesuai dengan perkembangan badannya (Djanuar, 1985). Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu saat organ-organ reproduksi mulai
5 berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1985). Pertumbuhan pubertas yang cepat pada sapi sapi dara PFH dimulai selama bulan ketujuh sesudah lahir. Menjelang bulan kesepuluh petumbuhan cepat saluran kelamin terhenti dan petumbuhan umum mulai melambat. Dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 15 bulan sesudah mencapai berat kira-kira 340 kg (Toelihere, 1985). Bila pubertas telah tercapai, petumbuhan tenunan folikel disertai dengan pelepasan substansi hormon estrogen, menyebabkan sapi dara dengan menunjukkan tanda-tanda birahi. Satu ovum biasanya dilepaskan segera setelah birahi, dan ovum memasuki tuba fallopii, dimana kemungkinan ovum tersebut akan bertemu dan dibuahi oleh spermatozoa (Djanuar, 1985). D. Umur Beranak Pertama Menurut Blakely dan Bade (1998) sapi dara yang dipelihara dengan baik pada umur 13 15 bulan sudah mencapai berat yang cukup untuk dikawinkan, sehingga pada umur sekitar dua tahun sapi betina telah dapat berproduksi. Ditambahkan oleh Bearden et al. (2002), sebaiknya sapi perah dikawinkan pertama kali ketika berat badannya sudah menempuh 270 kg. Menurut Lindsay et al. (1982), pada beberapa keadaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas (Nuryadi 2006). Foley et al., (1973) menyatakan bahwa jumlah pedet yang dilahirkan oleh seekor induk merupakan salah satu ukuran dari penampilan reproduksi. Dinyatakan pula bahwa jika sapi dara beranak pertama pada umur 24 bulan akan melahirkan pedet kira-kira 2 ekor. E. Days Open Lama kosong atau days open (DO) adalah jarak beranak antara sapi beranak (partus) sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari (Hafez, 2000 cit, Hadisutanto, 2008). Jika masa kosong
6 terlalu singkat yaitu kurang dari 60 hari, akan berdampak penurunan fertilitas sebesar 48,3%, hal ini dapat terjadi karena uteri belum mencapai involusi secara sempurna. Bila lebih dari 90 hari maka fertilitas akan menjadi 71,5% (Foley et al., 1973). Lama kosong yang panjang akan mempengaruhi jarak beranak dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi susu seumur hidup. Lama kosong yang paling aman untuk mengawinkan kembali adalah 60 90 hari sesudah beranak, apabila terlalu lama maka kemungkinan akan dapat menurunkan produksi pada masa laktasi berikutnya (Quinn, 1980 cit. Antiyatmi, 2009). F. Service per Conception Service per conception adalah sebuah ukuran kesuburan induk sapi yang dikawinkan dan berhasil menjadi bunting. Service per conception dapat dihitung dengan membagi jumlah total perkawinan pada sekelompok ternak dengan jumlah induk yang bunting. Menurut Blakley et al., (1992) cit, Asimwe dan Kifaro (2007) rerata service per conception pada sapi Friesian Holstein sekitar 1,66 pada daerah tropis. G. Post Partum Estrus Post partum estrus merupakan estrus pertama yang dialami induk sapi setelah beranak. Secara ekonomi estrus pertama setelah beranak hingga terjadinya kebuntingan merupakan faktor yang menentukan dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi (Hasbullah, 2003). Sebagian besar dari sapisapi betina kembali birahi 21 sampai 80 hari sesudah beranak dengan rata-rata 70 hari (Djanuar, 1985). Pengaruh menyusui terhadap interval kelahiran dan estrus pertama pada sapi potong telah dibuktikan dengan menghentikan proses menyusui. Post partum estrus akan diperpanjang bila ternak tersebut menyusui (hunter, 1995) menurut Bearden dan Fuquay (1980), sapi yang sedang menyusui akan mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu ketika sedang menyusui pedet, aktivitas ovarium
7 dan estrus mungkin tidak dapat diamati selama 2 sampai 3 bulan lebih, terutama bila konsumsi energinya rendah. Lebih lanjut Hunter (1995) menjelaskan bahwa rangsang penyusuan akan mengaktifkan sekresi prolaktin, aktivitas gonadotropin akan jauh berkurang atau bahkan berhenti sementara, diperkirakan karena kekurangan sekresi faktor hipotalamus (Gn-RH). Dengan cara ini faktor laktasi yang paling awal dan paling berat tampaknya mengahmbat mulainya kembali aktivitas siklus ovarium. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak maka intensitas rangsang penyusuan ini menyebabkan sekresi hormon gonadotropin sudah mencukupi untuk mulainya kembali pemasakan folikel dan aktivitas ovarium. H. Post Partum Mating Post partum mating adalah pelaksana inseminasi buatan atau perkawinan pada sapi perah setelah beranak. Pirera (1999) menyatakan bahwa involusi uterus terjadi pada 25 sampai 35 hari setelah beranak dan dapat berfungsi normal serta menunjukkan birahi pada 30 sampai 60 hari setelah beranak. Penundaan perkawinan setelah beranak ini umumnya karena terlambatnya post partum estrus, selain itu juga ada ketidak telitian peternak dalam mendeteksi estrus. Sehingga peternak sering tidak mengetahui kalu sapi perahnya sedang estrus. Tertundanya post partum mating ini tentunya akan memperpanjang days open sehingga calving interval menjadi tinggi. Kurangnya konsumsi nutrien, khususnya protein dan energi, mengakibatkan folikel-folikel sebagai penghasil hormon estrogen tidak dapat tumbuh berkembang dengan normal (Hardjopranjoto, 1995). I. Calving Interval Frekuensi melahirkan sangat penting bagi peternak dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak mempunyai dampak ekonomis yang penting. Pada peternakan sapi perah yang ideal, kalahiran harus diusahakan 12 bulan sekali. Efisiensi reproduksi dan keuntungan
8 peternakan sapi perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak sekitar 13 bulan (Fricke, 1998). Menurut Bahari (2007) selang beranak dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi. Selang beranak yang ideal berkisar antara 12 sampai 15 bulan. Adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen, yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu. J. Umur Sapih Secara alamiah pedet akan menyusu pada induknya sekehendak pedet tanpa pembatasan. Pedet bersama induk sapai dengan disapih, yakni pada saat pedet tersebut berumur 6 sampai 9 bulan. Biasanya kondisi pedet akan tumbuh lebih cepat dan kuat (Djanuar, 1985). Ditambahkan oleh Siregar (1990), pedet sapi perah sudah boleh disapih pada umur 11 minggu. Namun banyak peternak sapi perah yang menyapihnya pedetnya pada umur lebih dari 11 minggu. Menurut Webster, (1984) cit. Rummiyat (2003), penyapihan dapat dialakukan terhadap pedet jika pedet tersebut sudah dapat mengkonsumsi pakan padat atau kering untuk kehidupan sehari-hari dan layak untuk pertumbuhan tubuhnya. Ditambahkan pula oleh Bath et al. (1985) cit. Rummiyat (2003), pedet yang sudah mampu mengkonsumsi 0,45-0,67 kg/ekor/hari calf stater yang berkualitas baik sudah dapat disapih. Lama waktu penyapihan sangat mempengaruhi timbulnya estrus kembali setelah proses kelahiran, karena waktu proses menyusui induk sapi menghasilkan hormon prolaktin yang kerja hormon tersebut menghambat kerja hormon FSH sedangkan fungsi hormon FSH sendiri memicu timbulnya estrus. Oleh karena itu karena tidak adanya hormon FSH maka tidak akan terjadi estrus sewaktu proses menyusui. Dilaporkan bahwa sapi potong yang sedang menyusui, dapat mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada sapi yang tidak menyusui (Bearden dan Fuquay, 1980). Mulai umur 2 bulan sampai 3 bulan pemberian susu dihentikan (disapih). Pada umur 3 bulan sampai 6 bulan, pakan formula (calf starter)
9 mulai diganti pakan formula lain (konsentrat) dengan komposisi: PK 16% TDN 70%. Pengganti makanan formula (calf starter) dengan formula (konsentrat) dibatasi maksimum 2 kg/ekor/hari (Soetarno, 2003).