II. TINJAUAN PUSTAKA A.

dokumen-dokumen yang mirip
PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

KINERJA REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH) DI KECAMATAN MUSUK BOYOLALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode pemerintahan

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

CONCEPTION RATE PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN JATI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

BAB I PENDAHULUAN. Masalah utama peternakan kita sampai saat ini bertumpu pada

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menonjol di dunia karena jumlahnya cukup banyak. Sapi FH berasal dari negeri

Kinerja Reproduksi Induk Sapi Potong pada Usaha Peternakan Rakyat di Kecamatan Mojogedang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Permintaan daging sapi terus meningkat seiring pertumbuhan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN

CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TENAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

HUBUNGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DENGAN SERVICE PER CONCEPTION DI WILAYAH KPSBU LEMBANG SKRIPSI EVI PUJIASTUTI

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

Pengaruh Manajemen Peternak Terhadap Efesiensi Reproduksi Sapi Bali Di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keadaan liar, efisiensi reproduksi pada kuda yang mencapai 90% atau lebih.

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

Siklus Estrus Induk Kambing Peranakan Boer F1 Dengan Perlakuan Penyapihan Dini Pada Masa Post Partum

TINJAUAN PUSTAKA. Reproduksi Sapi Brahman Cross

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

Transkripsi:

3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung) secara tidak terencana dan tidak terkontrol serta menghasilkan keturunan yang disebut peranakan Fries Holland atau peranakan Fries Holstein yang umumnya disingkat PFH. Sapi PFH disebut non descript yang artinya tidak masuk breed tertentu atau dapat juga disebut Holstein Grade (Soetarno, 2003). Ditinajau dari segi sifat-sifat reproduksi, sapi PFH tergolong bangsa sapi perah yang masak kelaminya (sexual maturity) lambat. Sapi FH betina umumnya baru dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18 bulan, sehingga beranak pertama kali adalah umur 23 30 bulan (Mukhtar, 2006). Secara topografis, dalam membagi daerah pemusatan pemeliharaan sapi-sapi PFH di jawa menjadi dua daerah, yaitu daerah dataran rendah dan daerah dataran tinggi. Daerah dataran rendah mempunyai ketinggian sampai 300 m diatas permukaan laut dan mempunyai temperatur harian rata-rata sekitar 28 35 0 C, kelembaban relatif 75% dan curah hujan 1.800 2.000 mm, sedangkan daerah dataran tinggi mempunyai ketinggian lebih dari 750 m di atas permukaan laut dan mempunyai temperatur harian rata-rata 16 23 0 C, kelembaban relatif 70% dan curah hujan 1.800 (Paggi dan Suharsono, 1978 cit. Hardjosubroto, 1980). B. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Proses reproduksi yang berjalan normal akan diikuti oleh produksi ternak yang baik pula. Makin tinggi kinerja reproduksi, makin tinggi pula produktivitas ternak tersebut. Kinerja reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi reproduksi yang tinggi dengan produktivitas ternak yang tinggi pula (Hardjopranjoto, 1995). Birahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi sedangkan siklus birahi adalah jarak antara birahi yang satu mm

4 sampai pada birahi berikutnya. Tanda-tanda pada ternak antara lain gelisah dan bersuara melenguh, nafsu makan berkurang, suka menaiki sapi lain jika dilepas di lapangan, bibir vulva membengkak, berwarna merah, lebih panas dari biasanya dan mengeluarkan lendir bening (Toelihere, 1985). Sapi mempunyai siklus birahi yang berlangsung 20 21 hari. Lama birahi antar individu dalam suatu spesies berbeda antar bangsa. Lama birahi pada sapi 18 28 jam (Djanuar, 1985). Siklus birahi terbagi dalam 4 tahap yaitu : proestrus (tahap persiapan birahi) berupa berkembangnya folikel ovarium yang dipengaruhi oleh FSH; estrus merupakan tahap yang secara fisik ditandai dengan kegelisahan, sapi agresif, menaiki sejenisnya sampai keluar cairan lendir transparan; metestrus (post estrus) yang ditandai dengan terhentinya birahi secara mendadak dan diikuti peristiwa ovulasi, rongga folikel yang berangsur-angsur mengecil dan terhentinya pengeluaran lendir; diestrus (tahap akhir estrus) yang ditandai dengan perkembangan corpus luteum, pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan tampak pada dinding uterus, hal ini terjadi bila sapi bunting (Effendi et al., 2002). Beberapa peternak sudah mulai mengawinkan sapi perah dara pada umur sekitar 14 17 bulan tanpa menimbulkan kerugian. Kalau pertumbuhan sapi perah dara itu baik, maka pada umur tadi besar tubuh sudah memungkinkan untuk dikawinkan. Diharapkan nantinya pada umur sekitar 23 26 bulan, sapi perah itu sudah mulai berproduksi susu (Siregar, 1992). C. Pubertas Alat reproduksi sapi dara telah terbentuk jauh sebelum dilahirkan. Sesudah dilahirkan organ tersebut berkembang tahap demi tahap sampai hewan mencapai dewasa kelamin dan mampu untuk mengandung dan melahirkan anak. Peristiwa ini disebut pubertas. Sesudah pubertas, alat reproduksi berkembang terus, sampai tercapai pertumbuhan yang sempurna sesuai dengan perkembangan badannya (Djanuar, 1985). Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu saat organ-organ reproduksi mulai

5 berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1985). Pertumbuhan pubertas yang cepat pada sapi sapi dara PFH dimulai selama bulan ketujuh sesudah lahir. Menjelang bulan kesepuluh petumbuhan cepat saluran kelamin terhenti dan petumbuhan umum mulai melambat. Dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 15 bulan sesudah mencapai berat kira-kira 340 kg (Toelihere, 1985). Bila pubertas telah tercapai, petumbuhan tenunan folikel disertai dengan pelepasan substansi hormon estrogen, menyebabkan sapi dara dengan menunjukkan tanda-tanda birahi. Satu ovum biasanya dilepaskan segera setelah birahi, dan ovum memasuki tuba fallopii, dimana kemungkinan ovum tersebut akan bertemu dan dibuahi oleh spermatozoa (Djanuar, 1985). D. Umur Beranak Pertama Menurut Blakely dan Bade (1998) sapi dara yang dipelihara dengan baik pada umur 13 15 bulan sudah mencapai berat yang cukup untuk dikawinkan, sehingga pada umur sekitar dua tahun sapi betina telah dapat berproduksi. Ditambahkan oleh Bearden et al. (2002), sebaiknya sapi perah dikawinkan pertama kali ketika berat badannya sudah menempuh 270 kg. Menurut Lindsay et al. (1982), pada beberapa keadaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas (Nuryadi 2006). Foley et al., (1973) menyatakan bahwa jumlah pedet yang dilahirkan oleh seekor induk merupakan salah satu ukuran dari penampilan reproduksi. Dinyatakan pula bahwa jika sapi dara beranak pertama pada umur 24 bulan akan melahirkan pedet kira-kira 2 ekor. E. Days Open Lama kosong atau days open (DO) adalah jarak beranak antara sapi beranak (partus) sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari (Hafez, 2000 cit, Hadisutanto, 2008). Jika masa kosong

6 terlalu singkat yaitu kurang dari 60 hari, akan berdampak penurunan fertilitas sebesar 48,3%, hal ini dapat terjadi karena uteri belum mencapai involusi secara sempurna. Bila lebih dari 90 hari maka fertilitas akan menjadi 71,5% (Foley et al., 1973). Lama kosong yang panjang akan mempengaruhi jarak beranak dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi susu seumur hidup. Lama kosong yang paling aman untuk mengawinkan kembali adalah 60 90 hari sesudah beranak, apabila terlalu lama maka kemungkinan akan dapat menurunkan produksi pada masa laktasi berikutnya (Quinn, 1980 cit. Antiyatmi, 2009). F. Service per Conception Service per conception adalah sebuah ukuran kesuburan induk sapi yang dikawinkan dan berhasil menjadi bunting. Service per conception dapat dihitung dengan membagi jumlah total perkawinan pada sekelompok ternak dengan jumlah induk yang bunting. Menurut Blakley et al., (1992) cit, Asimwe dan Kifaro (2007) rerata service per conception pada sapi Friesian Holstein sekitar 1,66 pada daerah tropis. G. Post Partum Estrus Post partum estrus merupakan estrus pertama yang dialami induk sapi setelah beranak. Secara ekonomi estrus pertama setelah beranak hingga terjadinya kebuntingan merupakan faktor yang menentukan dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi (Hasbullah, 2003). Sebagian besar dari sapisapi betina kembali birahi 21 sampai 80 hari sesudah beranak dengan rata-rata 70 hari (Djanuar, 1985). Pengaruh menyusui terhadap interval kelahiran dan estrus pertama pada sapi potong telah dibuktikan dengan menghentikan proses menyusui. Post partum estrus akan diperpanjang bila ternak tersebut menyusui (hunter, 1995) menurut Bearden dan Fuquay (1980), sapi yang sedang menyusui akan mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu ketika sedang menyusui pedet, aktivitas ovarium

7 dan estrus mungkin tidak dapat diamati selama 2 sampai 3 bulan lebih, terutama bila konsumsi energinya rendah. Lebih lanjut Hunter (1995) menjelaskan bahwa rangsang penyusuan akan mengaktifkan sekresi prolaktin, aktivitas gonadotropin akan jauh berkurang atau bahkan berhenti sementara, diperkirakan karena kekurangan sekresi faktor hipotalamus (Gn-RH). Dengan cara ini faktor laktasi yang paling awal dan paling berat tampaknya mengahmbat mulainya kembali aktivitas siklus ovarium. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak maka intensitas rangsang penyusuan ini menyebabkan sekresi hormon gonadotropin sudah mencukupi untuk mulainya kembali pemasakan folikel dan aktivitas ovarium. H. Post Partum Mating Post partum mating adalah pelaksana inseminasi buatan atau perkawinan pada sapi perah setelah beranak. Pirera (1999) menyatakan bahwa involusi uterus terjadi pada 25 sampai 35 hari setelah beranak dan dapat berfungsi normal serta menunjukkan birahi pada 30 sampai 60 hari setelah beranak. Penundaan perkawinan setelah beranak ini umumnya karena terlambatnya post partum estrus, selain itu juga ada ketidak telitian peternak dalam mendeteksi estrus. Sehingga peternak sering tidak mengetahui kalu sapi perahnya sedang estrus. Tertundanya post partum mating ini tentunya akan memperpanjang days open sehingga calving interval menjadi tinggi. Kurangnya konsumsi nutrien, khususnya protein dan energi, mengakibatkan folikel-folikel sebagai penghasil hormon estrogen tidak dapat tumbuh berkembang dengan normal (Hardjopranjoto, 1995). I. Calving Interval Frekuensi melahirkan sangat penting bagi peternak dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak mempunyai dampak ekonomis yang penting. Pada peternakan sapi perah yang ideal, kalahiran harus diusahakan 12 bulan sekali. Efisiensi reproduksi dan keuntungan

8 peternakan sapi perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak sekitar 13 bulan (Fricke, 1998). Menurut Bahari (2007) selang beranak dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi. Selang beranak yang ideal berkisar antara 12 sampai 15 bulan. Adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen, yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu. J. Umur Sapih Secara alamiah pedet akan menyusu pada induknya sekehendak pedet tanpa pembatasan. Pedet bersama induk sapai dengan disapih, yakni pada saat pedet tersebut berumur 6 sampai 9 bulan. Biasanya kondisi pedet akan tumbuh lebih cepat dan kuat (Djanuar, 1985). Ditambahkan oleh Siregar (1990), pedet sapi perah sudah boleh disapih pada umur 11 minggu. Namun banyak peternak sapi perah yang menyapihnya pedetnya pada umur lebih dari 11 minggu. Menurut Webster, (1984) cit. Rummiyat (2003), penyapihan dapat dialakukan terhadap pedet jika pedet tersebut sudah dapat mengkonsumsi pakan padat atau kering untuk kehidupan sehari-hari dan layak untuk pertumbuhan tubuhnya. Ditambahkan pula oleh Bath et al. (1985) cit. Rummiyat (2003), pedet yang sudah mampu mengkonsumsi 0,45-0,67 kg/ekor/hari calf stater yang berkualitas baik sudah dapat disapih. Lama waktu penyapihan sangat mempengaruhi timbulnya estrus kembali setelah proses kelahiran, karena waktu proses menyusui induk sapi menghasilkan hormon prolaktin yang kerja hormon tersebut menghambat kerja hormon FSH sedangkan fungsi hormon FSH sendiri memicu timbulnya estrus. Oleh karena itu karena tidak adanya hormon FSH maka tidak akan terjadi estrus sewaktu proses menyusui. Dilaporkan bahwa sapi potong yang sedang menyusui, dapat mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada sapi yang tidak menyusui (Bearden dan Fuquay, 1980). Mulai umur 2 bulan sampai 3 bulan pemberian susu dihentikan (disapih). Pada umur 3 bulan sampai 6 bulan, pakan formula (calf starter)

9 mulai diganti pakan formula lain (konsentrat) dengan komposisi: PK 16% TDN 70%. Pengganti makanan formula (calf starter) dengan formula (konsentrat) dibatasi maksimum 2 kg/ekor/hari (Soetarno, 2003).