BAB V KESIMPULAN & SARAN Seperti dipaparkan di bagian awal, ada tiga rumusan masalah dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana praktik pembajakan digital dalam budaya mengopi video di warnet? Kedua, bagaimana implikasi pembajakan digital dalam budaya ini pada distribusi dan konsumsi video, baik dari perpsektif produk media sebagai komoditas maupun produk kultural? Ketiga, apa pemahaman ulang pembajakan digital yang ditawarkan dengan melakukan penelitian ini? Peneliti menyajikan temuan data dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama menyajikan gambaran praktik pembajakan digital dalam budaya mengopi beserta implikasi budaya ini pada distribusi dan konsumsi video dengan kerangka perspektif produk media sebagai komoditas. Bagian kedua menyajikan pembajakan digital dalam budaya mengopi beserta implikasi budaya ini pada distribusi dan konsumsi video dengan kerangka perspektif produk media sebagai produk kultural. Pada bagian pertama, peneliti menemukan bahwa para pengopi video di warnet bukanlah audiens video yang sebelumnya menonton film di bioskop atau membeli video original di toko-toko resmi. Para pelaku budaya mengopi video di warnet ini sebelumnya adalah para penyewa video di rental dan pengunduh video 91
di internet, dua aktivitas yang sebenarnya cenderung dikatakan sebagai pembajakan digital juga. Transisi pada budaya mengopi di warnet turut berkembang dengan alasan perubahan praktik kultural dan teknologi. Dalam budaya mengopi di warnet ini, pembajakan digital yang ada memungkinkan akses produk media lebih efisien bagi konsumen Ditemukan pula adanya rekomodifikasi produk media dalam budaya mengopi video di warnet. Dengan bentuk bisnis warnet all you can copy, sulit dipastikan produsen video memperoleh keuntungan ekonomi langsung dari konsumen. Sebaliknya sebagai distributor, warnet mengambil keuntungan secara langsung dari konsumen. Tawaran internet sebagai pusat produk media digital membuat siapa yang memiliki kemampuan mengakses internet dengan cepat akan menjadi pusat produk media digital. Pada bagian kedua, dengan melihat produk media sebagai produk kultural, pembajakan digital dalam budaya mengopi justru semakin memberi kemudahan aliran ideologi dalam video yang terdistribusi secara global. Ditemukan bahwa etalase video di warnet didominasi oleh produk dari Hollywood, Korea, dan Jepang. Sebaliknya video lokal yang tidak banyak didigitalisasi dan didistribusikan dalam internet cenderung tidak mendapatkan perhatian dari para pengopi. Namun bentuk baru dominasi kultural yang dimungkinkan turut mengalami negosiasi dengan adanya ruang publik alternatif yang terbentuk. Misalnya dengan adanya fasilitias Request di warnet yang memungkinkan para pengopi untuk meminta disediakannya video-video alternatif. Ruang publik 92
alternatif ini juga muncul sebagai kemungkinan akses produk media yang semakin variasi serta proses distribusi yang cair dalam ruang sosial yang luas. Seperti yang terlihat dalam budaya mengopi melampaui warnet, di mana para pengopi di warnet tidak hanya berhenti sebagai konsumen namun turut menjadi distributor video dalam ruang-ruang sosial lainnya. Peneliti mencoba memberi tawaran pemahaman baru terhadap pembajakan digital. Dalam hal ini, pembajakan digital tidak lain adalah bentuk baru reproduksi media di era internet dan digitalisasi media. Sifatnya sangat cair, nyaris tidak memerlukan perantara teknologi fisik, bersifat global, dan sulit dilabeli dengan nilai ekonomi dalam konteks komoditas klasik. Pembajakan digital tumbuh seiring perubahan praktik-praktik kultural mengonsumsi media, perkembangan teknologi media, dan rekomodifikasi dalam industri distribusi media. Di satu sisi pembajakan digital berimplikasi pada terbentuknya relasi kuasa media global baru yang tetap memiliki pusat-pusat. Di sisi lain sifat produk media yang cair memungkinkan tumbuhnya pusat media yang lebih terseleksi dan ternegosiasi sehingga makin beragamnya konsumsi produk media global. Dengan pemahaman baru ini, diharapkan praktik-praktik pembajakan digital tidak semata-mata dihakimi sebagai aktivitas yang merugikan industri media. Sebaliknya industri media perlu beradaptasi dengan perubahan teknologi media di era digitalisasi dan globalisasi. Mengenai adanya potensi relasi kuasa media global yang terpusat, industri media lokal perlu berstrategi dalam menjangkau konsumen. Para konsumen pun perlu memiliki kemampuan negosiasi yang kritis terhadap tawaran-tawaran produk media global. Hal ini penting untuk 93
mencegah adanya dominasi kultural dari kelompok tertentu seiring persebaran produk medianya. Saat melakukan penelitian mengenai budaya mengopi video di warnet Yogyakarta ini, peneliti tidak menemukan penelitian serupa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang berusaha memberi gambaran awal/umum mengenai budaya tersebut. Menilik pada perspektif yang mungkin dikembangkan dalam meneliti budaya ini, peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Penelitian ini mengambil beberapa para pelaku budaya mengopi sebagai informan penelitian. Salah satu hal yang bisa dikembangkan dalam meneliti budaya ini adalah mengambil lebih banyak lagi informan penelitian untuk menemukan adanya praktik-praktik lain terkait budaya ini. Dimungkinkan pula untuk mengombinasikan metode kualitatif dengan kuantitatif dalam memetakan jumlah dan peta persebaran para pengopi. Dengan perkembangan metode ini, penelitian dimungkinkan untuk dapat memberi gambaran seberapa masif budaya tersebut dalam konteks industri distribusi video 2. Salah satu yang mungkin dikembangkan dalam penelitian ini adalah melibatkan pihak warnet. Dengan ini penelitian dimungkinkan dapat menggambarkan bagaimana posisi warnet dalam melakukan pembajakan digital, misalnya bagaimana warnet memperoleh video. Dengan melibatkan warnet, dimungkinkan pula untuk memfokuskan penelitian pada aspek ekonomi politik warnet, misalnya seberapa jauh warnet memonopoli atau mendominasi dalam industri distribusi video di Yogyakarta. 94
3. Jika pada penelitian ini hubungan para pengopi dan video yang dikopi di warnet hanya dipaparkan secara umum, salah satu yang mungkin dikembangkan dalam penelitian ini adalah memfokuskan hubungan tersebut pada salah satu jenis produk media. Misalnya melihat lebih dalam bagaimana aliran serial televisi produksi Korea diseleksi dan dinegosiasi oleh para pengopi. Fokus ini berguna untuk melihat sejauh mana soft power dalam budaya pop berjalan bersama pembajakan digital, khususnya budaya mengopi. 4. Minimnya penelitian mengenai pembajakan media dan budaya mengopi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, membuat peneliti kesulitan menemukan perspektif historis dari tema-tema tersebut. Saran lebih lanjut adalah dilakukannya penelitian yang berusaha menggali perkembangan pembajakan media ataupun budaya mengopi secara historis. Dengan perspektif historis ini diharapkan dapat dipetakan relasi antara kultur masyarakat dan cara masyarakat tersebut mengonsumsi/ mendistribusikan produk media. 95