I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit busuk akar (root rot disease) telah menjadi ancaman besar Hutan Tanaman Industri (HTI) mangium di Indonesia (Lee, 2000; Old et al., 2000; Sankaran et al., 2005). Kejadian penyakit busuk akar pada awalnya sudah terjadi sejak 2 dekade terakhir, akan tetapi karena tingkat kematian pohon dipandang tidak signifikan terhadap produksi kayu maka penyakit busuk akar ini belum banyak diteliti dan mendapat perhatian. Penelitian secara intensif mulai dilakukan sejak meningkatnya jumlah pohon yang mati pada rotasi kedua. Persentase kematian pohon sangat tinggi, antara 3% hingga 28% pada tanaman mangium umur 3-5 tahun (Irianto et al., 2006) dan penyakit ini secara signifikan telah mengurangi produktivitas kayu untuk bahan pulp (Old, et al., 2000; Irianto et al., 2006; Glen et al.,2009). Survey penelitian yang dilakukan oleh Irianto dan Barry pada tahun 2004 menunjukkan sebanyak 14,5% dan 28,5% kejadian penyakit busuk akar ditemukan dari setiap 200 pohon pada tanaman mangium umur 4 dan 5 tahun rotasi kedua pada 2 kompartemen yang berbeda di Kalimantan Timur (Irianto et al., 2006). Kerugian yang timbul dapat dipahami melalui pemahaman apabila penelitian mengenai penyakit busuk akar dapat mengurangi kerugian hanya 1% saja, maka hal ini setara dengan menyelamatkan kerugian sebesar US$ 4,2 juta per tahun (Mohammed et al., 2012). Organisme penyebab penyakit busuk akar telah diketahui berasal dari kelompok jamur marga Ganoderma, Phellinus, dan Rigidoporus yang umum 1
menyebabkan gejala kerusakan yang sangat nyata berupa busuk akar terutama pada tanaman kelapa sawit, karet, akasia dan ekaliptus (Lee, 1999; Eyles et al., 2008; Glen et al., 2009). Jamur Ganoderma sp. dan Phellinus spp. telah dilaporkan sebagai jamur patogen yang berasosiasi dengan busuk akar pada tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus pellita (Glen et al., 2009; Agustini et al., 2014a). Jamur Ganoderma philippii (Bres.& Henn. ex Sacc) Bress. dilaporkan telah menjadi patogen utama penyebab penyakit busuk akar merah (red root rot) (Lee, 1999; Glen et al., 2009; Coetzee et al., 2011; Yuskianti et al., 2014) yang banyak ditemukan pada hutan tanaman mangium di daerah Sumatera dan Kalimantan, Indonesia. Serangan patogen G. philippii ditunjukkan dengan adanya karakteristik rhizomorf berwarna merah pada permukaan kulit akar pohon yang terserang penyakit busuk akar sehingga sering disebut red root rot (Mohammed et al., 2006). Jenis penyakit busuk akar lainnya yang juga ditemukan pada tegakan mangium tetapi tidak terlalu dominan adalah penyakit busuk akar coklat (brown root rot) yang disebabkan oleh jamur Phellinus noxius (Lee, 1999; Agustini et al., 2014a). Strategi pengendalian penyakit busuk akar untuk inang tanaman yang sangat rentan terhadap penyakit tersebut tidak mudah, selain itu pilihan pengendalian dengan biaya yang efektif masih terbatas (Irianto et al., 2006; Eyles et al., 2008). Pengendalian yang selama ini sudah dilakukan baik secara fisik, kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang nampak nyata. Seleksi genetik tahan di lapangan dengan cara inokulasi patogen buatan belum menunjukkan adanya tren genetik yang tahan terhadap patogen busuk akar 2
(Mohammed et al., 2014). Stump removal sebagai salah satu strategi pengedalian secara silvikultur tidak menjadi pilihan yang menarik pada industri kayu pulp di daerah tropis karena tidak ekonomis dan berdampak pada kerusakan tanah. Meskipun pengendalian ini dapat mengurangi kejadian penyakit sebesar 20-72% untuk patogen H. annosum s.l., 85-100% untuk patogen Phellinus sulphurascens, 880-100% untuk patogen Armillaria ostoyae (Romagn.) Herink. (Cleary et al., 2013). Percobaan stump removal di Indonesia dapat mengurangi kejadian dan keparahan busuk akar pada awal rotasi, tetapi tidak menunjukkan hasil yang konsisten pada rotasi berikutnya. Masih ditemukan adanya kejadian penyakit busuk akar pada rotasi tanaman berikutnya pada plot yang mempunyai kelimpahan sumber inokulum yang tinggi di dalam tanah (Mohammed et al., 2012). Penggantian jenis tanaman dengan jenis lain yang bukan menjadi i nang utama terhadap penyakit busuk akar juga belum memberikan hasil yang menjanjikan. Seperti halnya penggantian jenis mangium dengan jenis lain seperti Acacia crassicarpa, Eucalyptus pellita pada beberapa HTI masih ditemukan adanya beberapa kejadian busuk akar. Sampai beberapa tahun terakhir ini, pengendalian secara umum masih terkendala pada tingginya sumber inokulum jamur akar di dalam tanah yang tidak dapat dilihat dan diestimasi secara pasti dan akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan rotasi tanaman. Banyak strategi pengendalian hayati yang sudah diterapkan untuk mengendalikan beberapa patogen terbawa tanah. Pengendalian hayati yang banyak digunakan sampai saat ini terutama adalah menggunakan jamur Trichoderma spp. (Mardhiansyah, 2011; Agustini et al., 2014b) dan Gliocladium 3
sp. (Bhansali, 2012). Di samping itu ada beberapa kelas Basidiomycetes yang sudah diketahui berperan sebagai agens pengendali hayati (APH) untuk mengendalikan beberapa penyakit busuk akar maupun busuk pangkal bata ng pada berbagai jenis tanaman keras dan kehutanan. Jamur busuk putih Phlebiopsis gigantea secara in vitro mampu menghambat pertumbuhan patogen Heterobasidion annosum (Mgbeahuruike et al., 2011), dan aplikasi di lapangan dengan cara mengolesi permukaan tunggak dengan suspensi oidia jamur APH tersebut berhasil menekan infeksi jamur H. annosum pada tanaman (Thor, 2003; Vasiliauskas et al., 2005; Samils et al., 2008). Jamur endofitik Phlebia GanoEF3 mampu menghambat pertumbuhan jamur G. boninense secara in vitro dan dapat mengendalikan infeksi G. boninense pada skala pembibitan (Noor Haida and Idris, 2009 cit. Nurrashyeda et al., 2012). Pada tanaman mangium, jamur agens pengendali hayati (APH) yang sudah diaplikasikan masih dari jenis Trichoderma, seperti Trichoderma reesei (Harjono and Widyastuti, 2001), Trichoderma harzianum, dan endofitik Trichoderma (Abdul Gafur dan Aswardi Nasution, komunikasi pribadi). Namun demikian hasilnya di lapangan belum dapat menjanjikan, karena APH ini bukan jamur saprofitik dekomposer yang dapat merombak sumber inokulum di dalam tanah (Bhansali, 2012). Berbagai penelitian untuk menentukan efektivitas agens pengendali hayati yang mampu menekan intensitas penyakit telah dilakukan, akan tetapi hanya beberapa aplikasi jenis pengendali hayati yang mampu memberikan hasil yang memuaskan (Sariah and Zakaria, 2000; Widyastuti, 2006). Sampai saat 4
ini pengendalian hayati jamur akar pada tanaman akasia dengan menggunakan jamur dari kelas Basidiomycetes belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang potensi APH dari kelompok jamur kelas Basidiomycetes yang mampu berperan sebagai agens pengendali hayati jamur patogen G. philippii dan P. noxius penyebab penyakit busuk akar pada tanaman mangium. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan 20 isolat jamur yang berpotensi sebagai agens pengendali hayati (APH) dari 3 marga yang berbeda yaitu Phlebiopsis (9 isolat), Cerrena (7 isolat), dan Phlebia (4 isolat). Duapuluh isolat jamur APH diuji secara antagonistik dengan 2 isolat jamur akar dari 2 spesies yang berbeda, yaitu Ganoderma philippii dan Phellinus noxius. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Agustini et al. (2014b) yang hanya menggunakan 1 isolat jamur APH Phlebiopsis sp.1 (isolat Pb4) terhadap 3 isolat jamur akar Ganoderma philippii yang berbeda. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkarakterisasi morfologi isolat jamur patogen penyebab penyakit akar (Ganoderma philippii dan Phellinus noxius) dan jamur APH yang berpotensi sebagai agens pengendali hayatinya (Phlebiopsis sp.1, Cerrena sp., dan Phlebia spp.). 5
2. Menentukan isolat jamur APH yang efektif sebagai kandidat pengendali hayati jamur akar Ganoderma philippii dan Phellinus noxius secara in vitro. 3. Mengidentifikasi mekanisme penghambatan secara in vitro dari jamur yang berpotensi sebagai APH dalam menghambat pertumbuhan miselia jamur akar Ganoderma philippii dan Phellinus noxius. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat sebagai salah satu dasar bagi penelitian selanjutnya di bidang penyakit tanaman hutan untuk dapat mengendalikan penyakit busuk akar secara ramah lingkungan. 6