18 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah gandum, jagung dan padi. Di Indonesia kentang merupakan komoditas hortikultura yang memegang peranan penting dalam perekonomian, menunjang progam diversifikasi pangan serta menjadi bahan pangan alternatif pengganti beras karena mempunyai kandungan karbohidrat, protein dan lemak serta vitamin C yang cukup tinggi (Ashari, 1995; Suwarno, 2008). Produksi kentang nasional pada tahun 2012 tercatat 1.094.240 ton dengan luas panen 66.531 ha. Sampai tahun 2012, Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu pusat produksi dengan area pertanaman kentang paling luas di Indonesia, yaitu 16.102 ha dengan produksi mencapai 252 608 ton (BPS Jateng, 2015). Salah satu kendala utama dalam budidaya kentang di Indonesia adalah rendahnya produktivitas kentang di tingkat petani, yaitu hanya 16,7 t/ha (BPS, 2015). Rendahnya hasil dapat disebabkan oleh gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti penyakit hawar daun, virus, dan OPT penting lainnya di samping penggunaan benih yang kurang baik. Kehilangan hasil akibat penyakit hawar daun dilaporkan mencapai kisaran antara 10-100% (Semangun, 2007; Ambarwati et al., 2012). Kehilangan hasil pada kentang varietas Granola oleh penyakit hawar daun dapat mencapai 77% (Kusmana dan Sofiari, 2007). Penyakit hawar daun kentang disebabkan oleh serangan jamur patogen Phytophthora infestans. Penyakit hawar daun telah dijumpai sejak awal kentang dibudidayakan oleh petani, yaitu pada tahun 1794 (Permadi, 1989). Penyakit hawar daun sangat merusak dan sulit dikendalikan, karena P. infestans merupakan patogen yang memiliki tingkat patogenisitas yang beragam. Keberagaman patogenisitas tersebut terjadi karena jamur ini bersifat heterotalik
19 (Purwanti, 2002). P. infestans menyerang daun, batang, tangkai daun dan umbi pada semua fase pertumbuhan tanaman kentang. Daun merupakan organ tanaman tempat berlangsungnya fotosintesis, dengan rusaknya organ ini maka jumlah fotosintat yang seharusnya disimpan di dalam umbi, akan berkurang sehingga menurunkan hasil panen. Penyakit hawar daun menunjukkan gejala awal berupa bercak basah pada tepi daun, berwarna hijau terang kemudian berubah menjadi coklat yang akhirnya menutupi seluruh daun. Spora yang jatuh ke tanah juga menjadi sumber infeksi pada umbi (Semangun, 2007). Pengendalian penyakit hawar daun tanaman kentang sampai saat ini masih mengandalkan penggunaan fungisida kimia. Penggunaanya secara intensif menyebabkan timbulnya ras-ras P. infestans baru yang tahan terhadap fungisida kimia yang digunakan sebelumnya. P. infestans menjadi resisten dan terstimulasi membentuk keragaman genetik melalui ras-ras baru yang lebih ganas sehingga menurunkan ketahanan tanaman kentang terhadap jamur patogen tersebut (Bradshaw et al.,1999). Pembentukan ras baru dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat sehingga akan mempersulit upaya pengendalian menggunakan varietas tahan (Sastrahidayat,1990). Residu fungisida kimia akan terakumulasi di dalam hasil panen dan mengakibatkan racun bagi konsumen. Fungisida kimia merupakan bahan yang sulit diuraikan dan jika terakumulasi dalam tubuh manusia akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Penggunaan fungisida kimia juga berarti meningkatnya biaya produksi dalam budidaya tanaman kentang (Untung, 1993). Oleh karena itu, perlu dicari alternatif pengendalian penyakit hawar daun yang efektif namun ramah terhadap lingkungan. Jamur Trichoderma spp. telah terbukti efektif mengendalikan pertumbuhan jamur patogen penyebab penyakit pada tanaman budidaya, seperti Phytium spp., Phytophthora spp., Rhizoctonia spp. dan Sclerotinia spp. (Cook and Baker, 1983; Lathifah et al., 2011). Salah
20 satu mekanisme penekanan jamur patogen oleh Trichoderma spp. adalah dengan cara menginduksi ketahanan tanaman sebagai tanaman inang patogen (Rifai et al., 1996; Agrios, 2005; Wahyuno et al., 2009; Sudantha et al., 2011). Trichoderma spp. dapat diiisolasi dari tanah supresif. Pada tanah supresif banyak terdapat jenis mikroorganisma saprofit dengan kemelimpahan yang tinggi. Beberapa kelebihan Trichoderma spp. sebagai bahan aktif biofungisida yang tidak didapati seperti pada pada fungisida kimia adalah: 1. Trichoderma bersifat dinamis sehingga dapat bereaksi sesuai dengan perubahan yang terjadi pada habitatnya, 2. Trichoderma secara ekologis mampu berkompetisi dengan mikroorganisme lain dalam jangka waktu yang lama dan 3. Trichoderma mempunyai tingkat kemampuan adaptasi yang tinggi serta variasi genetik yang sangat besar. Setiap jenis Trichoderma mempunyai kemampuan yang berbeda dalam melemahkan jamur patogen (Widyastuti, 2007). Trichoderma spp. juga diketahui sebagai agensia hayati yang mampu mempercepat pertumbuhan semai beberapa jenis tanaman hutan (Widyastuti et al., 2006). B. Permasalahan Potensi jamur antagonis Trichoderma spp. sebagai agensia pengendali hayati pertumbuhan berbagai jenis jamur patogen penyebab penyakit tanaman budidaya, perlu dikaji potensinya dalam menginduksi ketahanan tanaman kentang terhadap serangan jamur patogen P. infestans. Hal tersebut karena Trichoderma spp juga berperan dalam memacu pertumbuhan tanaman. Setiap jenis Trichoderma mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengendalikan pertumbuhan jamur patogen, dengan demikian perlu dilakukan skrining/penapisan Trichoderma spp. dari rhizosfer tanaman kentang sehat dan selanjutnya diuji kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen P. infestans pada
21 penelitian di laboratorium (in vitro) dan in vivo untuk mengetahui ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit hawar daun. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Jenis jamur Trichoderma hasil isolasi dari rhizosfer tanaman kentang sehat manakah yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan P. infestans secara in vitro? 2. Bagaimana efektifitas Trichoderma terpilih terhadap masa inkubasi, intensitas penyakit hawar daun, pertumbuhan serta hasil panen tanaman kentang? 3. Bagaimana respon ketahanan tanaman kentang hasil aplikasi Trichoderma terpilih terhadap penyakit hawar daun? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pemasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan jenis Trichoderma paling efektif dalam menghambat pertumbuhan P. infestans secara in vitro. 2. Mempelajari efektifitas Trichoderma terpilih dalam menekan penyakit hawar daun dan mempengaruhi pertumbuhan serta hasil tanaman kentang. 3. Mempelajari respon ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit hawar daun hasil aplikasi Trichoderma terpilih. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran literatur yang telah dilakukan penulis, hingga saat ini belum ada laporan kajian penelitian di Indonesia tentang induksi ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit hawar melalui aplikasi jamur antagonis Trichoderma terpilih hasil isolasi dari rhizosfer pada tanaman kentang sehat. Purwantisari et al. (2009) telah melakukan ngan Trichoderma namun belum diketahui jenisnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui jenis Trichoderma yang paling efektif dalam mengendalikan pertumbuhan P.
22 infestans secara in vitro dan in vivo/ in planta dengan menginduksi ketahanan tanaman kentang tersebut terhadap penyakit hawar daun dengan Trichoderma terpilih. Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Isolasi Trichoderma spp. dari rhizosfer tanaman kentang sehat, 2. Uji antagonisme in vitro antara Trichoderma spp. dan P. infestans dan 3. Mengetahui respon ketahanan tanaman kentang oleh Trichoderma terpilih pada penanaman bibit kentang di rumah kasa. Parameter-parameter pertumbuhan dan hasil panen tanaman kentang tersebut meliputi: masa inkubasi penyakit, intensitas penyakit, pertumbuhan dan hasil panen tanaman kentang. Respon ketahanan biokimiawi dan struktural tanaman kentang, diketahui dengan mengukur kadar total fenol, kandungan glukanase dan kandungan hormon giberelin pada jaringan tanaman kentang. Respon ketahanan struktural tanaman kentang diamati secara kualitatif dengan terjadinya lignifikasi pada jaringan tanaman kentang. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan menjadi landasan ilmiah dalam pengembangan pengendalian penyakit hawar daun yang ramah lingkungan dengan mengaplikasikan jamur antagonis Trichoderma. Hasil penelitian ini juga juga menginformasikan tentang potensi Trichoderma spp. sebagai agens penginduksi ketahanan tanaman kentang, sehingga sesuai dengan konsep Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT). Biofungisida berbahan aktif jamur antagonis Trichoderma juga diharapkan menjadi alternatif yang nyata dalam mengurangi ketergantungan para petani akan penggunaan fungisida kimia. Penggunaan biofungisida juga menjadi upaya revitalisasi tanah pertanian karena mampu mengembalikan keseimbangan alamiah dan kesuburan tanah.