BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 I d e n t i f i k a s i P e r u b a h a n R u m a h T r a d i s i o n a l D e s a K u r a u, K e c. K o b a

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memerlukan permukiman untuk pelaksanaan aktivitas kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang tidak dapat

DAFTAR ISI. Halaman i ii iii iv v vi

BAB I PENDAHULUAN. Definisi perkembangan menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air telah berabad-abad menjadi sumber kehidupan-memberi pengharapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Wanita adalah perempuan yang sudah dewasa, sedangkan perempuan adalah

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR v DAFTAR TABEL vii ABSTRAK viii ABSTRACT. ix

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang dijadikan landasan teori penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian adalah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa Melayu di Sumatera Timur mendiami daerah pesisir timur

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak Sapi Bali di Kabupaten Tabanan 1

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Fitriyani, 2013

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB 1 PENDAHULUAN. spesifik. Oleh sebab itu, apa yang diperoleh ini sering disebut sebagai

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan kota-kota besar di Indonesia saat ini berada dalam tahap yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu sama lain. Hal ini dapat kita

BAB I PENDAHULUAN. Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa where once. usaha lainnya (http;//pariwisata.jogja.go.id).

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi kehidupan, semua

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAB II TINJAUAN ASET WISATA DAN PEMUKIMAN TRADISIONAL MANTUIL 2.1. TINJAUAN KONDISI DAN POTENSI WISATA KALIMANTAN

TIPOMORFOLOGI KAWASAN PERMUKIMAN NELAYAN PESISIR PANTAI PELABUHAN BAJOE KAB. BONE

BAB II KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA TANJUNG LEIDONG SEBELUM 1970

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yaitu rumah sebagai unit hunian tunggal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. demikian ini daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

Rumah Susun Sewa Di Kawasan Tanah Mas Semarang Penekanan Desain Green Architecture

KONDISI FISIK WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung

I PENDAHULUAN. dengan mengelola sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PULAU BURUNG. wilayah administratif Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau yang memiliki luas 531,22 km²

Rumah Susun Di Muarareja Kota Tegal

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

abelpetrus.wordpress.com

L2B Ahmad Farid R Museum Armada TNI AngkatanLaut Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. CATATAN DOSEN PEMBIMBING... iii. LEMBAR PERNYATAAN... iv. MOTTO... v. KATA PENGANTAR...

RESPONS TERHADAP MODERNISASI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

POLA KERUANGAN DESA A. Potensi Desa dan Perkembangan Desa-Kota Bintarto

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

POLA PERMUKIMAN BUGIS DI KENDARI. Irma Nurjannah Program Studi Arsitektur Universitas Halu Uleo Kendari

BAB I PENDAHULUAN. dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27).

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan

BAMBANG DJAU

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

DESA - KOTA : 1. Wilayah meliputi tanah, letak, luas, batas, bentuk, dan topografi.

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah urban

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Judul Proyek. Kota Jakarta adalah tempat yang dianggap menyenangkan oleh mayoritas

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi,

Cut Nuraini/Institut Teknologi Medan/

I. PENDAHULUAN. utama bagi pengambil kebijakan pembangunan. Laut hanya dijadikan sarana lalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini fokusnya adalah Pola Permukiman Suku Bajo di Torosiaje Laut, kawasan pemukiman perairan laut. Suku Bajo di Desa Torosiaje Laut lebih tertarik bermukim di perairan laut dari pada di darat, ini terbukti ketika pemerintah pada 1982 berupaya untuk merelokasi para penduduk Suku Bajo untuk dirumahkan dengan diberikan sepetak lahan untuk bercocok tanam, namun mereka tak betah dan satu demi satu anggota suku ini meninggalkan lokasi relokasi dan kembali ke laut, hingga kini mereka masih memilih tinggal di atas perairan laut karena bagian dari tradisi dan budaya Suku Bajo, mempertahankan warisan leluhur mereka. Dalam bab pendahuluan ini akan diuraikan beberapa subbab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan penelitian dan kerangka pikir penelitian. Salah satu wujud atau tipe karya arsitektur yang paling umum dijumpai adalah hunian. Hampir di seluruh permukaan bumi dapat di jumpai permukiman dan hunian manusia. Mulai dari lokasi yang paling tinggi di pegunungan hingga di atas air, baik sungai maupun laut; dari kawasan hutan yang lebat hingga padang pasir; dari kawasan yang sangat dingin di daerah kutub hingga daerah yang sangat panas di padang pasir akan selalu terdapat permukiman dan hunian manusia (Doxiadis, 1968 dalam Muchamad B. N, 2013). Perbedaan kondisi lingkungan alam inilah yang menjadi pembentuk dari setiap hunian yang ada. Selain itu, hunian yang ada di suatu daerah juga tidak terlepas dari budaya yang juga dibentuk oleh lingkungan alam dimana lokasi hunian atau permukiman berada. Secara formal di dalam UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihat antrara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sebelum adanya undang-undang tersebut, definisi formal wilayah pesisir telah di kemukakan dalam keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan 1

Pulau-pulau Kecil. Dalam keputusan tersebut wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian darat, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh peoses alami yang terjadi. Definisi tersebut juga menunjukan bahwa tidak terdapat garis batas nyata wilayah pesisir. Batas wilayah hanyalah garis khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat, pada tempat yang landai garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknya untuk wilayah pantai yang terjal Pengertian tentang daerah pesisir sangat berkaitan dengan eksistensi masyarakat nelayan. Seperti yang disampaikan oleh Kusnadi (2009) mengatakan bahwa masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni`suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Yuwono (2003a) bahwa wilayah pesisir atau daerah pantai adalah suatu daratan beserta perairannya dimana pada daerah tersebut masih dipengaruhi oleh aktivitas darat maupun oleh aktivitas maritim. Dengan demikian daerah pesisir atau daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan daratan pantai yang saling mempengaruhi. Secara administrasi yang disebut sebagai desa pantai adalah desa yang paling dekat dengan pantai. Desa pantai adalah bagian dari wilayah pesisir. Lebih lanjut dikatakan Kusnadi (2009) tentang nelayan bahwa sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dengan kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Berdasarkan uraian di atas tentang permukiman dan masyarakat nelayan sebagai komunitas yang hidup di daerah pesisir, maka dapat dinyatakan bahwa permukiman pesisir adalah permukiman yang secara fisik terletak di daerah transisi antara wilayah darat dan laut dengan mayoritas masyarakat 2

menggantungkan diri pada profesi sebagai nelayan. Komunitas nelayan ini terbentuk sebagai komunitas dengan kebudayaan yang dipengaruhi oleh sistem nilai dan simbol masyarakat maritim menjadi referensi masyarakat ini juga untuk membentuk permukimannya sebagai bagian dari produk kebudayaan masyarakat nelayan. Kawasan Permukiman, merupakan tempat tinggal dan tempat melakukan kegiatan untuk mendukung kehidupan penghuninya, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia, dengan alam serta dengan pencipta-nya. Apabila diamati, hubungan itu mempunyai pola yang sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh pada masyarakatnya. Oleh karena itu permukiman merupakan cerminan dari pengaruh sosial budaya masyarakat. Permukiman secara fisik tidak terbatas pada tempat tinggal saja, tetapi merupakan satu kesatuan sarana dan prasarana lingkungan terstruktur. Hubungan ini saling mempengaruhi dan dipengaruhi secara terus menerus dari waktu ke waktu, sehingga terdapat petunjuk dan aturan tentang penataan lingkungan permukiman. Oleh sebab itu kegiatan manusia pada lingkungan permukiman mempunyai pola-pola yang mengatur dan menjaga keseimbangan alam. Apabila dicermati, permukiman memiliki bentuk tersendiri sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh pada masyarakat, berupa system sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan, serta teknologi terapan yang kesemuanya akan membawa perubahan kepada ungkapan fisik lingkungannya. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah system sosial budaya. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses yang mengakibatkan perubahan, baik perubahan pada sosial budaya, ekonomi maupun perubahan fisik. Perubahan itu bermacam-macam tingkatannya, ada yang lambat dan ada yang cepat tergantung dari tingkat evolusi peradaban manusianya. Pada dasarnya pembangunan dapat melestarikan warisan budaya bangsa, sehingga ada kesinambungan antara pembangunan masa lalu dan masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menggali patokan-patokan pembangunan fisik masa lalu untuk dapat digunakan sebagai pengembangan kebudayaan selanjutnya. 3

Pengaruh kebudayaan pada suatu lingkungan permukiman sangat dominan, walaupun telah banyak mengalami perubahan dan pembaharuan. Perubahan itu tidak dirasakan oleh masyarakat yang mengalami perubahan, tetapi dapat diamati oleh orang luar. Proses kebudayaan beralih sifatnya dari suatu produk sejarah menjadi hal yang semata-mata normatif. Pengaruh itu dimulai dari berkembangnya kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa yang merupakan corak kebudayaan, sebagai bagian dari sejarah kebudayaan yang pernah berkembang di Indonesia pada umumnya dan di Gorontalo pada khususnya. Pola suatu permukiman apabila dicermati terlihat memiliki bentuk berbeda-beda sesuai dengan kekuatan-kekuatan non fisik yang tumbuh pada masyarakat, yang berupa sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan, serta teknologi terapan yang kesemuanya akan membawa perubahan pada ungkapan fisik lingkungannya. Salah satu faktor yang sangat berpengarah adalah sistem sosial budaya. (Koentjaraningrat, 1982) Sugihen (1996) dalam Sosiologi Pedesaan menerangkan bahwa sering pula suatu desa itu berkaitan erat dengan karakteristik sosial budaya yang dominan di permukiman yang bersangkutan. Desa yang terbentuk dari orangorang yang masih mempunyai pertalian keluarga lewat perkawinan {cosanguines) akan berbeda dengan bentuk kampung (desa) lain. Demikian juga dengan kebutuhan vital, tingkat pengetahuan, dan tingkat teknologi yang dimiliki para pedesa sering berperan dalam menentukan tata letak (ruang) suatu desa. Masih menurut Sugihen (1996) bahwa kondisi alam lingkungan sekitar (geografis) sering mempengaruhi atau menentukan bentuk (tata letak) desa. Jadi akan ada perbedaan bentuk atau pola desa, bahkan arsitektur bangunan pemukiman di daerah pegunungan dengan desa yang berada di bagian pantai, atau dengan desa-desa di dataran yang dilalui sungai yang airnya dapat dipakai untuk pengairan lahan usaha tani dan lalu lintas utama. Menurut Bintarto (1977) unsur-unsur geografis yang mempengaruhi pola 'land settlement adalah; unsur lokasi dalam arti letak fisiografis dan letak ekonomis kulturil, unsur iklim dalam arti tinggi tempat yang mempengaruhi temperatur setempat, unsur tanah dalam arti topografi dan relief setempat, unsur 4

air dalam arti terdapatnya sumber-sumber air dan penyebaran sungai-sungainya. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa rumah dan lingkungannya bukan saja hasil kekuatan fisik tetapi terkait juga dengan faktor sosial budaya di dalamnya. Budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk sedang faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografi, politik, ekonomi, merupakan faktor pengubah (modifiying factors). Jadi dalam hal ini kondisi lingkungan adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pola desa dan arsitektur bangunan permukiman disamping faktor-faktor sosial budayanya. Tepi laut atau pesisir pantai merupakan ruang yang relativ dominan bagi permukiman perairan di Indonesia. Dari sekian banyak permukiman perairan di Indonesia, salah satu di antaranya adalah permukiman Suku Bajo di Torosiaje, Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Saat ini permukiman Suku Bajo di Torosiaje laut mengalami perubahan, yang biasanya di atas laut berangsur-angsur bergeser ke daratan (Amir Salipu). Lain halnya yang ada di Provinsi Gorontalo. Permukiman Suku Bajo di Torosiaje memiliki keunikan tersendiri yaitu permukiman tersebut dibangun di atas laut yang benar-benar terpisah dari daratan, Kedekatan ini terbukti ketika pemerintah pada 1982 berupaya untuk merelokasi para penduduk Suku Bajo untuk dirumahkan dengan diberikan sepetak lahan untuk bercocok tanam, namun mereka tak betah dan satu demi satu anggota suku ini meninggalkan lokasi relokasi dan kembali ke laut. Barangkali ungkapan jika Suku Bajo itu lahir, hidup, dan mati di laut adalah benar adanya. Rumah-rumah penduduk Torosiaje berbentuk rumah panggung dengan tinggi sekitar 3-4 meter dari atas permukaan air laut. Di depan rumah-rumah panggung ini di bawahnya terdapat (Karamba) kandang ikan terapung sebagai penunjang ekonomi Suku Bajo di Torosiaje ini. Keramba dalam kehidupan masyarakat Suku Bajo mempunyai fungsi yang cukup besar dalam menunjang ekonomi antara lain : a) ikan-ikan yang dipelihara ini dapat dikonsumsi oleh keluarga Suku Bajo yang memilikinya, b) pada saat tidak musim ikan atau saat musim yang sulit (berombak) untuk menangkap ikan maka ikan-ikan tersebut dapat dijual ke pasar. 5

Secara geografis pemukiman Suku Bajo Torosiaje terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, kurang lebih 300 km ke arah barat kota Gorontalo. Terdapat jalan darat relatif mulus yang menghubungkan Kota Gorontalo dengan Desa Torosiaje. Ada dua perkampungan suku Bajo di Torosiaje. Pertama yaitu perkampungan suku Bajo di Torosiaje Jaya yang terletak di daratan, dan yang kedua perkampungan suku Bajo yang terletak di atas laut yaitu Desa Torosiaje laut. dengan tipe iklim tropis basah. Kawasan ini didominasi oleh penduduk yang bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Dengan kondisi tersebut, masyarakat Suku Bajo di Torosiaje yang hidup mengembara di lautan dan melakukan segala aktifitas serta menghabiskan hidupnya di atas perahu yaitu berlayar mengarungi lautan. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang selalu dijalani oleh warga secara turun temurun sejak beberapa abad yang lalu. Berangkat dari masa lalu, bahwa nenek moyang masyarakat Suku Bajo ini memiliki tempat tinggal di atas perahu (sampan) yang sangat sederhana dengan bentuk atap yang menyerupai rumah dan memiliki fasilitas seadanya. Tempat tinggal tersebut masyarakat menamainya dengan sebutan sapau (rumah perahu). Sapau berfungsi sebagai tempat tinggal dan dijadikan sebagai sarana dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bersama dengan perkembangan waktu dan zaman, masyarakat ini kemudian mulai berfikir untuk menetap dalam suatu hunian (rumah) dengan membentuk suatu permukiman yang mengelompok di perairan laut bagian pesisir pantai. Proses masa perkembangan kawasan permukiman ini tumbuh secara spontan dengan teknis yang praktis dan sederhana serta tidak menghilangkan budaya laut yang mempengaruhi pola hidup warga sampai saat ini. Jika dilihat dari proses terbentuknya permukiman masyarakat Suku Bajo di Torosiaje ini sampai dengan saat ini, tidak lepas dari kondisi geografis dan lingkungan alam kawasan yang di latar belakangi oleh kegiatan keseharian warga sebagai nelayan/pelaut. Meskipun demikian, masyarakat di kawasan ini bukan berarti tidak menginginkan perubahan yang bersifat positif pada lingkungan permukimannya. 6

Permukiman Suku Bajo di Torosiaje memiliki keunikan tersendiri yaitu permukiman tersebut dibangun di atas laut yang benar-benar terpisah dari daratan, Lihat Gambar 1.1 Pemukiman Suku Bajo Torosiaje Laut Pemukiman Suku Bajo Torosiaje Darat Gambar 1.1. Pemukiman Suku Bajo di Torosiaje Kedekatan ini terbukti ketika pemerintah pada 1982 berupaya untuk merelokasi para penduduk Suku Bajo untuk dirumahkan dengan diberikan sepetak lahan untuk bercocok tanam, namun mereka tak betah dan satu demi satu anggota suku ini meninggalkan lokasi relokasi dan kembali ke laut. Barangkali ungkapan jika Suku Bajo itu lahir, hidup, dan mati di laut adalah benar adanya. Rumahrumah penduduk Torosiaje Berdasarkan atas kondisi yang sangat khas yang terdapat di Desa Torosiaje ini yaitu Desa Torosiaje Jaya (darat) dan Desa Torosiaje laut (diatas perairan laut), maka spasial lingkungan permukiman sebagai suatu wadah dari aktifitas-aktifitas sosial budaya masyarakat yang terdapat di kedua desa tersebut dianggap sangat menarik untuk diteliti 1.2 Perumusan Masalah Rapoport (1977) menyebutkan bahwa permukiman atau yang disebut settlement pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah di mana penduduk (pemukim) tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan usaha, berhubungan 7

dengan sesama pemukim sebagai suatu masyarakat serta memenuhi berbagai kegiatan kehidupan. Kenyataan ini menurut Rapoport, jelas mempunyai pengaruh, harus memahami karakteristik manusia yang akan menggunakan atau merancang ataupun membentuk lingkungannya, yang nantinya manusia akan berperilaku berbeda dalam setting tertentu. Permukiman merupakan sekelompok rumah dan rumah tinggal yang terorganisir dalam suatu sistem sosial-budaya dan religius yang tercermin pada fisik lingkungannya. Organisasi ruang yang terbentuk akan memperlihatkan hirarki ruang dari faktor teritorial yang diinginkan (Vincent, dalam Mulyati, 1995). Permukiman Suku Bajo di Torosiaje laut memiliki keunikan tersendiri yaitu permukiman tersebut dibangun di atas laut yang benar-benar terpisah dari daratan. Barangkali ungkapan jika Suku Bajo itu lahir, hidup, dan mati di laut adalah benar adanya. Rumah-rumah penduduk Torosiaje berbentuk rumah panggung dengan tinggi sekitar 3-4 meter dari atas permukaan air laut. Di depan rumah-rumah panggung ini di bawahnya terdapat (Karamba) kandang ikan terapung sebagai penunjang ekonomi Suku Bajo di Torosiaje ini. Keramba dalam kehidupan masyarakat Suku Bajo mempunyai fungsi yang cukup besar dalam menunjang ekonomi mereka. Perubahan tersebut diikuti oleh kondisi ekonomi, kondisi sosial dan bentuk rumah tinggal warga Desa Torosiaje laut. Meskipun demikian kondisinya, masyarakat perairan laut di kawasan ini masih tetap mempertahankan pola kehidupan tradisional yang merupakan suatu kebiasaan atau tradisi secara turun temurun oleh masyarakat dalam membangun rumah dan memiliki nilai-nilai kearifan lokal sebagai kekayaan pengetahuan masyarakat setempat. 1.3 Pertanyaan Penelitian Oleh karena itu, permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Pola Permukiman Suku Bajo di Torosiaje laut, Provinsi Gorontalo. Dari permasalahan tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 8

a. Bagaimanakah Pola spasial permukiman Suku Bajo yang terbentuk di Desa Torosiaje laut? b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Pola Spasial Permukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje laut? 1.4 Tujuan Penelitian Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola spasial permukiman suku Bajo di Desa Torosiaje laut, mengetahui bagaimana pola spasial yang ada di Desa Torosiaje laut saat ini dengan melihat suku Bajo merupakan etnik yang hidup di laut yang tidak lepas dari laut di mana rumah mereka dari perahu (leppa) berangsur-angsur mendirikan bangunan di perairan laut yang memiliki identitas spasial yang dipertahankan oleh sebagian masyarakat di dalamnya, di sisi lain terdapat kebutuhan spasial yang semakin berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan tatanan pola spasial permukiman suku Bajo di Desa Torosiaje laut, di sisi lain terdapat kebutuhan spasial yang semakin berkembang terhadap tuntutan kebutuhan 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian dalam perkembangan arsitektur ruang permukiman pada hakekatnya merupakan usaha untuk mempelajari kembali konsep dan peraturan pembangunan yang telah dianut dan dikembangkan pada masa lalu, dan sangat berguna bagi perumusan konsep dan pendekatan yang akan diterapkan pada masa kini dan yang akan datang. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan; yakni sebagai upaya pengkayaan terhadap konsep-konsep arsitektur, khususnya menyangkut konsep pembentukan pola ruang kawasan tepian pantai, terutama suatu lingkungan permukiman termasuk bangunan-bangunan di dalamnya khususnya yang 9

terdapat di kawasan tepi pantai sebagai permukiman Suku Bajo di Torosiaje laut. b. Untuk kepentingan Perencanaan dan Perancangan; yakni sebagai masukan bagi penentu kebijakan dalam pengelolaan lingkungan permukiman yang dapat dilestarikan (preservasi/konservasi) berdasarkan karakteristik permukiman yang bersangkutan. Selain itu, hasil penelitian sangat bermanfaat bagi perumusan konsep dan pendekatan yang akan diterapkan pada perencanaan dan perancangan suatu lingkungan permukiman. c. Untuk kepentingan penelitian; hasil penelitian yang dilakukan diharapkan bermanfaat bagi studi arsitektur yaitu untuk penelitian permukiman suku Bajo di Torosiaje laut maupun suku lain yang mempunyai karakteristik sama atau berbeda. 1.6 Keaslian Penelitian Kawasan permukiman Suku Bajo di Torosiaje Laut Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo ini dipilih sebagai lokasi penelitian adalah berdasarkan pengamatan dan penglihatan penulis, Permukiman suku Bajo di Torosiaje memiliki keunikan tersendiri yaitu permukiman tersebut dibangun di atas laut yang benar-benar terpisah dari daratan. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan yang kondisi permukimannnya masih berada di atas permukaan laut belum mengalami perubahan. Kehidupan laut yang sangat langka bisa ditemukan di tempat ini. Aktivitas para penduduk di Torosiaje sangat lekat dengan laut dan semua yang terkandung di dalamnya. Kedekatan ini terbukti ketika pemerintah pada 1982 berupaya untuk merelokasi para penduduk Suku Bajo untuk dirumahkan dengan diberikan sepetak lahan untuk bercocok tanam, namun mereka tak betah dan satu demi satu anggota suku ini meninggalkan lokasi relokasi dan kembali ke laut. Barangkali ungkapan jika Suku Bajo itu lahir, hidup, dan mati di laut adalah benar adanya.. Oleh karena itu, tema yang diangkat dalam penelitian ini adalah Pola Spasial Permukiman Suku Bajo di Torosiaje Laut 10

Diketahui bahwa penelitian mengenai permukiman perairan laut telah banyak dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya, tetapi penelitian yang dilakukan saat ini lebih mengkhusus pada konsep masyarakat tinggal di atas laut dalam upaya menata tata ruang yang ada pada rumah di kawasan permukiman atas laut, sehingga unit hunian masyarakat di wilayah perairan laut ini tetap memiliki nilai. Hingga penelitian ini dilaksanakan, sepengetahuan penulis balum ada penelitian yang melakukan pengkajian tentang konsep masyarakat yang berada di atas perairan laut mengkaji Pola Pemukiman di perairan laut khususnya tata ruang Suku Bajo Torosiaje yang berada di permukaan laut. Meskipun demikian, ada beberapa penelitian yang berhubungan dengan permukiman perairan laut telah dilakukan oleh penelitian penelitian sebelumnya dengan focus penelitian yang berbeda-beda, baik dalam lingkungan Pascasarjana Teknik Arsitektur UGM maupun di luar lingkungan Pascasarjana UGM, yaitu sebagai berikut : Awaluddin Hamzah (2008), Fokus penelitiannya adalah respons komunitas nelayan terhadap modernisasi nelayan, dengan lokus penelitian adalah nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui : (1) hubungan makna laut dan makna pekerjaan nelayan terhadap penerimaan (adopsi) terhadap modernisasi perikanan (2) dampak modernisasi perikanan pada pola kerja nelayan Suku Bajo, struktur social nelayan Suku Bajo, serta tingkat kesejahteraan nelayan Suku Bajo. Metode yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif yakni pengembangan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa, serta analisis hubungan antara variable untuk uji hipotesa dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (mini pursein dan pukat cincin) gae diperkenalkan di desa Lagasa tahun 1976 1977, serta menunjukkan bahwa jumlah adopter cenderung lebih banyak untuk Pengadopsi Lambat (PL) disbanding Pengadopsi Cepat (PC) maupn Pengadipsi Sedang (PS). Syahriana Syam (2006) dalam penelitiannya berjudul. Keberadaan Rumah Suku Bajo terhadap Perubahan Lingkungan Tempat Tinggal Lokasi 11

penelitian di Kelurahan Bajoe, salah satu dari delapan Desa di Kecamatan Tanete Riattang Timur, terletak di tepi pantai timur Sulawesi Selatan, dalam kawasan Teluk Bone. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola perbuatan yang dilakukan Suku Bajo untuk menghadapi perubahan terhadap keberadaan rumah tinggalnya dalam hubungannya dengan perubahan lingkungan dan mengidentifikasikan factor-faktor yang mempengaruhi perubahan tempat tinggal itu. Metode Penelitian Sebagai sebuah penelitian argumentative paradigmanya adalah rasionalistik, kebenaran didapat bukan semata-mata berasal dari fakta empiri, tetapi juga diperoleh dari menampilkan argumentasi sendiri sebagai bagian dari konstruksi berfikir. Muh. Rizal Ruslin (2005) focus penelitiannya adalah factor-faktor yang berpengaruh terhadap pola ruang permukiman nelayan. Lokus penelitiannya yaitu di pulau Lakkang. Sulawesi Selatan, tujuan penelitian ini mengetahui tipe dan bentuk arsitektur di kawasan serta arahan konsep penampilan kawasan hunian tepian sungai di pulau Lakkang yang sesuai. Metode penelitian ini dilakukan dengan menggunakan deskripsi untuk membuat gambaran secara sistematis di lapangan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pola interaksi kawasan terdapat tujuh yang dapat memberikan dampak negatif dan positif di kawasan dalam perkembangannya dan pola jaringan jalan dikawasan adalah linear, linear konfigurasi dan pola menyebar. Ruang terbuka yang dapat di kawasan terdapat pada jalan utama, di antara bangunan dan jalan. Bangunan di kawasan berpola linear terhadap jalan dan cluster pada akhir jalan dengan orientasi bangunan pada jalan dan beberapa ruang terbuka. Faktor yang mempengaruhi kawasan adalah kontur, kepemilikan lahan, jalan dan pola aktivitas. Hikmah Nilawati Syarifuddin (2005), yaitu focus meneliti tentang Pengaruh Penataan Ruang Terhadap Perubahan Pola Hidup Masyarakat Pesisir, lokus penelitian yaitu Desa Lagasa Kecamatan Duruka Kabupaten Muna. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh pembangunan jalan merubah pola hidup masyarakat pesisir dan melihat bagaimana masyarakat pesisir tersebut dalam menghadapi perubahan pola hidupnya. Metode yang dilakukan oleh peneliti adalah metode survei dengan pendekatan deskriptif 12

kualitatif. Sumber data primer di peroleh dari survey lapangan dan wawancara dengan masyarakat baik yang mengalami perubahan maupun yang tidak. Sedang data sekunder diperoleh dari Instansi pemerintah seperti : Bappeda Kabupaten Muna, Dinas PU Kabupaten Muna dan BPS Kabupaten Muna. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya pembangunan jalan yang menghubungkan Kota Raha dengan Desa Lagasa menyebabkan perubahan pada fisik, social, budaya dan ekonomi. Juhana (2001), dalam penelitiannya berjudul; Pengaruh Bentukan Arsitektur dan iklim terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Tinggal Suku Bajo di Wilayah Pesisir Bajoe Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Penelitan Ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana iklim mempengaruhi kenyamanan thermal rumah tinggal suku Bajo dan menyimpulkan bahwa pengaruh bentukan arsitektur rumah tinggal suku Bajo dalam menciptakan kenyamanan tehermal dalam bangunan (1). Lokasi, (2). Orintasi, (3). Bentuk dan denah, (4). Bukaan-bukaan, (5). Atap dan dinding, (6). Overstek/pelindung, (7). Material dan warna, (8) Pola penataan hunian. Sedang pengaruh iklim untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunan permukiman suku Bajo adalah; (1). Pengaruh sinar matahari, (2). Pengaruh temperature udara, (3). Hujan dan kelembaban, (4). Pergerakan udara. Penelitian ini memberikan informasi mengenai upaya Suku Bajo dalam menyesuaikan bentuk arsitektur hunian untuk mengatasi kondisi alam di lingkungan perairan. Amir Salipu (2000), dalam penelitiannya berjudul; Transformasi Pemukiman Suku Bajo di Bone Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang transformasi permukiman Suku Bajo. Kesimpulan yang diperoleh bahwa factor pendorong perubahan social dan kebudayaan dari luar sangat besar dibandingkan pengaruh dari dalam diri mereka sendiri. Meskipun penelitian ini berada dalam domain yang sama, namun strategi untuk menganalisis perubahan yang terjadi berbeda. Asniawaty (2000), Fokus penelitiannya adalah Pola Spasial Permukiman Desa Pantai Galesong dengan lokus penelitian yaitu Kajian Terhadap Pola Spasial Permukiman Di Desa Pantai Galesong dan Pengaruh Pembentuknya. Tujuan yang 13

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk merumuskan : (a) deskripsi bentuk pola spasial yang terdapat di Desa Pantai Galesong, (b) factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan bagaimana (c) factor-faktor tersebut mempengaruhi pola spasial permukiman tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan cara Pendekatan kualitatif rasionalistis. Penelitian dimulai dengan observasi keseluruhan area desa kemudian menentukak materi penelitian dan batas spasial kelompok-kelompok rumah. Desa pantai Galesong terdapat 6 buah kelompok rumah dan dianalisis. Referensi teori dan kondisi lain memperkuat temuan. Temuan penelitian secara garis besar dapat dibedakan atas; Pertama : Pola spasial kelompok rumah yang berbentuj di desa pantai Galesong terdiri dari; (a) rumah-rumah tumbuh mengelompok membentuk open space-open space dengan komposisi rumah yang tidak rapat dan dipisahkan oleh gang-gang (akses) di antara bangunan rumah dan (b) rumah-rumah yang tumbuh secara rapat dan berorientasi ke jalan sebagai akses utama. Kedua : Pola spasial permukiman desa pantai Galesong secara umum adalah kelompok-kelompok rumah membentuk open space desa sebagai space pengikat/penghubung antara kelompok-kelompok rumah yang terdapat di sekelilingnya. Lebih lanjut dalam penelitian ini juga ditemukan : (a) pola proses pertumbuhan kelompok rumah, yaitu rumah bertumbuh secara linier dari Selatan ke Utara) dan (b) komposisi kelompok rumah, yaitu kelompok rumah semakin mendekati laut semakin tidak teratur (acak) dan demikian pula sebaliknya semakin mendekati infrastruktur komposisi rumah semakin teratur, Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pola-pola tersebut adalah kondisi sosial-budaya dan geografis masyarakat pantai Galesong. Suharto Arvan (1999), meneliti dengan Judul; Karakteristik Rumah Tinggal Tradisional Suku Bajo di Desa Bajoe Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran bentuk dan karakteristik rumah tinggal dalam lingkungan permukiman komunitas suku bajo. Kesimpulannya wujud rumah tinggal tradisional suku bajo yang merupakan salah satu wujud dari kebudayaan memperlihatkan adanya homogeneity (keseragaman) terutama dapat dilihat dari (1). Bentuk Struktur utama dan formasi jumlah tiang, (2) fungsi spasial 14

ruang horizontal maupun vertical, (3). Orientasi rumah, (4). Perletakan pintu dan tangga (5). Material yang digunakan. Wujud rumah tinggal suku bajo relative tidak mengalami perubahan, walaupun lokasinya sangat berdekatan dengan komunitas suku lain. Suku Bugis dan Mandar yang lebih terbuka terhadap perubahan. Hal ini diakibatkan oleh wujud rumah itu sendiri merupakan bagian dari pandangan konsepsi hidup mereka, konsepsi dan pandangan hidup tersebut masih terjaga lestari, disamping itu wujud rumah juga sebagai wadah melakukan upacara-upacara ritual keagamaan. Hasil penelitian ini membantu penulis dalam melihat eksistensi rumah Suku Bajo saat ini, meskipun pengaruh perubahan lingkungan fisik maupun nonfisik (social budaya) terhadap karakteristik arsitektural belum ditemukan Abdullah K (1990), dalam penelitiannya berjudul Suku Bajo di Kabupaten Bone dan Pola Penghidupannya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Suku Bajo yang pertama menetap di perkampungan tersebut, meskipun pada hakekatnya adalah pandatang, dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan bukan orang Bugis, Berdasarkan Tabel No Peneliti Fokus Penelitian Tahun Lokus 1 Awaluddin Hamzah 2 Syahriana Syam Fokus penelitiannya adalah respons komunitas nelayan terhadap modernisasi nelayan Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui : (1) hubungan makna laut dan makna pekerjaan nelayan terhadap penerimaan (adopsi) terhadap modernisasi perikanan (2) dampak modernisasi perikanan pada pola kerja nelayan Suku Bajo, struktur social nelayan Suku Bajo, serta tingkat kesejahteraan nelayan Suku Bajo. Keberadaan Rumah Suku Bajo terhadap Perubahan Lingkungan Tempat Tinggal Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola perbuatan yang dilakukan Suku Bajo untuk menghadapi perubahan terhadap keberadaan rumah tinggalnya dalam hubungannya dengan perubahan lingkungan dan mengidentifikasikan factor- 2008 2006 lokus penelitian adalah nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara Penelitian di Kelurahan Bajoe, salah satu dari delapan Desa di Kecamatan Tanete Riattang Timur,, terletak di tepi pantai timur 15

3 Baiq Yulia Kusumayant i 4 Muh. Rizal Ruslin 5 Hikmah Nilawati Syarifuddin 6 Amir Salipu faktor yang mempengaruhi perubahan tempat tinggal itu fokus penelitian ini adalah perbandingan partisipasi masyarakat di kampong nelayan tanjung karang dan kampong pedagang babakan dalam pembangunan infrastruktur permukiman kumuh perkotaan kota Mataram, Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi dan bentuk partisipasi spesifik masyarakat dalam pembangunan infrastruktur permukiman kumuh di kampong pedagang dan kampong nelayan Kota Mataram; (2) membandingkan bentuk partisipasi spesifik yang dimiliki oleh masyarakat di kedua kampong tersebut terkait dengan pelaksanaan program Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Kota Mataram. Penelitian ini menggunakan focus penelitiannya adalah factor-faktor yang berpengaruh terhadap pola ruang permukiman nelayantujuan penelitian ini mengetahui tipe dan bentuk arsitektur di kawasan serta arahan konsep penampilan kawasan hunian tepian sungai di pulau Lakkang yang sesuai focus meneliti tentang Pengaruh Penataan Ruang Terhadap Perubahan Pola Hidup Masyarakat Pesisir, lokus penelitian yaitu Desa Lagasa Kecamatan Duruka Kabupaten Muna. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh pembangunan jalan merubah pola hidup masyarakat pesisir dan melihat bagaimana masyarakat pesisir tersebut dalam menghadapi perubahan pola hidupnya. penelitiannya berjudul; Transformasi Pemukiman Suku Bajo di Bone Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang transformasi permukiman Suku Bajo. Kesimpulan yang diperoleh bahwa factor pendorong perubahan social dan 2006 2005 2005 Sulawesi Selatan, dalam kawasan 3Teluk Bone penelitian ini berada pada kampong nelayan tanjung karang dan kampong pedagang babakan di Kota Mataram. Lokus penelitiannya yaitu di pulau Lakkang. Sulawesi Selatan penelitian yaitu Desa Lagasa Kecamatan Duruka Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara 2000 Suku Bajo di Bone Sulawesi Selatan 16

7 Asniawaty 8 Juhana 9 Abdullah K 10 Suharto Arvan 11 Faizah Mustuti kebudayaan dari luar sangat besar dibandingkan pengaruh dari dalam diri mereka sendiri. Meskipun penelitian ini berada dalam domain yang sama, namun strategi untuk menganalisis perubahan yang terjadi berbeda. Fokus penelitiannya adalah Pola Spasial Permukiman Desa Pantai Galesong dengan lokus penelitian yaitu Kajian Terhadap Pola Spasial Permukiman Di Desa Pantai Galesong dan Pengaruh Pembentuknya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk merumuskan : (a) deskripsi bentuk pola spasial yang terdapat di Desa Pantai Galesong, (b) factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan bagaimana (c) factor-faktor tersebut mempengaruhi pola spasial permukiman tersebut. Arsitektur dalam Kehidupan Masyarakat Mengetahui pengaruh bentukan arsitektur rumah tinggal Suku Bajo dalam menciptakan kenyamanan thermal dalam bangunan Suku Bajo di Kabupaten B one dan Pola Penghidupannya Penelitian ini menyimpulkan bahwa suku bajo yang pertama menetap di perkampungan tersebut, meskipun pada hakekatnya adalah pendatang, dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan bukan orang bugis Karakteristik Rumah Tinggal Tradisional Suku Bajo Mendapatkan gambaran bentuk dan karakteristik rumah tinggal dalam lingkungan permukiman komunitas suku Bajo yang merupakan salah satu wujud dari kebudayaan memperlihatkan adanya homogeneity (keseragaman) Keragaman Pola Perubahan Rumah di permukiman Nelayan Mengetahui bentuk perubahan yang terjadi di lingkungan permukiman nelayan dan factor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut 2000 2001 Desa Pantai Galesong, Kabupaten Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan Pesisir Bajoe Kabupaten Bone Sulawesi Selatan 1990 Kabupaten Bone 1999 Desa Bajoe Sulawesi Selatan 2002 Permukiman Nelayan Biringkanaya Makassar 17