BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. hlm Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta Timur, 2013, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3). Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan strategi pembangunan hukum nasional. Profesionalitas dan

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan jasa notaris, telah dibentuk Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. jaminan akan kepastian hukum terhadap perbuatan dan tindakan sehari-hari,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 49/PUU-X/2012

BAB I PENDAHULUAN. hukum menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat

IMPLIKASI YURIDIS LEGALITAS KEWENANGAN (RECHTMATIGHEID) MAJELIS KEHORMATAN DALAM PEMBINAAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. semula dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Berlakunya Undang-Undang. kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kegiatannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Negara Indonesia adalah negara hukum,

BAB I PENDAHULUAN. hukum. Tulisan tersebut dapat dibedakan antara surat otentik dan surat dibawah

BAB I PENDAHULUAN. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) saat ini, membuat masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga. organ pemerintah yang melaksanakan tugas dan kewenangannya agar

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

PENGAMBILAN FOTO COPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. dan ahli dalam menyelesaikan setiap permasalahan-permasalahan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mencatat bahwa pada era reformasi terjadi perubahan pada lembaga Notariat yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

KEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS TERKAIT ASPEK PIDANA DIBIDANG KENOTARIATAN

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. profesional yang tergabung dalam komunitas tersebut menanggung amanah. yang berat atas kepercayaan yang diembankan kepadanya.

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan manusia lainnya karena ingin selalu hidup dalam. kebersamaan dengan sesamanya. Kebersamaannya akan berlangsung baik

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. tersebut juga termasuk mengatur hal-hal yang diantaranya hubungan antar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan perlindungan dan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sosial, tidak akan lepas dari apa yang dinamakan dengan tanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

BAB I PENDAHULUAN. Setiap interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya, tidak

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. bersamaan dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia. Hal ini tentu saja

BAB I PENDAHULUAN. negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum

BAB II KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS PUSAT

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. otentik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan dalam membuat suatu alat bukti tertulis yang bersifat autentik dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Pemberhentian Anggota, dan Tata Kerja Majelis Pengawas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lem

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

Bagian Kedua Penyidikan

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 49/PUU-X/2012

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang besar bagi kehidupan manusia. Manusia akan beralih dari

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013, merupakan pasal yang dapat digunakan oleh profesi jabatan notaris berlindung manakala terjadi permasalahan hukum dengan akta yang dibuatnya. Sesuai dengan kewenangan, seorang notaris berwenang untuk membuat akta resmi selanjutnya disebut akta autentik, yaitu suatu akta yang didalamnya bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. 1 Demikian juga diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, sebagai berikut : Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang 1 Subekti dan Tjitrosudibio, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 475 1

2 pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Terhadap akta-akta yang dibuat notaris wajib menyimpan dalam kumpulan dokumen yang terjilid berdasarkan nomor akta yang disebut minuta akta, sedangkan yang dikeluarkan untuk para pihak dalam akta tersebut berupa salinan akta yang sama persis bunyinya dengan minuta akta yang disimpan dikantor notaris. Perbedaan antara minuta akta dengan salinan akta terletak diakhir akta, dalam minuta akta terdapat tandatangan para pihak saksi-saksi dan notaris, sedangkan dalam salinan akta pada akhir akta hanya terdapat tandatangan notaris saja. Akta notaris yang tersimpan dalam minuta akta atau protokol notaris, termasuk salah satu dokumen arsip negara yang harus disimpan dalam jangka waktu yang lama serta terjaga kerahasiaan terhadap akta-akta/dokumen/ protokol yang disimpan tersebut. Penyimpanan akta atau/ dokumen diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014) Pasal 1 angka 13 yang berbunyi : Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tentang menjaga kerahasiaan akta itu merupakan kewajiban seorang notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Jabatan Notaris. Permasalahan hukum dapat terjadi dalam menjalankan profesi jabatan notaris, permasalahan hukum itu terjadi karena para pihak dalam akta tersebut baik sengaja ataupun tidak, menyampaikan dokumen pendukung maupun

3 materi yang akan dituangkan dalam akta kepada seorang notaris tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya / palsu / dipalsukan atau kurang lengkap, dapat pula terjadi apabila para pihak atau salah satu pihak mengingkari dari akta yang telah mereka sepakati. Selain itu dapat juga terjadi karena kelalaian dan/atau kurang ketelitian / kecerobohan seorang notaris sehingga mengakibatkan akta yang dibuatnya mengalami permasalahan hukum. Permasalahan hukum itu muncul bisa pada saat itu, atau dapat muncul setelah beberapa tahun kemudian saat minuta akta telah disimpan dalam protokol notaris lain. Dalam penyelesaian permasalahan hukum tersebut apabila tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh para pihak, maka dapat diselesaikan secara hukum melalui proses peradilan. Terhadap permasalahan hukum yang terjadi dan memenuhi unsur perbuatan pidana maka penyidik dalam hal ini dilakukan oleh kepolisian republik Indonesia, sesuai domisili hukum yang dikehendaki para pihak atau wilayah kerja notaris yang bersangkutan. Penyidik berwenang melakukan pemanggilan kepada notaris yang bersangkutan, sebagai saksi maupun tersangka berkaitan dengan akta yang dibuatnya berdasarkan laporan kepolisian yang dibuat oleh para pihak dalam akta yang bermasalah tersebut. Guna kepentingan penyidikan, penyidik selanjutnya dapat meminta kepada notaris untuk menghadirkan alat bukti berupa minuta akta yang dibuat atau disimpan dalam protokol notaris yang bersangkutan. Namun demikian, hal inilah yang menjadikan kendala bagi penyidik untuk menindaklanjuti

4 setiap pelaporan dari para pihak / masyarakat yang berkaitan dengan adanya dugaan perbuatan pidana yang timbul dan berkaitan dengan akta yang dibuat oleh seorang notaris. Karena Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 49/PUU- X/2013 terdapat frasa yang berbunyi : dalam pengambilan fotocopy minuta maupun pemanggilan seorang notaris oleh penyidik harus seijin Majelis Pengawas Daerah (MPD) pada daerah kerja notaris yang bersangkutan. Frasa inilah yang menjadi kendala penyidik dalam menindaklanjuti setiap pelaporan dari para pihak / masyarakat yang berkaitan dengan adanya dugaan perbuatan pidana yang timbul dan berkaitan dengan akta yang dibuat oleh seorang notaris. Seolah-olah Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut dapat dipergunakan sebagai perlindungan bagi seorang notaris yang berkaitan dengan adanya dugaan perbuatan pidana yang timbul dan berkaitan dari akta yang dibuat tersebut. Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tentang uji materi dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris berkaitan dengan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dapat disebut frasa tersebut telah dihapuskan dengan dikabulkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 49/PUU-X/2013 dalam putusannya sebagai berikut :

5 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya : a. Menyatakan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) bertantangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. b. Menyatakan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak mempunyai hukum mengikat. 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris (UU no. 30 tahun 2004) baik sebelum maupun setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta dan Pemanggilan Notaris. Dengan dihapusnya frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah, maka terhadap Peraturan Mentri tersebut sepanjang yang berkaitan dengan frasa yang dihapuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai konsekuensi juga tidak berlaku lagi.

6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 pada Pasal 13 ayat (1) menyebutkan : Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim, setelah mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah, meminta Notaris membawa Minuta Akta yang dibuatnya dan/atau Minuta Akta Notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya, untuk diperiksa di Pusat Laboratorium Forensik mengenai keabsahan tanda tangan dan/ atau cap jempol yang tertera pada Minuta Akta pada hari yang ditentukan. Ayat (3) menyebutkan : Dalam hal pemeriksaan Minuta Akta yang dibuatnya dan/atau Minuta Akta notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya telah selesai dilaksanakan maka Minuta Akta yang dibuatnya dan/atau Minuta Akta notaris lain yang berada dalam penyimpanan protokolnya diserahkan kembali kepada Notaris. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris terdapat penambahan frasa dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris, disamping itu ada penambahan pasal dalam Pasal 66A, dalam ayat (3) berbunyi : Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran Majelis Kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri, yang hingga saat ini belum ada diatur dalam peraturan peksanaannya. Terlihat jelas disini perbedaan peraturan yang mengatur tentang pemanggilan notaris dan pengambilan minuta akta dalam Peraturan Menteri

7 Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dengan yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, mengenai tata cara pengambilan fotokopi minuta akta sebagai bahan penyidikan di kepolisian. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 ini, pada tanggal 25 Maret 2008 berdasarkan surat permohonan hak uji materiil oleh beberapa Notaris pernah dilakukan upaya Uji Materil ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan dalil-dalil permohonannya agar Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat memutuskan sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon sebagaimana tersebut dalam permohonan; 2. Memutuskan bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris; Bertentangan dengan : a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris; 1) Pasal 4 ayat (2); 2) Pasal 16 ayat (1) huruf e 3) Pasal 66 b. Pasal 322 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Pasal 1909 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

8 d. Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; e. Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Atau 1. Memutuskan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris tidak sah dan /atau tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkan kepada Termohon untuk mencabutnya; 2. Dengan segala kewenangan yang ada pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, memohon dapat mengambil keputusan tersendiri untuk mengakhiri berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Terhadap permohonan Pemohon tersebut Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam keputusannya menolak terhadap permohonan Uji Materil dalam putusannya sebagai berikut : 1. Menolak seluruh permohonan Pemohon; 2. Memutuskan bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris tidak bertentangan dengan :

9 a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris; 1) Pasal 4 ayat (2); 2) Pasal 16 ayat (1) huruf e 3) Pasal 66 b. Pasal 322 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Pasal 1909 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; d. Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; e. Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 3. Memutuskan bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris adalah sah dan berlaku untuk umum dan untuk pihak yang terkait. B. Perumusan Masalah Melihat latar belakang masalah tersebut diatas maka terdapat permasalahan : 1. Bagaimanakah pemanggilan dan pengambilan minuta akta notaris dalam kajian yuridis Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 terhadap Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris sebagai Peraturan Pelaksanaan?

10 2. Bagaimanakah implementasi pemanggilan, pemeriksaan dan pengambilan minuta akta oleh penyidik pasca berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013? C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran dan pengamatan dilingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sampai saat ini belum pernah ada penulisan mengenai tinjauan yuridis maupun implementasi pemanggilan pemeriksaan dan pengambilan minuta akta pasca berlakunya pasal 66 Undang- Undang Jabatan Notaris / Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Sedangkan penelitian saudara Zamrony 2 dengan judul Kesesuaian Regulasi Mengenai izin Pemanggilan Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Proses Peradilan ditinjau Dari Asas Equality Before The Law dengan permasalahan sebagai berikut : 1. Sejauh mana kesesuaian regulasi mengenai izin pemanggilan notaris dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris terhadap UUD 1945 ditinjau dari asas equality before the law? 2. Bagaimana perbandingan proses pemanggilan dalam proses peradilan antara notaris, pejabat pembuat akta tanah dan pejabat lelang? 3. Sejauh mana kesesuaian regulasi mengenai izin pemanggilan notaris dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik 2 Zamroni, 2008, Kesesuaian Regulasi Mengenai izin Pemanggilan Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Proses Peradilan ditinjau Dari Asas Equality Before The Law, Tesis, Pascasarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

11 Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris? Dalam kesimpulan terhadap ketiga permasahan tersebut adalah : 1. Ketentuan dalam pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak bertentangan dengan asas equality before the law. Izin pemeriksaan terhadap notaris hanya berlaku dalam kapasitasnya sebagai seorang notaris saja, artinya izin pemanggilan hanya diperlukan jika dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan / atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. 2. Terdapat perbedaan prosedur terhadap pemanggilan antara notaris, pejabat pembuat akta tanah dan pejabat lelang. Hal ini disebabkan karena tidak semua peraturan perundang-undangan mengatur prosedur izin tersebut. Padahal kualifikasi notaris dan PPAT dapat disamakan yaitu sebagai pejabat umum yang wajib merahasiakan isi akta sebagaimana tercantum dalam sumpah jabatan. Sedangkan pejabat lelang tidak memiliki kewajiban untuk merahasiakan isi risalah lelang sehingga izin pemeriksaan belum diperlukan. 3. Berdasarkan asas freies ermessen, menteri hukum dan hak asasi manusia berwenang mengeluarkan peraturan menteri yang tidak diamanatkan oleh peraturan yang lebih tinggi apabila dibutuhkan dalam pelaksanaan Undang-Undang. Dalam Peraturan Menteri

12 Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.03.HT.03.10. Tahun 2007, muatannya hanya memperjelas ketentuan dalam Pasal 66 UUJN. Sebab jika tidak diatur lebih lanjut akan menimbulkan kekosongan hukum. Sedangkan muatan tentang izin pemeriksaan terhadap notaris melalui Majelis Pengawas Daerah tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 66 UUJN. Demikian juga terhadap penulisan saudara Mochammad Sigit Gunawan, SH. 3 dengan judul Tinjauan Yuridis Pemanggilan Notaris Oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim Dalam Proses Pengadilan dengan permasalahan : 1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Pengawas Daerah, dalam pemberian persetujuan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UUJN? 2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap pemberian persetujuan pemanggilan notaris, jika melebihi batas waktu sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana? Dengan kesimpulannya sebagai berikut : 1. Bahwa keberadaan Pasal 66 UUJN merupakan penambahan prosedural yang harus diikuti oleh aparat penegak hukum. Mengenai subtansi materi Pasal 66 UUJN, Kewenangan MPD yang bersifat administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 3 Mochammad Sigit Gunawan, Tinjauan Yuridis Pemanggilan Notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dalam Proses Pengadilan, Tesis, Pascasarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

13 Nomor M.02.PR.08.01 Tahun 2004, sebagai dasar pertimbangan pemberian persetujuan pemanggilan oleh aparat penegak hukum mengacu pada ketentuan Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 dan Pasal 53 UUJN. Sebagai bahan pertimbangan yang lain Majelis Pengawas Daerah (MPD) dalam pemutusan rapat Majelis berpegang pada ketentuan Pasal 4, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18, Pasal 19 UUJN, yang menyangkut pelaksanaan Jabatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Jika di temukan adanya pelanggaran Kode Etik, maka MPD akan melibatkan Dewan Kehormatan Organisasi Notaris. 2. Dalam hal proses pemanggilan notaris oleh Penyidik yang bersifat segera mungkin mengingat jangka waktu pengembalian Berkas Acara Pemeriksaan, berdasarkan petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum, maka Penyidik dapat mendatangi kantor notaris yang bersangkutan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap notaris tersebut, sebagaimana yang diatur pada Pasal 113 KUHAP. Dalam hal ini, Penyidik hanya memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD), tanpa adanya surat permohonan persetujuan kembali kepada MPD untuk diadakan proses pemeriksaan tersebut di empat kediaman notaris. Jika notaris yang bersangkutan tidak memberikan atau menolak dengan dalil tidak adanya persetujuan dari MPD, maka Penyidik karena jabatannya

14 memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 224 KUHP dan Pasal 522 KUHP, sehingga notaris yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur di dalam kedua pasal tersebut. Terhadap penelitian tersebut diatas walaupun hampir mempunyai kesamaan judul namun terhadap isi dan pokok penelitiannya berbeda. sehingga dengan demikian penelitian yang dilakukan penulis belum pernah dilakukan penulis lain sehingga penulis yakin bahwa tulisan ini adalah asli, apabila ada penelitian yang sama dengan penelitian ini, maka penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pelengkap. D. Tujuan Penelitian a. Mengetahui dan menganalisis pemanggilan dan pengambilan minuta akta terhadap Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 sebagai Peraturan Pelaksana dalam melaksanakan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris, mempunyai kekuatan yuridis terhadap pelaksanaan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. b. Mengetahui pelaksanaan pemanggilan, pemeriksaan dan pengambilan minuta akta notaris yang dilakukan penyidik sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku terutama berkaitan dengan pasca berlakunya Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris / Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

15 E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Secara Teoritis Sebagai bahan masukan atau sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum khususnya dalam bidang kenotariatan terutama dalam Organisasi dan Pengawasan Notaris dalam menjalankan profesinya secara aman dan benar berdasarkan Undang-Undang tentang Jabatan Notaris. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan informasi kepada Penulis, Notaris, Organisasi Notaris dan pihak-pihak yang berkaitan dengan ilmu hukum kenotariatan.