PENDAHULUAN Latar Belakang Secara struktural benih itu sama dengan biji tumbuhan yang dihasilkan dari ovula yang dibuahi. Tetapi secara fungsional benih itu tidak sama dengan biji, sebab benih digunakan manusia untuk pertanaman, sebagai sarana produksi untuk mencapai hasil maksimal dan melestari. Benih itu meskipun kecil sebenarnya sudah merupakan tanaman yang sempurna, jelas identitas genetiknya, jelas identitas fenotipiknya, harus hidup dan bermutu (Sadjad, 1989). Benih bermutu menurut Sadjad (1992) adalah benih yang baik dan benar. Benih yang baik ialah benih yang sehat dan bersih, sedangkan benih yang benar ialah benih yang sesuai dengan informasi yang tercatat pada labelnya. Jadi benih bermutu itu tidak saja harus sehat (punya daya hidup tinggi, tidak berpenyakit) dan bersih (tidak tercampur kotoran, seragam), tetapi juga harus benar (tidak menipu, jelas identitas genetiknya). Secara ilmiah benih bermutu mencakup mutu fisiologis, fisik dan genetis. Benih merupakan benda hidup, yang di dalamnya terkandung berbagai komponen kimiawi seperti karbohidrat, lemak, protein, air dan substansi lain. Menurut Copeland (1976), ada beberapa alasan utama untuk mempelajari komposisi kimia di dalam biji, baik sebagai bahan konsumsi (biji) maupun bahan tanaman (benih) : (1) biji merupakan
sumber pokok makanan bagi manusia dan hewan ; (2) kandungan kimia di dalam biji merupakan sumber bahan obatobatan; (3) di dalam biji terkandung berbagai anti-metabolit yang mempunyai pengaruh kurang baik terhadap nutrisi untuk manusia maupun hewan; dan (4) di dalam benih berisi cadangan makanan dan substansi pertumbuhan yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih, vigor kecambah, penyimpanan dan daya simpan benih. Berdasarkan pertimbangan bahwa benih merupakan benda hidup yang di dalamnya terdapat berbagai komposisi kimia yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, maka penanganan benih sangat perlu mendapat perhatian. Penanganan benih meliputi konservasi sebelum pengepakan, pengepakan, perlakuan benih (seed treatment), pemindahan ke gudang dan transportasi sampai kepada pedagang atau petani. Salah satu aspek penanganan benih tanaman yang belum banyak diteliti adalah viabilitas benih yang dipengaruhi oleh dampak transportasi. Menurut Sadjad (1989), benih sebelum mencapai status siap simpan (berada diantara Periode I dan Periode 11) mengalami proses pengolahan (conditioning). Selama proses tersebut benih mengalami periode simpan sementara, walaupun hanya dalam waktu pendek tetapi sangat kritis bagi viabilitas benih. Periode simpan sementara ini
disebut periode konservasi. Periode konservasi juga terjadi lagi diantara Periode I1 dan periode 111. Ini terjadi pada saat translokasi benih dari ruang simpan menuju lapang produksi atau disaat benih hendak ditanam. Saatsaat tersebut dapat merupakan ancaman fatal bagi viabilitas benih. Selanjutnya dikemukakan bahwa transportasi benih pada hakekatnya merupakan periode konservasi baik sebelum benih diolah sesudah dipanen, maupun sesudah penyimpanan sebelum ditanam. Justice dan Bass (1978) menyatakan, benih yang sedang dalam pengiriman atau transportasi sebenarnya sedang mengalami masa penyimpanan. Selanjutnya disebutkan pula bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap viabilitas benih selama penyimpanan juga berlaku pada periode transportasi. Ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap viabilitas benih selama transportasi yaitu suhu dan kelembaban nisbi lingkungan. Menurut Harrington, 1972 (dalam Justice dan Bass, 1979), benih yang ditransportasi di dalam gerbong kereta pada saat cuaca panas dan lembab selama berharihari akan mengalami kemunduran viabilitas. Pengaruh ini akan semakin buruk bila kadar air benihnya tinggi. Menurut Sadjad (1972), kemunduran benih adalah mundurnya mutu fisiologis benih yang dapat menimbulkan perubahan menyeluruh di dalam benih baik fisik, fisiologi maupun kimiawi yang mengakibatkan menurunnya viabilitas
benih. Selanjutnya oleh Toole, Toole dan Gorman (dalam Abdul Baki dan Anderson, 1972), dijelaskan bahwa kemunduran benih dapat ditunjukkan oleh adanya indikasi-indikasi fisiologis sebagai berikut : (a) terjadinya perubahan warna benih (b) tertundanya perkecambahan (c) menurunnya toleransi terhadap kondisi lingkungan suboptimum selama perkecambahan (d) rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang sesuai (e) peka terhadap radiasi (f) menurunnya pertumbuhan kecambah (g) menurunnya daya berkecambah (h) meningkatnya jumlah kecambah abnormal. Abdul Baki dan Anderson (1972) mengemukakan indikasi biokimiawi dalam benih yang mengalami kemunduran viabilitas adalah sebagai berikut : (a) perubahan aktivitas ensim (b) perubahan laju respirasi (c) perubahan di dalam cadangan makanan (d) perubahan di dalam membran (e) kerusakan kromosom. Woodstock (1973), mengusulkan beberapa cara pengamatan untuk menguji vigor benih melalui indikasi fisiologis dan biokimiawi. Indikasi fisiologis meliputi kecepatan tumbuh, total perkecambahan atau laju pertumbuhan kecambah.
Indikasi biokimiawi meliputi : (a) perubahan asam lemak bebas (b) aktivitas ensim (c) laju respirasi dan Kosien Respirasi (d) kebocoran membran sel benih (e) aktivitas subseluler seperti pembentukan polisome (f) aktivitas mitokondria (g) integritas kromosom (h) sintesis metabolit Informasi hasil penelitian mengenai kemunduran viabilitas benih selama transportasi masih sangat jarang. Upaya deteksi kemunduran viabilitas benih tanaman pangan dan sayuran selama transportasi dilakukan oleh Degen dan Puttemans (dalam Justice dan Bass, 1978) dengan mengamati penurunan daya berkecambah. Informasi mengenai indikasi fisiologis dan biokimiawi, yang menggambarkan kemunduran viabilitas benih selama transportasi belum ditemui. Khususnya pada benih tanaman kenaf (H. cannabinus), kemunduran viabilitas selama periode transportasi sering dilaporkan sehingga perlu diteliti indikasi fisiologis dan biokimiawinya.