I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia. Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor agribisnis. Agribisnis merupakan suatu sistem yang integratif terdiri dari beberapa subsistem yaitu subsistem pengadaan sarana produksi pertanian, subsistem produksi pertanian, subsistem pengolahan dan industri hasil pertanian serta pemasaran, dan subsistem kelembagaan penunjang kegiatan pertanian (Krisnamurthi, 2001). Sektor Agribisnis merupakan satu usaha yang sudah sejak lama dianggap memiliki peran cukup besar bagi perekonomian negara. Agribisnis dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan pekerjaan, pendorong pembangunan daerah, dan penyumbang sumber devisa yang besar. Dalam agribisnis sudah tersirat adanya perubahan struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Apabila sebelumnya pertanian hanya berorientasi produksi, maka pertanian kini berkembang menjadi berorientasi bisnis. Berbeda dengan pembangunan di masa lalu, dimana pembangunan pertanian dengan pembangunan industri dan jasa berjalan sendiri-sendiri, bahkan cenderung saling terlepas. Di masa yang akan datang pemerintah akan mengembangkan secara sinergis melalui pembangunan sistem agribisnis yang mencakup empat subsistem sebagai berikut: (1) Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yakni industri-industri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri pembenihan/pembibitan, tanaman, ternak, ikan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat, vaksin ternak/ikan), industri alat dan mesin pertanian (agrootomotif); (2) Subsistem pertanian primer (on-farm agribusiness), yaitu kegiatan budidaya yang menghasilkan komoditi pertanian primer (usahatani tanaman pangan, usahatani hortikultura, usahatani tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha peternakan, usaha perikanan, dan usaha kehutanan); (3) Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yaitu industri-industri yang mengolah komoditi pertanian primer menjadi olahan seperti industri makanan/minuman, industri pakan, industri barang-barang serat alam, industri farmasi, industri bioenergi; dan (4) Subsistem penyedia jasa agribisnis (services for agribusiness) seperti perkreditan, transportasi, dan pergudangan, Litbang, pendidikan SDM, dan 1
kebijakan ekonomi (Davis and Goldberg, 1957; Downey and Steven, 1987; Saragih, 1998). Salah satu dari subsistem agribisnis tersebut adalah subsistem hilir (downstream agribusiness), yang terdiri atas dua macam kegiatan yaitu kegiatan pengolahan komoditas primer dan kegiatan pemasaran komoditas primer atau produk olahan. Kegiatan pengolahan komoditas primer adalah kegiatan yang memproduksi produk olahan baik produk setengah jadi maupun produk jadi yang siap dikonsumsi oleh konsumen dengan menggunakan bahan baku komoditas primer. Sedangkan kegiatan pemasaran adalah kegiatan memasarkan dan menghadirkan produk berupa komoditas primer maupun produk olahan kepada konsumen dalam bentuk, tempat, waktu yang tepat. Salah satu industri yang bergerak dalam subsistem hilir dengan melakukan dua kegiatan yaitu mengolah komoditas pertanian primer khususnya pangan menjadi produk yang siap dikonsumsi serta memasarkannya kepada konsumen adalah industri restoran. Industri makanan/minuman khususnya industri restoran berkembang seiring dengan perkembangan zaman, peningkatan aktivitas masyarakat, serta didukung pula oleh peningkatan jumlah penduduk yang akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan manusia akan konsumsi makanan. Adapula peningkatan jumlah penduduk tersebut, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia hanya sekitar 206.264.595 jiwa dan meningkat pesat menjadi 229.904.840 juta jiwa pada tahun 2008. Peningkatan jumlah penduduk ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Pangan merupakan kebutuhan pokok utama yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia yang berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan nasional. Aktivitas manusia yang semakin padat serta adanya pengaruh pola konsumsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan kebutuhan pangan, membuat konsumen memilih untuk mengkonsumsi makanan jadi atau makanan siap saji. Perkembangan zaman ini membuat kegiatan mengkonsumsi makanan siap saji bukan lagi hanya sekedar memenuhi kebutuhan, namun juga telah menjadi gaya hidup. Keadaan inilah yang menyebabkan 2
tingginya permintaan masyarakat terhadap jasa penyediaan makanan, terutama dalam bentuk makanan siap saji dengan berbagai alternatif menu pilihan bagi konsumen. Semakin tumbuh dan berkembangnya industri restoran di Indonesia adalah bukti dari respon positif masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan yang cenderung praktis dengan memilih restoran sebagai pilihan konsumsi mereka. Adanya pertumbuhan yang positif dari industri restoran di Indonesia ditunjukkan dengan meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) pada sektor tersier yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Tabel 1. Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2008 (Miliar Rupiah) Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 Pertanian 364.169,3 433.223,4 541.931,5 716.065,3 Pertambangan 309.014,1 366.520,8 440.609,6 591.531,7 Industri Pengolahan 760.361,3 919.539,3 1.068.653,9 1.380.713,1 LGA 26.693,8 30.354,8 34.723,8 40.846,1 Konstruksi 195.110,6 251.132,3 304.996,8 419.642,4 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 431.620,2 501.542,4 592.304,1 691.494,7 a. Perdagangan besar dan eceran 338.667,2 393.047,4 468.734,3 551.350,9 b. Hotel 14.146,9 16.074,2 17.320,4 18.900,3 c. Restoran 78.806,1 92.420,8 106.249,4 121.243,5 Pengangkutan & Komunikasi 180.584,9 231.523,5 264.263,3 312.190,2 Keuangan 230.522,7 269.121,4 305.213,5 368.129,7 Jasa-jasa 276.204,2 336.258,9 398.196,7 481.669,9 PDB 2.774.281,1 3.339.216,8 3.950.893,2 4.951.356,7 Sumber: Badan Pusat Statistik (2009), diolah Seperti dapat dilihat pada Tabel 1, sektor tersier mengalami pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun, khususnya pada industri restoran yang berkembang dari sebesar Rp 78.806,00 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 121.243,00 miliar pada tahun 2008. Adanya pertumbuhan yang positif dari industri restoran dalam PDB mengisyaratkan adanya perkembangan yang positif 3
dari industri restoran di Indonesia. Selain dari meningkatnya jumlah PDB, berkembangnya industri restoran di Indonesia tak lepas dari adanya peningkatan pendapatan, peningkatan daya beli masyarakat, perubahan gaya hidup, peningkatan aktivitas masyarakat, serta peningkatan sektor pariwisata. Salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan serta perkembangan yang positif dalam sektor industri restoran adalah Provinsi Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bogor. Dilihat dari jumlah penduduk, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Pulau Jawa sedangkan Kabupaten Bogor adalah salah satu kabupaten dengan penduduk terbesar di Provinsi Jawa Barat. Selain karena memiliki jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan dan perkembangan industri restoran di Kabupaten dan Kota Bogor didukung oleh potensi pasar yang sangat menjanjikan dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke daerah tersebut. Pada tahun 2006 sebanyak 2.860.157 orang wisatawan berkunjung ke Kota Bogor, meningkat sebesar 37 persen dibandingkan dengan tahun 2005 yang berjumlah 807.115 orang. Sedangkan pada Kabupaten Bogor terjadi hal yang sama, kunjungan wisata ke Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 jumlah kunjungan wisata baik dari domestik maupun mancanegara terhitung 1.516.349 orang dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 1.770.981 orang. Pada tahun 2006 terhitung sebanyak 1.810.961 orang dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 2.179.961 orang. Dengan semakin tingginya potensi sektor pariwisata di Kota dan Kabupaten Bogor maka akan berdampak pada pertumbuhan yang positif terhadap sektor perdagangan, hotel, dan restoran di daerah tersebut. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 2. 4
Tabel 2. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2008 (Juta Rupiah) Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 Pertanian 1.919.429,45 2.091.009,87 2.091.009,87 2.661.170.46 Pertambangan 419.693,95 510.672,58 582.614,80 663.760.43 Industri 24.487.532,8 28.800.577,7 32.304.257.9 36.417.490.7 LGA 1.252.177,19 1.463.090,42 1.660.347.05 1.854.060.05 Bangunan 1.201.963,62 1.444.729,87 1.687.648.42 2.079.210.04 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 5.811.089,42 6.935.058,45 8.037.785.30 9.446.380.32 d. Perdagangan besar dan eceran 4.658.167,69 5.646.465,32 6.594.482.13 7.762.650.76 e. Hotel 158.346,74 198.415,82 219.073.17 318.670.64 f. Restoran 954.505,91 1.069.519,96 1.203.480.91 1.403.490.38 Pengangkutan & Komunikasi 1.086.970,72 1.309.245,34 1.470.887.19 2.396.130.12 Keuangan 605.980,82 662.988,12 751.008.09 873.410.84 Jasa-jasa 1.397.281,78 1.575.325,41 1.765.902.49 1.996.350.86 PDRB 38.182.119,8 44.792.697,8 50.700.213.4 58.387.960.4 Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009), diolah Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa PDRB Kabupaten Bogor pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Terjadi peningkatan dari sebesar Rp 954.505.91,00 juta pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp 1.403.490.38,00 juta pada tahun 2008. Meningkatnya PDRB Kabupaten Bogor pada sektor tersier khususnya sektor hotel dan restoran menunjukkan adanya perkembangan yang baik khususnya pada sektor hotel dan restoran tersebut. Selain itu, didukung oleh peningkatan sektor pariwisata di Kabupaten Bogor, maka akan mendorong peningkatan industri hotel dan restoran dan selanjutnya akan berpengaruh positif pada peningkatan PDRB Kabupaten Bogor. Selain sektor pariwisata, adapula faktor yang semakin mendorong industri restoran di Kota dan Kabupaten Bogor untuk berkembang, yaitu faktor konsumsi masyarakat, yang lebih dominan untuk mengkonsumsi makanan dibandingkan 5
dengan bukan makanan. Berikut ini dapat dilihat data pengeluaran makanan ratarata per kapita sebulan menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Tabel 3. Pengeluaran Rata-rata Per Kapita Sebulan Menurut Kabupaten/Kota dan Sekelompok Barang di Jawa Barat pada Tahun 2007 Kabupaten/Kota Makanan (Rupiah) Persentase (%) Bukan Makanan (Rupiah) Persentase (%) Jumlah Pengeluaran (Rupiah) Persentase (%) Kabupaten Bandung 166.728 49,61 169.318 50,39 336.046 100,00 Bandung Barat 143.320 51,33 135.909 48,67 279.229 100,00 Bogor 180.283 50,80 174.611 49.20 354.894 100,00 Bekasi 235.745 48,91 246.207 51,09 481.952 100.00 Cirebon 184.786 60,13 122.529 39,87 307.315 100,00 Sukabumi 159.556 56,07 125.014 49,93 125.014 100,00 Tasikmalaya 147.212 60,32 96.821 39,68 244.033 100,00 Kota Bandung 226.878 41,42 320.876 58,58 547.755 100,00 Bogor 249.624 37,67 412.983 62,33 662.607 100,00 Bekasi 235.438 39,91 354.468 60.09 589.906 100,00 Cirebon 194.545 44,18 245.771 55,82 440.316 100.00 Sukabumi 255.558 51,10 244.603 48,90 500.162 100,00 Tasikmalaya 176.778 46,31 204.964 53,69 381.741 100,00 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2008), diolah Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa Kabupaten Bogor berada pada peringkat ketiga setelah Bekasi dan Cirebon dengan pengeluaran untuk makanan sebesar Rp 180.283,00 dalam sebulan. Sedangkan Kota Bogor berada pada peringkat kedua setelah Sukabumi dengan pengeluaran untuk makanan sebesar Rp 249.624,00 Total pengeluaran Kabupaten dan Kota Bogor untuk makanan adalah sebesar Rp 429.907,00 dalam sebulan. Jumlah pengeluaran Kabupaten dan Kota Bogor untuk makanan seperti diperihatkan pada Tabel 3 diatas merupakan jumlah yang besar dan menggambarkan bahwa masyarakat Kabupaten dan Kota Bogor termasuk masyarakat yang konsumtif terhadap makanan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong industri restoran pada kawasan Kabupaten dan Kota Bogor untuk semakin berkembang. 6
Adanya perkembangan dari industri restoran di Kota Bogor dapat diperlihatkan dengan semakin meningkatnya jumlah bisnis restoran baik restoran baru maupun pengusaha restoran yang semakin memperluas usahanya. Berikut adalah jumlah dan pertumbuhan restoran di Kota Bogor pada tahun 2002-2007. Tabel 4. Jumlah dan Pertumbuhan Restoran di Kota Bogor Tahun 2002-2007 Tahun Jumlah Restoran (Unit) Pertumbuhan (Persen) 2002 161 50,46 2003 178 10,56 2004 192 7,87 2005 222 15,63 2006 248 11,71 2007 268 8,06 Sumber: Dinas Informasi Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor (2008) Peningkatan jumlah penduduk, perkembangan sektor pariwisata, pertumbuhan ekonomi yang positif, dan jumlah konsumsi masyarakat yang tinggi berdampak pada makin banyaknya restoran di Kota dan Kabupaten Bogor. Menurut data Dinas Informasi Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor, pada tahun 2007 terdapat 268 restoran yang memiliki izin dan beroperasi di Kota Bogor baik restoran tradisional maupun modern dan jumlah tersebut bertambah setiap tahunnya. Sedangkan di Kabupaten Bogor, pada tahun 2007 terdapat kurang lebih 1072 unit restoran dan rumah makan yang telah ikut dalam persaingan bisnis, namun tidak dapat dikontrol karena sekitar 90 persen dari restoran-restoran tersebut belum memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten setempat. Salah satu daerah dengan tingkat persaingan antar restoran dan tingkat kepadatan yang tinggi di Kabupaten Bogor adalah Kecamatan Ciomas. Persaingan bisnis restoran dan yang tinggi tersebut disebabkan oleh letak Kecamatan Ciomas yang merupakan perbatasan antara Kabupaten dan Kota Bogor. Sedangkan tingginya tingkat kepadatan penduduk Kecamatan Ciomas disebabkan oleh 7
banyaknya perumahan di daerah tersebut sehingga menghasilkan salah satu angka tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Kabupaten Bogor sekitar 7.854 jiwa/km 2. Salah satu jenis restoran yang berkembang di Kecamatan Ciomas adalah restoran tradisional. Menurut Atmodjo (2005) restoran tradisional adalah restoran yang menyajikan menu khas daerah, biasanya mempunyai ruangan penyajian yang didekorasi sesuai dengan keadaan daerah asal makanan tersebut. Restoran Pondok Sekararum adalah salah satu restoran tradisional yang terletak di Kecamatan Ciomas. Restoran Pondok Sekararum adalah restoran tradisional khas Jawa Timur yang menyediakan menu makanan khas Jawa Timur dan mempunyai ruang penyajian yang didekorasi menurut adat Jawa Timur. Selain itu, Restoran Pondok Sekararum adalah restoran yang pertama kali menyajikan menu makanan khas Jawa Timur di Kecamatan Ciomas dengan bumbu dan cita rasa asli berdasarkan resep keluarga secara turun-temurun. Hal ini menunjukkan bahwa restoran tersebut telah memanfaatkan peluang pasar yang ada dengan menawarkan konsep restoran tradisional yang unik dan didukung dengan variasi makanan tradisional khas Jawa Timur yang jarang ditemukan di daerah tersebut seperti pecel madiun, rawon, serabi siram, hingga es dawet campur. Dalam perkembangan usahanya, Restoran Pondok Sekararum akan membutuhkan strategi yang tepat untuk terus berkembang dan tetap bertahan dalam industri. Permasalahan-permasalahan yang ada baik dari dalam maupun dari luar perusahaan menuntut restoran Pondok Sekararum untuk melakukan strategi yang tepat dalam mengelola dan mengembangkan usahanya. 1.2. Perumusan Masalah Pondok Sekararum adalah salah satu restoran tradisional khas Jawa Timur yang terletak di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Pondok Sekararum didirikan pada tanggal 24 Maret 2007 dan berdiri diatas tanah seluas 1000 m2. Restoran Pondok Sekararum merupakan satu-satunya restoran di Kecamatan ciomas yang memadukan dua konsep antara restoran tradisional dan gerai tanaman hias. Selain menawarkan konsep restoran yang berbeda, Pondok Sekararum juga merupakan restoran pionir di Kecamatan Ciomas yang menawarkan berbagai pilihan menu makanan dan minuman tradisional khas Jawa Timur seperti pecel madiun, rawon, serabi siram, hingga es dawet campur dengan 8
berbagai penyempurnaan rasa sehingga menghasilkan makanan yang cocok dengan selera masyarakat, lezat, dan bermutu. Pada awal berdirinya, restoran ini sangat diminati oleh konsumen. Hal tersebut ditunjukkan dengan besarnya omset, banyak serta frekuensi kunjungan konsumen, serta tanggapan positif lainnya dari masyarakat perihal harga dan pelayanan yang baik serta menu makanan yang khas. Namun, kurangnya kemampuan pemasaran perusahaan membuat semakin lama omset perusahaan dan kunjungan konsumen semakin menurun. Berdasarkan pengamatan strategi bisnis sebelumnya, pihak manajerial Restoran Pondok Sekararum tidak lagi melakukan strategi promosi secara langsung. Upaya promosi melalui penyebaran leaflet dan brosur dirasakan kurang efektif dan tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan penjualan. Akan tetapi, sebagai salah satu aspek penting dalam perusahaan, aspek pemasaran khususnya promosi harus dikembangkan secara optimal agar para konsumen dapat mengetahui keberadaan Restoran Pondok Sekararum. Selain itu, dengan adanya kegiatan pemasaran yang optimal, peningkatan laba dan peningkatan penjualan yang merupakan tujuan perusahaan akan dapat tercapai. Adapula minimnya hambatan masuk industri akibat teknologi sederhana dan investasi awal yang tidak terlalu besar, membuat semakin banyaknya berdiri restoran tradisional baru yang pada akhirnya meningkatkan persaingan di industri. Akibat semakin meningkatnya persaingan dalam industri restoran tradisional, Restoran Pondok Sekararum berupaya untuk mempertahankan dan mengembangkan usahanya dengan merencanakan strategi yang tepat. Strategi ini berguna untuk mempertahankan eksistensi perusahaan dalam industri restoran dengan memanfaatkan potensi internal dan eksternal serta mengatasi kendala internal eksternal yang dimiliki untuk mempertahankan pasar yang ada maupun pasar baru bagi perusahaan. Walaupun didukung oleh modal yang kuat dan manajemen restoran yang baik, namun potensi masuknya pendatang baru dalam industri justru diperkirakan akan mendatangkan tekanan persaingan yang tajam. Adapula kendala lain yang dihadapi Restoran Pondok Sekararum dalam kegiatan mengembangkan usahanya. Beberapa kendala yang ada adalah lokasi usaha yang kurang strategis membuat 9
pihak manajemen harus menemukan kegiatan promosi yang lebih efektif, kurangnya variasi dalam menu dan produk, dan banyaknya produk subtitusi. Munculnya berbagai permasalahan tersebut baik dari dalam maupun dari luar perusahaan merupakan kelemahan dan ancaman yang dapat diminimalisir dengan menyusun rencana strategis ke depan yang tepat. Langkah-langkah strategis untuk pengembangan usaha restoran tradisional khas Jawa Timur Pondok Sekararum harus mampu melibatkan semua pihak termasuk pihak manajemen sebagai pelaku utama usaha restoran tersebut. Guna membantu pengembangan usaha Restoran Pondok Sekararum, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal apakah yang harus diperhatikan oleh Restoran Pondok Sekararum dalam menyusun strategi pengembangan usaha? 2. Alternatif dan prioritas strategi pengembangan usaha apakah yang tepat dan dapat diterapkan oleh pihak Restoran Pondok Sekararum sesuai dengan kondisi lingkungan usaha? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang harus diperhatikan oleh Restoran Pondok Sekararum dalam menyusun strategi pengembangan usaha. 2. Merumuskan alternatif strategi dan merekomendasikan prioritas strategi pengembangan usaha yang tepat untuk dapat diterapkan pihak Restoran Pondok Sekararum sesuai dengan kondisi lingkungan usaha. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna: 1. Bagi pihak manajemen Restoran Pondok Sekararum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan mengenai pemilihan strategi pengembangan usaha yang tepat sebagai upaya dalam mengembangkan usaha serta memenuhi dan memuaskan harapan pelanggan. 10
2. Bagi pembaca, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada penelitian selanjutnya dan dapat menjadi bahan masukan dan informasi mengenai pengembangan usaha, khususnya analisis strategi pengembangan usaha. 3. Bagi penulis, sebagai pengalaman nyata dalam bidang Agribisnis dan penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh selama kuliah. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup analisis dan pembahasan dalam penelitian secara keseluruhan adalah identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi strategi pengembangan usaha yang sebaiknya diterapkan oleh perusahaan. Ruang lingkup analisis ini meliputi gambaran umum usaha Restoran Pondok Sekararum, analisis faktor-faktor internal dan eksternal perusahaan, perumusan strategi dan penentuan prioritas strategi yang dapat ditetapkan oleh usaha Restoran Pondok Sekararum, kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. 11