TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

KRISIS HUTAN MANGROVE DI SUMATERA UTARA DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebun binatang dan cagar alam/taman nasional. Biologi adalah pengejawantahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2003) wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya.

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang


Oleh. Firmansyah Gusasi

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara disusun oleh 20 jenis flora mangrove, dengan jenis paling dominan adalah Avicenia marina yang merupakan jenis pionir. Tumbuhan mangrove yang dijumpai hanya berada pada tingkat semai dan pancang, sedangkan tingkat pohon tidak dijumpai, sehingga tergolong hutan mangrove muda (Onrizal, 2010). Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).

Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji, 2001). Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove Luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Berdasarkan hasil penelitian Onrizal (2010) dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh dalam 4 kali pengukuran berbeda (1977, 1988/1989, 1997 dan 2006) terus menurun. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang, yaitu sebesar 14,01% (tersisa menjadi 88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68% (hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada tahun 1977. Berdasarkan data di atas, maka dapat diketahui bahwa laju kerusakan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara adalah sebesar 2128,103 ha/tahun. Pada dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironisnya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya masih alami maupun yang telah berubah tutupan lahannya. Umumnya hutan mangrove tidak memiliki

batas-batas yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s/d tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha. Berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami. Gambaran kerusakan mangrove juga bisa dilihat dari kemerosotan sumber daya alam yang signifikan di kawasan hutan mangrove, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain. Hal ini berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove (Purwoko dan Onrizal, 2002). Menurut Purwoko dan Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir. Menurut Onrizal (2010) perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan, perkebunan,

permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove Menurut Pasaribu (2004) permasalahan-permasalahan utama yang melatarbelakangi terjadinya degradasi hutan mangrove di Sumatera Utara tidak terlepas dari beberapa hal, antara lain: 1. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah Kebanyakan masyarakat di kawasan pesisir bekerja sebagai nelayan tradisional. Meskipun cukup potensial namun tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir relatif masih rendah jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Hal ini disebabkan terbatasnya peralatan yang dimiliki nelayan tradisional yang mengakibatkan penurunan hasil tangkap dan penghasilan nelayan. Dalam satu bulan nelayan tradisional hanya efektif bekerja 20 hari. Untuk mengisi waktu saat tidak melaut nelayan melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan seperti beternak kepiting, ikan kerapu dan mencari kayu bakar. Pencarian kayu bakar dilakukan di hutan mangrove di sekitar mereka dengan penebangan yang tidak memenuhi aturan sehingga mengakibatkan percepatan kerusakan. 2. Penebangan liar (illegal logging) Kayu mangrove termasuk bahan baku terbaik dalam pembuatan arang, yang bernilai ekonomi untuk dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke luar negeri terutama Jepang. Dampak dari tingginya nilai arang bakau di pasaran

mengakibatkan masyarakat mendirikan dapur arang yang beroperasi secara liar. Untuk memenuhi bahan bakar tidak jarang masyarakat melakukan penebangan liar di kawasan lindung dan sempadan pantai yang seharusnya terlarang bagi pengambilan kayu. 3. Pembukaan tambak udang secara liar Peningkatan harga udang di pasaran nasional sejak tahun delapan puluhan, menyebabkan banyak masyarakat membuka lahan tambak di daerah pantai yang menimbulkan konversi lahan. Kawasan mangrove berubah menjadi hamparan tambak dan kerusakan mangrove di perparah oleh kurangnya kesadaran pengusaha dan masyarakat dalam melakukan pelestarian di daerah lindung dan sempadan. Pembukaan tambak tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi yang secara umum diperkenankan, juga dijumpai oknum-oknum tertentu melakukan ekstensifikasi tambak sampai ke hutan lindung. 4. Persepsi yang keliru tentang mangrove Banyak masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan mempunyai pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat kotor untuk tempat bersarang dan berkembang biak nyamuk malaria, lalat dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal ini telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi timbulnya wabah penyakit. 5. Lemahnya penegakan hukum Pada dasarnya telah banyak peraturan perundangan yang bertujuan untuk mengatur dan melindungi sumberdaya mengrove melalui cara-cara pengelolaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian namun demikian belum

dibarengi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang memadai. Sehingga dari waktu ke waktu semakin banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa adanya upaya penegakan hukum yang berarti. Aplikasi SIG untuk Pemetaan Penyebaran Mangrove Menurut Anam (2005), sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia. Lebih lanjut Budiyanto (2002) menyatakan bahwa SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Dengan kemampuan tersebut, maka SIG dapat digunakan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan pada hutan mangrove. Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah cukup lama dikenal sejak awal tahun 1960 di Kanada dan Amerika Serikat, yang saat itu banyak digunakan untuk keperluan Land Information System. Saat ini SIG sudah banyak digunakan untuk keperluan lain seperti pengembangan wilayah, perpetaan, lingkungan dan sebagainya. SIG mulai dimanfaatkan di Indonesia pada awal tahun 1980 terutama dalam pembuatan peta, pengelolaan wilayah, analisis lingkungan dan agraria (Subaryono dkk, 2006). Teknik tumpang tindih (overlay) merupakan hal yang terpenting dalam aplikasi SIG untuk memperoleh tematik data spasial (peta) baru beserta data atributnya. Terdapat empat jenis metode overlay yang paling penting, yaitu; intersect, union, clip dan merge. Metode intersect adalah metode yang paling luas penggunaannya untuk analisa data spasial dengan teknik yang akan

mengkombinasikan secara silang data spasial dan non spasial dalam satu tema informasi baru. Metode union digunakan ketika dua atau lebih data digabungkan sehingga menghasilkan data yang dikehendaki hanya tergabung secara spasial tanpa memperhatikan aspek data basenya. Metode clip adalah tumpang tindih dua data spasial yang akan menghasilkan potongan sesuai poligon yang dikehendaki (area of interest). Metode merge adalah penggabungan dua atau lebih data secara spasial dan non spasial dengan syarat adanya dasar (field) kunci yang sama dalam atribut (ESRI, 1996). Kegiatan survei lapang mangrove yang dikombinasikan dengan penginderaan jauh merupakan metode yang ideal untuk memperkirakan dan menentukan status dari hutan mangrove dan lingkungannya (Neukermans et al., 2008 dalam Satriya dkk, 2010). Menurut Satriya (2010) Pemetaan habitat mangrove berperan penting dalam manajemen pengelolaan hutan mangrove mencakup inventarisasi sumberdaya spesies, deteksi perubahan lahan yang terjadi dan perencanaan tata ruang ekosistem yang berkelanjutan. Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Satelit ini terbagi dalam dua generasi yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3. Satelit generasi kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor Thematic Mapper (TM) (Budiyanto, 2002).