TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara disusun oleh 20 jenis flora mangrove, dengan jenis paling dominan adalah Avicenia marina yang merupakan jenis pionir. Tumbuhan mangrove yang dijumpai hanya berada pada tingkat semai dan pancang, sedangkan tingkat pohon tidak dijumpai, sehingga tergolong hutan mangrove muda (Onrizal, 2010). Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).
Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji, 2001). Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove Luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Berdasarkan hasil penelitian Onrizal (2010) dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh dalam 4 kali pengukuran berbeda (1977, 1988/1989, 1997 dan 2006) terus menurun. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang, yaitu sebesar 14,01% (tersisa menjadi 88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68% (hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada tahun 1977. Berdasarkan data di atas, maka dapat diketahui bahwa laju kerusakan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara adalah sebesar 2128,103 ha/tahun. Pada dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironisnya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya masih alami maupun yang telah berubah tutupan lahannya. Umumnya hutan mangrove tidak memiliki
batas-batas yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s/d tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha. Berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami. Gambaran kerusakan mangrove juga bisa dilihat dari kemerosotan sumber daya alam yang signifikan di kawasan hutan mangrove, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain. Hal ini berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove (Purwoko dan Onrizal, 2002). Menurut Purwoko dan Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir. Menurut Onrizal (2010) perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan, perkebunan,
permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove Menurut Pasaribu (2004) permasalahan-permasalahan utama yang melatarbelakangi terjadinya degradasi hutan mangrove di Sumatera Utara tidak terlepas dari beberapa hal, antara lain: 1. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah Kebanyakan masyarakat di kawasan pesisir bekerja sebagai nelayan tradisional. Meskipun cukup potensial namun tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir relatif masih rendah jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Hal ini disebabkan terbatasnya peralatan yang dimiliki nelayan tradisional yang mengakibatkan penurunan hasil tangkap dan penghasilan nelayan. Dalam satu bulan nelayan tradisional hanya efektif bekerja 20 hari. Untuk mengisi waktu saat tidak melaut nelayan melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan seperti beternak kepiting, ikan kerapu dan mencari kayu bakar. Pencarian kayu bakar dilakukan di hutan mangrove di sekitar mereka dengan penebangan yang tidak memenuhi aturan sehingga mengakibatkan percepatan kerusakan. 2. Penebangan liar (illegal logging) Kayu mangrove termasuk bahan baku terbaik dalam pembuatan arang, yang bernilai ekonomi untuk dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke luar negeri terutama Jepang. Dampak dari tingginya nilai arang bakau di pasaran
mengakibatkan masyarakat mendirikan dapur arang yang beroperasi secara liar. Untuk memenuhi bahan bakar tidak jarang masyarakat melakukan penebangan liar di kawasan lindung dan sempadan pantai yang seharusnya terlarang bagi pengambilan kayu. 3. Pembukaan tambak udang secara liar Peningkatan harga udang di pasaran nasional sejak tahun delapan puluhan, menyebabkan banyak masyarakat membuka lahan tambak di daerah pantai yang menimbulkan konversi lahan. Kawasan mangrove berubah menjadi hamparan tambak dan kerusakan mangrove di perparah oleh kurangnya kesadaran pengusaha dan masyarakat dalam melakukan pelestarian di daerah lindung dan sempadan. Pembukaan tambak tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi yang secara umum diperkenankan, juga dijumpai oknum-oknum tertentu melakukan ekstensifikasi tambak sampai ke hutan lindung. 4. Persepsi yang keliru tentang mangrove Banyak masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan mempunyai pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat kotor untuk tempat bersarang dan berkembang biak nyamuk malaria, lalat dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal ini telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi timbulnya wabah penyakit. 5. Lemahnya penegakan hukum Pada dasarnya telah banyak peraturan perundangan yang bertujuan untuk mengatur dan melindungi sumberdaya mengrove melalui cara-cara pengelolaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian namun demikian belum
dibarengi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang memadai. Sehingga dari waktu ke waktu semakin banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa adanya upaya penegakan hukum yang berarti. Aplikasi SIG untuk Pemetaan Penyebaran Mangrove Menurut Anam (2005), sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia. Lebih lanjut Budiyanto (2002) menyatakan bahwa SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Dengan kemampuan tersebut, maka SIG dapat digunakan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan pada hutan mangrove. Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah cukup lama dikenal sejak awal tahun 1960 di Kanada dan Amerika Serikat, yang saat itu banyak digunakan untuk keperluan Land Information System. Saat ini SIG sudah banyak digunakan untuk keperluan lain seperti pengembangan wilayah, perpetaan, lingkungan dan sebagainya. SIG mulai dimanfaatkan di Indonesia pada awal tahun 1980 terutama dalam pembuatan peta, pengelolaan wilayah, analisis lingkungan dan agraria (Subaryono dkk, 2006). Teknik tumpang tindih (overlay) merupakan hal yang terpenting dalam aplikasi SIG untuk memperoleh tematik data spasial (peta) baru beserta data atributnya. Terdapat empat jenis metode overlay yang paling penting, yaitu; intersect, union, clip dan merge. Metode intersect adalah metode yang paling luas penggunaannya untuk analisa data spasial dengan teknik yang akan
mengkombinasikan secara silang data spasial dan non spasial dalam satu tema informasi baru. Metode union digunakan ketika dua atau lebih data digabungkan sehingga menghasilkan data yang dikehendaki hanya tergabung secara spasial tanpa memperhatikan aspek data basenya. Metode clip adalah tumpang tindih dua data spasial yang akan menghasilkan potongan sesuai poligon yang dikehendaki (area of interest). Metode merge adalah penggabungan dua atau lebih data secara spasial dan non spasial dengan syarat adanya dasar (field) kunci yang sama dalam atribut (ESRI, 1996). Kegiatan survei lapang mangrove yang dikombinasikan dengan penginderaan jauh merupakan metode yang ideal untuk memperkirakan dan menentukan status dari hutan mangrove dan lingkungannya (Neukermans et al., 2008 dalam Satriya dkk, 2010). Menurut Satriya (2010) Pemetaan habitat mangrove berperan penting dalam manajemen pengelolaan hutan mangrove mencakup inventarisasi sumberdaya spesies, deteksi perubahan lahan yang terjadi dan perencanaan tata ruang ekosistem yang berkelanjutan. Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Satelit ini terbagi dalam dua generasi yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3. Satelit generasi kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor Thematic Mapper (TM) (Budiyanto, 2002).