1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan diterbitkannya peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 yang telah menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan sebagai pembayar tunggal Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka Indonesia mengalami reformasi dalam pembiayaan kesehatan. Kebijakan ini tetap memberikan peluang kepada asuransi komersial untuk memberikan benefit yang tidak dijamin dalam skema BPJS Kesehatan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat terdapat Per 31 Desember 2013, jumlah perusahaan perasuransian yang memiliki izin usaha untuk beroperasi di Indonesia adalah 400 perusahaan, terdiri atas 140 perusahaan asuransi dan reasuransi, dan 260 perusahaan penunjang asuransi. Jumlah premi bruto industri asuransi pada tahun 2013 mencapai Rp.193,06 triliun, meningkat 9,76% dari angka tahun sebelumnya Rp.175,89 triliun. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan rata-rata premi bruto adalah sekitar 16,3%. Apabila jumlah premi bruto tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013, yaitu sebesar 248,8 juta jiwa akan diperoleh insurance density sebesar Rp. 775.985,97. Ini berarti, secara rata-rata setiap penduduk Indonesia mengeluarkan dana sebesar Rp. 775.985,97 untuk membayar premi asuransi. Di Australia, sejak diperkenalkannya asuransi kesehatan masyarakat di pertengahan tahun 1980-an, proporsi masyarakat Australia yang dijamin oleh asuransi komersial mengalami penurunan sehingga pemerintah Australia membuat kebijakan pada tahun 1990-an dengan memberikan subsidi premi sebesar 30% untuk tetap menaikkan proporsi asuransi komersial (Stavrunova, Yerokhin, 2014). Berbeda dengan Di Uganda, setelah skema National Health Insurance (NHI) yang bersifat wajib diterapkan maka 44% pekerja dan 65% pemberi kerja akan meninggalkan asuransi komersial untuk beralih ke NHI karena potensi kerjasama dan saling melengkapi antara keduanya tidak mungkin terjadi (Zikusooka, et al, 1
2 2009). Penelitian di Ghana menunjukkan bahwa 61,1% responden saat ini sedang terdaftar di NHIS, 23,9% tidak diperpanjang asuransi mereka setelah mendaftar pemerintah dan 15% belum pernah terdaftar. Alasan adalah kualitas layanan yang buruk (58%), keterbatasan financial (49%) dan provider (23%). Jenis kelamin, status perkawinan, agama dan persepsi status kesehatan responden secara signifikan mempengaruhi keputusan mereka untuk mendaftarkan diri dan tetap NHIS (Boateng, Awunyor-Vitor, 2013). Pengenalan Undang-Undang Asuransi Kesehatan (HIA) pada tahun 2006 merupakan langkah penting menuju peraturan persaingan dalam sistem kesehatan Belanda. Pilihan asuransi merupakan prasyarat penting untuk efisiensi dalam sistem kesehatan berdasarkan peraturan tersebut. Selain asuransi dasar yang bersifat wajib, sekitar 90% dari penduduk Belanda memiliki asuransi sukarela. Penanggung dapat menerapkan risk rating dan seleksi risiko asuransi sukarela, tetapi tidak untuk asuransi dasar. Karena hampir semua perusahaan asuransi Belanda menawarkan asuransi dasar dan asuransi sukarela sebagai produk bersama, pilihan konsumen perusahaan asuransi untuk asuransi dasar dapat dibatasi oleh asuransi sukarela (Duijmelinck, van de Ven, 2014). Pada era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), perusahaan asuransi komersial ikut bersinergi dalam mensukseskan pelaksanaan JKN dengan menjadi mitra dan melakukan koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (COB) serta telah dibuktikan dengan ditandatangani kesepakatan bersama antara PT ASKES (Persero) dengan AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) dan AAUI (Asosiasi Asuranssi Umum Indonesia) No 260/SPK/1113 jo. No. 774/AAJI/2013 jo.no.02/mou/aaui-askes/2013 tentang Koordinasi Manfaat Dalam Implementasi Jaminan Sosial Bidang Kesehatan pada tanggal 14 November 2013. Ada 19 perusahaan asuransi jiwa dan 11 perusahaan asuransi umum yang telah melakukan koordinasi manfaat dengan BPJS kesehatan. Koordinasi manfaat adalah suatu proses koordinaasi, pelayanan kesehatan diantara dua atau lebih asuradur yang menjamin orang yang sama, tujuannya untuk mencegah terjadinya pembayaran yang berlebih dari biaya yang harus dibayarkan kepada provider atau tertanggung.
3 Koordinasi manfaat atau coordination of benefit (COB) antara BPJS Kesehatan dengan asosiasi asuransi, memiliki peran ganda. Selain, dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi program JKN, kalangan asuransi swasta diijinkankan memasarkan produk kesehatan itu. Meski demikian, ini bukanlah simbiosis mutualisme karena JKN merupakan asuransi sosial, bukan pengobatan gratis. Hanya saja, asuransi kesehatan tidak bersifat wajib, namun JKN merupakan program wajib. Sehingga, apa yang dilakukan asuransi swasta, yang dibolehkan ikut memasarkan JKN, tidak bisa diikuti dengan langkah sebaliknya. BPJS Kesehatan tidak melakukan kegiatan asuransi swasta. Intinya, koordinasi manfaat berlaku apabila peserta BPJS Kesehatan membeli asuransi kesehatan tambahan dari Penyelenggara Program Asuransi Kesehatan Tambahan atau badan penjamin lainnya yang notabene asuransi komersial yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Koordinasi manfaat yang diperoleh peserta BPJS Kesehatan tidak melebihi total jumlah biaya pelayanan kesehatannya artinya mempunyai dua asuransi tidak menyebabkan peserta mendapatkan keuntungan dari sakit yang dideritanya. Koordinasi manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang sesuai kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan asuransi komersial (Samosir, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suprayogo (2014) di lima kota besar di pulau Jawa, kepemilikan dua asuransi rata-rata dimiliki oleh kelompok usia lansia, berjenis kelamin perempuan, tidak dipengaruhi status pernikahan, berpendidikan tinggi, memiliki pengahasilan Rp. 2.000.000,- dan memiliki resiko dalam pekerjaannya. Konsep koordinasi manfaat berdasarkan dengan Peraturan Presiden nomor 111 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pada pasal 24 dimana peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. Dijelaskan dalam Peraturan Direksi BPJS nomor 064 tahun 2014 pada pasal 1 ayat 2 bahwa BPJS Kesehatan merupakan penjamin utama atas program jaminan kesehatan sementara pada pasal 1 ayat 3 dijelaskan bahwa BPJS bukan merupakan penjamin
4 utama program jaminan kesehatan untuk koordinasi manfaat program jaminan sosial dalam bidang kecelakaan lalu lintas. Permasalahan yang terjadi pada koordinasi manfaat program jaminan kesehatan adalah mekanisme pelayanan yang meliputi sistem rujukan berjenjang. Sistem rujukan berjenjang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan tujuannya untuk memastikan bahwa kasus yang dirujuk adalah benar-benar diperlukan secara medis dan ditentukan oleh dokter sehingga, bukan merupakan keinginan sendiri dari pasien (tanpa indikasi medis) karena pelayanan kesehatan yang diberikan tanpa indikasi medis adalah salah satu pelayanan yang tidak dijamin BPJS Kesehatan. Fasilitas kesehatan tingkat pertama tersebut akan merujuk ke rumah sakit yang dituju dengan jenjang diatasnya. Peserta pemilik dua jaminan kesehatan BPJS Kesehatan dan asuransi komersial tidak dapat langsung mendapatkan pelayanan dokter spesialis apabila akan menggunakan manfaat dari kedua jaminan tersebut. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dituju, tidak semua rumah sakit dapat melayani peserta dengan dua jaminan, terdapat 17 rumah sakit non BPJSK (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) yang melayani peserta koordinasi manfaat. Pembatasan fasilitas kesehatan ini juga menjadi permasalahan dalam sistem koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dan asuransi komersial. Peserta koordinasi manfaat tidak bisa memilih rumah sakit sesuai dengan keinginannya. Selain permasalahan sistem rujukan dan terbatasnya fasilitas kesehatan yang melayani peserta koordinasi manfaat, adanya double cost yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan dimana perusahaan harus membayar premi dua asuransi bagi karyawannya namun manfaat yang didapatkan hanya satu. Sesuai dengan prinsip koordinasi manfaat BPJS Kesehatan, koordinasi manfaat yang diperoleh peserta tidak melebihi total jumlah biaya pelayanan kesehatannya artinya jika jumlah biaya perawatan yang diklaim rumah sakit lebih besar dari tarif Indonesia Case Based Groups (Ina CBG s), asuransi tambahan yang akan membayar selisihnya namun jika tidak melebihi dari tarif Ina CBG s maka tidak akan ada pembayaran dari asuransi tambahan sebagai penjamin kedua.
5 Salah satu contoh asuransi komersial yang telah melakukan koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan adalah PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia (PT AJII). Menurut data dari PT AJII wilayah Kedu, untuk kabupaten Magelang tercatat 127 peserta dan akan terus ditingkatkan jumlah kepesertaannya setiap tahun. Untuk badan usaha yang memiliki jaminan dan telah melakukan koordinasi manfaat adalah BPJS Kesehatan. Dalam kasus jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan sebagai pembayar utama dan PT AJII sebagai pembayar kedua. Setelah provider melakukan klaim kepada BPJS Kesehatan melalui Ina CBG s maka akan dilihat apakah terdapat selisih atau tidak. Apabila terdapat selisih maka PT AJII sebagai pembayar kedua akan membayar tagihan klaim sesui dengan paket manfaat yang telah diambil oleh peserta. Disisi lain, BPJS Kesehatan sebagai penjamin kedua manakala kasusnya dalam bidang kecelakaan lalu lintas. PT Jasa Raharja (Persero) merupakan perusahaan asuransi sosial yang melaksanakan asuransi kecelakaan penumpang alat angkutan umum dan asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga sebagaimana diatur UU No. 33 dan 34 tahun 1964. Tabel 1. Data Korban Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 2014 dan 2015 di Kabupaten Magelang Keterangan Tahun 2015 2014 korban meninggal dunia 70 Korban Luka Berat 1 Korban Luka Ringan 535 Jumlah Keseluruhan 606 Sumber : Data Unit Laka Polres Kabupaten Magelang 161 0 926 1097 Pada tabel 1, tidak semua korban kecelakaan yang tercatat di unit Laka Polres Kabupaten Magelang melanjutkan pengurusan di PT Jasa Raharja (Persero). Sebagai penjamin pertama maka PT Jasa Raharja (Persero) menetapkan syarat-syarat pengurusan klaim asuransi kecelakaan diantaranya formulir pengajuan santunan, formulir keterangan kesehatan korban akibat kecelakaan dan formulir ahli waris. Hambatan-hambatan yang ditemukannya ditengah masyarakat cukup bervariasi, sehingga terkesan sangat sulit mendapatkan haknya atas santunan jasa raharja dan Kepolisian Satuan Lalu Lintas sebagai pelayan dan
6 penyaji persyaratan administrasi santunan jasa raharja berupa Laporan Polisi, terkesan mempersulit korban atau ahli waris korban (Khairil, Sutrisna, 2014). Pengetahuan, Sikap, Pengalaman, Sosialisasi dan harapan para stakeholder akan mempengaruhi persepsi mereka dalam koordinasi manfaat. Dukungan dari stakeholder sangat penting untuk meningkatkan kualitas koordinasi manfaat agar lebih baik. Stakeholder terdiri dari internal (BPJS Kesehatan, PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia, PT Jasa Raharja (Persero), Rumah sakit dan Kepolisian) dari sisi eksternal (Peserta pengguna jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan lalu lintas). Dari latar belakang diatas, peneliti akan meneliti tentang pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia dan PT Jasa Raharja (Persero) di Kabupaten Magelang. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia dan PT Jasa Raharja (Persero) di Kabupaten Magelang? 2. Bagaimana pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia di Kabupaten Magelang? 3. Bagaimana pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan PT Jasa Raharja (Persero) pada kasus kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Magelang? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengkaji pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia untuk jaminan kesehatan dan PT Jasa Raharja (Persero) untuk jaminan kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Magelang. 2. Mendeskripsikan persepsi stakeholder terhadap pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia serta PT Jasa Raharja (Persero) di Kabupaten Magelang dari paket manfaat, identifikasi klaim dan cost sharing peserta.
7 3. Menjelaskan faktor-faktor persepsi stakeholder dalam pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dan PT Asuransi Jiwa InHealth dan PT Jasa Raharja (Persero). D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi BPJS Kesehatan a. Memberikan informasi untuk memecahkan permaasalahan mengenai mekanisme pelayanan koordinaasi manfaat antara BPJS Kesehatan dan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia. b. Bahan masukan untuk pengendalian biaya kesehatan yang timbul akibat dari pelaksanaan koordinaasi manfaat. c. Sebagai informasi pelaksanaan koordinaasi manfaaat antara BPJS Kesehatan dengan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia dan PT Jasa Raharja di Kabupaten Magelang. 2. Bagi PT Jasa Raharja a. Memberikan informasi tentang pelaksanaan koordinasi manfaat antara PT Jasa Raharja dengan BPJS Kesehatan pada kasus kecelakaan lalu lintas dan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program. b. Memberikan masukan terhadap hambatan-hambatan yang terjadi pada saat pengurusan klaim kecelakaan lalu lintas. 3. Bagi PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia a. Sebagai informasi pelaksanaan koordinasi manfaat tentang hambatanhambatan peserta dalam mendapatkan layanan kesehatan (dari segi rujukan, jumlah rumah sakit). b. Memberi informasi tentang harapan peserta jaminan dalam mendapatkan layanan kesehatan. 4. Bagi Peneliti Memperluas pengetahuan tentang pelaksanaan koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia dan PT Jasa Raharja (Persero) pada kasus jaminan kesehatan dan kecelakaan lalu lintas.
8 E. KEASLIAN PENELITIAN Peneliti Judul Perbedaan Irse Desy Analisis Sistem - Pada penelitian ini sebatas pada kasus Yana Koordinaasi Manfaat kecelakaan lalu lintas sedangkan (2012) Jaminan Kesehatan Antara PT Jasa Raharja dan Bapel Jamkesos Propinsi D.I penelitian saya pada kasus jaminan kesehatan dan kecelakaan lalu lintas. - Tidak mendeskripsikan faktor-faktor persepsi stakeholder secara terperinci Yogyakarta sedangkan penelitian saya mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi stakeholder terhadap pelaksanaan koordinasi manfaat. - Pelaksana koordinasi manfaat antara PT Jasa Raharja (Persero) dengan Bapel Jamkesos Propinsi DIY dan penelitian saya BPJS Kesehatan dengan PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia sebagai asuransi komersial yang memberikan jaminan kesehatan dan PT Jasa Raharja (Persero) sebagai asuransi sosial yang memberikan jaminan kecelakaan lalu lintas. - Penelitian ini lokasi di D.I Yogyakarta dan penelitian saya di Kabupaten Magelang.