I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 14 (Empat belas)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(

2.1 ANALISA JARINGAN JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

III. PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA A. JENIS KENDARAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan

Pendahuluan 10/12/2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan U

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Persyaratan Teknis jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 35/PRT/M/2006

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Klasifikasi kendaraan bermotor dalam data didasarkan menurut Peraturan Bina Marga,

PANDUAN PENENTUAN KLASIFIKASI FUNGSI JALAN DI WILAYAH PERKOTAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan tujuan tertentu. Alat pendukung. aman, nyaman, lancar, cepat dan ekonomis.

Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. SEJARAH PERKERASAN JALAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

I. PENDAHULUAN. manusia hingga saat ini. Di indonesia sendiri dikenal beberapa jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1985 TENTA NG JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBATASAN ANGKUTAN BARANG PADA RUAS JALAN PROVINSI RUAS JALAN SAKETI-MALINGPING-SIMPANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TRANSPORTASI DARAT PERANGKUTAN JALAN RAYA

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 03/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN FUNGSI JALAN DAN STATUS JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut. Pejalan kaki yang tertabrak kendaraan pada kecepatan 60 km/jam hampir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. negara (Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga, 2009).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Transportasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

terjadi, seperti rumah makan, pabrik, atau perkampungan (kios kecil dan kedai

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN

JALAN Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 Tanggal 31 Mei 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PEMERIKSAAN KESESUAIAN KRITERIA FUNGSI JALAN DAN KONDISI GEOMETRIK SIMPANG AKIBAT PERUBAHAN DIMENSI KENDARAAN RENCANA

KRITERIA PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ANTAR KOTA

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

EVALUASI U-TURN RUAS JALAN ARTERI SUPADIO KABUPATEN KUBU RAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1985

II. TINJAUAN PUSTAKA. meskipun mungkin terdapat perkembangan permanen yang sebentar-sebentar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

Golongan 6 = truk 2 as Golongan 7 = truk 3 as Golongan 8 = kendaraan tak bermotor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

Analisis Kapasitas Ruas Jalan Raja Eyato Berdasarkan MKJI 1997 Indri Darise 1, Fakih Husnan 2, Indriati M Patuti 3.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk mengangkut hasil tambang batu bara dari (Pit) di Balau melalui

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK 113/HK.207/DRJD/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk berdampak pada. perkembangan wilayah permukiman dan industri di daerah perkotaan, maka

EVALUASI KINERJA JALAN PADA PENERAPAN SISTEM SATU ARAH DI KOTA BOGOR

BAB II TINJAUAN TEORI

ANALISIS PENGARUH VOLUME DAN KECEPATAN KENDARAAN TERHADAP TINGKAT KEBISINGAN PADA JALAN DR. DJUNJUNAN DI KOTA BANDUNG

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut ( Suryadarma H dan Susanto B., 1999 ) bahwa di dalam

ANALISIS TINGKAT KEPADATAN LALU LINTAS DI KECAMATAN DENPASAR BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jalan Raya

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN DI JALAN SUMPAH PEMUDA KOTA SURAKARTA (Study kasus : Kampus UNISRI sampai dengan Kantor Kelurahan Mojosongo) Sumina

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. hal-hal yang mempengaruhi kriteria kinerja lalu lintas pada suatu kondisi jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA Awal mulanya jalan hanya berupa jejak manusia dalam menjalani kehidupannya dan berinteraksi dengan manusia lain (jalan setapak). Baru setelah manusia menggunakan alat transportasi (hewan, kereta dll) jalan setapak tersebut mulai dibuat lebih lebar dan rata.

Di Indonesia sejarah perkembangan jalan dimulai dari dibangunnya jalan pada jaman kolonial Belanda dari Anyer (Banten) Panarukan (Banyuwangi). Jalan tersebut (dikenal dengan jalan Deandles) belum direncanakan menurut kaidah teknik jalan terutama lapisan perkerasannya.

Perkembangan lapisan perkerasan jalan raya dimulai dari Skotlandia dengan ditemukannya konstruksi perkerasan Telford (oleh Thomas Telford 1757 1834) dan konstruksi perkersan Macadam (oleh John Louden Mac Adam 1756 1836). Kedua konstruksi perkerasan tersebut pada intinya terdiri dari batu pecah atau batu kali yang disusun tegak, kemudian atasnya ditutupi batu yang lebih kecil/halus untuk menutupi pori.

Perkerasan jalan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat sebenarnya sudah ditemukan pada tahun 625 SM (di Babilonia), namun mulai berkembang dengan pesat pada tahun 1920. Di Indonesia penggunaan lapisan perkersanan beraspal diawali dengan memberi lapisan aspal pada konstruksi perkerasan Telford dan Macadam yang kemudian ditaburi pasir kasar (kemudian muncul istilah burtu, burda dan buras).

Lapisan perkerasan dengan semen sebagai bahan pengikat mulai ditemukan pada tahun 1928 (di London), tapi mulai berkembang pesat sejak tahun 1970 (perkerasan kaku = rigid pavement). Perencanaan geometrik jalan baru dikenal sekitar pertengahan tahun 1960 dan kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 1980.

B. KLASIFIKASI JALAN Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi pergerakan lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan). Jalan dapat diklasifikasikan menurut sistem jaringan jalan, fungsi jalan, status jalan, kelas jalan, dan menurut medan jalan.

1. Klasifikasi jalan menurut fungsinya a. Jalan Arteri. Yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Biasanya jaringan jalan ini melayani lalu lintas tinggi antara kota-kota penting. Jalan dalam golongan ini harus direncanakan dapat melayani lalu lintas cepat dan berat.

b. Jalan Kolektor. Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Biasanya jaringan jalan ini melayani lalu lintas cukup tinggi antara kotakota yang lebih kecil, juga melayani daerah sekitarnya.

c. Jalan Lokal Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Biasanya jaringan jalan ini digunakan untuk keperluan aktifitas daerah, juga dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau berlainan.

2. Sistem jaringan jalan Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarki. a. Sistem Jaringan Jalan Primer i) Jalan Arteri Primer Jalan yang menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang ke satu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.

Karakteristik jalan arteri primer : Didesain paling rendah dengan kecepatan 60 km/jam. Lebar badan jalan tidak kurang 8,00 meter Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan 60 km/jam dan kapasitas besar tetap terpenuhi Persimpangan harus dapat memenuhi ketentuan kecepatan dan volume lalu lintas

ii) Jalan Kolektor Primer Jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. Karakteristik jalan kolektor primer : Didesain untuk kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam. Lebar badan jalan tidak kurang 7,00 meter Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga dapat dipenuhi kecepatan paling rendah 40 km/jam Jalan tidak terputus walaupunn memasuki kota

iii) Jalan Lokal Primer Jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil, atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil. Karakteristik jalan lokal primer : Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam. Lebar badan jalan tidak kurang 6,00 meter Jalan tidak terputus walaupunn memasuki desa

Kota jenjang kesatu : Kota yang berperan melayani seluruh satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang paling tinggi dalam satuan wilayah pengembangannya serta memiliki orientasi keluar wilayahnya. Kota jenjang kedua : Kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kesatu dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kesatu.

Kota jenjang ketiga : Kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kedua dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kedua dan ke kota jenjang kesatu. Kota di bawah jenjang ketiga : Kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang ketiga dan terikat jangkauan serta orientasi yang mengikuti prinsip-prinsip di atas.

Tabel 1. Hubungan Antar Hirarki Kota Dengan Peranan Ruas Jalan Dalam Sistem Jaringan Jalan Primer

Gambar 1. Hirarki fungsi jalan pada sistem jaringan jalan primer

b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder i) Jalan Arteri Sekunder Jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Karakteristik jalan arteri sekunder : Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 30 km/jam Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata Lebar badan jalan tidak kurang 8,00 meter Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. Persimpangan jalan dengan pengaturan tertentu harus memenuhi kecepatan tidak kurang dari 30 km/jam.

ii) Jalan Kolektor Sekunder Jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Karakteristik jalan kolektor sekunder : Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 20 km/jam Lebar badan jalan tidak kurang 7,00 meter

iii) Jalan Lokal Sekunder Jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder ketiga dengan perumahan. Karakteristik jalan lokal sekunder : Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km/jam Lebar badan jalan tidak kurang 5,00 meter Dengan kecepatan paling rendah 10 km/jam, bukan diperuntukan untuk roda tiga atau lebih Yang tidak diperuntukan kendaraan roda tiga atau lebih harus mempunyai lebar jalan tidak kurang dari 3,5 meter.

Kawasan : Wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan lingkup pengamatan fungsi tertentu. Kawasan Primer : Kawasan kota yang mempunyai fungsi primer yaitu fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya. Kawasan Sekunder : Kawasan kota yang mempunyai fungsi sekunder yaitu fungsi kota dihubungkan dengan pelayanan terhadap warga kota itu sendiri yang lebih berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal.

Tabel 2. Hubungan Antara Kawasan Kota Dengan Peranan Ruas Jalan Dalam Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Gambar 2. Hirarki fungsi jalan pada sistem jaringan jalan sekunder

Gambar 2. Hirarki fungsi jalan pada sistem jaringan jalan primer dan sekunder

3. Klasifikasi jalan menurut kelas Klasifikasi jalan menurut kelas berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. Tabel 3. Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga, 1997.

4. Klasifikasi menurut medan jalan Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Tabel 4. Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga, 1997.

5. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP Nomor 34 tahun 2006 tentang jalan, bahwa wewenang pembinaan jalan dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, jalan desa/nagari, dan jalan khusus. a. Jalan Nasional Yang termasuk kelompok jalan nasional adalah : Jalan arteri primer Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibu kota provinsi Jalan tol Jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan Keputusan Menteri.

b. Jalan Provinsi Yang termasuk kelompok jalan Provinsi adalah : Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibu kota Provinsi dengan ibu kota Kabupaten atau Kota. Jalan Kolektor primer yang menghubungkan antar ibu kota Kabupaten atau Kota. Jalan lain yang mempunyai kepentingan strategis terhadap kepentingan Provinsi. Jalan dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang tidak termasuk jalan Nasional. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan Provinsi dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur yang bersangkutan.

c. Jalan Kabupaten Yang termasuk kelompok jalan Kabupaten adalah : Jalan lokal primer yang menghubungkan ibu kota Kabupaten dengan ibu kota Kecamatan, ibu kota Kabupaten dengan Pusat Desa/Nagari, antar ibu kota Kecamatan, ibukota Kecamatan dengan Desa/Nagari, dan antar Desa/Nagari. Jalan sekunder (arteri sekunder, kolektor sekunder, dan lokal sekunder) dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan Nasional, jalan Provinsi. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan Kabupaten dilakukan dengan Keputusan Gubernur, atas usul Pemerintah Kabupaten yang bersangkutan.

d. Jalan Kota Yang termasuk kelompok jalan Kota adalah jaringan jalan sekunder di dalam kota. Penetapan status suatu ruas jalan arteri sekunder dan atau ruas jalan kolektor sekunder sebagai jalan kota dilakukan dengan keputusan Gubernur atas usul Pemerintah Kota yang bersangkutan. Penetapan status suatu ruas jalan lokal sekunder sebagai jalan Kota dilakukan dengan Keputusan Walikota yang bersangkutan.

e. Jalan Desa/Nagari Jalan Desa/Nagari adalah jalan lingkungan primer dan jalan lokal sekunder yang tidak termasuk jalan Kabupaten di dalam kawasan Pedesaan/Nagari, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam Desa/Nagari.

f. Jalan Khusus Yang termasuk kelompok jalan khusus adalah jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing. Penetapan status suatu ruas jalan khusus dilakukan oleh instansi/badan hukum/perorangan yang memiliki ruas jalan khusus tersebut dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum.

Tugas (dikumpulkan) : Sebutkan dan uraikan klasifikasi jalan menurut : a. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 b. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN c. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN

THE END

Klasifikasi jalan berdasarkan besarnya volume serta sifat lalu lintas yang menggunakan jalan (Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970) : 1. Kelas I Jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat melayani lalu lintas cepat dan berat. Ciri-ciri : a. Komposisi lalu lintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. b. Merupakan jalan raya yang berlajur banyak. c. Konstruksi perkerasannya dari jenis yang terbaik.

2. Kelas II Jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder. a. Kelas II A Dua lajur atau lebih Konstruksi permukaan jalan dari aspal beton (hot mix) atau yang setara Komposisi kendaraan tedapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak bermotor Untuk lalu lintas lambat disediakan jalur sendiri.

b. Kelas II B Dua lajur Konstruksi permukaan berganda atau setara. dari penetrasi Komposisi lalu lintas terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak bermotor. c. Kelas II C Dua lajur Konstruksi permukaan tunggal. dari penetrasi Komposisi lalu lintas terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.

3. Kelas III Mencakup semua jalan-jalan penghubung. Ciri-ciri : Berlajur tunggal atau dua Konstruksi perkerasan dengan pelaburan aspal. Tugas (dikumpulkan) : Sebutkan dan uraikan klasifikasi jalan menurut : a. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997 b. Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/1985. c. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004.

KARAKTERISTIK KENDARAAN Jenis kendaraan berdasarkan fungsinya sebagai alat angkutan : 1. Angkutan pribadi Kendaraan untuk mengangkut individu pemilik kendaraan atau keluarga. 2. Angkutan umum Kendaraan untuk mengangkut orang umum atau masyarakat (penumpang). 3. Angkutan barang Kendaraan untuk mengangkut segala jenis barang.

Jenis/kelompok kendaraan berdasarkan karakteristik dimensi dan berat adalah : 1. Mobil penumpang 2. Bus/truk 3. Semi trailer 4. Trailer Jenis kendaraan tersebut berpengaruh terhadap perencanaan geometrik (lebar lajur lalu lintas) dan dinamakan kendaran rencana.

Ukuran kendaran rencana berbagai kelompok diperlihatkan pada gambar dan tabel.

KARAKTERISTIK VOLUME LALU LINTAS Kendaraan yang digunakan sebagai standar dalam menghitung volume lalu lintas dan hubungannya dengan kapasitas jalan adalah mobil penumpang. Pengaruh yang ditimbulkan dari mobil penumpang dijadikan sebagi satuan kendaraan yang dikenal dengan istilah Satuan Mobil Penumpang (smp).

Konversi satuan setiap kendaraan ke dalam smp adalah (Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya PPGJR) : Sepeda = 0,5 Mobil penumpang/sepeda motor = 1 Truk ringan ( < 5 ton) = 2 Truk sedang ( > 5 ton) = 2,5 Bus = 3 Truk berat ( > 10 ton) = 3 Kendaraan tak bermotor = 7 Nilai tersebut untuk jalan-jalan di daerah datar, untuk jalan di perbukitan dan pegunungan dapat dinaikkan, sedang untuk kendaraan tak bermotor tak perlu dihitung.

KECEPATAN RENCANA Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan geometrik jalan. Kecepatan tersebut adalah kecepatan tertinggi (konstan) di mana kendaraan dapat berjalan dengan aman.

Tabel kecepatan rencan (V R ) (Sesuai dengan fungsi dan medan jalan) Fungsi Jalan Kecepatan rencana V R (km/jam) Datar Bukit Pegunungan Arteri 70-120 60-80 40 70 Kolektor 60-90 50-60 30 50 Lokal 40-70 30-50 20 30 Catatan : Sumber dari Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/T/BM/1997 Untuk kondisi medan yang sulit, V R suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.