BAB I PENDAHULUAN. negara-negara berkembang (FAO, 2006; Sedgh et.al., 2000; WHO, 2016). The

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan ambang batas (z-score) antara -3

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui -2 SD di bawah median panjang berdasarkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB I PENDAHULUAN. fisik. Pertumbuhan anak pada usia balita sangat pesat sehingga memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB 1 : PENDAHULUAN. terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lain memiliki kasus

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang kekurangan gizi dengan indeks BB/U kecil dari -2 SD dan kelebihan gizi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB I PENDAHULUAN. dan Kusuma, 2011). Umumnya, masa remaja sering diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan syarat mutlak

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. (Wong, 2009). Usia pra sekolah disebut juga masa emas (golden age) karena pada

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

STUDI DETERMINAN KEJADIAN STUNTED PADA ANAK BALITA PENGUNJUNG POSYANDU WILAYAH KERJA DINKES KOTAPALEMBANG TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia, oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi semua

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan prevalensi balita gizi pendek menjadi 32% (Kemenkes RI, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 adalah mengumpulkan. dan menganalisis data indikator MDG s kesehatan dan faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang bermutu. Menurut data United Nations Development Program

BAB 1 : PENDAHULUAN. kembang. Gizi buruk menyebabkan 10,9 Juta kematian anak balita didunia setiap tahun. Secara

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. 24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,

BAB 1 PENDAHULUAN. anak itu sendiri. Fungsi gigi sangat diperlukan dalam masa kanak-kanak yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan. tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child

BAB I PENDAHULUAN. adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB I PENDAHULUAN. diri untuk memulai tahap pematangan kehidupan kelaminnya.saat inilah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. mikro disebabkan karena kurangnya asupan vitamin dan mineral essensial

BAB 1 : PENDAHULUAN. satu atau beberapa zat gizi tidak terpenuhi, atau zat-zat gizi tersebut hilang dalam jumlah besar

BAB I PENDAHULUAN. yang berusia antara satu sampai lima tahun. Masa periode di usia ini, balita

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini dan termasuk ke dalam global emergency. TB adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sehari-hari. Makanan atau zat gizi merupakan salah satu penentu kualitas kinerja

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan kualitas sumber daya manusia adalah asupan nutrisi pada

BAB I PENDAHULUAN. GAKY merupakan masalah kesehatan yang telah mendunia. Organisasi. Kesehatan Sedunia (2007), menyatakan GAKY merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB 1 : PENDAHULUAN. keadaan gizi : contohnya gizi baik, gizi buruk, gizi kurang ataupun gizi lebih. Untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi lebih dapat terjadi pada semua tahap usia mulai dari anak -

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak pendek atau stunting adalah kondisi anak yang. gagal mencapai potensi pertumbuhan linear sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai individu yang berada pada rentang usia tahun (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya di berbagai negara berkembang (WHO, 2004). The United Nations

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia di masa depan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. anak di negara sedang berkembang. Menurut WHO (2009) diare adalah suatu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan masalah gizi dan penyakit.

BAB 1 : PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations InternationalChildren s

BAB 1 PENDAHULUAN. mortalitasnya yang masih tinggi. Diare adalah penyakit yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Motorik halus adalah pergerakan yang melibatkan otot-otot halus pada tangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi pada anak pra sekolah akan menimbulkan. perbaikan status gizi (Santoso dan Lies, 2004: 88).

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat, yaitu pertumbuhan fisik, perkembangan mental,

Penyakit diare hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka Kematian Bayi (AKB). AKB menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. lebih. Kondisi ini dikenal sebagai masalah gizi ganda yang dapat dialami oleh anakanak,

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan sehingga mampu meningkatkan rata-rata usia harapan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, maka

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah, sedangkan insiden penyakit menular masih tinggi. Salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sehingga berkontribusi besar pada mortalitas Balita (WHO, 2013).

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan nasional merupakan pembangunan berkelanjutan yang

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Pertumbuhan manusia merupakan proses dimana manusia. meningkatkan ukuran dan perkembangan kedewasaan dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB I PENDAHULUAN. balita/hari (Rahman dkk, 2014). Kematian balita sebagian besar. pneumonia sebagian besar diakibatkan oleh pneumonia berat berkisar

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beban ganda (double burden) malnutrisi, meliputi kurang gizi dan kelebihan berat badan, menjadi masalah utama di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang (FAO, 2006; Sedgh et.al., 2000; WHO, 2016). The United Nations Food and Agriculture Organization memperkirakan bahwa sekitar 795 juta orang dari 7,3 miliar orang di dunia menderita kekurangan gizi kronis pada tahun 2014-2016 (FAO, 2015). Kelaparan dan kekurangan gizi berkontribusi bagi kematian dini ibu, bayi dan anak-anak, serta gangguan perkembangan fisik dan otak di saat dewasa (WHO, 2016). Salah satu bentuk dari masalah kekurangan gizi adalah stunting. Stunting merupakan kondisi gangguan pertumbuhan linear tubuh anak menjadi pendek atau sangat pendek yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena konsumsi makanan dengan kualitas dan jumlah rendah jangka panjang yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan serta kegagalan dalam usaha tumbuh kejar (catch up growth) (Arisman, 2009; Semba et.al., 2008). Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan ambang batas (Z-score) <-2 Standar Deviasi (SD) (Kemenkes, 2014; Riskesdas, 2013; WHO, 2014). Apabila gangguan pertumbuhan ini tidak mendapatkan intervensi pemberian nutrisi hingga usia 1000 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1

hari pertama kehidupan, maka akan terjadi gangguan pertumbuhan yang bersifat irreversibel (Bryce et.al., 2008; WHO, 2014). Hasil penelitian dari UNICEF-WHO-WB tentang tingkat dan gambaran kejadian malnutrisi pada anak di dunia tahun 2015, menunjukkan sekitar 159 juta atau sebesar 23,8% anak pada tahun 2014 mengalami stunting. Angka kejadian stunting pada anak usia sekolah di Bengal Barat, India, sebesar 23% (Bose dan Bisai, 2008). Di Ethiopia, angka kejadian stunting pada anak usia sekolah sebesar 48,1% (Zelellw et.al., 2014). Sedangkan di Sudan, angka kejadian stunting pada anak usia 5-15 tahun sebesar 15,25% (Musa et.al., 2013). Lebih dari setengah (56%) anak-anak yang mengalami stunting pada tahun 2014 berada di Asia (UNICEF-WHO-WB, 2015). Asia Tenggara merupakan kawasan dengan angka prevalensi kejadian stunting tertinggi kedua di Asia (Black et.al., 2013), total angka kejadian stunting pada tujuh negaranya mencapai 38,7% (Chapparro et.al., 2014). Stunting juga merupakan masalah gizi yang paling banyak ditemukan pada anak di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting (UNICEF, 2009). Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata (Millennium Challenge Account Indonesia, 2015). Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional pada balita mencapai 37,2% dan stunting pada anak usia 6-18 tahun sebesar 31,7%. Prevalensi stunting di Sumatera Barat cukup tinggi di Indonesia. Pada tahun 2013, data prevalensi stunting Sumatera Barat meningkat dibanding tahun 2010 (±33%) dan 2007 (±37%) mendekati angka 40% (Riskesdas, 2013; WHO, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2

2007). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2015, prevalensi stunting di Kota Padang tahun 2015 sebesar 15%. Di Kota Padang, angka tertinggi kejadian stunting berada di Kecamatan Nanggalo, yakni 24,33% (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2015). Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak usia sekolah di Puskesmas Nanggalo Kota Padang tahun 2015, ditemukan prevalensi stunting pada anak usia sekolah sebesar 9,1% (Pemantauan Status Gizi Kota Padang, 2015). Prevalensi stunting yang masih tinggi di beberapa negara di dunia termasuk Indonesia menyebabkan stunting banyak mendapat perhatian sebagai masalah (Renyoet, 2013). Selain itu, stunting pada masa balita yang mengalami kegagalan dalam tumbuh kejar (catch up growth) akan bermanifestasi menjadi stunting pada anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) (Arisman, 2009). Selama proses menjadi stunting dapat terjadi kerusakan struktural dan fungsional otak selama pertumbuhan dan perkembangannya (Kar et.al., 2008). Gangguan pertumbuhan otak dalam jangka panjang pada anak stunting akan menyebabkan perubahan metabolisme neurotransmitter hingga perubahan anatomi otak. Apabila stunting terjadi pada masa golden periode perkembangan otak (0-3 tahun), maka berakibat pada perkembangan otak yang tidak baik (Atmarita, 2005; Mendez dan Adair, 1999; Sihadi et.al., 2001), yang kemudian membatasi kapasitas intelektual anak stunting menjadi rendah secara permanen (Kar et.al., 2008; Levitsky dan Strupp, 1984; Walker et.al., 2000). Kecerdasan intelektual atau inteligensi menurut David Wechsler didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami lingkungan, berpikir secara rasional, dan menggunakan segala macam sumber belajar secara efektif dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3

menghadapi tantangan (Feldman, 2008). Sedangkan Intelligence Quotient atau IQ didefinisikan sebagai skor yang diperoleh dari tes inteligensi. Kecerdasan ini diatur oleh bagian korteks otak yang dapat memberikan kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Secara garis besar tinggi rendahnya tingkat kecerdasan intelektual anak dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor gizi, dan faktor lingkungan (Boeree, 2003). Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor gizi dan lingkungan lebih berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan intelektual seseorang dibanding faktor genetik (Neisser et.al., 1996; Santrock, 2007). Penelitian membuktikan bahwa tingkat kecerdasan intelektual anak yang sejak balita mengalami stunting lebih rendah dilihat dari skor IQ dibandingkan dengan anak non-stunting (Arisman, 2009; Caulfield et al., 2006; Victoria et.al., 2008). Hasil penelitian lain yang mendukung mengatakan bahwa anak pada awal usia 6-9 tahun yang sewaktu balita menderita kekurangan gizi memiliki rata-rata IQ (Intelligence Quotient) yang lebih rendah 13,7 poin dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kekurangan gizi semasa balita (UNICEF, 2013). Penelitian yang dilakukan Ijarotimi dan Ijadunola tahun 2007 dan Perignon et al pada tahun 2014 pada anak usia sekolah di Nigeria dan Kamboja membuktikan bahwa anak stunting memiliki skor IQ yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak stunting. Pada usia 6-7 tahun, seorang anak memasuki tahap operasional konkret, karena pada tahap ini anak sudah mulai dapat berpikir lebih logis daripada tahap sebelumnya (praoperasional) sehingga telah dapat menggunakan logika untuk memecahkan masalah secara konkret (Papalia et al., 2008). Menurut Soetjiningsih Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4

pada tahun 1995, salah satu cara untuk menilai kecerdasan intelektual pada masa anak-anak pertengahan (6-12 tahun) adalah dengan tes IQ. Skor IQ yang diambil pada masa anak-anak pertengahan (6-12 tahun) merupakan prediktor kecerdasan intelektual yang cukup bagus dan jauh lebih dapat diandalkan dibanding skor yang didapat pada masa prasekolah, terutama bagi anak dengan tingkat verbal yang tinggi (Papalia et al., 2008). Selain itu, semakin besar usia anak mendapatkan tes IQ maka semakin lama pula pengaruh gizi dan lingkungan mempengaruhi hasil skor IQ-nya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan stunting dengan tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient IQ) pada anak baru masuk sekolah dasar karena di Indonesia khususnya Sumatera Barat belum ada penelitian mengenai hubungan stunting dengan tingkat kecerdasan intelektual pada anak baru masuk sekolah dasar. Penelitian dilakukan di SDN 05, 08, 09, 13, 15, dan 16 Surau Gadang serta SDN 06 dan 18 Kampung Lapai Kecamatan Nanggalo berdasarkan hasil simple random sampling dari 27 sekolah dasar yang ada di Kecamatan Naggalo Kota Padang, sebagai kecamatan dengan tingkat kejadian stunting tertinggi di Kota Padang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan stunting dengan tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient IQ) pada anak baru masuk sekolah dasar di Kecamatan Nanggalo Kota Padang? Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.2 Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara stunting dengan tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient IQ) pada anak baru masuk sekolah dasar di Kecamatan Nanggalo Kota Padang. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui distribusi frekuensi stunting pada anak baru masuk sekolah dasar di Kecamatan Nanggalo Kota Padang. 2. Mengetahui distribusi frekuensi tingkat kecerdasan intelektual pada anak baru masuk sekolah dasar di Kecamatan Nanggalo Kota Padang. 3. Mengetahui hubungan stunting dengan tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient IQ) pada anak baru masuk sekolah dasar di Kecamatan Nanggalo Kota Padang. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Institusi Peneliti 1. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di instansi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 1.4.2 Bagi Peneliti 1. Berlatih menerapkan ilmu tentang metode penelitian yang baik dan benar selama belajar di FK UNAND. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6

2. Meningkatkan kemampuan berpikir analisis dan sistematis dalam mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti dalam mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan menginformasikan data serta meningkatkan ilmu pengetahun dalam bidang kedokteran. 4. Menambah wawasan mengenai hubungan antara stunting dengan tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient IQ) pada anak baru masuk sekolah dasar dan mampu mengimplementasikan pengetahuan tersebut dalam praktek kedokteran nanti. 1.4.3 Bagi Praktisi Memberikan informasi kepada praktisi mengenai hubungan stunting dengan tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient IQ) pada anak baru masuk sekolah dasar sehingga bermanfaat sebagai sumber referensi dalam usaha mencegah dini kekurangan gizi kronik pada anak dengan pebaikian gizi pada lima tahun awal kehidupan anak. Diharapkan dengan perbaikan pertumbuhan dan perkembangan otak pada anak kurang dari lima tahun, tingkat kecerdasan intelektual pada anak di masa sekolah juga semakin meningkat. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7