ABSORPSI GAS CO 2 MELALUI KONTAKTOR MEMBRAN BERBAHAN POLIVINIL KLORIDA MENGGUNAKAN LARUTAN PENYERAP DIETHANOLAMINE Putri Karbelani A. 1, Sutrasno Kartohardjono 2 1. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: karbel.dtk10@gmail.com Abstrak Menghilangkan gas CO 2 yang terkandung dalam aliran gas alam menjadi masalah penting bagi industri migas dan LNG. Saat ini, proses penghilangan CO 2 banyak dilakukan secara konvensional dengan kolom absorpsi dan desorpsi. Namun, kolom konvensional memiliki kelemahan dalam segi keekonomisan dan operasional. Teknologi alternatif yang dikembangkan untuk mengurangi permasalahan yang ada pada kontaktor konvensional adalah teknologi kontaktor membran serat berongga. Penelitian mengenai absorpsi CO 2 menggunakan kontaktor membran telah dilakukan sejak lama diawali dengan menggunakan pelarut air. Selanjutnya, senyawa amina mulai ditelusuri sebagai senyawa yang mampu menyerap gas asam. Penelitian ini menitik beratkan pada peninjauan kinerja membran kontaktor serat berongga berbahan PVC dalam menyerap CO 2 dengan diethanolamine sebagai larutan penyerap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas kontaktor membran sebagai satu keseluruhan sistem untuk menyerap CO 2 dari aliran gas. Efektivitas keseluruhan kontaktor membran dapat diukur berdasarkan parameter perpindahan massa dan hidrodinamikanya. Hasil optimum yang diperoleh pada penelitian ini adalah gas CO 2 dapat diserap 90,15% per menit dengan koefisien perpindahan massa (K L ) sebesar 7,42 10-6 m/s dengan menggunaan variasi membran berjumlah 85 serat, laju alir gas CO 2 yang masuk sebanyak 4,1 10-4 m 3 /menit dan laju alir pelarut DEA sebanyak 1 m 3 /menit. Kata kunci: Absorpsi CO 2, Membran Polivinil Klorida, Larutan Penyerap Diethanolamine Abstract Removing CO 2 in natural gas flow has become a major problem in oil and gas industries, as well as LNG industries. Conventional column contactor using absorber and stripper column has been used to overcome the problem. However, it has weaknesses in terms of operational and economical. The compromising alternative technology that has been developed is hollow membrane contactor. The study about gas absorption using membrane contactor has been started past few decades with using water as absorbent. Later on, researchers got interested in using amine solvent as absorbent. This study is focusing on CO 2 gas absorption through hollow fiber membrane, which is made from Polyvinyl Chloride (PVC) using diethanolamine (DEA) as absorbent. This study intends to observe and ascertain the effectiveness of membrane contactor as a whole system to absorp CO 2 in gas flow. Overall effectiveness of membrane contactor can be measured by its mass transfer parameters as well as hydrodinamic parameters. The optimum result of this study: amount of absorbed CO 2 that is 90.15% per minute with 7,42 10-6 m/s mass transfer coefficient using 85 fibers membrane module, 4,1 10-4 m 3 /minute CO 2 gas flow rate, and 1 m 3 /minute liquid flow rate variation. Keywords: CO 2 Gas Absorption, Polyvinyl Chloride Membrane, Diethanolamine as Absorbent 1. Pendahuluan Gas karbon dioksida (CO 2 ) merupakan gas asam yang dapat mempengaruhi produktivitas industri migas maupun pengolahan gas alam cair (LNG). Gas CO 2 dapat menyebabkan korosi pada sistem perpipaan dan mengurangi nilai kalor dari gas alam. Semakin tinggi kadar CO 2 dalam gas alam, kemurnian hidrokarbon gas alam tersebut menjadi rendah. Pada kilang penghasil gas alam cair (LNG), gas CO 2 yang memiliki titik beku sekitar -78,4 C, dapat membeku lebih cepat pada proses pencairan gas alam yang berlangsung pada suhu sangat rendah yaitu -161 C. Fenomena ini dapat mengakibatkan tersumbatnya sistem perpipaan dan perlatan pada unit pencairan gas dan dapat merusak tubing pada unit alat penukar panas. Oleh sebab itu, 1
diperlukan unit pengolahan tambahan untuk menghilangkan kadar gas CO 2 (Kartohardjono, 2007). Proses absorpsi gas CO 2 yang terkandung dalam aliran gas di industri banyak dilakukan secara konvensional dengan proses fisika maupun kimia. Metode konvensional seperti absorpsi fisika memiliki kerugian berupa biaya yang dibutuhkan cukup besar, konstruksi yang membutuhkan banyak ruang, serta rendahnya rasio luas area per satuan volume. Dengan metode fisika ini juga sulit untuk memperoleh kandungan akhir CO 2 terlarut dari ppm hingga level ppb tanpa menggunakan peralatan yang sangat mahal. Selain metode fisika, terdapat juga metode kimia yang merupakan proses absorpsi gas menggunakan pelarut reaktan yang dapat bereaksi dengan komponen gas terlarut. Dengan metode kimia ini dapat terbentuk hasil samping yang tidak diinginkan, sehingga metode ini masih kurang diminati (Juliana, 2013). Saat ini, teknologi alternatif yang dikembangkan untuk menggantikan kontaktor konvensional adalah kontaktor membran serat berongga. Jika dilihat dari luas permukaan kontak, membran memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan kolom konvensional. Jika kolom absorber dengan jenis packed column memiliki luas permukaan 30-300 m 2 /m 3, maka kontaktor membran dapat mencapai 1.600-6.600 m 2 /m 3. bahkan kontaktor membran serat berongga (hollow fiber membrane) memiliki luas permukaan yang jauh lebih besar, yaitu di atas 33.000 m 2 /m 3 (http://www.cheresources.com, 2008). Kontaktor membran efektif untuk memisahkan atau menambahkan gas ke dalam pelarut. Dengan desain kontaktor yang baik, maka koefisien perpindahan massa dapat dioptimalkan. Fungsi utama dari kontaktor membran adalah membuat fasa gas-cair tidak bergerak di dalam permukaan porous membrane karena efek kombinasi tegangan permukaan dan adanya perbedaan tekanan, serta memperbesar luas permukaan kontak dengan membran yang sama sehingga perpindahan massanya menjadi besar (Gabelman dan Hwang, 1999). Polivinil klorida, atau PVC adalah polimer termoplastik urutan ketiga dalam hal jumlah pemakaian di dunia, memiliki keunggulan berupa harga yang relatif murah, tahan lama serta mudah untuk dirangkai. Membran PVC sendiri sudah pernah digunakan dalam proses absorpsi gas CO 2. Serat membran PVC ini bersifat hidrofobik sehingga dapat mencegah air membasahi membran dan hanya gas karbon dioksida yang dapat melewati membran. Selain itu, membran polivinil klorida baik digunakan sebagai kontaktor gascair dibandingkan membran PMP maupun PP karena memiliki stabilitas kimia dan stabilitas mekanik yang baik, serta tahan terhadap fouling (Servatius, 2012). Prinsip proses pemisahan gas CO 2 pada penelitian ini cukup sederhana, dimana diethanolamine (DEA) dilewatkan melewati sisi lumen, sedangkan gas dialirkan melalui sisi shell. Kemudian CO 2 terlarut dari dalam larutan penyerap DEA (diethanolamine) akan berdifusi ke dinding luar membran, melewati pori-pori membran, dan keluar ke dinding dalam membran sehingga berada di dalam sisi shell dan berdifusi sehingga CO 2 terpisah dari larutan DEA. Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan membran berbahan polivinil klorida (PVC) dengan pelarut diethanolamine dapat mengabsorpsi CO 2 dalam aliran gas dibandingkan dengan menggunakan pelarut lain. Dengan mengetahui kondisi operasi pemisahan karbon dioksida dari aliran gas menggunakan kontaktor membran serta korelasi eksperimental diharapkan dapat dibuat sistem aplikasi skala besar yang dapat diterapkan di industri. 2. Metode Penelitian 2.1. Diagram Alir Penelitian Penelitian akan dilakukan dalam tujuh tahap utama, sesuai dengan diagram alir penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Gambar 2. 1. Diagram Alir Penelitian Seperti terlihat pada diagram alir di atas, variasi yang dilakukan yaitu variasi laju alir gas umpan, pelarut dan jumlah serat. Adapun variasi yang dilakukan antara lain: Laju Alir Gas Umpan (Q G, cm 3 /menit) Tabel 2. 1. Variasi Penelitian Laju Alir Pelarut (Q L, cm 3 /menit) Jumlah Serat (N) 250 100 50 410 200 70 300 85 400 500 2.2. Prosedur Penelitian Kontaktor membran polivinil klorida yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua aliran masuk 2
dan dua aliran keluaran, sebagaimana tercantum pada Gambar 2.2. Gambar 2. 2. Rangkaian Peralatan Penelitian Berikut adalah prosedur uji perpindahan massa: 1. Siapkan campuran air dan DEA dengan perbandingan volume 95 : 5. 2. Ambil 5 ml larutan DEA 5% awal sebelum gas CO 2 dialirkan. 3. Siapkan buret untuk titrasi dan larutan HCl 0,11 N sebagai titran. 4. Berikan 3 tetes methyl orange sebagai indikator titrasi basa lemah asam kuat. 5. Lakukan titrasi dan mencatat volume HCl yang digunakan sebagai titran saat terjadi perubahan warna. 6. Alirkan pelarut DEA 5% pada sisi lumen dan tunggu hingga keluarannya stabil. 7. Alirkan gas CO 2 dengan skema aliran berkebalikan dari sisi shell. 8. Ambil sampel pelarut DEA sebanyak 5 ml setelah keluar dari kontaktor membran. 9. Lakukan titrasi dan larutan HCl 0,11 N sebagai titran, sebelumnya berikan 3 tetes larutan methyl orange sebagai indikator titrasi basa lemah asam kuat. 10. Catat volume HCl yang digunakan sebagai titran saat terjadi perubahan warna. 11. Ulangi prosedur nomor 6 sampai 10 dengan variasi lain. Sedangkan prosedur uji hidrodinamika adalah sebagai berikut: 1. Siapkan air sebagai pelarut yang digunakan. 2. Alirkan air dari sisi lumen dan menunggu hingga keluarannya stabil. 3. Pasang manometer digital dengan aturan P 1 = input dan P 2 = output. 4. Catat perbedaan tekanan yang tertera pada manometer digital. 5. Ulangi prosedur untuk setiap variasi laju alir air (100, 200, 300, 400, 500, 750 hingga 1000 cm 3 /menit) 2.3. Data Penelitian Data-data yang diambil selama berlangsungnya penelitian adalah sebagai berikut: a. Uji Perpindahan Massa 1. Laju alir pelarut DEA 2. Laju alir gas umpan 3. Jumlah serat membran 4. Normalitas awal pelarut DEA 5% 5. Normalitas pelarut DEA 5% + CO 2 setelah keluar kontaktor b. Uji Hidrodinamika 1. Pressure drop 2. Diameter serat 3. Diameter kontaktor 4. Panjang modul membran (L f ) 5. Laju alir pelarut air 3. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efektivitas kontaktor membran serat berongga berbahan polivinil klorida dalam proses absorpsi CO 2 menggunakan pelarut diethanolamine dengan melihat perpindahan massa dan hidrodinamika yang terjadi. Pada bagian ini akan dibahas, variabel seperti koefisien perpindahan massa (K L ), persentase CO 2 yang terserap per menit, fluks CO 2 (J), P, dan faktor friksi (f). 3.1. Hasil Uji Perpindahan Massa 3.1.1. Pengaruh Laju Alir Pelarut, Laju Alir Gas CO 2, dan Jumlah Serat Terhadap Koefisien Perpindahan Massa (K L ) Gambar 3. 1. Pengaruh Laju Alir Pelarut (Q L ) Terhadap Koefisien Perpindahan Massa (K L ), Variasi Jumlah Serat Membran = 85, 70, dan 50, Laju Alir Gas CO 2 = 0,0042 dm 3 /s Gambar 3.1 menunjukkan bahwa semakin tinggi laju alir pelarut, koefisien perpindahan massa semakin bertambah. Peningkatan laju linier pelarut dalam serat akan menurunkan tahanan pada lapisan cairan dan meningkatkan turbulensi aliran yang berpengaruh pada distribusi konsentrasi radial pelarut sehingga absorpsi menjadi lebih optimum. 3
dengan catatan laju alir gas CO 2 untuk semua modul bernilai sama. Gambar 3. 2. Pengaruh Laju Alir Pelarut (Q) Terhadap Koefisien Perpindahan Massa (K L ), Variasi Jumlah Serat Membran = 85, 70, dan 50, Laju Alir Gas CO 2 = 0,0068 dm 3 /s Koefisien perpindahan massa optimum diperoleh pada laju alir pelarut 1,67 10-5 m 3 /s, laju alir gas 0,0068 dm 3 /s dan jumlah serat 85 sebesar 7,42 10-6 m/s. Koefisien perpindahan massa optimum penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan kolom absorpsi konvensional dengan jenis packed column menggunakan amina MEA 20%wt sebagai absorben yaitu sekitar 3,0 10-5 m/s (Dindore, 2003). 3.1.2. Pengaruh Laju Alir Pelarut, Laju Alir Gas CO 2, dan Jumlah Serat Terhadap Fluks Perpindahan Massa (J) Gambar 3. 4. Pengaruh Laju Alir Pelarut (Q L ) Terhadap Fluks Perpindahan Massa (J), dengan Laju Alir Gas CO 2 = 0,0068 dm 3 /s Di beberapa titik pada Gambar 3.3 dan Gambar 3.4, terlihat saling berhimpit menunjukkan bahwa besarnya fluks perpindahan massa untuk kondisi laju alir pelarut dan gas yang sama tidak jauh berbeda antara jumlah serat 50, 70 dan 85. Hal ini disebabkan oleh metode titrasi yang digunakan dalam perhitungan normalitas amina kurang akurat. Untuk meningkatkan keakurasian dalam perhitungan, dapat digunakan titran (asam kuat) dengan konsentrasi yang lebih kecil (yang digunakan pada penelitian adalah HCl 0,11 N). 3.1.3. Pengaruh Laju Alir Pelarut, Laju Alir Gas CO 2, dan Jumlah Serat Terhadap Persen Konsentrasi CO 2 Terserap Dalam Pelarut Gambar 3. 3. Pengaruh Laju Alir Pelarut (Q L ) Terhadap Fluks Perpindahan Massa (J), dengan Laju Alir Gas CO 2 = 0,0042 dm 3 /s Berdasarkan Gambar 3.3 Dengan luas yang lebih kecil, secara teoritis, setiap satuan luas dari modul membran dengan jumlah serat 50 akan mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menyerap CO 2, Gambar 3. 5. Pengaruh Laju Alir Pelarut (Q L ) Terhadap Persentase CO 2 Terserap dengan Laju Alir Gas CO 2 = 0,0042 dm 3 /s 4
Berdasarkan Gambar 3.7, dapat dievaluasi bahwa penurunan tekanan bertambah seiring dengan bertambahnya laju alir pelarut. Dalam uji hidrodinamika, korelasi antara laju alir air dan penurunan tekanan dalam kontaktor dikarenakan meningkatnya energy losses di dalam aliran. Semakin banyak jumlah serat yang ada dalam kontaktor membran, penurunan tekanan antara titik masuk aliran dan keluaran semakin besar. Hal ini dipengaruhi oleh faktor friksi ketika pelarut mengalir pada sisi lumen. 3.2.2. Pengaruh Bilangan Reynold (Re) Terhadap Faktor Friksi (f) Gambar 3. 6. Pengaruh Laju Alir Pelarut (Q L ) Terhadap Persentase CO 2 Terserap dengan Laju Alir Gas CO 2 = 0,0068 dm 3 /s Penambahan laju alir pelarut dapat menghindari kejenuhan pelarut dan juga meningkatkan turbulensi dari aliran. Semakin besar laju alir pelarut, maka waktu tinggal dari pelarut dalam modul membran dengan jumlah serat tertentu meningkat, menyebabkan gas CO 2 yang terserap di dalam lumen mampu berdifusi menembus boundary layer juga meningkat. 3.2. Hasil Uji Hidrodinamika 3.2.1. Pengaruh Laju Alir Pelarut H 2 O (Q L ) Terhadap Perbedaan Tekanan Dalam Kontaktor Membran ( P) Kontaktor membran memiliki parameter yang penting dalam studi perpindahan massa. Kontaktor membran dapat mempengaruhi profil aliran dikarenakan faktor friksi yang ada dalam kolom membran. Kontaktor membran yang digunakan pada penelitian ini adalah membran berbahan PVC (polivinil klorida). Semakin tinggi kecepatan alir, membuat hambatan dari permukaan membran semakin menurun. Pengaruh penurunan tekanan terhadap debit pelarut H 2 O yang dialirkan dapat dilihat pada Gambar 3.7. Gambar 3. 7. Pengaruh Laju Alir Pelarut (Q L ) Terhadap Penurunan Tekanan dalam Kontaktor Membran ( P) Gambar 3. 8. Pengaruh Bilangan Reynold (Re) Terhadap Faktor Friksi (f) Berdasarkan penelitian, karakteristik fluida ditentukan oleh bilangan Reynold (Re). Bilangan Reynold menentukan apakah aliran bersifat laminar, transisi atau turbulen. Aliran laminar diindikasikan oleh bilangan Re 2300, aliran transien jika Re berada pada kisaran 2300 sampai dengan 4000, dan jika Re 4000 berarti aliran bersifat turbulen (Streeter, 1962). Hasil faktor friksi yang diperoleh melalui perhitungan berdasarkan data perbedaan tekanan di dalam kontaktor membran (ΔP) berkisar antara 1,6 sampai dengan 2,6 untuk membran dengan jumlah serat 50 dan 2,0 sampai dengan 5,6 untuk membran berserat 70. Sementara, faktor friksi teoritis yang dihitung berdasarkan bilangan Reynold (f = 16/Re, untuk aliran laminar) baik untuk membran berserat 50 maupun 70 diperoleh f tidak lebih dari 1. Faktor friksi yang terhitung berdasarkan penelitian penurunannya tidak konstan melainkan cenderung acak (naik-turun) namun trendline yang dihasilkan menurun. Jika dibandingan dengan f teoritis, perbedaan hasil yang didapatkan juga cukup besar. Hal ini menandakan fenomena berbeda terjadi pada aliran fluida serat membran yang tidak bisa disamakan dengan teori aliran fluida pada pipa yang friksinya turun secara simultan seiring dengan bilangan Reynold. Fenomena yang dapat menyebabkan hal ini dan yang sering terjadi pada 5
kontaktor membran adalah fouling atau pengotoran. Polarisasi konsentrasi (penumpukan komponenkomponen yang memiliki konsentrasi tinggi pada permukaan membran) pada permukaan membran juga memengaruhi kekotoran pada membran sehingga kinerja operasi membran akan menurun. Kekotoran ini dipengaruhi oleh tipe pemisahan dan tipe membran yang digunakan (Mulder, 1997). 4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai absorpsi gas CO 2 melalui kontaktor membran serat berongga berbahan PVC menggunakan larutan penyerap DEA, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Semakin besar laju alir pelarut dan laju alir gas umpan, semakin besar nilai koefisien perpindahan massa (K L ) dan fluks perpindahan massa (J). 2. Dengan menggunakan pelarut DEA 5% diperoleh kondisi optimum gas CO 2 yang dapat diserap adalah sampai dengan 90,15% per menit dengan dengan koefisien perpindahan massa optimum (K L ) sebesar 7,42 10-6 m/s menggunaan variasi membran berjumlah 85 serat, laju alir gas CO 2 yang masuk sebanyak 4,1 10-4 m 3 /menit dan laju alir pelarut DEA sebanyak 1 m 3 /menit. 3. Semakin banyak jumlah serat membran, nilai koefisien perpindahan massa (K L ) semakin menurun pada laju alir pelarut dan gas umpan yang sama. 4. Studi hidrodinamika menunjukkan bahwa penurunan tekanan (ΔP) dalam kontaktor membran meningkat dengan pertambahan laju alir fluida, namun berhubung terbalik dengan faktor friksi. 5. Performa kontaktor membran dalam penelitian ini kurang efektif digunakan untuk mengabsorpsi CO 2 dievaluasi berdasarkan hasil koefisien perpindahan massa optimum (K L = 7,42 10-6 m/s) yang lebih kecil dibandingkan kolom absorpsi konvensional (packed column) yaitu sekitar 3,0 10-5 m/s (Dindore, 2003). Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dikti Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia atas dukungan secara finansial demi terlaksananya penelitian ini. Daftar Pustaka [1] Baker, R. W. (2004). Membrane Technology and Applications 2 nd edition. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd. [2] Bird, R. B., Stewart, W. E., & Lightfoot, E. N. (1994). Transport Phenomena. Singapore: John Wiley & Sons (SEA) Pte. Ltd. [3] Dindore, Vishwas Yashwant. (2003). Gas Purification Using Membrane Gas Absorption Process. Thesis. Netherlands: University of Twente. [4] Gabelman, A. & Sun-Tak Hwang. (1999). Hollow Fiber Membrane Contactors. Journal of Membrane Science, 159, pp. 61-106. [5] Gong, Y., Z. Wang, & S. Wang. (2006). Experiments and Simulation of CO 2 Removal by Mixed Amines in a Hollow Fiber Membrane Module. Chemical Engineering and Processing: Process Intensification, 45, pp. 652-660. [6] Jones, C.A., Gordeyev, S.A. & Shilton, S.J. (2011). Poly(vinyl chloride) (PVC) Hollow Fibre Membranes for Gas Separation. Polymer, 52, pp. 901-903. [7] Kartohardjono, S., & V. Chen. (2005). Mass Transfer and Fluid Hydrodynamics in Sealed End Hollow Fiber Membrane Gas-Liquid Contactors. Journal of Applied Membrane Science & Technology, 2, pp. 1-11. 6