BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penjajahan pada periode sebelum terjadinya era modernisme menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu merupakan fase

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

commit to user BAB I PENDAHULUAN

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL BAHASA INDONESIA... i. HALAMAN SAMPUL BAHASA INGGRIS... ii. HALAMAN JUDUL... iii. HALAMAN PENGESAHAN...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB II LANDASAN TEORI. Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. mencari keuntungan ekonomis di wilayah-wilayah Nusantara. Beberapa negara

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

BAB VII PENUTUP. 7.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis terhadap kelima novel terlihat bahwa sastra

BAB I PENDAHULUAN. Kaum Aborigin sebagai penduduk pertama (first people) telah menduduki

Bab I. Pendahuluan. bermaksud melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Salah satu

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB 1 PENDAHULUAN. Kolonial berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti

Abstrak dan Executive Summary

HIBRIDITAS DALAM NOVEL BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA (KAJIAN PASCAKOLONIAL) SKRIPSI. Oleh IKA AGUSTININGSIH NIM.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Masa penjajahan bukanlah pengalaman sejarah yang hanya dirasakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dekade pertama hingga ketiga abad ke-20 kolonialis Eropa telah. menguasai hampir 85% permukaan bumi. Bagi masyarakat Hindia Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

Semua informasi tentang buku ini, silahkan scan QR Code di cover belakang buku ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Media massa berperon dalam menanamkan false consciousness,

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB V PENUTUP. menyimpulkan sesuai rumusan masalah. Adapun kesimpulan tersebut adalah

KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER)

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN POSKOLONIALISME DALAM NOVEL ANAK SEMUA BANGSA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN. Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan yang terjadi dalam setiap aspek di kehidupan tidak terlepas dari

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman dan imajinasi

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB III KESIMPULAN. digunakan sebagai acuan dasar adalah teori Alan Swingewood. Dalam teorinya,

BAB I PENDAHULUAN. Peradaban umat manusia yang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

BAB V SIMPULAN. Film Indonesia sebagai produk industri budaya populer merupakan layar

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB V. Refleksi Hasil Penelitian

I. PENDAHULUAN. Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

:> :~):...'A f'5: 'B> r. ~7lo? ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA. DOMINASI KOLONIAl BANGSA EAOPAATAS PRIBUMI DALAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sekitar yang dituangkan dalam bentuk seni. Peristiwa yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

42, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 arah dan tujuan lembaga tersebut. Konsep bersistem ini biasa disebut dengan ideologi. Salah satu ideologi yang ser

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TEORI PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang

BAB V PENUTUP. Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam. memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

Patung dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

Transkripsi:

14 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teoretik 1. Teori Poskolonial Kata kolonialisme, menurut Oxford English Dictionary (OED) via Loomba (2003) berasal dari kata Latin/Romawi colonia yang berarti tanah pertanian atau pemukiman, dan mengacu kepada orang-orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain tetapi masih mempertahankan kewarganegaraan mereka. Sebagaimana deskripsi OED via Loomba (2003: 1) sebagai berikut. Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru... sekumpulan orang yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu, terdiri dari para pemukim asli dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama hubungan dengan negara asal masih dipertahankan. Menurut Ratna (2008: 20) kolonialisme yang secara etimologis tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam wilayah atau perkampungan, mempunyai konotasi negatif sesudah terjadinya interaksi yang tidak seimbang antara pendatang baru dengan penduduk lama. Loomba (2003: 2) menjelaskan bahwa dalam pembentukan pemukiman baru terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah antara penduduk lama dengan pendatang baru yang terkadang ditandai dengan usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada di sana dengan melibatkan praktik-

15 praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan. Proses pembentukan pemukiman baru sebagaimana dijabarkan oleh Loomba tersebut menjadikan kolonialisme bisa didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain. Dalam bahasa Indonesia, postcolonial umumnya disebut dengan pascakolonial atau poskolonial, Ratna (2008: 77-78) secara khusus membedakan antara pascakolonial dengan poskolonial. Dalam pendapatnya tersebut, Ratna menjelaskan bahwa pascakolonial berkaitan dengan era, zaman, dan periode yang memiliki batasan pasti yakni masa pascakolonial. Sedangkan poskolonial merupakan sebuah teori, sebuah tradisi intelektual dengan batasan-batasan yang bersifat relatif. Secara lebih jelas lagi, Ashcroft (2003: xxii) menjabarkan penggunaan istilah poskolonial adalah untuk mencakup seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari sejarah awal kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Hal ini disebabkan oleh adanya kontinuitas penjajahan yang terus berlangsung sejak dimulainya agresi imperial bangsa Eropa hingga sekarang ini. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa poskolonial tidak hanya dibatasi pada fenomena yang terjadi pada masa pascakolonial saja, tetapi juga meliputi masa kolonial. Konsep dasar poskolonialisme tidak bisa dilepaskan dari pemahaman ulang tentang orientalisme yang didedah oleh Edward Said dalam karyanya

16 Oreintalisme yang pertama kali terbit pada tahun 1978. Said (1985: 3) mengungkapkan orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara Timur (the orient) dan (hampir selalu) Barat (the Occodent). Orientalisme dianalisis sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur, berhubungan dengannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan tentangnya, memberwenangkan pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman dan memerintahnya. Pendeknya, orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur (Said, 1985: 4). Tesis utama Said dalam Orientalisme menurut Ratna (2008: 84) adalah hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan sebagaimana diintroduksi oleh Foucault melalui The Archeology of Knowledge dan Discipline and Punish. Dalam hal ini Ratna (2008:84) menganggap bahwa timur diproduksi sebagai pengetahuan yang tidak semata-mata ilmu melainkan kolonialisme itu sendiri, di dalamnya terdapat misi politis, landasan ideologi dan kepentingan-kepentingan kolonial. Dari pemikiran Said di atas, terdapat dua hal penting yang mendasari poskolonial. Pertama, oposisi biner Barat-Timur, penjajah-terjajah sebagai pusat perhatian. Kedua, sifat anggitan (constructedness) dari dikotomi antara Barat dengan Timur, di mana konsep identitas dibangun oleh imajinasi, teks, narasi, didukung oleh lembaga, tradisi, dan praksis atas kepentingan-kepentingan tertentu. Pembalikan oposisi biner oleh Said tersebut pada akhirnya mengandung

17 idealisasi terhadap wacana poskolonial yakni, bahwa sifat wacana poskolonial adalah resistensi, penggugatan, atau penolakan terhadap penindasan (Budianta, 2008: 17 & 23). Sebagai sebuah teori, Makaryk (via Faruk, 2007: 14) mendefinisikan poskolonial sebagai kumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan seperti sastra, politik, dan sejarah dari negara-negara bekas koloni-koloni Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belah dunia sisanya. Hampir sama dengan Makaryk, Ratna (2008: 90) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan poskolonialisme adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Dalam kajian sastra, poskolonial merupakan pendekatan kritis dalam memahami efek kolonialisme yang ada dalam teks-teks maupun sastra (Day & Foulcher, 2008: 2). Di dalam pendekatan tersebut dibicarakan bagaimana teksteks sastra mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antar ras, antar bangsa, dan antar budaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Day & Foulcher, 2008: 3). Kajian poskolonial, khususnya dalam kritik sastra poskolonial, seringkali terfokus pada cara-cara bagaimana sastra meneliti masalah identitas dengan menggunakan pengertian hibriditas sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentukbentuk budaya berbeda, yang kemudian akan menghasilkan pembentukan budaya-

18 budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri (Day & Foultcher, 2008: 12). 2. Representasi Identitas Identitas mengenai diri merupakan konsepsi yang diyakini seseorang tentang dirinya, sementara harapan atau pandangan orang lain terhadap diri seseorang akan membentuk identitas sosial (Barker, 2009: 173). Meskipun terdapat dua pemisahan tersebut sebagai pribadi yang utuh seseorang harus memiliki seluruh aspek sosial dan kultural, sehingga identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi kultural (Barker, 2009: 174). Dari pemikiran Barker di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa identitas seseorang secara meliputi pandangan diri terhadap diri sendiri dan bagaimana orang lain memandang diri tersebut, bersifat personal sekaligus sosial. Membicarakan identitas yang muncul dalam negoisasi dengan wacana kolonial berarti membicarakan identitas poskolonial. Dalam negoisasi tersebut identitas poskolonial melakukan penguakan dan resistensi terhadap kepalsuan yang dibubuhkan kepadanya sekaligus menghadirkan ke-liyan-an (otherness) dirinya (Sinaga, 2004: 8-9). Culture and Imperialism (1993) karya Edward Said menyebutkan bahwa konstruksi mengenai diri sebagai self dalam perbedaannya dengan liyan atau the other amat dikonstruksikan oleh imperialisme kultur mengenai citra, teks tulisan-tulisan sastra yang merefleksikan liyan sebagai

19 biadab lawan dari beradab, bodoh sebagai lawan cerdas, murni asli berbudaya sebagai lawan dari campuran atau tidak asli atau hibrida (Sutrisno, 2004: 28). Bhabha (via Loomba, 2003 :230) berpendapat bahwa penjajah dan terjajah tidak idependen satu sama lain, keduanya justru bersifat relasional. Identitasidentitas kolonial itu, baik dari sisi penjajah maupun terjajah, tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah. Pendapat Bhabha tersebut mematahkan klaim kaum nasionalis maupun kolonialis tentang diri yang tunggal, sekaligus memberi peringatan agar tidak menafsirkan perbedaan kultural dalam kerangka yang reduktif dan absolut. Said (1985: 7) menunjukkan bahwa budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur. Identifikasi dunia Timur oleh Barat merupakan bagian upaya Barat untuk mengidentifikasi dirinya sendiri. Identifikasi pribumi sebagai rendah oleh Barat, berarti juga bahwa Barat mengidentifikasi dirinya sebagai tinggi. Perbedaan antara Barat dan Timur tersebut dalam teori Barker (2009: 174&176) merupakan upaya pengidentifikasian diri dan hal tersebut akan menjadi identitas jika mampu dilanggengkan narasinya. Pelanggengan narasi tentang diri dalam hal ini dapat berarti kolonialisme. Identitas diungkapkan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali diri sendiri dan orang lain (Barker, 2009: 174). Representasi secara sederhana dapat diartikan sebagai perwakilan yang memiliki sifat pragmatis, strategis, bahkan politis. Menurut Hutcheon (via Ratna, 2008: 123) semua bentuk

20 representasi,baik literal, visual, oral, maupun kultural pada umunya, baik budaya tinggi maupun budaya massa, didasarkan atas pesan ideologis tertentu sehingga tidak lepas dari masalah sosial politis sehingga representasi tidak melukiskan suatu dunia sebagaimana adanya, melainkan membangunnya. Secara lebih lanjut Barker (2009: 140) menjelaskan bahwa representasi bukanlah mimesis, bukan penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, representasi adalah ekspresi estestis, sebuah rekonstruksi dari situasi yang sebenarnya. Bhabha (1994: 66) menegaskan bahwa problem identitas dalam teks poskolonial selalu kembali dalam pertanyaan tentang ruang representasi di mana bayang-bayang orang yang hilang, yang tidak tampak, stereotipe Oriental dipertentangkan dengan yang berbeda, yakni yang lain. Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer lain, yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok, seperti: pesan, tema, dan pandangan dunia (Ratna, 2008: 125). 3. Hibriditas Pengertian hibriditas dalam versi kolonial menurut Foultcher (1999: 15) adalah pencangkokan identitas tertentu berdasarkan kemurnian kultural dalam rangka memantabkan status kekuasaan kolonial. Foulcher secara lebih lanjut menerangkan bahwa pencangkokan identias tersebut dilakukan melalui kelompok perantara. Adapun kelompok perantara yang dimaksud oleh Foulcher adalah kelompok pribumi yang mendapatkan pendidikan etis dan oleh

21 kolonial Belanda diajari untuk meniru lewat pendidikan tersebut. Dalam pandangan kolonial, kelompok perantara akan mengidentifikasikan dirinya dengan budaya penjajah dan merasa menjadi wakil budaya Barat di hadapan pribumi lainnya. Mereka yang sebenarnya terjajah dijadikan seolah-olah penjajah di hadapan pribumi lain, sementara bagi penjajag peniruan kelompok perantara akan terhambat oleh sifat kodrati yang membedakan Barat dan non-barat (Foulcher, 1999: 16). Bhabha (via Sutrisno, 2004: 28) mengembangkan hibriditas dalam wacana antara asli dan campuran dengan konteks kekuasaan politik kultural penjajah di mana ia merumuskan sebagai berikut. Hybridity is the sign of productivity of colonial power, its shifting forces and fixities: it is the name for strategic reversal of the process of domination through disavowal (that is, the production of discriminatory identities that secure the pure and original identity of authority). Hibridity is the revolution of the assumption of colonial identity throgh the repetition of discriminatory identity effects. Jadi, hibriditas merupakan produk konstruksi kolonial yang mau membagi strata identitas murni penjajah dengan ketinggian kultur yang didiskriminasikan. Dalam praktiknya, individu kolonial tak jarang mengambil gagasan Barat untuk menentang kolonial, bahkan apa yang hibridakan oleh kolonial kepada masyarakat terjajah disejajarkan dengan gagasan kaum pribumi (Loomba, 2003: 224-225). Pertentang tersebut muncul sebagai momen kesadaran atas terjadinya penindasan kultural, yaitu ketika kekuatan kolonial menjajah untuk mengkonsolidasi kontrol politis dan ekonomis, atau ketika pemukim atau penjajah

22 menguasai orang-orang pribumi dan memaksa mereka untuk berasimilasi ke dalam pola-pola masyarakat yang baru (Ashcroft, 2003: 183). Menurut pendapat Supriyono (2004: 141), Bhabha kembali kepada teori Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Liminitas menjadi ruang antara di mana perubahan budaya dapat berlangsung: ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan, suatu wilayah di mana terdapat proses gerak pertukaran status yang berbeda-beda dan berlangsung terus-menerus. Bagi Fanon (via Supriyono, 2004: 141), trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan memperoleh sifat putih sebagaimana ia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya. Maka Bhabha melihat bahwa gambaran Fanon tentang kulit hitam/topeng-topeng putih itu melahirkan jarak yang meresahkan dalam posisi bukan diri kolonialis atau si lain yang terjajah. Kesenjangan tersebut merupakan tanda gagalnya wacana kolonial dan merupakan tempat bagi perlawanan. Dalam hal ini, perlawanan tidak lantas berarti suatu tindakan oposisional dengan tujuan politis, melainkan efek dari suatu ambivalensi yang dihasilkan di dalam aturan-aturan pengakuan atas wacana-wacana yang dominan selagi mereka mengartikulasikan tanda-tanda perbedaan kultural (Loomba, 2003: 228-229).

23 Dari pemikiran Bhabha di atas dapat disimpulkan bahwa hibriditas merupakan alat antikolonial. Dalam konteks poskolonial, hibriditas menjadi strategi untuk melakukan resistensi terhadap budaya dominan. Peniruan terhadap budaya dominan menjadi strategi untuk merongrong hegemoni kolonial. B. Penelitian Yang Relevan Novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata pernah diteliti dalam penelitian sebagai berikut. 1. Novianti, mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Novianti menggunakan novel Gadis Tangsi untuk diteliti dan diajukan sebagai skripsi dengan judul Kuasa Perempuan Jawa dalam Gadis Tangsi Karya Suparto Brata Dengan Pendekatan Kritik Sastra Feminis. Adapun titik berat analisis penelitian ini terletak pada tokoh untuk mengamati kondisi masyarakat dalam menempatkan perempuan dan aspek kebahasaan di mana ada stereotip gender yang merugikan perempuan. 2. Haryani, mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007 dan diajukan sebagai skripsi dengan judul Relasi Gender dalam Gadis Tangsi Karya Suparto Brata. Penelitian ini menggunakan teori feminisme untuk menemukan dan mendeskripsikan relasi gender yang ada dalam Gadis

24 Tangsi. Adapun titik berat analisis pada penelitian Haryani terletak pada bias gender yang terjadi pada masyarakat Jawa. Kedua penelitian tersebut belum membahas tentang representasi identitas dan hibriditas dalam novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata. Maka, dapat disimpulkan bahwa penelitian secara terperinci tentang representasi identitas dan hibriditas dalam novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata khususnya dengan menggunakan kajian poskolonial masih belum dilakukan.