PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan pangan merupakan hak azasi setiap manusia yang telah dideklarasikan melalui perjanjian internasional, diantaranya dalam pembukaan Konstitusi FAO dan Konvenan Internasional hakhak Ekonomi Sosial dan Budaya (ECOSOC) pada 1968 (Nainggolan, 2005). Untuk menjamin kecukupan pangan atas penduduknya maka, ketersediaan pangan bagi suatu bangsa atau wilayah mempunyai arti strategis. Ketersediaan pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang saling berinteraksi dengan sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem tersebut. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor (Suryana, 2001). Di dalam UU Pangan No 7 Th. 1996 diamanatkan bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik dalam jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, sedangkan masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi. Untuk itu diperlukan produksi pangan yang cukup dalam jumlah serta beragam jenisnya. Keberlanjutan ketersediaan pangan dihadapkan pada beberapa masalah dan tantangan, salah satunya adalah kapasitas produksi pangan yang semakin terbatas karena adanya peningkatan jumlah penduduk beserta aktivitas ekonominya yang berakibat pada konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, sehingga rata-rata penguasaan lahan pertanian oleh petani menjadi semakin kecil. Sebagian besar petani di pedesaan adalah petani berlahan sempit atau pun para
34 petani penggarap yang tidak memiliki lahan sendiri. Kendala yang sering dihadapi oleh para petani ini untuk melakukan proses usahatani biasanya adalah karena keterbatasan modal yang dimiliki. Akibat terbatasnya kemampuan berproduksi menyebabkan produktivitas usahatani relatif stagnan (Baliwati & Roosita, 2004). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk Jawa Timur sebesar 34.783.640 jiwa, merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua dengan laju pertumbuhan sebesar 0,7% per tahun (BPS, 2000). Jumlah penduduk yang cukup besar tersebut dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian untuk memenuhi kebutuhan penduduk, seperti untuk perumahan dan keperluan ekonomi lainnya. Pada periode 1997 sampai 2003 terjadi penyusutan lahan sawah seluas 12.691 di Jawa Timur (Abdurachman et al, 2004). Hal ini akan berimbas pada semakin sempitnya penguasaan lahan oleh petani. Rata-rata penguasaan lahan pertanian yang semakin sempit disebabkan oleh terjadinya fragmentasi pemilikan dan karena alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian (Husodo & Muchtadi, 2004). Petani berlahan sempit memiliki keterbatasan dalam menerapkan teknologi tepat guna sehingga produktivitas usahataninya relatif stagnan. Keterbatasan ini lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, yaitu terbatasnya modal serta harga input yang relatif mahal dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh petani dari lahannya (Suryana, 2001). Di Jawa Timur, produksi padi pada tahun 2000 sampai 2005 rata-rata mengalami penurunan sebesar 0,85%, produksi jagung mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,74%, produksi kedelai menurun rata-rata sebesar 21,47%, dan produksi ketela pohon meningkat rata-rata sebesar 0,76% (www.dipertajatim.org). Produksi pangan hewani, seperti daging ruminansia rata-rata meningkat sebesar 4,76% dan telur meningkat sebesar 17,7% pada tahun 2000 sampai tahun 2001 (Dinas Peternakan Prop. Jatim, 2005). Kebupaten Nganjuk adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang berbasis pertanian. Dari 38 kabupaten/kota yang terdapat di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Nganjuk memberikan kontribusi padi rata-rata sebesar 4%, jagung sebesar 4% dan kedelai 5% selama kurun waktu tahun 2000-2005. Selain
35 itu, hal tersebut juga ditunjukkan oleh sumbangan sektor pertanian pada perolehan Produk Domestik Bruto (PDRB) pada tahun 2004 di Kabupaten Nganjuk adalah yang paling besar dibanding sektor lain (BPS Kab. Nganjuk, 2004). Selain itu Kabupaten Nganjuk juga memiliki potensi peternakan serta budidaya perikanan air tawar. Berdasarkan peta potensi peternakan Jawa Timur tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur, disebutkan bahwa wilayah Kabupaten Nganjuk adalah merupakan wilayah produksi daging kambing, domba, telur ayam buras dan daging ayam ras pedaging. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Nganjuk memiliki kemampuan produksi pangan yang cukup baik. Keadaan tersebut juga didukung dengan struktur penggunaan lahan di Kabupaten Nganjuk yang lebih didominasi untuk persawahan (35,12%) dan hutan (38,4%) daripada untuk pemukiman (26,5%) (www.ardinej.com). Meskipun memiliki potensi produksi pangan yang cukup lengkap didukung dengan struktur penggunaan lahan yang dominan pertanian wilayah Kabupaten Nganjuk masih tergolong wilayah dengan tingkat kerawanan pangan sedang (KUKP Kab. Nganjuk, 2005). Hal ini berdasarkan identifikasi peta kerawanan pangan yang dasar penilaiannya merupakan gabungan dari indikator persentase keluarga miskin, prevalensi kekurangan energi protein (KEP) dan indikator produksi pertanian. Skor paling rendah yang menyebabkan Kabupaten Nganjuk dikategorikan rawan pangan tingkat sedang adalah tingginya jumlah keluarga miskin, dimana golongan ini termasuk rentan terhadap kekurangan pangan karena memiliki keterbatasan untuk mengakses pangan yang disebabkan rendahnya tingkat pendapatan. Sedangkan apabila dilihat perwilayah desa/kelurahan maka ada 55% desa di wilayah Kabupaten Nganjuk yang termasuk kategori resiko tinggi rawan pangan. Sedangkan untuk kasus balita gizi buruk yang ditemukan pada tahun 2005 menurut data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Nganjuk termasuk dalam 10 wilayah dengan kasus terbanyak yaitu sebanyak 503 kasus. Menurut penjelasan pemerintah atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang memiliki sumberdaya alam dan sosial yang beragam dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada
36 sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin ketergantungan pada pemasukan pangan. Sedangkan UU No. 32 tahun 2004 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Masing-masing daerah di era otonomi daerah harus memposisikan pembangunan pangan daerahnya sebagai bagian dari pembangunan pangan nasional. Berdasarkan paparan diatas dirasa perlu untuk membuat suatu perencanaan produksi pangan di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur, mengingat potensi di bidang pertanian, peternakan dan perikanan yang dimilikinya cukup besar. Perencanaan produksi pangan dilakukan berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) agar pangan yang diproduksi benar-benar mampu memenuhi danm sesuai dengan kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa selama ini perencanaan produksi pangan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan tren semata. Padahal tujuan produksi pangan wilayah yang terpenting adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduknya bukan hanya mengejar target produksi yang terus meningkat. Penilaian pola dan kondisi konsumsi pangan penduduk dapat dilakukan melalui kegiatan Survei Konsumsi Pangan. Dalam membuat perencanaan produksi pangan faktor penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana potensi wilayah tersebut, termasuk di dalamnya ketersediaan lahan dan potensi pangan lokal yang dapat dikembangkan. Selain itu peneliti juga merasa perlu untuk melakukan analisis usahatani on farm pada produk-produk pangan strategis dan potensial untuk dikembangkan baik nabati maupun hewani agar dapat diketahui perkiraan modal dan lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan sesuai kebutuhan dan pendapatan yang diperoleh dari usahatani produksi pangan tersebut.
37 Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal di atas maka ada beberapa permasalahan yang ingin diketahui dan dianalisis melalui penelitian ini. Permasalahan tersbut adalah : 1. Bagaimana daya dukung pangan wilayah dalam produksi pangan yang dimiliki oleh Kabupaten Nganjuk untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan aktual penduduknya? 2. Apakah daya dukung pangan wilayah yang dimiliki oleh Kabupaten Nganjuk untuk produksi pangan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan menuju ideal bagi penduduknya pada tahun 2008 dan 2010? Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung pangan wilayah yang dimiliki Kabupaten Nganjuk dalam produksi pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduknya berdasarkan Pola Konsumsi Pangan Harapan (PPH) pada tahun 2008 dan 2010. Tujuan Khusus 1. Menganalisis daya dukung pangan wilayah Kabupaten Nganjuk dalam produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan aktual (tahun 2006) penduduk. 2. Mengestimasi daya dukung pangan wilayah Kabupaten Nganjuk untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk menuju ideal pada tahun 2008 dan 2010. 3. Perumusan implikasi pemenuhan kebutuhan pangan menuju ideal dari aspek produksi pada tahun 3008 dan 2010.
38 Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif baru bagi pemerintah daerah, terutama Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur maupun pihak terkait lainnya untuk membuat perencanaan pembangunan pangan dan gizi di wilayahnya agar kebutuhan konsumsi pangan penduduknya menjadi lebih baik dengan seoptimal mungkin memanfaatkan daya dukung yang dimiliki. Selain itu implikasi dari hasil penelitian ini dapat menjadi bahan penyusunan rencana strategis diberbagai bidang yang terkait dengan pangan dan gizi, seperti sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan, sektor perdagangan dan perindustrian, sektor kesehatan, sektor perbankan serta sektor terkait lainnya.