II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Malaria Malaria adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Dr. Francisco Torti pada abad ke 17, malaria berasal dari bahasa Itali Mal = kotor, sedangkan Aria = udara udara yang kotor. Klinik penyakit malaria adalah khas, mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil, maka pada waktu itu sudah dikenal febris tersiana dan febris kuartana. Di samping itu terdapat kelainan pada limpa, yaitu splenomegali: limpa membesar dan menjadi keras, sehigga dahulu malaria disebut demam kura (Pribadi, 2006). Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste. Proses penularannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya skizon darah atau timbulnya gejala demam. Malaria disebabkan oleh sporozoa dari genus Plasmodium yang ditularkan ke manusia oleh nyamuk Anopheles dengan gejala demam yang sering/periodik, anemia, pembesaran limpha dan berbagai kumpulan gejala lain karena pengaruhnya pada beberapa organ, misalnya otak, hati, dan ginjal. Malaria dijumpai hampir di seluruh pulau di Indonesia, disamping menyebabkan kesakitan dan kematian juga dapat menurunkan produktivitas kerja penderita (Rahmati, 2006). B. Vektor Malaria Nyamuk Anopheles di seluruh dunia terdapat kira-kira 2000 spesies, sedangkan yang dapat menularkan malaria kira-kira 60 spesies. Di Indonesia, menurut pengamatan terakhir 1
ditemukan 80 spesies Anopheles, sedangkan yang menjadi vektor malaria adalah 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda (Oemijati dan Pribadi, 2006). Klasifikasi Anopheles menurut Borror et al (1996) adalah sebagai berikut: Filum Sub filum Kelas : Arthropoda : Mandibulata : Insecta Sub Kelas : Pterygota Ordo Sub Ordo Famili : Diptera : Nematocera : Culicidae Sub Famili : Anophelini Genus : Anopheles 1. Morfologi Nyamuk Anopheles Tubuh Anopheles terbagi menjadi 3 bagian yaitu: kaput, toraks, dan abdomen. Kaput memiliki sepasang antena dengan tipe plumose. Antena pada nyamuk jantan berambut banyak dan berambut jarang pada nyamuk betina. Probosis pada nyamuk Anopheles merupakan struktur gabungan dari labrum, hipofaring, sepasang mandibula dan maksila. Palpi yang teretak dekat proboscis sama panjang antara nyamuk jantan dan betina. Thoraks ditutupi oleh skutelum yang menopang sepasang sayap dan sepasang halter (Bruce-Chwatt,1990). 2
Nyamuk Anopheles dewasa mudah dibedakan dari jenis nyamuk yang lain, nyamuk ini memiliki dua palpus maxilla yang sama panjang dan bergada pada yang jantan. Scutellum bulat rata dan sayapnya berbintik. Bintik sayap pada Anopheles disebabkan oleh sisik pada sayap yang berbeda warna (Borror et all, 1996). Nyamuk memiliki sepasang antena berbentuk filiform yang panjang dan langsing serta terdiri atas lima belas segmen. Antena dapat digunakan sebagai kunci untuk membedakan kelamin pada nyamuk dewasa. Antena nyamuk jantan lebih lebat daripada nyamuk betina. Bulu lebat pada nyamuk jantan disebut plumose sedangkan pada nyamuk betina yang jumlahnya lebih sedikit disebut pilose (Brown, 1979). Palpus merupakan organ sensorik yang digunakan untuk mendeteksi karbon dioksida dan mendeteksi tingkat kelembaban. Proboscis merupakan bentuk mulut modifikasi untuk menusuk. Nyamuk betina mempunyai proboscis yang lebih panjang dan tajam, tubuh membungkuk serta memiliki bagian tepi sayap yang bersisik. Palpus dapat digunakan sebagai kunci identifikasi karena ukuran dan bentuk palpus masing-masing spesies berbeda. Sepasang palpus terletak diantara antena dan proboscis. (Brown, 1979). Nyamuk memiliki sepasang sayap yang kuat terdapat pada mesothorax, dan sepasang sayap rudimenter yang terdapat pada metathorax. Sayap nyamuk memiliki venasi khusus yaitu sel anterior dan posteriornya bercabang, berbentuk pipih, dan berbulu ( Borror et all, 1996). Abdomen terdiri dari 8 segmen, masing-masing terdiri dari keping dorsal (tergit) dan keeping ventral (sternit). Segmen terakhir termodifikasi menjadi terminalia yang digunakan untuk perkawinan dan juga untuk oviposisi pada individu betina. Tiga pasang kaki masing-masing terdiri atas femur, tibia, dan lima segmen tarsus. Tubuh dan probosis 3
pada posisi istirahat membentuk satu garis lurus dan satu sudut dengan permukaan tempat istirahat (Borror et al,1996). Gambar 1. Struktur tubuh Anopheles betina (http://www. Arbovirus) 2. Siklus Hidup Anopheles Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna yang terdri dari empat stadium, yaitu: telur, larva, pupa, dan imago. Siklus hidup nyamuk secara garis besar dapat dibedakan dalam dua tahap yaitu tahap kehidupan di dalam air (akuatik) yaitu mulai dari telur, menetas menjadi larva sampai menjadi pupa, dan tahap kehidupan di udara (aereal) yaitu mulai saat nyamuk dewasa muncul dari pupa. Stadium telur, larva dan pupa, hidup di dalam air, sedangkan stadium imago berterbangan. Nyamuk dewasa betina menghisap darah manusia atau darah binatang. Telur diletakkan satu persatu di permukaan air. Setelah 2-4 hari telur menetas menjadi larva yang selalu hidup di dalam air. Pertumbuhan larva dari instar 1 sampai instar IV berlangsung selama tersebut bervariasi tergantung pada spesies, makanan dan temperature. Larva tumbuh menjadi pupa yang tidak makan, tetapi masih membutuhkan oksigen yang diambil melalui sepasang spirakel pada ujung posterior tubuh (Borror et al,1969) 3. Perilaku Nyamuk Anopheles 4
Anopheles dapat mengisap darah di dalam (endofagik) atau di luar rumah (eksofagik), tergantung pada kehadiran dan kebiasaan dari hospes (Carnevale et al,1992). Barodji dkk (1992) menyatakan bahwa An.aconitus di kabupaten Jepara Jawa Tengah bersifat eksofagik dengan perbandingan menggigit orang di dalam rumah adalah 1:2,60, sedangkan An.sundaicus di Pulau Legundi menurut Jannah (1999) bersifat endofagik dan eksofagik. Hoedojo dan Dzulhasril (2006) menyatakan bahwa An.barbirostris di Sulawesi dan Nusa Tenggara bersifat Antropofilik sedangkan di daerah Jawa dan Sumatra bersifat Zoofilik. C. Tempat Perindukan Larva Di bawah ini adalah tabel yang menyajikan data tempat perindukan larva vektor malaria. Tabel 1.Tempat perindukan larva Anopheles (Hoedojo dan Dzulhasril, 2006), NO Vektor Tempat Perindukan Larva 1 An.sundaicus Muara sungai yang mendangkal pada musim kemarau,tambak ikan yang kurang terpelihara, parit di sepanjang pantai bekas galian yang terisi air payau, tempat penggaraman (Bali) di air tawar (Kalimantan Timur dan Sumatra) 2 An.aconitus Pesawahan dengan saluran irigasi, tepi sungai pada musim kemarau, kolam ikan dengan tanaman rumput di tepinya 3 An.subpictus Kumpulan air yang permanen/sementara, celah tanah bekas kaki binatang, tambak ikan dan bekas galian di pantai (pantai utara pulau Jawa) 5
4 An.barbirostris Sawah dan saluran irigasi, kolam, rawa, mata air, sumur dan lain-lain 5 An.balabacensis Bekas roda yang tergenang air, bekas jejak kaki binatang pada tanah berlumpur yang berair, tepi sungai pada musim kemarau, kolam atau kali yang berbatu di hutan atau daerah pedalaman 6 An.letifer Air tergenang (tahan hidup di tempat asam teutama dataran pinggir pantai) 7 An.nigerimus Sawah, kolam dan rawa yang ada tanaman air 8 An.sinensis Sawah, kolam dan rawa yang ada tanaman air 9 An.maculatus Mata air dan sungai dengan air jernih yang mengalir lambat di daerah pegunungan, daerah perkebunan teh (di Jawa) D. Lingkungan 1. Lingkungan Fisik Plasmodium dan Anopheles sensitif terhadap perubahan iklim. Variasi iklim lingkungan memberikan efek bagi kehidupan vektor dan perkembangan parasit malaria dan memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit malaria (Brown, 1979). Adanya curah hujan di atas normal dan pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti hujan lebat yang diselingi oleh cuaca panas, arus air, angin, ketinggian dan sinar matahari serta lamanya waktu terang (day light duration) mendorong perkembangbiakan nyamuk dengan cepat ( Hoedojo, 1998). 6
1. Suhu Suhu mempengaruhi tingkat multifikasi dalam tubuh nyamuk seperti; kecepatan perkembangan nyamuk, lama masa pradewasa, kecepatan pencernaan, penghisapan darah, pematangan indung telur, dan frekuensi mengambil makanan atau menggigit ( Soejoeti, 1995). Peningkatan suhu akan mempengaruhi perubahan bionomik atau perilaku menggigit pada nyamuk, angka gigitan rata-rata yang meningkat ( biting rate) membuat kegiatan reproduksi nyamuk berubah yang ditandai dengan semakin cepat perkembangbiakan nyamuk dan semakin pendek masa kematangan parasit dalam nyamuk. Secara teori, suhu yang tinggi menyebabkan transmisi nyamuk meningkat, hal ini dikarenakan berkurangnya masa inkubasi (Hoedojo, 1993). Sebagian besar serangga, misalnya nyamuk bersifat poikilotermik dimana perbedaan suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan. Suhu yang panas cenderung mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan nyamuk. Serangga memiliki waktu fisiologis yaitu jumlah panas yang dibutuhkan bagi nyamuk untuk menyelesaikan perkembangannya, oleh karena itu masalah pemberantasan malaria di daerah daerah tropik lebih banyak mengalami tantangan dibandingkan dengan di daerah daerah yang bersuhu lebih dingin (Nurmaini, 2003). Pada dasarnya semua spesies Anopheles, memerlukan suhu antara 21-32 0 C untuk perkembangannya, akan tetapi suhu optimum berada pada suhu 28 0 C. Pada jenis Plasmodium falciparum transmisinya terjadi pada suhu 20 0 C atau dalam kisaran 25 30 0 C, itu sebabnya hewan ini sangat menyukai daerah tropik. Di daerah Eropa lebih dominan jenis Plasmodium vivax pada suhu 16 0 C. Suhu 18 C merupakan suhu 7
terendah yang dibutuhkan jentik nyamuk di daerah tropis. Pada suhu dibawah 18 0 C atau di atas 34 0 C, tidak dijumpai adanya pertumbuhan nyamuk (Brown, 1979). 2. Kelembaban Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebisaan menggigit dan istirahat nyamuk (Harijanto, 2000). Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan penyakit malaria. Kelembaban optimum yang diperlukan untuk perkembang-biakan nyamuk di atas 60%. Pada kelembaban yang rendah akan menyebabkan umur nyamuk menjadi pendek. Hal ini didasarkan pada fisiologis sistem pernapasan nyamuk yang menggunakan pipa udara yang disebut trachea dengan lubang pada dinding tubuh disebut spirakel. (Harijanto, 2000). 8
3. Curah hujan Data mengenai curah hujan diperlukan karena berkaitan dengan timbulnya perindukan nyamuk dan berpengaruh terhadap habitat, fluktuasi kepadatan vektor, dan penyebaran penyakit malaria (Gunawan, 2000). Menurut hasil penelitian Fakhira (2011), pada musim hujan di desa Babakan bany ak terdapat genangan air yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk. Perubahan suhu, kelembaban dan curah hujan mengakibatkan nyamuk lebih sering bertelur sehingga populasi vektor bertambah, tetapi curah hujan tidak mempengaruhi populasi vektor dewasa pada bulan yang sama melainkan akan berpengaruh pada bulan berikutnya sesuai dengan siklus hidup nyamuk yang terdapat di alam. Penularan malaria akan terjadi setelah melewati masa inkubasi ekstrinsik dan intrinsik selama 4 minggu, maka dari pengamatan curah hujan yang didukung oleh data penyakit malaria, dapat diperkirakan munculnya penyakit malaria, oleh karenanya curah hujan bisa dijadikan indikator dalam penularan malaria sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pengendalian malaria maupun kegiatan antisipasi kejadian luar biasa (KLB) malaria (Depkes RI, 2001). 4. Ketinggian Ketinggian dan suhu sangat berkorelasi dengan kejadian malaria. Diperkirakan setiap kenaikan ketinggian 100 meter menyebabkan suhu turun sebesar 0,5 0 C. Parasit sangat 9
peka terhadap penurunan suhu karena sporogoni tidak dapat berlangsung. Hal ini terlihat pada spesies Anopheles gambiae yang menghilang ketika suhu turun mencapai 5 0 C. Sehingga ketinggian dapat digunakan sebagai penanda (marker) endemisitas atau kompleksitas risiko penyakit (Gunawan, 2006). 5. Angin Angin akan mempengaruhi jarak terbang nyamuk. Jarak terbang nyamuk ( flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung dari arah angin. Anopheles betina dewasa tidak ditemukan lebih dari 2-3 km dari lokasi tempat perindukan vektor (TPV) dan mempunyai sedikit kemampuan untuk terbang jauh, namun angin kencang dapat membawa Anopheles terbang sejauh 30 km atau lebih (Hoedojo, 1998). Jarak terbang merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam upaya nyamuk vektor malaria mencari tempat untuk istirahat, mencari makanan dan berkembang biak. Jarak terbang harus diperhatikan apabila pemberantasan penyakit malaria dilaksanakan (Hoedojo, 1998). 6. Lingkungan Kimia Lingkungan kimia yang paling mendukung terhadap kelanjutan perkembangbiakan vektor malaria adalah ph, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD), CO 2, dan kedalaman air (Damar, 2004). 7. Lingkungan Biologi (Flora dan Fauna) Menurut hasil penelitian Damar (2004) di kecamatan Srumbung, b erbagai jenis tumbuh-tumbuhan dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat 10
menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari serangan mahluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air merupakan indikator bagi jenis nyamuk tertentu. Tanaman air seperti lumut perut ayam ( Heteromorpha, sp) dan lumut sutera (Enteromorpha, sp) kemungkinan di Lagun tersebut ada larva Anopheles sundaicus (Naelitarwiyah, 1999). Beberapa jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah. (Gambusia affinis), ikan Guppi ( Pocillie reticulate), dan Nila ( Oreochomis niloticus) mempengaruhi jumlah populasi nyamuk di Desa Hanura (Fatma, 2002). D. Proses terjadinya penularan malaria Meliputi 3 (tiga) faktor utama yaitu : (a) Adanya penderita baik dengan adanya gejala klinis ataupun tanpa gejala klinis; (b) Adanya nyamuk atau vektor; (c) Adanya manusia yang sehat (Depkes RI, 1999a). Siklus penularannya adalah sebagai berikut : orang yang sakit malaria digigit nyamuk Anopheles dan parasit yang ada di dalam darah akan ikut terisap didalam tubuh nyamuk dan akan mengalami siklus seksual (siklus sporogoni) yang menghasilkan sporozoit. Nyamuk yang di dalam kelenjar ludahnya sudah terdapat sporozoit mengigit orang yang 11
rentan, maka di dalam darah orang tersebut akan terdapat parasit dan berkembang di dalam tubuh manusia yang dikenal dengan siklus aseksual (Depkes RI, 1999). Faktor kesehatan lingkungan fisik, kimia, biologis, dan sosial budaya sangat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit malaria di Indonesia (Harijanto, 2000 ). Kemampuan bertahannya penyakit malaria disuatu daerah ditentukan oleh berbagai faktor yang meliputi adanya parasit malaria, nyamuk Anopheles, manusia yang rentan terhadap infeksi malaria, lingkungan dan iklim (Prabowo, 2004). Kesehatan lingkungan mempelajari dan menangani hubungan manusia dengan lingkungan dalam keseimbangan ekosistem dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui pencegahan terhadap penyakit dan gangguan kesehatan dengan mengendalikan faktor lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Interaksi lingkungan dengan pembangunan saat ini maupun yang akan datang saling berpengaruh (Fathi et al., 2005). Apabila ditinjau dari segi manusia brinteraksi dengan alam ini dimaksudkan untuk mendapat keuntungan tetapi bila sumber daya alam tidak mendukung kesehatan manusia maka bisa terjadi keadaan sebaliknya, antara lain adalah terjadinya penyakit malaria (Soemirat, 2000; Keman dan Wahyuni, 2005). Tingginya kasus malaria di Lampung disinyalir berkorelasi dengan kepadatann yamuk Anopheles sebagai vektor, sebagaimana pernyataan Rozendal (1997) bahwa banyaknya vektor akan berkorelasi positif dengan tingginya kasus penyakit. Kepadatan populasi vektor yang tinggi dapat meningkatkan kontak vektor yang infektif terhadap manusia (Mc. Kelvey et 12
al. 1991). Nyamuk Anopheles yang telah ditemukan kontak dengan manusia di Lampung Selatan antara lain A. sundaicus, A. subpictus, A. vagus, A. indefinitus, A. nigerrimus, A. peditaeniatus, A. kochi, A. Barbirostris, A. annullaris, A. separatus, A. tessellatus dan A. aconitus (Idram Idris, dkk. 1999). 13