Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output *

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA. Oleh :

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena pupuk kimia lebih mudah diperoleh dan aplikasinya bagi tanaman

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. perkebunan kelapa sawit adalah rata rata sebesar 750 kg/ha/tahun. Berarti

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

Ketersediaan Pupuk dan Subsidi Pupuk

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

I. Pendahuluan. II. Permasalahan

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

GUBERNUR RIAU. b. bahwa untuk meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan pemupukan berimbang diperlukan subsidi pupuk;

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

Kaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia 2007-2012 Oleh : Prajogo U. Hadi Dewa K. Swástica Frans Betsí M. D. Nur Khoeriyah Agustin Masdjidin Siregar Deri Hidayat Mohamad Maulana PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007

RINGKASAN EKSEKUTIF 1. Pada tahun 2006 terjadi lonjakan harga dan langka pasok pupuk, terutama Urea. Hal ini diduga disebabkan oleh tiga kemungkinan, yaitu kurangnya produksi pupuk, distribusinya kurang baik, atau keduanya. Jika masalah tersebut terjadi terjadi secara berkepanjangan, dikhawatirkan ketahanan pangan nasional, produksi pertanian nasional, devisa negara dan pendapatan petani akan terganggu. 2. Sehubungan dengan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan: (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran dan jumlah permintaan aktual pupuk di tingkat nasional; (2) Memproyeksikan penawaran, permintaan dan neraca pupuk untuk periode 2007-2012; (3) Mengidentifikasi perilaku petani dalam menggunakan pupuk; dan (4) Merumuskan kebijakan yang berkenaan dengan penawaran dan permintaan pupuk di masa mendatang. 3. Penawaran (produksi) pupuk 2007-2012: (a) Pupuk Urea: Sesuai dengan rencana jangka panjang produsen pupuk, produksi pupuk Urea diproyeksikan akan terus meningkat dari 5,654,682 ton pada tahun 2006 menjadi 5,731,700 ton pada tahun 2007 dan menjadi 7,740,000 ton pada tahun 2012. Produksi tersebut merupakan 70.42% dari kapasitas terpasang pabrik pada tahun 2006 kemudian menjadi 71.38% pada tahun 2007 dan menjadi 90% pada tahun 2012. Kapasitas pabrik direncanakan baru akan ditambah pada tahun 2012 sehingga kapasitas pabrik akan meningkat dari 8,030,000 ton menjadi 8,600,000 ton. (b) Pupuk ZA: produksi pupuk ZA diproyeksikan akan meningkat dari 625,000 ton pada tahun 2006 menjadi 637,000 ton per tahun selama 2007-2012. Produksi tersebut merupakan 96,15% dari kapasitas terpasang pabrik pada tahun 2006, kemudian menjadi 98% selama 2007-2012. Tidak ada rencana penambahan kapasitas pabrik selama periode 5 tahun kedepan tersebut. (c) Pupuk SP36: produksi pupuk SP36 diproyeksikan akan meningkat dari 648,499 ton pada tahun 2006 menjadi 950,000 ton per tahun selama 2007-2012. Produksi tersebut merupakan 64,85% dari kapasitas terpasang pabrik pada tahun 2006, kemudian menjadi 95% selama 2007-2012. Tidak ada rencana penambahan kapasitas pabrik selama periode 5 tahun kedepan tersebut. (d) Pupuk NPK: produksi pupuk NPK diproyeksikan akan meningkat dari 412,663 ton pada tahun 2006 menjadi 900,000 ton pada tahun 2007 dan kemudian menjadi 2,646,000 ton pada tahun 2012. Produksi tersebut merupakan 89.71% dari kapasitas terpasang pabrik pada tahun 2006, kemudian menjadi 90% selama 2007-2012. Ada rencana penambahan kapasitas pabrik cukup besar selama periode 5 tahun kedepan tersebut. (e) Permasalahan yang perlu diantisipasi dalam lima tahun mendatang adalah pasokan gas bumi, yang merupakan bahan baku utama pembuatan pupuk nitrogen, terutama Urea. 4. Permintaan Pupuk di Sektor Pertanian: (a) Pupuk Urea: permintaan pupuk Urea di sektor pertanian dipengaruhi secara signifikan oleh luas areal tanaman pangan (+), HET riil pupuk Urea sendiri (-) dan HET riil pupuk SP36 (-). Apabila HET riil Urea dan SP36 dipertahankan tetap seperti pada tahun 2006, maka permintaan Urea akan meningkat 2.16%/tahun, sehingga pada tahun 2012 permintana pupuk Urea akan menjadi sekitar 5.01 juta ton (untuk mempertahankan HET rill tersebut, HET nominal ix

kedua jenis pupuk tersebut perlu dinaikkan 8.19%/tahun). Tetapi jika HET nominal Urea dan SP36 dinaikkan 10%/tahun, maka permintaan Urea hanya akan meningkat 0.70%/tahun sehingga pada tahun 2012 permintaan akan menjadi sekitar 4.60 juta ton. Permintaan akan menurun cepat (4.12%/tahun) jika HET nominal kedua jenis pupuk itu dinaikkan 15%/tahun, dan akan menurun lebih cepat lagi (5.79%/tahun) jika HET nominal Urea dan SP36 masing-masing dinaikkan 15% dan 10%/tahun. Dalam hal ini total efek peningkatan harga Urea dan SP36 lebih besar daripada efek peningkatan luas areal tanaman pangan. (b) Pupuk ZA: permintaan pupuk ZA di sektor pertanian dipengaruhi secara signifikan oleh luas areal tanaman hortikultura (+), luas areal tanaman perkebunan (+) dan HET riil pupuk ZA sendiri (-). Apabila HET riil ZA dipertahankan tetap seperti pada tahun 2006, maka permintaan ZA akan meningkat 7.10%/tahun sehingga pada tahun 2012 permintaan akan naik menjadi 831.5 ribu ton (untuk mempertahankan HET rill tersebut, HET nominal ZA perlu dinaikkan 8.19%/tahun). Tetapi jika HET nominal ZA dinaikkan 10%/tahun, maka permintaan ZA akan meningkat lebih lambat yaitu 6.08%/tahun sehingga permintaan pada tahun 2012 menjadi 785.2 ribu ton. Permintaan ZA masih akan meningkat 2.71%/tahun jika HET nominal ZA dinaikkan 15%/tahun sehingga pada tahun 2012 permintaan menjadi 646.9 ribu ton. Dalam hal ini efek peningkatan harga ZA lebih kecil daripada total efek peningkatan luas areal tanaman hortikultura dan perkebunan. (c) Pupuk SP36: permintaan pupuk SP36 di sektor pertanian dipengaruhi secara signifikan oleh luas areal tanaan pangan (+), luas areal tanaman hortikultura (+), luas areal tanaman perkebunan (+), HET riil pupuk SP36 sendiri (-) dan HET riil Urea (-). Apabila harga HET riil SP36 dan Urea dipertahankan tetap seperti pada tahun 2006, maka permintaan SP36 akan meningkat 9.02%/tahun sehingga permintaan pada tahun 2012 menjadi sekitar 1.15 juta ton (untuk mempertahankan HET rill tersebut, HET nominal kedua jenis pupuk tersebut perlu dinaikkan 8.19%/tahun). Tetapi jika HET nominal kedua jenis pupuk itu dinaikkan 10%/tahun, maka permintaan SP36 akan meningkat 6.94%/tahun sehingga permintaan pada tahun 2012 akan menjadi 1.02 juta ton. Permintaan SP36 masih akan meningkat 0.03%/tahun jika HET nominal kedua jenis pupuk itu dinaikkan 15%/tahun sehingga permintaan pada tahun 2012 hanya naik menjadi 684.05 ribu ton. Apabila HET nominal Urea dan SP36 dinaikkan masing-masing 15% dan 10%/tahun, maka permintaan SP36 akan meningkat 3.65%/tahun sehingga pada tahun 2012 permintaan akan menjadi 846.62 ribu ton. Dalam hal ini total efek peningkatan harga SP36 dan Urea lebih kecil daripada total efek peningkatan luas areal tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. (d) Pupuk NPK: permintaan pupuk NPK di sektor pertanian dipengaruhi secara signifikan oleh luas areal tanaman pangan (+) dan HET riil pupuk NPK yang diproksi dengan HET riil Urea (-). Apabila HET riil NPK dipertahankan tetap seperti pada tahun 2006, maka permintaan NPK akan meningkat 5.64%/tahun sehingga permintaan pada tahun 2012 akan menjadi sekitar 264.1 ribu ton (untuk mempertahankan HET rill tersebut, HET nominal NPK perlu dinaikkan 8.19%/tahun). Tetapi jika HET nominal NPK dinaikkan 10%/tahun, maka permintaan akan meningkat lebih lambat yaitu 4.87%/tahun sehingga permintaan pada tahun 2012 akan menjadi 252.7 ribu ton. Permintaan NPK masih akan meningkat 2.31%/tahun jika HET nominal NPK dinaikkan 15%/tahun sehingga permintaan pada tahun 2012 akan menjadi 217.9 ribu ton. Dalam hal ini efek peningkatan harga NPK lebih kecil daripada efek peningkatan luas areal tanaman pangan. x

5. Permintaan Pupuk di Sektor Industri: Jenis pupuk yang digunakan di sektor industri hanya Urea. Permintaan Urea di sektor ini diproyekskan akan meningkat rata-rata 5%/tahun, sehingga permintaan tersebut akan naik dari 1.09 juta ton pada tahun 2006 menjadi 1.14 juta ton pada tahun 2007 dan akan menjadi 1.46 juta ton pada tahun 2012. 6. Permintaan Pupuk Total: Untuk pupuk ZA, SP36 dan NPK, permintaan total sama seperti yang telah disebutkan pada butir (2) karena tidak ada penggunaan di sektor lain. Sedangkan untuk Urea, permintaan total merupakan penjumlahan permintaan di sektor pertanian dan sektor industri. Pada tahun 2012, permintaan total Urea adalah 6.47 juta ton jika HET riil Urea dan SP36 tidak dinaikkan (HET nominal dinaikkan 8.19%); 6.05 juta ton jika HET nominal kedua jenis pupuk itu dinaikkan 10%; dan 4.88 juta ton jika HET nominal kedus jenis pupuk itu dinaikkan 15%; dan 4.55 juta ton jika HET nominal Urea dan SP36 masing-masing dinaikkan 15% dan 10%/tahun.. 7. Neraca Penawaran-Permintaan: (a) Pupuk Urea: surplus produksi akan terus meningkat pada semua skenario. Pada tahun 2012, produksi Urea akan mengalami surplus sekitar 1.27 juta ton (16.45%) jika HET riil Urea dan SP36 tidak dinaikkan (HET nominal dinaikkan 8.19%/tahun). Surplus produksi akan terus meningkat menjadi 1.69 juta ton (21.79%) jika HET nominal kedua jenis pupuk itu dinaikkan 10%/tahun, dan akan meningkat lagi menjadi 2.86 juta ton jika HEt nominal kedua jenis pupuk itu dinaikkan 15%/tahun, dan akan meningkat lagi menjadi 3.19 juta ton jika HET nominal Urea dan SP36 masing-masing dinaikkan 15% dan 10%/tahun. (b) Pupuk ZA: surplus produksi akan terus menurun dan akhirnya terjadi defisit. Jika HET riil ZA tidak dinaikkan (HET nominal naik 8.19%/tahun) atau HET nominal naik 10%/tahun, defisit produksi sudah mulai terjadi pada tahun 2009. Defisit tersebut akan terus meningkat sehingga pada tahun 2012 menjadi 193,994 ton (30.45%) jika HET nominal naik 8.19%/tahun atau menjadi 147,701 ton (23.19%) jika HET nominal naik 10%/tahun. Jika HET nominal naik 15%/tahun, maka produksi masih mengalami surplus selama tahun 2007-2011 namun terus menurun sehingga pada 2012 terjadi defisit 9.36 ribu ton (1.47%). (c) Pupuk SP36: surplus produksi akan terus menurun. Jika HET riil SP36 dan Urea tidak dinaikkan (HET nominal naik 8.19%/tahun), maka defisit produksi mulai terjadi pada tahun 2010 sebesar 14.496 ton (1.53%) dan terus meningkat menjadi 196,398 ton (20.67%) pada tahun 2012. Jika HET nominal kedua jenis pupuk tersebut dinaikkan 10%/tahun, maka defisit produksi mulai terjadi pada tahun 2011 sebesar 4.783 ton (0.5%) dan terus meningkat menjadi 71,033 ton (7.48%) pada tahun 2012. Jika HET nomi al kedua jenis pupuk itu dinaikkan 15%/tahun, maka produksi terus mengalami surplus selama tahun 2007-2012 walaupun terus menurun, yaitu menjadi 266 ribu ton (28.11%) pada tahun 2012. Jika HET nominal Urea dan SP36 masing-masing dinaikkan 15% dan 10%/tahun, maka surplus produksi lebih kecil dan terus menurun selama tahun 2007-2012, yaitu menjadi 103.4 ribu ton (10.88%) pada tahun 2012. (d) Pupuk NPK: surplus produksi akan terus meningkat selama 2007-2012. Makin tinggi kenaikan HET nominal NPK, makin besar pula surplus produksi. Jika HET nominal NPK naik 8.19% (HET riil tetap), 10% atau 15%/tahun, maka surplus produksi pada tahun 2012 adalah 2.68 juta ton (91.02%), 2.69 juta ton (91.40%), dan 2.72 juta ton (92.59%). xi

8. Perilaku Petani dalam Menggunakan Pupuk; (a) Tanaman Pangan (padi dan jagung hibrida): (i) Di daerah yang aksesibilitasnya terhadap sumber pupuk kurang baik (Sumatera Barat) petani menggunakan takaran pupuk per hektare jauh lebih rendah dari takaran rekomendasi nasional, sedangkan di daerah yang aksesibilitasnya lebih baik (Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan) melebihi takaran rekomendasi; (ii) Petani di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sudah mulai menggunakan pupuk majemuk (NPK); (iv) Petani di Sumatera barat membayar harga pupuk jauh diatas HET, sedangkan petani di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur membayar sama dengan atau sedikit di atas HET; dan (v) Faktor yang paling kuat mempengaruhi petani dalam menentukan takaran pupuk per hektare adalah kondisi tanaman, kebiasaan petani, dan kemampuan modal petani, sedangkan faktor ekonomi seperti harga pupuk, harga harapan hasil panen dan biaya selain pupuk, kurang dipertimbangkan petani. (b) Tanaman Hortikultura (kentang, kubis dan bawang merah): (i) Petani kentang, kubis dan bawang merah umumnya menggunakan pupuk lebih banyak dari yang dianjurkan, baik jenis maupun takaran per hektarenya; (ii) Petani juga menggunakan pupuk non-subsidi (TSP dan KCl) dengan takaran yang cukup banyak; (iii) Petani kentang dan kubis bahkan sudah menggunakan pupuk NPK dengan takaran per hektare cukup besar; (iv) Petani membayar harga pupuk diatas HET, terutama NPK; dan (v) Faktor yang paling kuat mempengaruhi petani dalam menentukan takaran pupuk per hektare adalah kondisi tanaman, kebiasaan petani, dan kemampuan modal petani, sedangkan faktor ekonomi seperti harga pupuk, harga harapan hasil panen dan biaya selain pupuk, kurang dipertimbangkan petani. (c) Tanaman Perkebunan (kelapa sawit, tebu, tembakau): (i) Petani kelapa sawit, tebu dan tembakau menggunakan takaran pupuk per hektare cukup besar, tetapi pupuk NPK baru digunakan dalam takaran sangat kecil; (ii) Petani kelapa sawit di Sumatera Utara dan petani tembakau di Jawa Timur membayar harga pupuk di atas HET, terutama NPK, sedangkan petani tebu di Jawa Timur membayar sama atau sedikit di atas HET; (iii) Faktor penting yang mempengaruhi petani dalam menentukan takaran pupuk per hektare adalah kondisi tanaman, kebiasaan petani, dan kemampuan modal petani, sedangkan faktor ekonomi seperti harga pupuk, harga harapan hasil panen dan biaya selain pupuk, kurang dipertimbangkan petani, kecuali petani tebu di Jawa Timur yang cukup memperhatikan harga pupuk. (d) Perikanan (tambak ikan dan udang): (i) Takaran penggunaan pupuk pada tambak udang di Jawa Timur jauh lebih besar dibanding pada tambak ikan bandeng di Jawa Barat; (ii) Pupuk NPK dan KCl tidak digunakan untuk tambak; (iii) Dibanding HET, harga pupuk yang dibayar petani sedikit lebih untuk Urea, tetapi jauh lebih mahal untuk SP36; dan (iii) Faktor terpenting yang mempengaruhi petani dalam menentukan takaran pupuk per hektare di Jawa Barat adalah kebiasaan petani, sedangkan di Jawa Timur adalah anjuran PPL, meniru petani lain dan kemampuan modal petani, sedangkan faktor ekonomi seperti harga pupuk, harga harapan hasil panen dan biaya selain pupuk, kurang dipertimbangkan. 9. Implikasi Kebijakan (a) Untuk mengurangi beban pemerintah dalam memberikan subsidi pupuk, maka HET nominal perlu dinaikkan maksimum 8% per tahun agar pemakain pupuk, terutama Urea, tidak turun. Menurut petani, harga pupuk tidak banyak berpengaruh terhadap takaran pemakaian pupuk per hektar. Namun kenaikan harga pupuk tentu harus ada batasnya karena jika kenaikan harga itu terlalu xii

tinggi, maka petani juga akan mengurangi jumlah pemakaian pupuk karena terbatasnya modal. Hal ini sejalan dengan hasil analisis fungsi permintaan bahwa kenaikan HET nominal sampai 8.19% belum berpengaruh terhadap permintaan pupuk. Tetapi jika kenaikan itu mencapai 10%, apalagi 15% per tahun, maka dampaknya bagi petani akan signifikan. Jika ini terjadi, maka ketahanan pangan nasional dan produksi nasional pertanian akan turun karena menurunnya produktivitas, walaupun luas areal cenderung meningkat. (b) Petani sudah mulai mengenal pupuk majemuk NPK. Ini merupakan mpmentuam yang tepat bagi pemerintah untuk menggalakkan pemakain pupuk NPK dan dalam waktu yang bersamaan membatasi pasokan pupuk tunggal. Dalam kaitan itu, maka kapasitas pabrik untuk produksi pupuk ZA dan SP36 tidak perlu ditambah. Kekurangan (defisit) produksi kedua jenis pupuk tunggal tersebut dapat ditutup dengan surplus produksi NPK yang cukup besar. Dengan lebih banyak memasok pupuk NPK ke kios pupuk dan membatasi pasokan pupuk tunggal, maka penggunaan pupuk majemuk NPK diharapkan akan makin luas sehingga produktivitas dan kualitas hasil petani akan makin tinggi. Namun ini bukan berarti bahwa pupuk NPK akan menggantikan seluruh pupuk tunggal, melainkan hanya sebagian saja. Dengan menggunakan NPK, petani secara otomatis menggunakan pupuk SP36 dan KCl, yang selama ini kurang mereka perhatikan karena efeknya terhadap tanaman tidak segera terlihat secara visual. Untuk itu, kegiatan penyuluhan kepada petani mengenai manfaat pupuk majemuk perlu dilakukan secara lebih intensif, baik petani tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. (c) Pupuk nitrogen adalah pupuk utama yang digunakan di sektor pertanian, perikanan dan industri, terutama Urea. Namun produksi pupuk nitrogen sangat tergantung pada jumlah pasokan dan harga gas bumi. Untuk itu, maka pemerintah perlu mengantisipasi kebutuhan gas bumi untuk pabrik pupuk karena kelangkaan pasokan gas akan menjadi faktor penghambat krusial bagi kelangsungan hidup pabrik pupuk nitrogen. Berkaitan dengan itu, maka kontrak-kontrak penjualan gas oleh produsen gas dengan berbagai pihak, baik di dalam negeri (untuk industri, rumah tangga, dan lain-lain) maupun di luar negeri, maka kecukupan pasokan gas ke pabrik pupuk perlu lebih diutamakan (sebagai kewajiban layanan publik, Public Service Obligation). Jika pasokan gas terganggu, maka produksi pupuk terganggu, sehingga ketahanan pangan nasional terganggu, yang akhirnya berujung pada lemahnya ekonomi nasional. (d) Salah satu faktor penyebab tingginya deviasi harga pembelian pupuk petani dari HET adalah terlalu rendahnya HET itu sendiri sehingga pelaku distribusi pupuk (distributor dan kios) meningkatkan harga jualnya untuk menutup biaya angkutan yang makin mahal dan menambah marjin keuntungan. Faktor lain adalah kurangnya aksesibilitas petani terhadap sumber pupuk. (e) Produksi nasional Urea akan cukup untuk memenuhi permintaan untuk sektor pertanian, sektor perikanan dan sektor industri selama 2007-2012, jika tidak terjadi gejolak pasokan gas bumi untuk industri pupuk. Logikanya, tidak akan terjadi langka pasok pupuk Urea lagi di masa depan. Namun langka pasok di suatu daerah tertentu bisa saja terjadi karena kesalahan dalam menghitung kebutuhan pupuk aktual di setiap daerah, kesalahan dalam proses distribusinya, munculnya spekulan, dan lain-lain. Untuk menghindari terjadinya masalah tersebut, maka kebijakan pemerintah tahun 2007 berupa stok pupuk Urea sebesar 200.000 ton yang siap distribusiksn secara cepat ke berbagai daerah yang mengalami langka pasok Urea perlu dilanjutkan. (f) Sebagian petani menggunakan takaran pupuk hingga melebihi takaran rekomendasi, padahal ini merupakan pemborosan pupuk (inefisiensi biaya xiii

usahatani). Disamping itu, pemakaian pupuk secara berlebihan juga dapat menimbulkan kerusakan struktur tanah, kerusakan lingkungan karena residu pupuk kimia yang melebihi batas, dan kelangkaan pupuk bagi petani lainnya. Oleh karena itu, petani perlu disadarkan agar tidak melebihi batas takaran rekomendasi dalam penggunaan pupuk kimia, dan lebih banyak menggunakan pupuk organik. xiv