VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : PENGGUNAAN ISTISHAB AL-HAL DALAM MENETAPKAN HAK STATUS KEWARISAN MAFQUD MENURUT HANAFIYAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. untuk selamanya. Tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu bisa

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

ORANG HILANG (MAFQUD) (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl)

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

MATERI I PENGANTAR USHUL FIQH TIM KADERISASI

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

BAB I PENDAHULUAN. juga diatur mengenai waris Islam yang di dalamnya membahas mengenai mafqud

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENANGUNG JAWAB ATAS TANGGUNGAN RESIKO IJARAH. perbolehkan penggunaanya, Jelas, mempunyai tujuan dan maksud, yang

BAB II KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM.. yang berarti jual atau menjual. 1. Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

WARIS ISLAM DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

Pendidikan Agama Islam

BAB IV ANALISIS JUAL BELI MESIN RUSAK DENGAN SISTEM BORONGAN DI PASAR LOAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12).

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SELURUH HARTA KEPADA ANAK ANGKAT DI DESA JOGOLOYO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu persoalan berada pada tangan beliau. 2. Rasulullah, penggunaan ijtihad menjadi solusi dalam rangka mencari

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah) maupun hubungan manusia dengan sesama atau lingkungannya (habl min

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV SUMUR DENGAN SISTEM BORONGAN DI DESA KEMANTREN KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri

Kewajiban berdakwah. Dalil Kewajiban Dakwah

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Bab 26 Mengadakan Perjalanan Tentang Masalah Yang Terjadi dan Mengajarkan kepada Keluarganya

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PENGELOLAAN HARTA WAKAF Emas DI DESA NEROH KECAMATAN MODUNG KABUPATEN BANGKALAN

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

BAB IV ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB V PENUTUP. 1. Pendapat ulama Muhammadiyah dan Nahd atul Ulama (NU) di kota. Banjarmasin tentang harta bersama.

HIBAH, FUNGSI DAN KORELASINYA DENGAN KEWARISAN. O l e h : Drs. Dede Ibin, SH. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung)

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGGUNAAN AKAD BMT AMANAH MADINA WARU SIDOARJO. Pembiayaan di BMT Amanah Madina Waru Sidoarajo.

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

BAB IV PENERAPAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN AL QARDH. A. Analisis Penerapan Akta Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Al

HUKUM DAN HAM DALAM ISLAM

Pendidikan Agama Islam

TAFSIR AL QUR AN UL KARIM

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JASA PENGETIKAN SKRIPSI DENGAN SISTEM PAKET DI RENTAL BIECOMP

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH DI BMT MADANI TAMAN SEPANJANG SIDOARJO

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

BAB IV YANG BERHUTANG. dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh

E٤٨٤ J٤٧٧ W F : :

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERUBAHAN HARGA SECARA SEPIHAK DALAM JUAL BELI DAGING SAPI DI PASAR PLOSO JOMBANG

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

Transkripsi:

PENGGUNAAN ISTISHAB AL-HAL DALAM MENETAPKAN HAK STATUS KEWARISAN MAFQUD MENURUT HANAFIYAH * Oleh : Neneng Desi Susanti, M. Sy Abstract : According to scholars hanafiyah based istishhab al-haal set mafqud is still considered to be alive. As status mafqud according Hanafiyyah position is still considered to be alive then he should have the right to inherit and as heir but according hanafiyyah he can not be an heir if one of her relatives died, but he can only be as heir.based on the result of the study concluded that the reason hanafiyyah in practice istishhab al-haal only confirmed the rights that already exist and can not obtain a new right as a syariat laws that have been established in the past on a case remain in force until the are arguments to cancel. Pendahuluan Metode Istishab al-haal digunakan oleh ulama yang menggunakannya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui empat dalil yang disepakati, yaitu Al- Quran, Sunnah, Ijma dan qiyas. Perbedaan pendapat dalam penggunaannya, bukan disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan Istishab al-haal tersebut, tetapi memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri. (Amir Syarifuddin, h. 341). Istishab secara bahasa yaitu membawa serta bersama-sama atau terus bersama-sama. (Nurol Aen Djazuli, h.193). Memang secara umum terdapat perbedaan dikalangan ulama dengan pengamalan prinsip Istishab al-haal, namun terhadap Istishab al-haal untuk mempertahankan hak yang ada padanya, terlihat adanya kesamaan pendapat. Hanafiyah salah satu yang mengamalkan istishab. Dikalangan ulama Hanafiyah, pada dasarnya menolak Istishab itu sebagai salah satu metode dalam ijtihad dan menolak kehujjahannya. Meskinpun ada ulama mutaakhir dari kalangan ulama Hanafiyah ini yang menerimanya, namun terbatas dalam pengukuhkan hal yang telah ada hukumnya. (Abdul Aziz Al-Bukhari, h. 377) Jika dikaitkan dengan status mafqud, menurut ulama Hanafiyah berdasarkan Istishab al-haal menetapkan status mafqud ini tetap dianggap hidup. Mengenai kepemilikan hartanya, mafqud ini tetap menjadi pemilik, sementara itu dalam hal harta karib kerbatnya yang meninggal dunia ia tidak dapat memperoleh harta yang ditinggalkan tersebut, hal ini berdasarkan istishab al-haal menurut ulama Hanafiyah. (Ahmad bin Abi Suhal As- Sarkhisi, h. 225) Mestinya berdasarkan teori istishab alhaal Hanafiyah yang menganggap status mafqud yang dipandang masih hidup tersebut maka ia tetap berhak memperoleh haknya dan ketika salah seorang karib kabatnya meninggal dunia maka mafqud ini juga berhak sebagai ahli waris dari harta warisan dikarenakan kedudukannya masih dianggap hidup. Namun pada aplikasinya mafqud tidak dapat menjadi ahli waris dari kerabatnya yang meninggal dunia sementara ia masih dianggap hidup. Di dalam kitab al-mabsuth dikatakan bahwa, mafqud dalam hal hartnya tidak dibagikan sampai diketahui hidup matinya atau telah meninggal orang yang seusia mafqud, dikarenakan mafqud menurut Hanafiyah berdasarkan istishab al-haal masih hidup maka harta tersebut tetap milik mafqud. (Syeikh Ta ifah Abu ja far bin Jinsin, h.125 ) Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 1

Ulama Fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan jangka waktu seseorang dikatakan mafqud dan bila si mafqud itu bisa dikatakan sudah meninggal dunia. Pertama, Abu Hanifah dan sahabatnya berpendapat seseorang yang mafqud baru ditetapkan secara hukum, yaitu apabila telah meninggal orang seusia mafqud. Terkait dengan usia orang yang meninggal dunia pada umumnya, kelompok ini berpendapat ada usia 60 tahun dan 120 tahun. (Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, h. 148). Sebagaimana status kedudukan mafqud menurut Hanafiyah yang masih dianggap hidup maka seharusnya ia berhak menjadi pewaris dan sebagai ahli waris namun menurut Hanafiyah ia tidak dapat menjadi ahli waris jika salah seorang kerabatnya meninggal dunia dan sementara ia masih dianggap hidup, namun ia hanya dapat sebagai pewaris. Dari penjelasan diatas timbullah pertanyaan apa itu istishab al-haal, apa itu Mafqud dan bagaimana penggunaan istishab al-haal dikalangan Hanafiyah dalam menetapkan status kewarisan Mafqud. Istishab Defenisi istishab al-haal menurut Ahmad bin Abi Suhal As-Sarkhisi dari kalngan ulama Hanafiyah yaitu menetapkan hukum awal terhadap kasus yag terjadi sampai ada dalil yang merobahnya. (Ahmad bin Abi Suhal As-Sarkhisi. H. 225 ). Abdul Wahab Khalaf dalam kitab nya Ilmu Ushul Fiqih memberikan defenisi istishab al-haal yaitu menetapkan hukum terhadap suatu persoalan yang telah ada sebelumnya dan memberlakukan hukum tersebut terhadap persoalan yang terjadi pada saat ini sampai ada dalil yang merobah hukum tersebut. (Abdul Wahab Khalaf Abdul Wahab Khalaf, h. 91) Wabah Zuhaily di dalam kitabnya Ushul Fiqih Islamy juga memberikan defenisi istishab al-haal sebagai menetapkan hukum yang telah ada masa lampau dan tetap diberlakukannya terhadap persoalan yang terjadi saat sekarang sampai ada dalil yang merobahnya. (Wahbah az- Zuhaily. H. 421 ) Imam Sarakhsiy dalam kitabnya Ushul al-sarakhsiy mengatakan istishab adalah menetapkan hukum yang telah ada sampai ada dalil lain yang mengubahnya. Menurut Al- Syaukani dalam Irsyadul al-fukhul defenisi istishab adalah apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang. Menurut Imam al-ghazali, (Abu Hamid al-ghazal. H. 182) mendefenisikan istishab dengan berpegang pada dalil akal atau syara, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukumnya. Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ulama Fiqh diatas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pengertian-pengertian tersebut tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Pada prinsipnya mereka memberikan defenisi istishab yaitu hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut. Bentuk-Bentuk Istishab Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan. Kelima macam istishab itu adalah : (Ahmad Bin Abi Suhal As-Sarkhisi, h. 225) a. Istishab hukum al-ibahah al-ashliyyah Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermamfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memamfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 2

b. Istishab yang menurut akal dan syara hukumnya tetap dan berlangsung terus Ibnu Qayyim al-jauziyyah (ahli ushul fiqh Hanbali), menyebutnya dengan washf al-tsabit li al-hukm hatta yustbita khilafuhu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Misalnya hak milik pada suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi pemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain. Contoh lain hukum wudhu seseorang yang telah dianggap berlangsung terus sampai adanya hal-hal penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhu nya masih ada atau telah batal, maka berdasarkan istishab, wudhu nya itu dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu. c. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan Istishab dengan nash selama tidak ada dalil nask (yang membatalkannya) Istishab bentuk ketiga ini, dari segi esensinya, tidak diperselisihkan para ulama ushul fiqh, akan tetapi dari segi penamaan, terdapat perbedaan para ulama ushul fiqh. Misalnya dalam surat al-baqarah, 2:267, diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam. Kalimat nafkah, seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari sumber daya alam tersebut, menurut kesepakatan para ulama ushul fiqh bersifat umum, baik nafkah wajib itu berupa zakat, nafkah keluarga, maupun kaum kerabat. Kalimat hasil usaha dan hasil eksploitasi bumi dalam ayat inipun bersifat umum, yaitu seluruh jenis hasil usaha dan seluruh jenis yang dieksploitasi dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut Jumhur ahli ushul fiqh, tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan hal seperti ini dinamakan istishab al-haal. d. Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar i Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syar i sebelum datangya syara, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap manusia, sampai datangnya dalil syara yang menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) bahwa ia berhutang kepada penggugat sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini pun diperselisihkan para ulama ushul fiqh. Menurut ulama Hanafiyah, istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah, Syafi iyyah dan Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan ada (datang). e. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma, tetapi keberadaan ijma itu diperselisihkan Istishab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya. Misalnya, para ulama fiqh menetapkan berdasarkan ijma bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Apabila shalatnya selesai ia kerjakan, maka shalatnya dinyatakan sah. Akan tetapi, apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah shalatnya harus dibatalkan untuk kemudian berwudhu atau shalat ia teruskan?. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 3

Menurut ulama Malikiyyah dan Syafi iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada ijma yang menyatakan shalat itu sah apabila sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijma itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali shalatnya. Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Hanabilah, mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayammum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya, untuk kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya itu. Mereka tidak menerima ijma tentang sahnya shalat orang yang bertayammum sebelum melihat air, karena ijma menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air. Kehujjahan Istishab AL-Haal Para ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujaan Istishab ketika tidak ada dalil syara yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi. Pertama, menurut mayoritas mutakallimin ( ahli kalam), Istishab al-haal tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada Istishab al-haal, merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah di tetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlukan dalil yang lain. Istishab al-haal, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada dimasa lampau yang berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini diperbolehkan syara. Kedua, menurut mayoritas ulama hanafiyah, khususnya muta akhirin ( generasi belakangan), Istishab al-haal bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelum nya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Beberapa Aspek Tentang Mafqud a. Pengertian Mafqud Kata mafqud merupakan bentuk isim maf ul dari kata faqada yafqada yang artinya yang hilang atau yang meninggal (Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, hal. 320 ). Menurut A,.W Munawwir : hilang atau kehilangan sesuatu (A.W. Munawwir, hal. 1060 ). Menurut M. Ali al-syabuni: hilang atau kehilangan (M. Ali al-syabuni, hal. 201). b. Menurut Istilah Menurut Syaikh Muhammad Syalthut Mafqud ialah orang hilang yang terputus beritanya serta tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau sudah meninggal. (Muhammad Syalthuk dkk, hal. 117). Menurut Wahbah Zuhaily Mafqud ialah seseorang yang menghilang dari negerinya tanpa diketahui tempatnya serta keadaannya dan masanya telah berlalu, dan tidak diketahui apakah dia masih hidup atau sudah meninggal. Menurut Muhammad Abu Zahra Mafqud ialah seseorang yang hilang, dan tidak diketahui tempatnya, dan tidak pula dikrtahui keberadaannya apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dunia. (Muhammad Abu Zahra, 498 ). Menurut Sayyid Sabiq Mafqud ialah seseorang yang hilang dan terputus beritanya dan tidak diketahui tempatnya serta tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dunia. (Sayyid Sabiq, hal. 452 ). Tenggang Waktu Mafqud Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 4

Kepergian seseorang untuk meninggalkan keluarga, sanak famili tidak lepas dari kedua keadaan. Ada kala kala kepergiannya itu diketahui dan selalu diperoleh informasi tentang keadaannya dan tempat dimana dia berada, dan ada kalanya tidak diketahui dan tidak informasi serta berita tentang kondisi dan tempat meninggalnya. Adapun kepergian seseorang yang tidak ada lagi kabar beritanya tentang keadaannya dapat dilihat dari dua bentuk: 1. Diyakini akan mengalami kesulitan atau tidak selamat karena diketahui keberangkatan itu menghadang bahaya resiko yang besar, seperti diutus kemedan perang atau pergi kesuatu daerah yang sedang terjangkit wabah penyakit berbahaya yang dapat mengancam seluruh jiwa. 2. Diayakini kepergian selamat dan tidak akan menimbulkan dugaan bahwa dia tidak akan kembali atau mengalami musibah yang merenggut nyawanya seperti kepergian untuk berdagang atau pergi menuntut ilmu dan sebagainya.dalam keadaan ini seperti ini kemungkinan untuk kembalinya orang tersebut masih ada. Adapun orang Mafqud diperkirakan selamat, Cuma beritanya yang tidak diketahui, maka ulama tidak berani menetapkan bahwa dia telah meninggal dunia. Sehingga diperlukan waktu untuk menetapkan orang hilang apabila orang yang sebaya dengannya telah meninggal dunia. Untuk menetapkan bahwa orang yang Mafqud itu telah meninggal dunia secara hukum. Menurut pendapat Abu Hanafiyah dan pengikutnya, orang yang hilang tidak dianggap mati kecuali dengan matinya orang sebaya dengannya. Sebagian dari mereka memberikan patokan sampai umur 90 tahun. Ada juga yang menyatakan sampai umur 120 dan 70 tahun. Tiap-tiap ketentuan diatas ditetapkan dengan beberapa pertimbangan angka 70 tahun dipandang sebagai usia normal bagi umat Islam, antara 60 dan 70 tahun, sedangkan patokan 90 sampai 120 tahun dikemukakan sebagai usia maksimal bagi mereka. Sesungguhnya ketentuan wafatnya orang hilang yaitu dengan melihat matinya orang yang sebaya dengan dia, karena sesungguhnya kehidupan orang itu tetap berlanjut dengan ada nya istishab al-hal sampai ada alasan yang menyatakan matinya orang yang sebaya dengan dia, jika terdapat bukti tentang kematian sebelum itu berarti dia tidak mafqud lagi, karena kematiannya sudah terbukti. Dalam hal ini tidak perlu lagi penetapan oleh hakim kecuali jika ada perselisihan mengenai hal ini. (Ibnu Humam, 147 ). Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan sebagai berikut: a. Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan b. Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan c. Hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan. Ketidak bolehan ketiga hal diatas sampai orang yang hilang tersebut diketahui dengan jelas statusnya, yaitu apakah ia dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dan apabila masih diragukan maka statusnya harus dianggap sebagai masih hidup sesuai keadaan semula. Dan dapat ditambahkan bahwa yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah mati hanya lah hakim. (Ahmad Bin as-sarkhisi, h. 124). Adapun yang menjadi persoalan sekarang, sampai kapankah tenggang waktunya yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan seseorang yang hilang tersebut masih dalam keadaan hidup atau sudah mati. Untuk menjawab hal ini para ahli hukum tidak ada persesuaian pendapat, yang pada akhirnya kondisi ini melahirkan beberapa pendapat Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 5

(Muhammad Ali Ash-Shabuni,1998: 236-237) yaitu sebagai berikut: 1. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah mati (pendapat ini diperpegangi oleh ulama Hanafiyah), sedangkan apabila diukur dengan jangka waktu Imam Abu Hanifah mengemukakan harus terlewati 90 tahun. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Syafi iyah. Akan tetapi, penetapan matinya seseorang itu hanya dapat dilakukan oleh keputusan lembaga peradilan. 2. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati tenggang waktu 70 tahun. Menurut riwayat Imam Malik, bahwa apabila ada laki-laki yang hilang di negara Islam dan terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada hakim, dan hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu menunggu selama 4 (empat) tahun, dan kalau waktu empat tahun sudah terlewati, maka istrinya ber-iddah sebagaimana lazimnya seseorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain. Dengan riwayat tersebut berarti seseorang yang hilang dapat dinyatakan mati setelah lewat waktu 4 tahun. 3. Orang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran, atau pesawat udara jatuh dan temannya ada yang selamat) maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama 4 (empat) tahun, jika tidak ada kabar beritanya maka hartanya sudah dapat dibagi, pendapat ini dipegangi oleh ulama-ulama Hanabilah. Apabila kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian (seperti pergi berdagang atau merantau), ulama Hanabilah berbeda pendapat, yaitu : a) Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan b) Diserahkan kepada Ijtijhad hakim (Suparman Usman, Yusuf Somawinata, hal. 143 ) Keputusan seorang hakim tentang kematian mafqud adakalanya : a) Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh Syari at, yang dapat untuk menetapkan suatu ketetapan hukum. Misalnya putusan tersebut berdasarkan persaksian dari orang yang adil lagi terpercaya. Jika kemudian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqud nya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati hakiki sejak diputuskan. b) Berdasarkan suatu keadaan (alamat) yang tidak dapat untuk menetapkan suatu ketetapan hukum, misalnya putusan tersebut berdasarkan kadaluwarsa. (Fatchur Rahman, hal. 507). Tentang kewarisan orang yang hilang hanya terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu : a) Apabila orang yang hilang tersebut menghijab/mendinding ahli waris yang lainnya secara hijab hirman, maka pembagian harta warisan harus ditangguhkan sampai status hukum orang yang hilang tersebut pasti. Misalnya seseorang meninggal dunia dan meninggalkan satu orang saudara laki-laki kandung, seorang saudara perempuan kandung dan seseorang anak laki-laki yang hilang. b) Apabila tidak menghijab ahli waris yang ada, bahkan ia bersekutu untuk mewaris Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 6

bersama ahli waris yang tinggal, mana yang tidak terhalang pembagiannya dapat diberikan bagiannya terlebih dahulu (secara sempurna), sedangkan jika bagiannya tidak sama seandainya orang yang hilang tersebut dalam keadaan hidup dan mati, maka kepadanya diberikan bagian yang terkecil, sedangkan bagi ahli waris yang bagiannya tergantung kepada kematian orang yang hilang, maka bagiannya ditangguhkan. Bagian Harta Waris Bagi Ahli Waris Yang Dianggap Hilang (Mafqud) Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang. Menurut para Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal. Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri. Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur Mafqud. Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain. Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum. Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu: 1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah: "Tsa bitu bil bayyinati katssabinati bil mu'aa yanah" artinya, "yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan". Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqy. 2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa. Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi dan juga menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab: 1) Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan: "Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 7

maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber'iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia..." (HR Bukhari) 2) Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan. 3) Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi "Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun." 4) Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat "situasi" hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas: a. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu disebabkan memungkinkan membawa malapetaka. Dan misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya. b. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihadnya. Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat diperdebatkan (debatable). Pembagian warisan seseorang yang dianggap hilang (Mafqud). Mengenai pembagain warisan mafqud menurut fikh, Muhammad Abul Ula Kholifah mengatakan bahwa ada suatu prinsip dalam pembagian warisan mafqud, yaitu jika dikaitan dengan harta pribadinya, dia dianggap sebagai hidup sampai diketahui atau dinyatakan kematiannya. Jika dikaitkan dengan harta orang lain, dia dianggap wafat, sehingga dengan demikian dia tidak termasuk ahli waris, sampai ada kejelasan statusnya, sudah wafatkah dia atau masih hidup. Atas dasar prinsip tersebut, maka teknis pembagian waris mafqud harus ditempuh melalui dua cara, yaitu: 1. mafqud dianggap masih hidup, sehingga bagiannya sementara ditunda sampai ada kejelasan statusnya; 2. mafqud dianggap sudah wafat, sehingga dengan demikian dia bukan sebagai ahli waris. Karena demikian adanya, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu: Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 8

1. Terhadap ahli waris yang bagiannya tetap sama dalam dua keadaan tersebut, yakni baik mafqud bersangkutan masih hidup ataupun sudah wafat, maka kepadanya diberikan bagian secara penuh. 2. Terhadap ahli waris yang bagiannya berubah dalam salah satu dari dua keadaan dimaksud, maka kepadanya diberikan bagian yang lebih kecil, sedangkan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud bersangkutan ternyata benar-benar masih hidup, maka ia mengambil bagian yang sementara ditunda itu. Sebaliknya, jika ternyata mafqud tersebut benar-benar telah wafat, maka bagian yang sementara ditunda itu diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. 3. Terhadap ahli waris yang belum jelas status kewarisannya, artinya ia berhak mewaris dalam satu cara, tetapi tidak berhak mewaris dalam cara yang lain, maka di sini wajib ditunda bagiannya sampai jelas status mafqud. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Wahbah az-zuhaily yang menyatakan bahwa teknis pembagian kewarisan mafqud itu adalah sebagai berikut: 1. jika dia sebagai ahli waris tunggal, tidak ada ahli waris lain selain dirinya sendiri, maka kewarisan itu ditunda pembagiannya. 2. jika bersama mafqud itu ada ahli waris lain, maka teknis pembagiannya dilakukan dengan dua cara, yaitu: cara pertama, mafqud dianggap sebagai masih hidup; cara kedua, mafqud dianggap sebagai sudah wafat. Kemudian kedua asal maslah dari pembagian tersebut disatukan dalam satu pembagian. Hasilnya, diberikan kepada para ahli waris yang berhak menerimanya, dengan ketentuan: 1. kepada ahli waris yang memperoleh bagian samabesar dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagiannya secara penuh; 2. kepada ahli waris yang memperoleh bagian berbeda dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagian yang lebih kecil, dan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud itu ternyata masih hidup, maka sisa bagian yang sementara ditunda itu menjadi haknya. Menurut as-shobuny, kewarisan mafqud itu ada dua kemungkinan. Pertama, bersama mafqud ada ahli waris lain yang terhijib oleh mafqud bersangkutan. Dalam hal ini, maka pembagian warisan belum bisa dilaksanakan karena musti ditunda. Sebagai contoh adalah X wafat dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari seorang saudara kandung laki-laki, seorang saudara kandung perempuan, dan seorang anak laki-laki mafqud. Di sini, karena anak laki-laki dari X itu menghijab saudara, maka pemagian warisan X terhadap ahli waris dimaksud belum dapat dilaksanakan sampai ada kejelasan status mafqud, apakah dia masih hidup atau sudah wafat. Jika mafqud masih hidup, maka ia sebagai ahli waris tunggal dari X dan oleh karena itu, maka warisan X sepenuhnya jatuh kepada mafqud bersangkutan. Tetapi jika mafqud itu ternyata sudah wafat, maka saudara kandung laki-laki dan perempuan dari X itulah sebagai ahli warisnya, dan mereka berhak atas harta peninggalan X Kedua, bersama mafqud ada ahli waris lain yang sama-sama berhak mewaris. Dalam hal ini, maka pembagian warisan mafqud dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan kemungkinan masih Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 9

hidup dan sudah wafatnya mafqud bersangkutan, dengan catatan bahwa: - kepada ahli waris yang perolehan bagiannya sama, tidak berkurang dalam dua`keadaan, baik mafqud itu masih dianggap hidup ataupun sudah wafat, diberikan bagiannya secara lengkap. - Terhadap ahli waris yang perolehan bagiannnya berbeda antara dua keadaan, yakni dalam hal mafqud dianggap masih hidup dan sudah wafat, diberikan bagian yang terkecil dari dua perolehan dimaksud. - Terhadap ahli waris yang tidak mendapat perolehan bagian, baik dalam hal mafqud dianggap masih hidup ataupun sudah wafat, tidak mendapatkan perolehan. Menurut faraidweb, apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan diantara ahli warisnya ada yang hilang dan tidak dikenal lagi rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan: 1. Ahli waris yang hilang tersebut sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya (yakni termasuk ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat bagian). 2. Ahli waris yang hilang tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan ia sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni termasuk ashhabul furudh). Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan, yakni tidak diberikan kepada ahli waris, untuk sementara hingga ahli waris yang hilang tersebut muncul atau diketahui hidup dan tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah menetapkannya sebagai orang yang telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masingmasing mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya. Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan (yakni keadaan hidup dan matinya) orang yang hilang. Bila ahli waris yang ada, siapa saja di antara mereka yang dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara sempurna. Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi, maka mereka diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun. Permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan, hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi oleh para ahli warisnya? Menurut para ulama, setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia, pada waktu keluarnya penetapan hakim. Dengan demikian, harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisinya, karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya (mati haqiqy) maupun secara hukum (mati hukmy). Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir kembali sudah melampaui 4 Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 10

(empat) tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum 4 (empat) tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan. Alasan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan mafqudnya seseorang : 1. Tidak ada kabar beritanya dan keluarga tidak tahu dimana keberadaannya, sudah diusahakan mencari tahu dimana orang mafqud berada. 2. Menurut aturan hukum islam, keberadaan kabar berita orang mafqud ditunggu antara 4-5 tahun. 3. Jika lewat dari waktu tersebut, maka bisa mengajukan ke pa untuk menetapkan orang mafqud tersebut mati secara hukmy (hukum). 4. Keluarga sudah berusaha untuk mencari informasi keberadaannya serta bisa mengumumkannya melalui media elektronik/ cetak/pihak berwajib. Dasar pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan penetapan bagi yang mafqud adalah : 1. Bukti-bukti berupa keterangan dari keluarga, media cetak, elektronik, dan pihak berwajib bahwa orang mafqud sudah diusahakan mencari keberadaannya. 2. Tenggang waktu menunggu sudah sangat lama. 3. Ada perbuatan hukum yang harus segera keluarga selesaikan, dan perbuatan hukum tersebut menyangkut hak dan kewajiban orang mafqud serta keluarganya. Dalam Hukum Kewarisan Islam, harta orang yang mafqud disisihkan dan diurus oleh ahli warisnya yang lebih dekat hubungannya dengan orang mafqud tersebut atau ahli waris yang dengan suka rela bersedia mengurus sampai si mafqud jelas keberadaannya ditunggu tenggang waktunya 4-5 tahun. setelah itu barulah diputuskan apakah si mafqud mati secara hakiki atau secara hukmy, jika sudah jelas statusnya, maka harta tersebut boleh dibagikan kepada ahli waris lain yang berhak menurut pembagiannya. Maksud dari adanya tenggang waktu menunggu adalah agar ahli waris dapat mencari informasi keberadaannya, serta bisa mengumumkannya melalui media elektronik/cetak/pihak berwajib. Penggunaan Istishhab Terhadap Kewarisan Mafqud Menurut Hanafiyah Terkait dengan proses menggali dan menetapkan suatu hukum seorang mujtahid tentu mempunyai pola pemikiran dan metode tertentu. Dengan memakai suatu metode untuk menetapkan dan mengistinbathkan suatu hukum akan memudahkan bagi seorang mujtahid dalam memakai dan memahami dalil yang terdapat dalam al-quran dan Hadist Rasulullah. Begitu juga halnya dengan Hanafiyah, tentu mempunyai suatu metode istinbath dalam menggali hukum yang terdapat dalam al-quran dan Sunnah. (Abdul Aziz al-bukhari, h. 377 ). Di dalam menetapkan hukum ulama Hanafiyah juga menggunakan metode istishab al-haal. Namun kalangan ulama Hanafiyah dalam menggunakan istishab al-haal hanya sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dimana memberlakukan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau terhadap kasus yang terjadi pada masa sekarang. Istishab al-haal termasuk dalil hukum Islam yang tidak disepakati penggunaannya dikalangan ulama ushul. Metode Istishab alhaal digunakan oleh ulama yang menggunakannya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui 4 dalil hukum yang disepakati, yaitu al-quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam penggunaannya, bukan disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan Istishab al-haal tersebut, tetapi memang perbedaan Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 11

dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri. Menurut sebagian ulama Haafiyah pada dasarnya menolak menempatkan Istishab alhaal sebagai salah satu metode dalam berijtihad dan menolak kehujjahannya. Adapun ulama Hanafiyah yang menolak dalam menggunakan Istishab seperti Imam Abu Zayid Dabusi. Abu aziz al-bukhari, Kasyf al-asrar (ahli ushul fiqh Hanafi) mengatakan : bahwa berhujjah dengan istishab seperti beramal tanpa dalil. Beliau beralasan istishab al-haal tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Dengan demikian juga untuk menetapkan hukum yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Menurut mereka, mendasarkan hukum pada istishab al-haal, merupakan penetapan hukum tanpa dalil atau berhujjah dengan istishab al-haal seperti beramal tanpa dalil. Karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil namun untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain. istishab menurut mereka bukan dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada dimasa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil, hal ini tidak diboleh dalam syara. Meskipun ada ulama muta akhhirin dari kalangan ulama Hanafiyah ini yang menerimanya, namun terbatas dalam mengukuhkan hal yang telah ada hukumnya. Adapun yang dimaksud dengan ulama muta akhkhirin dalam mazhab ini yaitu shadru al-islam dan Abi Yasir al-bazdawi. Menurut mereka, istishab al-haal bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada, hanya dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hal yang ada hukumnya dan tidak dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hal baru yang sebelumnya tidak ada hukumnya. Namun demikian, penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, istishab al-haal hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul. Inilah yang dimaksud ulama Hanafiyah dengan istishab hujjah li al-daf i la li al istbat. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Kasyf asrar yang ditulis oleh Abdul Aziz al-bukhari (Abdul Aziz al-bukhari, h. 378 ). Sungguh ulama Hanafiyah berhujjah dengan Istishab hanya untuk mempertahankan hak yang ada bukan untuk menetapkan hak akan ada. Penggunaan istishab al-haal ini terlihat pengaruhnya dalam kasus tentang seseorang yang hilang dan tidak diketahui kabarnya lagi, apakah masih hidup atau sudah mati (keadaan ini disebut mafqud). Untuk menetapkan hukum terhadap orang yang hilang tersebut, diperlukan metode istishab, sehingga sifat hidup (keberadaan) orang tersebut sebelum hilang tetap diakui. Oleh karena itu harta yang ditinggalkan orang yang hilang itu tidak boleh dibagi sebagai harta warisan, karena pemilik harta itu dinyatakan masih hidup dengan berpegang pada keberadaanya di masa lalu (sebelum hilang). Dalam kasus ini jumhur ulama dan ulama Hanafiyah sama pendapatnya, karena istishab al-haal disini adalah untuk mempertahankan hak yang telah ada (untuk mempertahankan). Jika orang yang hilang itu adalah salah seorang dari keluarga orang mati yang meninggalkan harta, apakah orang hilang itu berhak menjadi ahli waris atau tidak. Menurut Abu Yusuf, orang yang hilang tersebut tidak Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 12

dapat menerima harta dari karib kerabatnya karena hilangnya seseorang memberikan ketidakpastian hidup atau matinya. Kemudian penggunaaan istishab dikalangan Hanafiyah hanya dalam mempertahankan hak yang telah ada bukan untuk menetapkan hak yang akan datang. Dengan demikian, orang yang hilang itu tidak berhak menerima harta warisan.jika harta warisannya dibagi dikalangan ahli waris yang ada di tempat, dan orang yang hilang (mafqud) itu keberadaannya tidak diperhitungkan. Ulama Hanafiyah juga menegaskan bahwa orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang hilang itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishab al-haal bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah, dan wakaf). (Ibnu Humam, h.150 ) boleh dibagikan. Hal ini berlangsung sampai ada bukti yang menyatakan mafqud ini telah meninggal. 2. Alasan pengamalan istishab al-haal hanya mengukuhkan hak yang telah ada adalah karena suatu hukum syariat yang telah ditetapkan pada masa lalu terhadap suatu kasus atau peristiwa tetap berlaku terus sampai ada dalil yang membatalkan atau merubahnya. Sedangkan bagi kasus yang akan ada tidak dapat diberlakukan istishab al-haal disebabkan untuk menetapkan hukum yang akan ada harus pula berdasarkan dalil yang lebih kuat, oleh karena itu sekalupun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk menetapkan hak yang akan ada diperlukan dalil yang lebih kuat, karena dalam peralihan atau perolehan terkait dengan kewarisan diatas dalam dalil yang tertera dalam surat An-Nisa (5): 11-12. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa akibat penggunaan istishab al-haal menurut Hanafiyah dan alasannya pengamalan istishab al-haal hanya mengukuhkan hak yang telah ada namun tidak dapat memperoleh hak baru yaitu : 1. Akibat penggunaan istishab al-haal menurut Hanafiyah, terkaid dengan kasus mafqud dengan menggunakan istishab alhaal ini, sifat hidup (keberadaan) orang tersebut sebelum hilang tetap diakui. Oleh karena itu, hak yang telah ada padanya tetap berlaku. Mengenai status pernikahannya, maka istrinya tetap menjadi miliknya. Sementara dalam hartanya tetap menjadi miliknya dan tidak Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 13

Daftar Pusaka Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001 Djazuli, Nurol Aen Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000 Abdul Aziz Al-Bukhari, Kasyf al-asrar, Beirut: Dar al-fikr, 1982 Ahmad bin Abi Suhal As-Sarkhisi, Ushul Sarakhsiy, Beirut: Dar al-kutub Ilmiah, 1990 Abu ja far, Syeikh Ta ifah bin Jinsin, Al Mabsuth, Beirut: Dar al-fikr, juz III. 1388 H Muhammad, Imam Kamaluddin bin Abdul Wahid, Fathul Qadhir, Beirut: Dar al- Fikr, juz VI. 1990 Khalaf, Wahab, Ilmu Ushul fiqh, Kairo: Dar alulum, 1978 Az- Zuhaily, Wahbah, fiqh al-islamy wa Adilatuh, Beirut : dar al-firk, 1986 Abu Hamid al-ghazali, Syifa al-ghazali fi Bayan al-syabah wa al-mukhil wa Masalik al-ta lil, tahqiq Ahmad alkabisi, Bahgdad: Mathba ah al-irsyad, 1971 Yunus, Muhammad, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penterjemah Penafsiran al- Qur an, 1973 A.W. Munawwir, Kamus al-munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1977 al-syabuni, M. Ali, Al-Mawarist Fi Syari ah al- Islam, Al-Jami ah Ummul Qura Makkatul Al-Mukarramah Syalthuk, Muhammad dkk, Muqaranah almazahib fil al-fiqh, Kairo: Muhammad Ali-Sabih, 1953 Abu Zahra, Muhammad, Ahwal Asy- Syakhsyiyah, Kairo: Dar al-fikr, al Arabiy, 1957 Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Beirut: Dar al- Fikr, 1983 Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997 Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 14