Dinamika Konflik Kekerasan Pasca Orde Baru

dokumen-dokumen yang mirip
PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya,

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Igneus Alganih, 2014 Konflik Poso (Kajian Historis Tahun )

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia.kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP) JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan munculnya perubahan mendasar

BAB I PENDAHULUAN. partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat

BAB I PENDAHULUAN. berposisi di baris depan, sebagai komunitas sosial yang memotori perwujudan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang

Integrasi Sosial Yang Dibangun GPIB Pniel Pasca Konflik Sosial di Pasuruan, Jawa Timur

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehadiran Partai Politik Lokal di Aceh merupakan suatu bukti

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

Policy Brief. Pola-pola Baru Kekerasan di Indonesia: Data Awal dari Enam Provinsi dengan Pengalaman Konflik Berskala Tinggi

I.PENDAHULUAN. telah disaksikan tata pola penguasa negara. Jika dilihat kembali awal berdirinya Orde

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi

BAB I PENDAHULUAN. adalah kawasan yang memiliki jumlah perang sipil yang cukup banyak. Bahkan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

Lembar Fakta Nasional. Mewaspadai Ijon Politik Pertambangan pada Pemilukada Serentak 2017

BAB I PENDAHULUAN. menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan demokrasi di

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA INDEKS KERAWANAN PILKADA 2015

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria,

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL

Pendekatan Peka Konflik (Conflict Sensitive Approach) Pendekatan Pembangunan Peka Konflik (Conflict Sensitive Development) Pengarusutamaan Perdamaian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam

I. PENDAHULUAN. belum bisa diwujudkan dalam setiap rezim pemerintahan. Isu pembangunan

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

Workshop & Pelatihan Advokasi Reformasi Sektor Keamanan untuk Ahli Sipil

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah nasional Indonesia tidak lepas dari pemerintahan Soekarno dan Soeharto, seperti

BAB V KESIMPULAN. diskriminasi antar etnis yang telah berlangsung sejak lama merupakan salah

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (JANUARI-APRIL 2014) DAN KEKERASAN PEMILU LEGISLATIF 2014

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia

Laporan Hasil Pemantauan Konflik di Aceh 1 31 Maret 2006 World Bank/DSF

BAB 2 PENINGKATAN RASA PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB I PENDAHULUAN. 1 Tuhana Andrianto, Mengapa Papua Bergolak, (Yogyakarta: Gama Global Media, 2001), Hlm

BAB V KESIMPULAN. isu maupun stereotip yang datang dari berbagai arah untuk mencoba membuat

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara.

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

BAB I PENDAHULUAN. politik yang sama sekali tidak demokratis. Di dalam masa transisi menuju

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer.

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu

Online PPI Belanda JONG JONG. No.6/Mei Tahun III. Hari Bumi, Hari Kita. tahun. PPI Belanda RETNO MARSUDI: Keluarga Adalah Surga Saya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia hendaknya kita cermati sebagai

Asesmen Gender Indonesia

Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya

BAB I PENDAHULUAN. berkuasa selama 32 tahun penuh dengan kejayaan pembangunan kemudian jatuh

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERTANYAAN KODING DATA SISTEM NASIONAL PEMANTAUAN KEKERASAN (SNPK) KOLOM PERTANYAAN (PILIHAN) JAWABAN

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA

Transkripsi:

Pengantar Redaksi Dinamika Konflik Kekerasan Pasca Orde Baru Erupsi konflik kekerasan pada awal kejatuhan rezim Soeharto menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan marak terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Serangkaian kekerasan komunal berkepanjangan yang bernuansa etnis dan agama muncul di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Di samping itu, aksi-aksi kekerasan atas nama pro kemerdekaan di Aceh dan Papua mengalami peningkatan tajam, terlebih ketika negara merespon dengan operasi militer yang masif. Gejolak politik keamanan di provinsi Timor Timur juga menggeliat dan kelompok pro kemerdekaan semakin progresif menuntut pemisahan diri dari Indonesia. Rentetan kekerasan tersebut berdasarkan data SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan) di tujuh wilayah (Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) telah mengakibatkan 16.113 orang kehilangan nyawa dan ribuan keluarga harus mengungsi. Periode tersebut (1998-2004) merupakan pengalaman kelam dalam catatan sejarah Indonesia. Maraknya konflik kekerasan merupakan resiko fase awal pemerintahan menuju transisi demokrasi, terlebih ketika para elite terancam oleh perubahan politik (Snyder 2000:310). Jacques Bertrand (2010:86) menganggap bahwa periode awal transisi di Indonesia adalah titik kritis (critical junctures). Momen perubahan dari rezim otoriter menjadi demokratis sangat rentan dengan beragam gejolak. Terlebih dengan bangunan institusi demokrasi yang masih rapuh, konflik kekerasan di tengah masyarakat menjadi fenomena yang tidak terelakan. Di sisi lain, kelompok-kelompok masyarakat memanfaatkan posisi negara yang lemah dengan melakukan berbagai upaya kekerasan terhadap kelompok lain atas nama marjinalisasi selama rezim Orde Baru (Klinken 2007:64-71). Ini yang disebutkan oleh Francis Stewart (2002) sebagai faktor ketidaksetaraan horizontal (horizontal inequality). Pada awal transisi demokrasi di Indonesia kasus-kasus kekerasan, khususnya konflik horizontal, turut dipengaruhi oleh adanya hubungan yang tidak setara antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat.

iv Delapan tahun proses transisi demokrasi berjalan, fenomena konflik kekerasan mengalami masa-masa krusial yakni upaya damai. Beberapa kalangan menganggap konflik kekerasan tidak akan dapat diselesaikan dan akan menggiring Indonesia terpecah belah menjadi negara-negara otonom. Akan tetapi, melalui kolaborasi antara pemerintah, pihakpihak yang berkonflik, serta para pemangku kepentingan lain, konflik kekerasan yang berkepanjangan dapat dihentikan dan diselesaikan. Serangkaian upaya damai (peace agreement) dilakukan di wilayahwilayah konflik. Perjanjian Malino 1 dan 2 merupakan kesepakatan damai yang menghentikan aksi-aksi kekerasan di Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah), Maluku, dan Maluku Utara. Selain itu, melalui MoU Helsinki pemerintah dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sepakat untuk menghentikan konflik yang telah terjadi puluhan tahun dan lebih memilih untuk menyelesaikan persoalan dengan cara-cara yang lebih demokratis (non tindakan militer). Setelah melewati pengalaman kelam di awal transisi demokrasi, penting melihat bagaimana dinamika konflik kekerasan saat ini di Indonesia, terlebih ketika fondasi demokrasi perlahan mulai terbangun dan berjalan. Beberapa sarjana sosial melihat bahwa saat ini Indonesia telah masuk dalam tahapan konsolidasi demokrasi. Bahkan, pandangan optimis diutarakan oleh Amitav Acharya (2014:17-19) yang menyebutkan bahwa Indonesia saat ini merupakan negara demokrasi yang paling strategis di kawasan Asia. Ia mengatakan bahwa pemerintahan SBY selama sepuluh tahun telah berhasil menjalankan demokrasi, pembangunan, dan stablitas secara bersamaan yang pada akhirnya membentuk lingkaran kebijakan (virtuous circle). Melalui hal tersebut, Acharya melihat bahwa Indonesia telah keluar dari keterpurukan di awal masa transisi. Namun, pandangan optimis para sarjana sosial terhadap kemajuan demokrasi Indonesia patut dilekatkan dengan dinamika konflik kekerasan saat ini. Pandangan positif tersebut seakan meninggalkan adanya fenomena pergeseran dalam tren dan pola konflik kekerasan yang berjalan bersamaan dengan laju gerak demokrasi dan pembangunan di Indonesia. Hal ini penting diperhatikan karena kecenderungan di negara-negara yang memiliki pengalaman konflik kekerasan berkepanjangan akan menghadapi siklus berulangnya kekerasan (The World Development Report 2011). Collier, Hoeffler, dan Soderbom (2006) juga menyebutkan bahwa masyarakat yang pernah mengalami konflik kekerasan berkepanjangan cenderung memiliki resiko

mengalami insiden-insiden kekerasan kembali. Dengan demikian, patut dicermati beragam potensi konflik kekerasan di Indonesia guna menghindari berulangnya pengalaman masa lalu. Selanjutnya, tim peneliti The Habibie Center (THC) sejak tahun 2012 hingga saat ini fokus mengamati dinamika konflik kekerasan di Indonesia. Dari beragam kajian yang dihasilkan, secara umum konflik kekerasan mengalami penurunan dari segi insiden dan dampak kekerasan sejak tahun 2005 (Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC 2013). Namun, konflik kekerasan mulai kembali mengalami tren peningkatan secara perlahan. Dari hasil kajian tersebut diketahui bahwa saat ini tidak terdapat konflik kekerasan berkepanjangan dalam skala masif. Akan tetapi, insiden-insiden konflik kekerasan menyebar dalam skala dan frekuensi yang lebih kecil, tidak lagi terkonsentrasi di beberapa wilayah seperti di awal masa transisi. Tak hanya itu, pola kekerasan cenderung lebih sporadis dan terlokalisasi di wilayah tertentu. Saat ini, hal yang patut diperhatikan adalah fenomena konflik kekerasan kerap terjadi di wilayah-wilayah urban dan tidak terkonsentrasi di pedesaan atau wilayah terpencil. Selain tren dan pola, saat ini hasil kajian tim peneliti THC mencermati adanya perubahan dan pergeseran jenis konflik kekerasan. Terdapat lima jenis konflik kekerasan yang cukup dominan dalam sepuluh tahun terakhir (2005-2014) di Indonesia. Pertama, konflik kekerasan terkait isu-isu politik lokal. Gairah demokrasi lokal sebagai salah satu agenda reformasi disaat bersamaan menciptakan potensi konflik kekerasan. Ini dapat dilihat sejak pelaksanaan Pilkada dimulai tahun 2005, rentetan insiden kekerasan seringkali terjadi dalam peristiwa politik tersebut. Hasil kajian THC mencatat bahwa selama 10 tahun pelaksanaan Pilkada terjadi 1.323 insiden kekerasan di 16 wilayah di Indonesia (Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC, 2015). Kekerasan didominasi oleh insiden-insiden dalam bentuk perusakan terhadap alat-alat peraga dan posko-posko tim kampanye kandidat. Faktor elite yang terlihat belum memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi turut berkontribusi terhadap maraknya kekerasan dalam pelaksanaan Pilkada. Tidak hanya kapasitas lembaga penyelenggara yang masih rentan terhadap kooptasi calon kepala daerah atau partai politik yang turut memicu munculnya kekerasan dalam pelaksanaan Pilkada. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan demokrasi lokal yang damai menjadi salah satu tantangan penting. v

vi Kedua, konflik kekerasan terkait isu sumber daya. Pasca reformasi, konflik kekerasan terkait sumber daya, khususnya lahan, menjadi salah satu persoalan yang krusial di Indonesia. Dari hasil kajian THC, insiden kekerasan terkait persoalan tersebut mengalami peningkatan yang signifikan (Kajian Perdamaian dan Kebijakan 2013). Konflik tersebut menyebar di beberapa wilayah, seperti Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, NTT, Maluku, dan Papua. Konflik perebutan lahan antara negara dan masyarakat masih menjadi persoalan yang kerap memicu insiden kekerasan. Akan tetapi, muncul varian konflik yang selama masa Orde Baru seakan tidak terpublikasi, yakni konflik kekerasan terkait isu lahan yang melibatkan perusahaan dan masyarakat. Jenis konflik ini mulai mengemuka ketika proses desentralisasi dilakukan di tingkat lokal. Ketegangan muncul ketika masyarakat menganggap perusahaan merebut lahan mereka, sedangkan pihak perusahaan merespon dengan melakukan reaksi keras, bahkan mengunakan jasa keamanan. Selain itu, konflik lahan seringkali terjadi antara masyarakat dan masyarakat. Umumnya, persoalan tersebut muncul akibat carut-marut tata kelola lahan di Indonesia, seperti pendataan, sertifikasi, dan batas lahan. Ketiga, konflik kekerasan terkait isu-isu identitas. Berbeda dengan di awal masa transisi, saat ini konflik terkait isu-isu identitas yang dominan adalah kekerasan antar kampung yang cenderung tidak dipengaruhi oleh isu etnik maupun agama. Fenomena ini cukup menarik karena seringkali terjadi akibat dipicu persoalan-persoalan sepele (seperti mabuk, pelecehan seksual, kriminalitas, dan lainnya). Jika dilihat lebih jauh, ketidaksetaraan horizontal menjadi akar permasalahan yang melekat dalam kasus-kasus kekerasan antar kampung. Pada beberapa kasus, persoalan intoleransi antar komunitas agama juga mengemuka dalam sepuluh tahun terakhir. Meskipun tidak terjadi secara masif dan frekuensi insiden yang kecil, namun kasus-kasus kekerasan terkait isu intoleransi masih dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia. Hal yang patut diperhatikan adalah kasus tersebut tidak terjadi di wilayah yang pernah mengalami konflik kekerasan bernuansa agama, seperti Poso dan Ambon. Namun, kasuskasus tersebut muncul di wilayah lain yang bahkan selama ini bukan menjadi hotspot terkait isu-isu intoleransi. Pada tahun 2015, dua kasus pembakaran tempat ibadah telah terjadi di Aceh dan Papua. Isu intoleransi patut menjadi perhatian semua pihak mengingat, persoalan tersebut dapat mengakibatkan collateral damage.

vii Keempat, kekerasan terkait separatisme di Papua. Persoalan ini memang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam upaya menyelesaikan aksi-aksi separatisme di Papua. Sejak awal transisi demokrasi hingga saat ini, masyarakat Papua masih dihantui oleh insiden-insiden separatisme. Bahkan sepanjang tahun 2014, kekerasan terkait separatisme di Papua terjadi sebanyak 42 insiden yang mengakibatkan 34 tewas, 37 cedera, dan enam bangunan rusak. Jika dibandingkan tahun 2013, insiden kekerasan terkait separatisme meningkat sekitar 31% dan berdampak korban tewas meningkat sekitar 21%. Dari hasil kajian tim peneliti THC, kekerasan terkait separatisme tidak melulu terkonsentrasi di hutan (Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC 2014). Saat ini, wilayah perkotaan di Papua menjadi salah satu lokasi yang kerap terjadi insiden kekerasan terkait separatisme. Dinamika kekerasan ini penting dicermati oleh seluruh pemangku kepentingan baik di level nasional maupun lokal. Kelima, kekerasan di perkotaan (urban violence). Hasil kajian tim peneliti THC menunjukan bahwa persoalan ini mulai terekam sejak tahun 2005 dan mengalami peningkatan secara perlahan di setiap tahunnya (Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC 2015). Fenomena ini kerap luput dari pengamatan ataupun analisis para peneliti maupun penggiat perdamaian. Kekerasan di perkotaan muncul akibat pembangunan perkotaan yang semakin masif di Indonesia yang membuka ruang munculnya insiden-insiden kekerasan. Biasanya, kekerasan di perkotaan terjadi secara spontan serta tidak direncanakan sebelumnya. Kekerasan yang muncul seringkali merupakan penghakiman massal terhadap para pelaku pencurian. Tidak hanya itu, insiden-insiden kekerasan juga kerap dipicu oleh ketersinggungan pelaku kekerasan. Meskipun, kekerasan di perkotaan kerap dianggap bukan merupakan persoalan serius karena pemicu yang relatif remehtemeh dan terjadi dalam skala yang kecil, namun jika diakumalasi akan diketahui dampak korban tewas akibat kekerasan tersebut cenderung besar. Akibat yang cukup serius juga dapat muncul jika kekerasan secara terus-menerus terjadi. Jika dilihat lebih jauh, konflik kekerasan di Indonesia pasca Orde Baru berjalan sangat dinamis mengikuti laju pembangunan, demokrasi, dan dinamika masyarakat. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah dan juga para sarjana sosial yang fokus terhadap isu-isu tersebut. SOPAR PERANTO Peneliti Konflik Kekerasan The Habibie Center

viii DAFTAR PUSTAKA Acharya, Amitav. 2004. Indonesia Matters: Asia s Emerging Democratic Power. Singapore: World Scientific, Co, Pte, Ltd. Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Klinken, Gerry van. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars. London: Routledge. Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict. New York, London: W.W. Norton & Company. Stewart, Francis. 2002. Horizontal Inequalities: A neglected Dimension of Development. QEH Working Paper Series No.81. Oxford: Queen Elizabeth House. The Habibie Center. 2013. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2013) dan Kekerasan dalam Pemilukada. Edisi 04/Agustus 2013. ------. 2013. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus 2013) dan Konflik Lahan Antar Warga di Provinsi NTT. Edisi 05/November 2014. ------. 2014. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember 2013) dan Konflik Antar Kelompok di Indonesia. Edisi 06/Maret 2014. ------. 2015. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember 2014) dan Kekerasan Rutin dan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Edisi 09/April 2015. ------. 2015. Kajian Perdamaian dan Kebijakan: Potensi dan Tantangan Konflik Kekerasan dalam Pilkada Serentak 2015. Edisi 10/November 2015. World Bank. 2011. World Development Report 2011: Conflict, Security, and Development. Washington, DC: Author.