Oleh. Yenni Angraini (G )

dokumen-dokumen yang mirip
Resume 2 : Analysis of sex sequences by means of generalized linear mixed models. Yenni Angraini G

Analysis of sex sequences by means of generalized linear mixed models. Roberto Ambrosini, Diego Rubolini, Nicola Saino. Yenni Angraini G

Oleh. Yenni Angraini (G )

PEMODELAN DENGAN REGRESI LOGISTIK. Secara umum, kedua hasil dilambangkan dengan (sukses) dan (gagal)

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

Kelas 2. Kelas 1 Mahasiswa. Mahasiswa. Gambar 1 Struktur data kelompok dalam pengukuran berulang pada data Metode Statistika

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMODELAN REGRESI TIGA LEVEL PADA DATA PENGAMATAN BERULANG. Indahwati, Yenni Angraeni, Tri Wuri Sastuti

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah telur Itik Rambon dan

Masalah Overdispersi dalam Model Regresi Logistik Multinomial

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.


APLIKASI REGRESI DUA LEVEL TERHADAP NILAI AKHIR METODE STATISTIKA. Indahwati, Dian Kusumaningrum, Wiwid Widiyani

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

Kucing Peliharaan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III MODEL GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC (GWLRS)

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

METODE PENELITIAN. wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

Generalized Ordinal Logistic Regression Model pada Pemodelan Data Nilai Pesantren Mahasiswa Baru FMIPA Universitas Islam Bandung Tahun 2017

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

METODE PENELITIAN. untuk menjawab tujuan penelitian berdasarkan data yang diperoleh dan dianalisis.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Others Institution Credit Job Code

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

Lampiran 2. Fungsi dari masing-masing pernyataan yang digunakan dalam PROC MIXED

Rancangan Persilangan 2 Pengertian dan kegunaan, Tujuan Bahan dan pelaksanaan Perancangan bagan persilangan Penempatan lapang Analisis ragam rancangan

TAKE HOME UAS ANALISIS STATISTIKA (STK511) Oleh: Nuralim Pasisingi C Program Studi: SDP

3. METODE PENELITIAN

Lampiran 2. Diagram aliran data level 2 proses 2 (Manajemen Data)

E-Jurnal Matematika Vol. 3 (3), Agustus 2014, pp ISSN:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. level, model regresi tiga level, penduga koefisien korelasi intraclass, pendugaan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

3. METODE PENELITIAN

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dengan kendala menjadi model penuh tanpa kendala,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

IV. METODE PENELITIAN

PERBANDINGAN GLMM UNIVARIAT, BIVARIAT, DAN REDUKSI DENGAN PCA PADA DATA LONGITUDINAL DENGAN RESPON BIVARIAT

III. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

Oleh: Siti Roudlotul Hikamah 1 ABSTRAK

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam proses penelitian untuk mengkaji karakteristik penduga GMM pada data

PENDAHULUAN. Beberapa jenis ayam broiler parent stock yang mempunyai sifat yang baik dan

TUGAS AKHIR. Oleh Erdina Sri Febriyanti NRP Dosen Pembimbing Dr. Erna Apriliani, M.Si Drs. Setijo Winarko, M.Si

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Algoritma Cepat Penduga GS

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

E-Jurnal Matematika Vol. 5 (4), November 2016, pp ISSN:

PENGARUH MIXED DISTRIBUTION PADA PENDEKATAN QUASI-LIKELIHOOD DALAM MODEL LINEAR 1)

BAB 2 LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

IV. BAHAN DAN METODE

Regresi Logistik Nominal dengan Fungsi Hubung CLOGLOG

7. PEMBAHASAN UMUM. Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des. Gambar 21 Ukuran testis walet linchi selama 12 bulan

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Suara sah calon nomor urut 4 Jumlah Rata-Rata Ragam

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

Penerapan Teknik Serangga Steril Dengan Model Logistik. Dalam Pemberantasan Nyamuk Aedes Aegypti. Nida Sri Utami

BAB III METODE PENELITIAN

3.7 Further Results and Technical Notes. Yenni Angraini-G

TEKNIK PRODUKSI INDUK BETINA IKAN NILA. T. Yuniarti, Sofi Hanif, Teguh Prayoga, Suroso

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

Resume Regresi Linear dan Korelasi

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. wisata tirta. Lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

PEMODELAN REGRESI TIGA LEVEL PADA DATA PENGAMATAN BERULANG (Studi Kasus: Nilai Capaian Mahasiswa dalam Mata Kuliah Metode Statistika Tahun 2008/2009)

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

BAB V PEMBAHASAN. A. Pengaruh Lama Kopulasi Terhadap Jumlah Keturunan F 1 Lalat Buah

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

PENDUGAAN NILAI PEMULIAAN PUYUH PEJANTAN BERDASARKAN BOBOT BADAN KETURUNANNYA PADA PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAB VI Pembahasan Perbandingan metode pendugaan langsung dan tak langsung untuk pendugaan area kecil melalui pendekatan Bayes

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab III. Hasil dan Pembahasan

PEMODELAN REGRESI 2-LEVEL DENGAN METODE ITERATIVE GENERALIZED LEAST SQUARE (IGLS) (Studi Kasus: Tingkat pendidikan Anak di Kabupaten Semarang)

PENGARUH JUMLAH TELUR TERHADAP BOBOT TELUR, LAMA MENGERAM, FERTILITAS SERTA DAYA TETAS TELUR BURUNG KENARI

Deskripsi Mentimun Hibrida Varietas MAGI F M. Bentuk penampang melintang batang : segi empat

LANDASAN TEORI. Dalam proses penelitian pendugaan parameter dari suatu distribusi diperlukan

Metode Statistika. Statistika Inferensia: Pendugaan Parameter (Selang Kepercayaan)

MODEL SPASIAL BAYES DALAM PENDUGAAN AREA KECIL DENGAN PEUBAH RESPON BINER

Transkripsi:

Tugas 4 Analisis Data Lanjutan Resume 2: Analysis of sex sequences by means of generalized linear mixed models Roberto Ambrosini, Diego Rubolini, Nicola Saino Oleh Yenni Angraini (G161150051) SEKOLAH PASCASARJANA 2016

Resume Jurnal : Analysis of sex sequences by means of generalized linear mixed models Roberto Ambrosini, Diego Rubolini, Nicola Saino Eksplorasi data simulasi Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan urutan bertelur meningkat sepanjang urutan bertelur. Begitu juga dengan proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan jenis kelamin sebelumnya atau dengan kata lain peluang telur menetas sebagai jantan lebih besar dari pada betina. Gambar 2 menampilkan logit proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan urutan bertelur dan logit proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan jenis kelamin sebelumnya, mendukung hasil yang diperoleh pada Gambar 1. Secara keseluruhan hasil eksplorasi ini mengindikasikan adanya pengaruh urutan telur dan pengaruh JK sebelumnya. Gambar 1. Proporsi telur menetas sebagai jantan untuk data simulasi Gambar 2. Logit proporsi telur menetas sebagai jantan untuk data simulasi Selanjutnya akan dilakukan pembahasan per model untuk data simulasi. Model H0 yang mengasumsikan tidak ada pengaruh dari urutan dan pengaruh jenis kelamin telur sebelumnya serta urutan Jenis kelamin telur dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada seluruh clutch (between clutch). Pada model ini diperoleh ragam intersep acak (1.154) < ragam sisaan ( π2 3 = 1

3.29) atau dengan kata lain hampir semua keragaman terjadi dalam clutch. Padahal pada kenyataannya antar clutch sangat bervariasi, karena jumlah telur jantan sangat dipengaruhi oleh kondisi fitalitas induk betina. Sebagai alternatif digunakan uji likelihood, hasilnya menunjukkan adanya keragaman yang tinggi pada peluang telur menetas menjadi jantan antar clutch. Selang kepercayaan 95 % untuk pengaruh tetap (b 0 ) pada model ini yaitu sebesar 0.74 ± 0.24 SE. Artinya proporsi telur menetas sebagai jantan lebih tinggi dari pada menetas sebagai betina. Sementara penduga bagi P i : 0.68 ± 0.05 SE dan selang kepercayaan 95% untuk peluang telur menetas sebagai jantan sebesar 0.53 sampai dengan 0.77. Model H1 mengasumsikan tidak ada pengaruh dari urutan namun diasumsikan pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya ada dan konstan. Perubahan peluang telur ke-i berjenis kelamin jantan (P i ) tergantung pada jenis kelamin telur sebelumnya. Hasil dari model H1 diperoleh tidak adanya keragaman acak antar clutch (ragam intersep acak = 0). Hal ini terjadi karena dalam membangkitkan data, tidak adanya keragaman antar clutch sebagai pengaruh jenis kelamin sebelumnya. Selain itu model ini menyumbang mekanisme yang menghasilkan keragaman dalam jenis kelamin telur. Uji signifikansi untuk pengaruh acak tidak bisa dihitung karena ragam dari pengaruh acak = 0. Keragaman acak pada H1 menurun sangat besar dibandingkan dengan H0, menunjukkan tidak adanya perubahan peluang sepanjang urutan bertelur ketika pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya masuk ke dalam model. Peubah prevsex nyata pada model ini, sehingga dilakukan perhitungan perubahan peluang pada setiap urutan bertelur. Hasilnya diperoleh sebagai berikut : SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.54 ± 0. 07 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada berikutnya 0. 68 ± 0.05 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur berikutnya jika telur sebelumnya adalah betina 0.47 ± 0.08 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur berikutnya jika telur sebelumnya adalah jantan 0.84 ± 0.05 SE Terlihat bahwa peluang telur menetas sebagai jantan lebih besar dari pada jenis kelamin betina pada urutan berikutnya. Begitu juga dengan peluang telur menetas sebagai jantan jika telur sebelumnya adalah jantan. Model H2 mengasumsikan pengaruh dari urutan bersifat linear namun tidak ada pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya dan perubahan peluang telur ke-i berjenis kelamin jantan (P i ) linear. Hasil dari model ini menunjukkan adanya pengaruh keragaman acak yang artinya pola alokasi jenis kelamin berbeda antar clutch dan didukung dengan hasil uji likelihood nyata ( Chi.sq = 24.2 dengan nila-p 0.000). Dan adanya peningkatan peluang telur menetas sebagai jantan sepanjang urutan bertelur. Peubah Order0 nyata pada model ini, sehingga dilakukan perhitungan perubahan peluang pada setiap urutan bertelur. Selang kepercayaan 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.56 ± 0. 08 SE, selang kepercayaan 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua 0. 69 ± 0.05 SE dan selang kepercayaan 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur ketiga yaitu 0. 79 ± 0.06 SE. Sehingga dapat disimpulkan pada model ini terlihat adanya kenaikan peluang untuk mendapatkan telur yang berjenis kelamin jantan. 2

Pada model H3 diasumsikan pengaruh dari urutan jenis kelamin bersifat linear dan pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya konstan. Pengaruh acak pada model ini sama dengan 0, sama seperti model H1, hal ini terjadi karena model ini menyumbang mekanisme yang menghasilkan keragaman dalam jenis kelamin telur. Menunjukkan tidak adanya perubahan peluang sepanjang urutan bertelur ketika pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya masuk ke dalam model. Peubah prevsex nyata pada model ini, sehingga dilakukan perhitungan perubahan peluang pada setiap urutan bertelur. Hasilnya diperoleh sebagai berikut : SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.56 ± 0. 07 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua 0. 63 ± 0.04 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur ketiga 0. 71 ± 0.07 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur pertama adalah betina 0.43 ± 0.07 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur pertama adalah jantan 0.8 ± 0.05 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur kedua adalah betina 0.51 ± 0.1 SE SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur kedua adalah jantan 0.85 ± 0.05 SE Sama halnya dengan model H1 dan H2, secara umum dapat dikatakan adanya peningkatan peluang telur menetas sebagai jantan lebih besar dari pada jenis kelamin betina pada urutan bertelur. Begitu juga dengan peluang telur menetas sebagai jantan jika telur sebelumnya adalah jantan. Untuk melakukan perbandingan model pada data simulasi, data hilang pada peubah prevsex tidak dimasukkan ke dalam analisis. AIC yang diperoleh pada analisis ini dilambangkan dengan AICc. Karena ukuran contoh pada data simulasi sangat kecil ( 3 telur per clutch), nilai AIC dan AICc tidak terlalu berbeda jauh ( Tabel 1) sehingga untuk membandingkan model, nilai AIC tetap digunakan. Kedua model menunjukkan peubah prevsex nyata artinya adanya perbedaan peluang menjadi jantan antar telur sebelumnya. Tabel 1. Nilai AIC dan AICc Model AIC AICc H1 178.59 178.59 H3 179.04 179.04 H2 185.39 184.10 H0 188.21 186.22 Analisis Data Real (Burung beo electus) Analisis dilakukan berdasarkan urutan dari rasio jenis kelamin yang dihasilkan oleh seekor induk beo electus pada proses reproduksi yang berulang. Urutan penetasan telur tidak diketahui, sehingga satu-satunya informasi yang tersedia adalah jumlah telur yang menetas 3

pada satu kali reproduksi dan jenis kelamin. Pada data real, dimungkinkan adanya dua anak burung dari satu telur. Peubah sex pada analisis data real merupakan rasio jenis kelamin anak burung. Sementara peubah prevsex merupakan rasio jenis kelamin yang dihasilkan oleh seekor induk dalam proses reproduksi sebelumnya. Karena adanya perbedaan yang sangat besar dari panjang urutan bertelur antar clutch (5 sd 36 kelahiran per induk) maka dua peubah baru dimasukkan ke dalam model, yaitu Corder dan Morder. Peubah Corder sebagai peubah yag mengukur perbedaan dalam urutan bertelur antar telur lainnya. Peubah Morder mengukur rata-rata urutan bertelur untuk semua telur dalam satu clutch. Sebagai contoh, dalam satu clutch ada 5 telur, Corder : -2, -1, 0, 1, dan 2 untuk eggs [1:5], Morder : 3, 3, 3, 3, dan 3. Contoh lain, dalam satu clutch ada 4 telur, Corder : -1.5, -0.5, 0.5, 1.5, dan 2 untuk eggs [1:5], Morder : 2.5, 2.5, 2.5, dan 2.5. Peubah Corder signifikan menunjukkan adanya keragaman dalam peluang untuk menetas sebagai jantan sepanjang urutan bertelur dalam setiap clutch, sementara peubah Morder siginifikan menunjukkan adanya pengaruh antar clutch. Respon yang digunakan dalam analisis data real yaitu jumlah anak burung jantan dari seekor induk dalam suatu proses reproduksi (m) dan jumlah anak burung dari seekor induk dalam suatu proses reproduksi (n). proportion of male fledglings 0.0 0.4 0.8 1 6 12 19 26 33 proportion of male fledglings 0.0 0.3 0.6 first M MF F breeding event sex ratio of the preceding fledgling logit proportion of male fledglings -6-2 2 6 1 6 12 19 26 33 breeding event logit proportion of male fledglings -1.5 0.0 1.0 first M MF F sex of the preceding fledgling Gambar 3. Proporsi dan logit telur menetas sebagai jantan untuk data real Gambar 3 menunjukkan adanya keragaman yang tinggi dalam rasio jenis kelamin yang dihasilkan pada sekali proses reproduksi dibandingkan dengan proses sebelumnya. Sehingga pengepasan model perlu mempertimbangkan keragaman dalam peluang menetas sebagai jantan sesuai dengan rasio jenis kelamin anak burung dari peristiwa reproduksi sebelumnya. Selama urutan jenis kelamin sangat berbeda antar induk, peubah Corder dan Morder 4

lebih dipilih untuk mendeteksi pengaruh potensi antar induk. Adapun model yang akan diuji pada data real adalah sebagai berikut : 1. Model H0 y ij = b 0 + u ij + r 0j 2. Model H1 y ij = b 0 + b 1 AF ij + b 2 prevsex ij + u ij + r 0j 3. Model H2 y ij = b 0 + b 1 Corder ij + b 2 Morder ij + u ij + r 0j 4. Model H3 y ij = b 0 + b 1 Corder ij + b 2 Morder ij + b 3 prevsex ij + u ij + r 0j Tabel 2. Nilai AIC untuk data real Model AIC delta H3 182.42 0.00 H1 182.85 0.43 H2 240.83 58.41 H0 242.47 60.05 Berdasarkan Tabel 2, model H3 dan H1 adalah model yang terbaik untuk data real. Kedua model menunjukkan peubah prevsex nyata pada nilai-p 0.000, artinya adanya perbedaan peluang telur yang menetas sebagai jantan dengan telur sebelumnya. Selang kepercayaan 95% dari hasil analisis data real disajikan sebagai berikut : SK 95% rasio jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.4 ± 0.12 SE SK 95% rasio jenis kelamin jantan pada telur berikutnya 0.46 ± 0.05 SE SK 95% rasio jenis kelamin jantan jika telur sebelumnya adalah betina 0.16 ± 0.04 SE SK 95% rasio jenis kelamin jantan jika telur sebelumnya adalah jantan 0.79 ± 0.05 SE Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan rasio jenis kelamin jantan pada urutan telur berikutnya serta rasio jenis kelamin jantan akan lebih besar jika telur sebelumnya adalah jantan. Hal penting pada analisis data : Proses simulasi data hanya dilakukan sekali, sehingga menjadi pertanyaan apakah ketika analisis dilakukan dengan pembangkitan data yang lain menghasilkan hasil yang sama seperti yang dilakukan pada paper ini. Penentuan peluang dalam menetasnya telur, tidak dijelaskan secara terperinci pemilihan nilai peluangnya. Pengembangan model dengan asumsi perubahan peluang menetas telur menjadi jantan nonlinear (polinomial) dalam paper ini juga dibahas, namun belum dilakukan pembedahan lebih dalam untuk saat ini, begitu juga untuk analisis data simulasi yang menggunakan data dengan ukuran clutcth tidak sama. 5

6