BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang. Kepala juga merupakan bagian yang paling sering mengalami kerusakan pada pasien multiple trauma dan tingkat kematian pada cedera otak traumatik ini mencapai 35%-50%. Cedera otak traumatis merupakan masalah kesehatan masyarakat dan merupakan penyebab utama kematian dan cacat berat di kalangan anak muda.(huang, 2013).. Di Eropa dilaporkan insidensi cedera otak traumatik yang masuk rumah sakit dan cedera otak traumatik yang berakhir pada kematian adalah 235/100.000 populasi, berbeda dengan India (160/100.000) dan di Amerika Serikat (103/100.000). Setiap tahunnya di Inggris 1500/100.000 populasi mengalami cedera otak traumatik, 300 dirawat di rumah sakit dan 9 meninggal (Reilly, 2007). Cedera kepala menjadi hampir sebagian penyebab kematian dari keseluruhan angka kematian yang diakibatkan trauma, yang sebagian besarnya mengakibatkan kematian pasien akibat trauma setelah masuk ke rumah sakit. Cedera kepala juga merupakan penyebab utama yang paling sering mengakibatkan kecacatan permanen setelah kecelakaan dan kecacatan tersebut dapat terjadi meskipun pada pasien dengan cedera kepala derajat ringan (Selladurai B. et al, 2007). Cedera otak traumatik menempati peringkat ke-5 dari penyakit utama penyebab kematian di Rumah Sakit dengan angka rerata 3000 kematian pertahun (Depkes RI, 2007). Faktor paling penting yang menentukan prognosis dari pasien cedera kepala adalah tingkat ketahanan otak terhadap kerusakan. Pada dasarnya perkembangan kerusakan otak setelah cedera kepala merupakan hasil kombinasi dari kerusakan primer dan kerusakan sekunder dan telah diketahui bahwa sebagian besar kerusakan otak pada cedera kepala disebabkan oleh kerusakan sekunder (Narayan, 1996). Beberapa studi menunjukkan bahwa kraniectomi dekompresi merupakan sarana efektif untuk mengontrol tekanan intrakranial tinggi, terutama pada pasien
dengan lesi intraparenchymal (Polin, 1997). Kraniectomi dekompresi sering dilakukan,oleh karena itu, prediksi hasil pasca operasi sangat penting dalam praktek bedah saraf. Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan alat utama untuk penilaian klinis keparahan cedera otak, berkorelasi dengan hasil setelah kraniectomi dekompresi Computed tomography (CT) otak adalah pilihan pertama pemeriksaan pada fase akut setelah cedera kepala dan memberikan informasi diagnostik yang penting dengan implikasi terapi untuk intervensi bedah. Marshall et al 1991, mengusulkan klasifikasi CT untuk mengelompokkan pasien dengan cedera otak traumatik menurut beberapa karakteristik CT. Meskipun klasifikasi CT oleh Marshall et al telah digunakan untuk hasil yang dievaluasi dari cedera otak traumatik (Huang, 2012). Mass dkk,2005 mengembangkan klasifikasi pencitraan lain yang baru yang didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala yaitu Rotterdam CT score. Mereka menggabungkan karakteristik individual, termasuk status sisterna basal, pergeseran garis tengah, dan jenis lesi massa atau perdarahan intrakranial pada model yang memerlukan untuk tujuan prognostik cedera otak traumatik. Berdasarkan Rotterdam CT score (Maas, 2005), yang mengidentifikasi lima temuan pencitraan kunci pada trauma kepala CT dengan signifikan nilai prognostik klinis: (1) ada atau tidak adanya subdural atau epidural hematoma, (2) ada atau tidak adanya subarachnoid perdarahan, (3) ada atau tidak adanya suatu intraparenchymal hematoma, (4) ada atau tidak adanya klinis yang signifikan pergeseran garis tengah ( 5 mm), dan (5) normal. Nilai dari sistem klasifikasi CT dalam memprediksi hasil klinis diakui sebagai pedoman untuk manajemen setelah cedera otak traumatik yang berat (Chestnut, 2000). Skala pengukuran Glasgow Outcome Scale ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond, 1975, prognosis paska cedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien paska cedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis paska koma traumatik maupun non traumatik. (Bullock,2004; Narayan,Michel, 2002; Jennet,2005)
Skala ini bersama-sama dengan skala-skala yang lain sering dipakai untuk menentukan efektifitas terapi yang dipilih sehingga sangat menolong dalam penelitian cedera otak. Secara umum, prosedurnya ialah membagi dua/melakukan dikotomi lima peristiwa dari glasglow outcome scale menjadi dua kategori : unfavorable dan favorable. Unfavorable outcome meliputi kategori: meninggal,persisten vegetative state dan ketidakmampuan yang berat. Favorable outcome meliputi : ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik. Berdasarkan pengetahuan peneliti, penelitian ini belum pernah dilakukan dilakukan di Indonesia, Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari glasgow outcome scale sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma,beratnya kondisi pada awal trauma(diukur dengan GCS), dan tipe lesi intrakranial. Glasgow outcome scale kategori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan terhadap glasgow outcome scale terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak. (Narayan,et al,1995). Penelitian yang dilakukan menemukan makin tinggi hasil Rotterdam CT score makin meningkat mortalitas dan makin menunjukkan hubungan peningkatan glasgow outcome scale (Huang et al,2012) Penelitian sebelumnya yang dilakukan Huang et al,2012 menguji perbedaan prognostik dan prediksi dari Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani kraniectomi dekompresi, mereka mendapatkan hasil dimana Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan merupakan prediktor independen terhadap glasgow outcome scale. Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian terhadap hubungan hasil Rotterdam CT score dengan Glasgow Outcome Scale di Rumah Sakit Umum Adam Malik Medan
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan yaitu : Hubungan hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan prediksi Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi craniectomi decompresi 1.3. Hipotesis Ada hubungan antara Hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan hasil Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan hasil antara Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi 1.4.2. Tujuan Khusus - Untuk mengetahui angka kejadian kasus cedera kepala dengan gambaran CT Scan. - Untuk mengetahui hubungan hasil Rotterdam CT score sebelum operasi dengan hasil Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bidang Pendidikan (Ilmu Pengetahuan) Pada penelitian ini diharapkan dapat diketahui manfaat hubungan hasil Rottedam CT Score sebelum operasi dengan Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasein cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi.
1.5.2. Penelitian Memberikan masukan bagi penelitian lebih lanjut yang nantinya berguna bagi tatalaksana pasien dengan cedera kepala dengan menggunakan Rotterdam CT Score atau Glasgow Outcoma Scale. 1.5.3. Pelayanan kesehatan Menunjang perbaikan penatalaksanaan pasien pada cedera kepala dengan menggunakan Rotterdam CT Score dan Glasgow Outcoma Scale yang nantinya dapat membantu memperbaiki prognosis.