Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

Rekomendasi Kebijakan 2013

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang-

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : PER.17/MEN/2006 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

Hukum Laut Indonesia

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBUKAAN. Pihak-pihak dalam Persetujuan ini,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARIANS CONFERENCE ON ENVIRONMENT AND DEVELOPMENT (APPCED)

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

7 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLA PERIKANAN TANGKAP DI PERBATASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing

BERITA NEGARA. KKP. Usaha Perikanan. Sertifikasi. Sistem. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI ZEE INDONESIA Ida Kurnia*

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pengelolaan sumber daya perikanan dan antisipasi krisis perikanan global, menuntut pemerintah Indonesia menjadi bagian dari organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization/RFMO). Keikutsertaan Indonesia dalam RFMO selaras dengan Pasal 118, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang telah diratifikasi pada tahun 1982. Pasal 118 UNCLOS: Negara-negara harus melakukan kerja sama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menurut keperluan, bekerja sama untuk menetapkan organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk keperluan ini. Keanggotaan Indonesia dalam RFMO, juga telah diatur pada UU No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan. Ketentuannya menyatakan, bahwa Indonesia dituntut untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional maupun internasional. Kebijakan yang diatur RFMO, salah satunya adalah bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh negara bukan anggota pada kawasan pengelolaan, dikategorikan sebagai illegal fishing dan hasil tangkapannya dapat diembargo. Keterlibatan Indonesia dalam RFMO merupakan salah satu upaya untuk mengatasi hambatan non-tarif, yang berkenaan dengan ketentuan pemberlakuan sertifikasi hasil penangkapan oleh Uni Eropa (efektif per 1 Januari 2010) pada setiap hasil penangkapan ikan segar. Sertifikasi ini berfungsi untuk menjaga kualitas hasil tangkapan dan Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 1

membantu mencegah praktek illegal fishing. Indonesia dalam kaitannya dengan keanggotaan RFMO, telah melakukan upaya strategis untuk meratifikasi beberapa perjanjian pengelolaan perikanan, khususnya spesies ikan bernilai ekonomis tinggi (seperti tuna) di laut lepas. Ratifikasi tersebut, dilakukan untuk mendapatkan kuota penangkapan dan akses penjualan hasil tangkapan ke pasar internasional (pasar negara anggota RFMO). RFMO telah memberikan hak kepada Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), guna menentukan kebijakan strategis dan mengakses sumber daya ikan di laut lepas. Bergabungnya Indonesia menjadi anggota RFMO, memberikan manfaat terhadap waktu serta biaya; kesempatan dalam melakukan kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan; pemanfaatan tangkapan total yang diperbolehkan (total allowable catch); melakukan monitoring controlling and surveillance; penegakan hukum serta pengelolaannya; dan konservasi sumber daya ikan (Solihin 2006). Wacana yang berkembang mengenai peran aktif duta Indonesia, khususnya KKP dalam forum RFMOS: (1) diplomasi Indonesia masih lemah dalam mencapai target kuota penangkapan; (2) lemahnya dukungan data dan Informasi; (3) utusan yang dikirim bersifat adhoc; (4) belum adanya kajian dan penilaian terhadap kriteria utusan yang menjadi wakil Indonesia. Pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh Indonesia sebagai anggota RFMO, membutuhkan kesiapan sumber daya manusia dalam aplikasi dan pembuatan kebijakan yang mendukung pengelolaan perikanan secara lestari. Kondisi ini menuntut adanya kehandalan dalam melakukan negosiasi dan dukungan data yang komprehensif, agar keanggotaan Indonesia dalam RFMO mendapatkan manfaat yang optimal. Kecakapan bernegosiasi dalam koridor pengelolaan perikanan, dapat menjadikan target keanggotaan Indonesia bisa memenuhi syarat minimal yang diinginkan (mengacu kepada potensi dan kondisi sumber daya perikanan). Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 2

1.2. Tujuan Kajian khusus ini secara umum bertujuan untuk menilai diplomasi yang dilakukan oleh utusan Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam mencapai target yang diinginkan pada forum pertemuan RFMO. Tujuan secara khusus: 1) Mengharmonisasi kerangka hukum internasional dan nasional, serta implikasinya terhadap keikutsertaan Indonesia dalam RFMO, 2) Merekam jejak pembentukan RFMO 3) Merekam peran diplomasi Indonesia pada organisasi internasional yang terkait atau mendukung target Indonesia dalam RFMO 1.3. Prakiraan Keluaran Luaran yang ingin dicapai dalam kajian khusus ini adalah: 1) Rekomendasi kebijakan dalam upaya meningkatkan kinerja diplomasi utusan KKP pada forum anggota RFMO, guna menjaga tujuan yang diinginkan tetap pada koridor kepentingan yang diharapkan. 2) Data dan informasi yang terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam RFMO, untuk memberikan gambaran mengenai diplomasi Indonesia, agar dapat dijadikan panduan untuk membangun kekuatan berdialog dalam setiap pertemuan RFMOS ditahun 2013. Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 3

II. METODOLOGI 2.1 Kerangka Pemikiran Politik Luar Negeri adalah politik untuk mencapai tujuan nasional dengan menggunakan segala kekuasaan dan kemampuan yang ada. Politik luar negeri pada hakekatnya merupakan kebijaksanaan yang perlu di ambil oleh pemerintah Indonesia dalam menjaga hubungannya dengan negara lain dan organisasi Internasional di berbagai aspek kehidupan demi tercapainya tujuan nasional (Safitri, 2011). Kepentingan nasional adalah survive suatu negara, dimana praktek pelaksanaan hubungan antar negara melalui perwakilan resmi diplomasi dapat mencakup seluruh proses hubungan luar negeri, pembentukan kebijaksanaan luar negeri, serta pelaksanaannya. Pengertian ini diplomasi secara sempit mencakup sarana dan mekanisme sementara politik luar negeri, menetapkan tujuan, dan sasaran. Diplomasi dalam artian luas, mencakup teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional di luar batas wilayah yuridiksi. Meningkatnya saling ketergantungan antar negara, menyebabkan jumlah pertemuan dan konferensi multilateral maupun diplomasi parlementer semakin luas (Safitri, 2011). Diplomasi yang dilakukan oleh utusan pemerintah (KKP) pada forum Regional Fisheries Management Organization (RFMO), secara tidak langsung telah memberikan sumbangan terhadap sistem hubungan internasional. RFMO, merupakan organisasi yang beranggotakan perwakilan negara pemanfaat sumber daya ikan peruaya jauh terutama tuna. Peran RFMO dalam pengelolaan sumber daya perikanan (tuna), adalah mengembangkan pengelolaan untuk melestarikan spesies ikan peruaya jauh dan spesies hewan. RFMO diselenggarakan berdasarkan traktat internasional dan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. RFMO dikenal sebagai badan yang paling tepat bagi implementasi berbagai hukum dan perjanjian internasional terkait pengelolaan perikanan. Prinsip yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perikanan No. 31/2004, sebagaimana Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 4

diamandemen oleh Undang-Undang Perikanan No. 45/2009, telah menciptakan fondasi yang kuat bagi kegiatan penangkapan tuna di laut internasional oleh Indonesia. Pembukaan Undang-Undang ini, menyatakan bahwa hukum internasional berlaku bagi kegiatan penangkapan Indonesia di laut internasional (USAID, 2012). Berdasarkan hal tersebut, Indonesia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya ikan di laut internasional dan dalam ZEE, serta kewajiban untuk melestarikan, dan mengelola sumber daya tersebut sesuai dengan standar internasional. Keikutsertaan Indonesia dalam RFMO, harus dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang dimiliki secara lestari. Tujuan akhir pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan tersebut, adalah peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia (khususnya masyarakat perikanan). Berdasarkan pemaparan tersebut, maka kerangka konseptual kajian khusus Evaluasi diplomasi Indonesia pada Forum pertemuan RFMO, dapat dilihat pada Gambar 1.1. Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Evaluasi diplomasi Indonesia pada Forum Pertemuan RFMO Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 5

2.2. Waktu dan Lokasi Penelitian Kajian khusus ini dilaksanakan pada bulan Oktober Desember 2012. Lokasi untuk mengambil data yang diperlukan untuk kajian khusus ini, dilakukan di Jakarta dan Bogor. 2.3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan data primer dan sekunder, untuk memperoleh informasi yang komprehensif serta akurat. Data primer diperoleh dikumpulkan melalui wawancara mendalam kepada key person, yang terlibat dalam perencanaan, negosiasi, serta kebijakan keikutsertaan dan keanggotaan Indonesia dalam RFMO. Data sekunder yang digali metode desk study/kepustakaan meliputi: dokumen negosiasi, laporan penelitian, laporan kajian, dan data pada Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait dengan rekam jejak keikutsertaan Indonesia, serta upaya diplomasinya pada forum Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional. 2.4. Metode Analisis Data Penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif, untuk menggambarkan serta menjelaskan permasalahan berdasarkan kenyataan. Analisa yang dilakukan meliputi; landasan hukum internasional dan nasional; pembentukan dan perbandingan RFMO; posisi Indonesia dan keterlibatan Badan Penelitian dan pengambangan Kelautan dan Perikanan sebagai penyedia data dalam rangka penentuan catch limit RFMO; peran diplomasi Kementerian Kelautan dan Perikanan pada forum RFMO. Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 6

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Landasan Hukum Internasional Peran penting RFMO tercermin pada banyaknya landasan hukum yang mengatur permasalahan perikanan di laut lepas (Fontaubert and Lutchman, 2003). Landasan hukum internasional dalam RFMO adalah: UNCLOS 1982 UNCLOS 1982 memberikan aturan terhadap tiga wilayah yurisdiksi: (1) wilayah di bawah kedaulatan negara pantai termasuk perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial; (2) wilayah dimana negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam termasuk yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen; (3) wilayah laut lepas. Khusus untuk rejim laut lepas dituangkan pada Bab VII; yang terbagi menjadi dua bagian yaitu: 1) Ketentuan-ketentuan Umum (Pasal 86 115); 2) mengenai Konservasi dan Pengelolaan Sumber-sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas (Pasal 116 120). Laut lepas adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut teritorial, atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Pada rezim laut lepas terdapat asas kebebasan (freedom of the high seas), namun demikian setiap negara harus mengindahkan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Hal ini disebabkan, asas kebebasan harus disertai dengan tindakan pengawasan (kebebasan tanpa pengawasan dapat mengacaukan kebebasan itu sendiri) (Mauna, 2000). Pelaksanaan kebebasan untuk melakukan penangkapan ikan, harus disertai dengan diindahkannya kewajiban untuk melaksanakan tindakan konservasi sumber daya hayati di laut lepas (Pasal 117). Tindakan ini dapat dilakukan secara unilateral maupun bekerjasama dengan negara lain. Kewajiban kerjasama antara negara yang memanfaatkan sumber daya hayati di laut lepas ditekankan dalam Pasal 118 UNCLOS 1982. Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 7

Ketentuannya menyatakan, dimana negara-negara harus mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut apabila diperlukan, dengan membentuk organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional maupun sub-regional (RFMO) di berbagai kawasan yang mempunyai aturan sendiri dalam mengelola kegiatan perikanan. Pasal 119 ayat (1), UNCLOS 1982, memberikan persyaratan khusus untuk konservasi sumber daya ikan di laut lepas: a. Penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan menetapkan lainlain tindakan konservasi sumber daya kekayaan hayati di laut lepas, negara-negara harus: (1) mengambil tindakan yang direncanakan berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada negara yang bersangkutan, untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis-jenis ikan yang ditangkap pada taraf yang dapat memberikan hasil tangkapan maksimum lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk kebutuhan khusus dari negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola-pola penangkapan ikan, saling ketergantungan antara stok jenis ikan dan setiap standar minimum internasional yang secara umum direkomendasikan pada taraf sub-regional, regional maupun global. (2) memperhatikan akibat terhadap jenis ikan yang berhubungan dengan atau tergantung dari jenis yang ditangkap dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung dimana taraf reproduksinya menjadi sangat terancam. b. Pelaksanakan dalam rangka konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas, maka diperlukan pertukaran informasi ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan upaya penangkapan ikan, dan lain-lain data yang terkait dengan konservasi persediaan jenis ikan melalui organisasi Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 8

yang berwenang (Pasal 119 ayat 2). Setiap negara yang berkepentingan harus menjamin bahwa tindakan konservasi dan pelaksanaannya tidak mengakibatkan adanya diskriminasi, baik secara formal maupun nyata terhadap nelayan dari negara manapun (Pasal 119 ayat 3). Deklarasi Cancun 1992 Sidang ke-19 Komite FAO tentang Perikanan (COFI) pada bulan Maret 1991, mengamanatkan pembangunan berkelanjutan dan bertanggung jawab. Pada tahun 1992 diselenggarakan International Conference on Responsible Fishing di Cancun, Meksiko, yang menghasilkan deklarasi Cancun. Konferensi ini dihadiri oleh 67 negara dan organisasi di Cancun. Konferensi ini meminta setiap negara untuk mengambil tindakan efektif, konsisten dengan hukum internasional untuk mencegah reflagging kapal ikan. Rekomendasi dan konferensi tersebut, sebagian besar menjadi masukan dalam penyusunan Pasal 17 Agenda 21. Prinsip yang melekat dalam deklarasi Cancun meliputi kerjasama antar negara secara bilateral, regional, multilateral untuk membangun, memperkuat dan melaksanakan efektivitas, serta ukuran untuk menjamin perikanan bertanggung jawab. Negara penangkap ikan di laut lepas, diharuskan bekerja sama dengan negara lain untuk menjamin pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan hayati. UNCED 1992 United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) 1992, tidak secara spesifik mengharuskan setiap negara untuk bekerjasama melalui organisasi regional maupun organisasi sub regional. UNCED hanya memprakarsai perjanjian yang terkait dengan kerjasama bilateral dan multilateral. Deklarasi Cancun dan UNCED berupaya mendorong FAO untuk lebih jauh memfasilitasi dialog, serta sekaligus menyusun petunjuk tentang bagaimana membangun perikanan yang berkelanjutan. Hal ini menyebabkan, Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 9

pada tahun 1995 disusun Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (Purwito, 2004). Konsep perlindungan terhadap kelestarian sumber daya hayati di laut lepas, pada awalnya dikemukakan dalam Agenda 21 yang diadopsi oleh UNCED. Agenda 21, menghimbau semua negara di dunia untuk mengambil tindakan efektif sesuai dengan hukum internasional dalam menghindari reflagging oleh kapal dari negaranya. Agenda 21 terdiri atas empat bagian; 1) yaitu sosial dan ekonomi, 2) pelestarian dan pengelolaan sumber daya, 3) penguatan peran kelompok-kelompok utama, 4) sarana implementasi. Keempat bidang tersebut, secara keseluruhan memiliki 40 pasal. Pembahasan mengenai perlindungan lautan dan penggunaan yang rasional dalam pengembangan kehidupan sumber daya laut, diatur dalam Pasal 17. FAO Compliance Agreement 1993 Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas 1993 (FAO Compliance Agreement 1993 (FAO-CA 1993)) merupakan bagian intergral CCRF 1995. FAO-CA 1993, mengatur tanggung jawab negara bendera kapal untuk mengambil tindakan dalam menjamin pengelolaan dan konservasi yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikannya. FAO-CA 1993, pada dasarnya membangun basis data pemberian ijin kapal ikan yang melakukan penangkapan di laut lepas serta melakukan tukar menukar data (seperti kapal ikan). FAO-CA 1993, memberikan peran penting kepada RFMO untuk mengkoordinasikan dan menyusun basis data. Tindakan pengelolaan RFMO, hanya mengikat negara anggota dan kapal penangkap ikan yang berlayar dengan bendera suatu negara anggota (Xue, 2004). Permasalahan reflagging ini, mendapatkan perhatian serius masyarakat internasional dalam upaya konservasi dan pengelolaan. FAO-CA 1993, mulai berlaku efektif (entry into force) pada bulan April 2003, karena Korea Selatan menjadi negara ke-26 (menerima aksesi pada tanggal 24 April Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 10

2003). Hal ini sesuai Pasal 11 ayat (1), This Agreement shall enter into force as from the date of receipt by the Director-General of the twentyfifth instrument of acceptance. Materi pokok FAO-CA 1993 (memuat 16 pasal): a) Aplikasi atau keberlakuan dari perjanjian (Pasal 2); b) Tanggung jawab negara bendera kapal (Pasal 3); c) Pencatatan kapal-kapal penangkap ikan (Pasal 4); d) Kerjasama internasional (Pasal 5); e) Pertukaran informasi (Pasal 6); f) Kerjasama dengan negara-negara berkembang (Pasal 7); g) Hubungan perjanjian dengan negara-negara yang tidak menjadi anggota (Pasal 8); h) Penyelesaian sengketa (Pasal 9). FAO-CA 1993 (melengkapi ketentuan yang dituangkan pada UNCLOS 1982), bahwa negara bendera wajib melaksanakan efektivitas pengendalian terhadap kapal perikanannya yang berada di laut lepas (OECD, 2004). FAO- CA 1993, diberlakukan sebagai ketentuan hukum mengikat untuk semua kapal penangkap ikan yang digunakan atau berniat digunakan penangkapan ikan di laut lepas. FAO-CA 1993, mempunyai dua unsur utama: 1) meningkatkan tanggung jawab negara bendera; 2) pertukaran informasi tentang aktivitas penangkapan ikan di laut lepas (Xue, 2004). UNIA 1995 Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UNIA 1995). UNIA 1995 ini dapat dianggap sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan pasal UNCLOS 1982. Persetujuan ini berlaku efektif pada tanggal 11 Desember 2001 (setelah diratifikasi oleh 30 negara), dimana Malta adalah negara peratifikasi ke 30 pada tanggal 11 November 2001. Hal ini sesuai Pasal 40, bahwa Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 11

Perjanjian ini berlaku 30 hari setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-30. Tujuan yang ingin dicapai oleh UNIA 1995, adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan yang berkelanjutan atas stok ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas (Pasal 2). UNIA 1995 mensyaratkan kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan untuk stok ikan yang bermigrasi terbatas dan yang bermigrasi jauh, yang berada dalam daerah laut yang berada di bawah yurisdiksi nasional maupun di laut lepas (Pasal 7 ayat 1). Pencapaian kesesuaian pengelolaan dan konservasi jeni ikan tersebut, bagi negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas diwajibkan untuk melakukan kerjasama. Kerjasama tersebut harus memperhatikan; 1) langkah yang telah disepakati, baik berdasarkan Pasal 61 UNCLOS 1982 untuk laut lepas dan kesepakatan dari RFMO; 2) kesatuan biologi dan karakteristik stok; 3) memperhatikan ketergantungan setiap negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas terhadap stok tersebut; 4) jaminan untuk tidak menimbulkan dampak yang membahayakan terhadap sumber daya ikan. Berdasarkan ketentuan yang dituangkan dalam UNIA 1995, setiap negara disyaratkan diwajibkan untuk berusaha menyepakati kesesuaian langkah pengelolaan dan konservasi stok ikan. Pasal 7 ayat (4), (5), (6), (7), dan (8), menetapkan berbagai prosedur apabila suatu negara tidak dapat mencapai kesepakatan, dapat dilakukan melalui pengaturan sementara yang bersifat praktis (provisional arrangements of a practical nature). Negara pantai maupun negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas wajib melakukan pertukaran informasi, baik secara langsung maupun melalui organisasi pengelolaan perikanan regional maupun subregional. Informasi yang diberikan berkenaan dengan upaya pengelolaan dan konservasi yang telah ditetapkan. Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 12

CCRF 1995 CCRF diadopsi secara resmi oleh FAO pada sidang ke-28 COFI tanggal 31 Oktober 1995 untuk diterapkan secara global, sebagai instrumen tidak mengikat (non-binding) untuk perikanan bertanggungjawab. CCRF secara langsung diarahkan untuk para anggota maupun bukan anggota FAO, badan usaha penangkapan ikan, organisasi sub-regional, regional dan global, baik pemerintah maupun non-pemerintah, dan semua pihak yang peduli terhadap konservasi sumber daya ikan serta pengelolaan dan pembangunan perikanan. Meskipun tidak mengikat, bagian tertentu dari CCRF didasarkan pada Konvensi Hukum Laut 1982 dan perjanjian internasional lainnya FAO-CA 1993 dan UN Fish Stock Agreement 1995. Penerapan CCRF juga harus mempertimbangkan deklarasi Cancun 1992; deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan; Agenda 21 (khususnya Bab 17) sebagai hasil kesepakatan pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UNCED); termasuk deklarasi serta perangkat hukum internasional lain yang terkait. Keterkaitan ini memungkinkan CCRF mendukung instrumen yang mengikat sebagai kerangka untuk mewujudkan perikanan bertanggung jawab. Hal ini dinyatakan oleh Xue (2004), sebagai berikut: First, the Code is to be interpreted and applied in conformity with the Law of the Sea Convention. Second, it contains provisions that have already been made binding in the Compliance Agreement. Third, the Code is also to be interpreted and applied in a manner consistent with the relevant provisions of the Fish Stock Agreement, in accordance with other applicable rules of international law, and in the light of certain declaration and instruments. Cakupan CCRF meliputi standar dan prinsip internasional untuk praktek perilaku perikanan yang bertanggung jawab dengan menjamin efektivitas pembangunan, pengelolaan, dan konservasi sumber daya hayati, termasuk di dalamnya ekosistem dan keanekaragaman hayati (Martosubroto, Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 13

2003). Mengenai pengelolaan perikanan, diatur secara khusus pada Pasal 7, yang pengaturannya meliputi: (1) bagian umum, (2) tujuan pengelolaan, (3) kerangka kerja dan prosedur pengelolaan, (4) petunjuk pengumpulan dan pengelolaan data, (5) pendekatan kehati-hatian, (6) langkah-langkah pengelolaan, (7) pelaksanaan, (8) lembaga pembiayaan. Setiap negara harus menjamin dibentuknya suatu kerangka kerja hukum dan administratif yang efektif, baik pada tingkat daerah maupun nasional/pusat untuk konservasi sumber daya ikan dan pengelolaan perikanan. Mengacu pada hal tersebut, setiap negara harus menjamin bahwa perundang-undangannya dapat diterapkan sesuai dengan beratnya pelanggaran (termasuk sanksi yang memungkinkan bagi penolakan, pembatalan, atau pembekuan izin untuk menangkap ikan akibat ketidaktaatan terhadap langkah konservasi dan pengelolaan yang berlaku). Berdasarkan peraturan perundang-undangannya, setiap negara harus menerapkan pemantauan (monitoring), pengendalian (controling) dan pengawasan (surveilance) perikanan, serta penegakan hukum yang efektif. Penerapan ini, termasuk melaksanakan program pengamat (observer programmes), skema pemeriksaan (inspection scheme) dan sistem pemantauan kapal (vessel monitoring system). Pasal 8 CCRF mengatur mengenai kegiatan operasi penangkapan ikan (fishing operations), yang membedakan antara kewajiban semua negara, negara bendera kapal, dan negara pelabuhan. Pasal 8 juga mengatur tentang operasi penangkapan ikan, penyeleksian alat tangkap, optimisasi energi, perlindungan lingkungan akuatik, perlindungan atmosfer, pelabuhan dan pangkalan pendaratan ikan, pengangkatan kerangka bangunan dan bahanbahan lain, serta pengembangan terumbu karang buatan dan alat bantu pengumpul ikan. Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 14

IPOA on IUU Fishing 2001 Salah satu yang dituangkan dalam IPOA on IUU Fishing 2001, adalah tindakan semua negara anggota RFMO. Negara yang bukan anggota RFMO tidak terlepas dari kewajiban untuk bekerja sama, sesuai dengan kewajibannya berdasarkan hukum internasional. Setiap negara harus melaksanakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh RFMO, atau mengadopsi langkah yang yang telah ditetapkan, dan harus memastikan bahwa kapal yang mengibarkan benderanya tidak meremehkan langkah tersebut. Negara anggota RFMO, mensyaratkan melakukan kerjasama untuk mengambil tindakan terhadap kegiatan IUU fishing. Pertimbangan dan prosedur yang harus diberikan berdasarkan Paragraph 80 adalah: 1. Penguatan kelembagaan (jika diperlukan) dari RFMO, terkait dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan mereka mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing; 2. Pengembangan langkah pentaatan berdasarkan hukum internasional; 3. Pengembangan dan pelaksanaan pengaturan secara komprehensif untuk kewjiban pelaporan; 4. Pengembangan dan kerjasama dalam pertukaran informasi tentang kapal yang terlibat dalam/mendukung kegiatan IUU Fishing; 5. Pengembangan dan pemeliharaan daftar kapal penangkapan ikan di daerah yang berada di bawah kompetensi organisasi pengelolaan perikanan regional (termasuk yang memiliki izin untuk menangkap ikan, maupun yang terlibat dalam atau mendukung IUU Fishing); 6. Mengembangkan metode untuk pengumpulan dan penggunaan informasi perdagangan (guna memantau IUU Fishing; 7. Mengembangkan MCS, termasuk mendorong pelaksanaannya oleh anggota di wilayah yurisdiksi masing-masing (kecuali telah diatur dalam perjanjian internasional, tangkapan aktual dan VMS, teknologi-teknologi Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 15

baru lainnya, pemantauan pendaratan, pengawasan oleh pelabuhan, dan pemeriksaan dan pengaturan bongkar muat, sebagaimana diperlukan); 8. Pengembangan dalam suatu RFMO, dimana perlu tentang pengaturan untuk menaiki kapal dan pemeriksaan sesuai dengan hukum internasional, mengakui hak dan kewajiban nakhoda dan master kapal; 9. Pengembangan program observer; 10. Jika diperlukan, dapat mengambil upaya yang berkaitan dengan pasar berdasarkan IPOA; 11. Definisi dari kondisi dimana kapal dianggap terlibat atau mendukung IUU fishing; 12. Pengembangan program pendidikan dan kesadaran masyarakat; 13. Pengembangan rencana aksi; dan 14. Jika disepakati para anggota, pemeriksaan perjanjian charter, jika dianggap dapat mengakibatkan IUU fishing 3.2 Landasan Hukum di Indonesia Pengelolaan perikanan di laut lepas dan keterlibatannya dengan organisasi pengelolaan perikanan regional telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Adapun landasan pengaturan tersebut, yaitu: 1. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan UNCLOS 1982 Laut lepas diatur pada Bab VII UNCLOS 1982. Oleh pemerintah Indonesia, UNCLOS 1982 diratifikasi melalui UU No. 17 tahun 1985, sehingga beberapa pengaturan UNCLOS 1982 telah diadopsi dalam berbagai peraturan nasional, termasuk bidang kelautan dan perikanan. 2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan juncto UU No. 45 Tahun 2009 Menurut Pasal 5 ayat (1), UU No. 31 Tahun 2004, wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: (a) perairan Indonesia, (b) Zona Ekonomi Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 16

Eksklusif Indonesia, dan (c) sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan, serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial. WPP Republik Indonesia, mengatur pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia yang berstatus hukum wilayah kedaulatan (sovereignty) dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berstatus hukum wilayah berdaulat (sovereign right). Pasal 5 ayat (2) menambahkan, bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (2), yang dimaksud dengan pengelolaan perikanan di luar WPP Republik Indonesia adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Hal ini mencerminkan, bahwa Indonesia peduli terhadap pengelolaan perikanan global. Kepedulian dalam globalisasi pengelolaan perikanan, juga tercermin pada kerjasama internasional yang diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 2004. Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa untuk kepentingan kerjasama internasional, pemerintah: (a) dapat mempublikasikan secara berkala langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan; (b) bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain (dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong); (c) memberitahukan serta menyampaikan bukti terkait kepada negara bendera asal kapal, yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan. Pemerintah Indonesia, berdasarkan Pasal 10 Ayat (1), harus melakukan penataan terhadap sistem informasi dan data perikanan sebagaimana yang diamanatkan juga dalam UU No. 31 Tahun 2004. Pasal 10 ayat (2) menambahkan, bahwa pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 17

dan internasional, dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan internasional. 3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. Per 12/Men/2012, tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas Peraturan Menteri ini berlaku bagi setiap orang, setiap kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di laut lepas (Pasal 2). Berdasarkan hal tersebut, jenis usaha perikanan tangkap di laut lepas: usaha penangkapan ikan dan usaha pengangkutan ikan. Wilayah laut lepas, meliputi wilayah pengelolaan RFMO di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Usaha perikanan tangkap menggunakan kapal perikanan berbendera Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT, atau panjang seluruhnya (LOA) paling sedikit 15 meter. Izin usaha perikanan tangkap di laut lepas meliputi: a. Izin usaha perikanan yang diterbitkan dalam bentuk SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan); b. Izin penangkapan ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan); c. Izin kapal pengangkut ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIKPI (Surat Izin Kapal Penangkap Ikan). Peraturan Menteri ini juga mengatur mengenai pelabuhan pangkalan. Menurut Pasal 13, setiap kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang beroperasi di laut lepas, dapat mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Indonesia atau di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Apabila kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Indonesia, maka diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan. Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapannya di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama, wajib memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 18

dalam SIPI atau SIKPI (melalui media elektronik tentang identitas kapal, jumlah tangkapan, daerah penangkapan, dan negara tujuan). Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia, yang mendaratkan ikan hasil tangkapannya harus menyampaikan: a. Bukti pendaratan ikan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI, melalui media elektronik paling lambat 48 jam setelah ikan didaratkan; b. Bukti pendaratan ikan yang asli pada saat memasuki pelabuhan pangkalan di Indonesia. Kegiatan transhipment diatur secara khusus pada Pasal 30, yang menyatakan bahwa kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment di laut lepas maupun di pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment di laut lepas harus memenuhi persyaratan: a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. Transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. Nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration) kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dan sekretariat RFMO paling lambat 24 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. Transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer on board) dari RFMO; Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 19

f. Nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 5 hari setelah transhipment. Kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus memenuhi persyaratan: a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. Transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. Nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration) kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. Transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan transhipment; f. Nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment declaration; g. Nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment declaration yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 20

Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di laut lepas harus memenuhi persyaratan: a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. Nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration) kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dan Sekretariat RFMO paling lambat 24 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer on board) dari RFMO; f. Nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus memenuhi persyaratan: a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. Transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau; Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 21

c. Kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized vessels); d. Nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration) kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. Transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan transhipment; f. Nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment (transhipment declaration); dan g. Nahkoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. 3.3 Regional Fisheries Management Organization (RFMO) 3.3.1 Pembentukan RFMO Tuna merupakan jenis ikan yang termasuk dalam kelompok ikan beruaya jauh (highly migratory fish stocks) dan beruaya terbatas (straddling fish stocks). Karena sifat tersebut, pengelolaan perikanan tuna harus dilakukan secara regional bahkan internasional. Menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, tentang Perikanan: menyatakan bahwa pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional, dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional. Kepentingan Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 22

bersama antar negara dalam pengelolaan perikanan mendorong terbentuknya organsasi perikanan regional yang lebih dikenal dengan istilah Regional Fisheries Management Organization (RFMO). RFMO sebagai organisasi pengelola perikanan antar negara mulai berkembang pada tahun 1960-an (Satria, 2009). Perkembangan RFMO, mengacu kepada sifat ikan yang selalu bergerak (bermigrasi) dan melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Pembentukan RFMO didasarkan atas kesadaran bahwa kegiatan penangkapan ikan di suatu negara, dapat mempengaruhi sumber daya ikan dan kinerja armada penangkapan di negara lain yang memanfaatkan sumber daya ikan yang sama. Keinginan setiap negara meningkatkan produksi perikanannya, menyebabkan sumber daya ikan dan usaha perikanan dapat terancam keberlanjutannya. Pembentukan RFMO, juga didorong keinginan untuk menyelesaikan konflik internasional perikanan pada tahun 1990-an. Konflik internasional tersebut, antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet dan sejumlah negara yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah perairan Alaska (di sekitar laut Bering), serta Kanada dengan Uni Eropa di bagian barat laut samudera Atlantik (de Fontaubert dan Luchman, 2003). Cakupan RFMO, saat ini meliputi setiap samudera yang memiliki sumber daya ikan yang diatur dalam organisasi tersebut. Ketentuan aturan RFMO menuntut adanya konsistensi dan komitmen negara anggota, untuk mematuhi kesepakatan ataupun peraturan yang dibuat. Posisi geografi negara anggota yang tergabung RFMO, pada umumnya tidak selalu berdekatan dengan kawasan pengelolaan RFMO. Kedekatan posisi geografis di dalam RFMO bukanlah yang diutamakan, melainkan lokasi aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan suatu negara. Menurut Satria (2009, negara yang tidak atau belum menjadi anggota suatu RFMO, sebaiknya sudah mulai mengikuti perkembangan peraturan perdagangan internasional. Peraturan internasional tersebut pada intinya dirancang sedemikian rupa dengan berbagai tujuan, namun intinya berupaya untuk menjaga Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 23

kelestarian sumber daya ikan dan melindungi konsumen. Tarafsofsky (2007) dalam Satria (2009), mengungkapkan bahwa beberapa RFMO menetapkan sanksi perdagangan, khususnya terhadap kapal yang melakukan praktek IUU fishing. Menurut Mc Dorman dalam Satria (2009), aspek penting yang terkait kewenangan suatu RFMO, adalah besarnya kuota penangkapan ikan dan peraturan penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, serta alokasi kuota pada setiap anggota RFMO. Penentuan alokasi kuota biasanya dilakukan dalam suatu pertemuan rutin (tahunan), yang sering dijadikan arena perdebatan oleh anggota RFMO. Perdebatan itu muncul, karena setiap negara berkeinginan memperjuangkan kepentingan ekonominya untuk memperoleh kuota tangkapan yang dianggap wajar. Keinginan untuk mendapatkan kuota dalam RFMO, merupakan politik tingkat tinggi yang harus diupayakan melalui negosiasi intensif dengan negara sesama anggota. Peraturan penentuan jumlah tangkapan yang dibutuhkan, dilakukan dalam rangka menjaga ketertiban kawasan dan terbangun keharmonisan diantara ketentuan regional dan negara. Ketentuan tersebut mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, musim tidak boleh menangkap ikan, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. Keterlibatan Indonesia dalam RFMO bukan bertujuan sebagai pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global. Tujuan Indonesia bergabung dengan RFMO, adalah untuk memfasilitasi warga negaranya dalam mengakses sumber daya ikan di laut lepas. Keuntungan yang diperoleh Indonesia, mendapatkan bantuan tenaga ahli dalam melakukan kajian assessment sumber daya ikan (CCMRS IPB, 2010). Manfaat bergabungnya Indonesia dalam RFMO adalah: (1) mendapatkan berbagai fasilitas seperti bantuan tenaga ahli dalam melakukankajian assessment sumber daya ikan; (2) mendapatkan bantuan teknologi penangkapan ikan di laut bebas; (3) Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 24

melakukan penelitian dan pertukaran informasi terkait sumber daya ikan migratory species di laut bebas; (4) mendapatkan akses dalam pemanfaatan jenis sumber daya ikan di laut bebas; (5) mendapatkan jaminan pemasaran hasil perikanan laut bebas ke pasaran Internasional sekaligus terhindar dari embargo; (6) turut serta mengelola dan melakukan tindakan konservasi terhadap sumber daya perikanan di laut bebas; (7) nersama memerangi aktifitas IUU fishing dan penegakan supremasi hukum 3.3.2 Perbandingan Antar RFMO RFMO yang akan diperbandingkan pada bagian ini, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for the Conservation on Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western and Central Pacific Fisheries Commision (WCPFC). a. Indian Ocean Tuna Commission IOTC disahkan oleh FAO pada sesi ke-26 pada tahun 1994 dan mulai berlaku efektif, setelah aksesi ke-9 anggota (Maret 1996). IOTC merupakan institusi regional, yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Keanggotaan IOTC terdiri dari contracting parties dan non-contracting parties. Negara yang menjadi anggota contracting parties IOTC sampai dengan bulan Mei 2007 adalah: Australia, Cina, Komoros, Eritrea, Prancis, Guinea, India, Iran, Jepang, Kenya, Korea Selatan, Oman, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Pakistan, Filipina, Seychelles, Sri Lanka, Sudan, Thailand, Vanuatu, Amerika Serikat, Uni Eropa, Belize, Tanzania, dan Indonesia. Negara yang termasuk non-contracting parties, yaitu Senegal, Afrika Selatan dan Uruguay. Pada IOTC tidak ada pengaturan kuota, seperti kuota di CCSBT. Indonesia meratifikasi Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission pada tanggal 5 Maret 2007, melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007. Berdasarkan hal tersebut, status Indonesia menjadi Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 25

anggota atau contracting parties IOTC ke-27, membuat Indonesia memiliki akses langsung terhadap perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatan sumber daya ikan di wilayah tersebut. Wilayah kewenangan IOTC, dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Wilayah Kewenangan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) b. The Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) CCSBT terdapat di luar wilayah perairan Indonesia yang berdampingan dengan kawasan Pasifik. Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna/sbt) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai menurun secara cepat pada awal tahun 1960- an. Penurunan hasil tangkapan terjadi semakin cepat, sehingga pada pertengahan tahun 1980-an telah dilakukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang, dan Selandia Baru, melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota tangkapan kapal ikannya. Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 26

Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna. Konvensi tersebut baru efektif berlaku pada tanggal 20 Mei 1994, setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi. Efektivitas pelaksanaan konvensi ini, dihadapkan pada beberapa negara bukan anggota yang melakukan penangkapan ikan tuna sirip biru, seperti Korea, Taiwan, dan Indonesia. Wilayah kewenangan CCSBT, dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.2 Wilayah Kewenangan The Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) Negara tambahan yang menjadi anggota CCSBT, yaitu Korea pada tanggal 17 Oktober 2001 dan Taiwan pada tanggal 30 Agustus 2002. Negara yang belum mau menjadi anggota (pada pertemuan bulan Oktober 2003), CCSBT menyepakati untuk mengundang negara peminat perikanan SBT untuk menjadi co-operating non-member. Status negara cooperating non-member hanya berpartisipasi dalam bisnis atau tidak punya hak suara dalam pertemuan CCSBT. Negara co-operating non-member disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan. Negara yang Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 27

diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina (2 Agustus 2004), Afrika Selatan (24 Agustus 2006) dan Uni Eropa (13 Oktober 2006). Pada tahun 2007, Indonesia meratifikasi Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007. Pertemuan CCSBT ke-14 berhasil menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/tac) selama tahun 2007 2009 (11.810 ton). Alokasi TAC dibagi untuk negara anggota, negara bukan anggota, dan negara peninjau (Tabel 3.1). Alokasi untuk negara anggota, berlaku tahun 2010 2011 dan untuk negara bukan anggota hanya untuk tahun 2011. Tabel 3.1 Alokasi TAC (Total Allowance Catch) SBT (Southern Bluefin Tuna) Negara Anggota dan Negara Bukan Anggota (ton) Nominal Catch Allocated Catch Effective Catch Limit Member Japan 5,665 2,261 2,261 Australia 5,665 4,270 4,015 Republic of Korea 1,140 859 859 Fishing Entity of Taiwan 1,140 859 859 New Zealand 1000 754 709 Indonesia 750 651 651 Cooperating Non-Members (for 2011) Philippines 45 - - South Africa 40 - - European Community 10 - - Sumber: CCSBT (2009) c. Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC) Negara pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah serta negara yang menangkap ikan disekitarnya, telah melakukan negosiasi selama empat tahun dan menyepakati Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC). Penandatanganan konvensi ditandatangani pada tanggal 5 Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 28

September 2000 di Honolulu, Amerika Serikat (berlaku efektif 19 June 2004). Sampai Juli 2004, negara yang telah meratifikasi Konvensi ini, yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Selandia Baru, Niue, Papua New Guinea, Samoa, Solomon Islands, Tonga dan Tuvalu. Negara yang berstatus sebagai non-cooperating parties adalah Belize dan Indonesia. Wilayah yang menjadi otoritas WCPFC, dapat dilihat pada Gambar 3.2. Gambar 3.3. Wilayah Kewenangan Western Central Pacific Fisheries Commision (WCPFC) Terdapat lima hal yang bisa diperbandingkan untuk ketiga RFMO tersebut diatas: a. Struktur RFMO, meliputi: Wilayah, Tujuan, dan Struktur Organisasi b. Pengelolaan Perikanan (Pendekatan Ekosistem dan Pendekatan Kehatihatian), meliputi: spesies utama, alat tangkap, status stok, bycatch, pendekatan ekosistem, dan pendekatan jehati-hatian. c. Peran serta, meliputi: keanggotaan, kriteria partisipasi, dan transparansi Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 29

d. MCS, meliputi: pengumpulan dan pelaporan data, program observer, VMS, Penegakan, dan dokumentasi tangkapan dan perdagangan e. Upaya dan tantangan, meliputi: pembuatan keputusan, mekanisme penyelesaian sengketa, upaya kerjasama, upaya penguatan RFMO, dan tantangan Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Regional Fisheries Management Organzation (RFMO) 30