STATUS MAKRO INVERTEBRATA PADA PERAIRAN DAS CITARUM HULU YANG TERCEMAR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan makhluk hidup lainnya. Data dari BPS tahun 2007 menunjukkan

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENENTUAN KONSENTRASI KHLOROFIL-α SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN WADUK SAGULING

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prosedur Pelaksanaan ANDAL

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang besar.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

STATUS KUALITAS AIR WADUK CIRATA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN BUDIDAYA

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. dan rawa) dan perairan lotik yang disebut juga perairan berarus deras (misalnya

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

PIL (Penyajian Informasi Lingkungan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. yang benar, baik kualitas maupun kuantitasnya. Air dipergunakan oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

BAB III METODE PENELITIAN

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN SUNGAI AYUNG Dl KABUPATEN BADUNG, BALl

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sungai merupakan salah satu sumber air utama bagi masyarakat luas baik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi sekarang, pemanfaatan pestisida, herbisida dan pupuk kimia sangat umum digunakan dalam usaha

BAB I PENDAHULUAN. kondisi tersebut. Penurunan kualitas air sungai dapat disebabkan oleh masuknya

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang

Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Keteguhan, yang

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1BAB I PENDAHULUAN. memiliki garis pantai sepanjang km (Cappenberg, dkk, 2006). Menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR LINGKUNGAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT KPC SUBDAS SANGATTA KALIMANTAN TIMUR

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN SUNGAI AYUNG Dl KABUPATEN BADUNG, BALl

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI

H - H + Merupakan molekul dipolar, artinya 1 molekul memiliki 2 muatan yang berbeda yakni muatan + dan

BAB I PENDAHULUAN. akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan biologi di

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan. besar sementara wilayah kawasan lindung dan konservasi menjadi berkurang.

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan


3. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

POSTER KERAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI OGAN, SUMATERA SELATAN 1 Marson 2

BAB I PENDAHULUAN. muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya

PENDAHULUAN. dengan arus yang lambat atau bahkan tidak ada arus sama sekali. Waktu tinggal

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di negara kita semakin hari semakin pesat. Pesatnya laju

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

MAKALAH INDEKS KUALITAS LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di danau dan lautan, air sungai yang bermuara di lautan akan mengalami

PENDAHULUAN. daerah disekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. stabil terhadap morfologi (fenotip) organisme. Dan faktor luar (faktor yang

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

HUBUNGAN KUALITAS FISIS AIR SUNGAI KRUENG ACEH DENGAN INTENSITAS HUJAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat

PENDAHULUAN 1 BAB I. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

Transkripsi:

STATUS MAKRO INVERTEBRATA PADA PERAIRAN DAS CITARUM HULU YANG TERCEMAR Wage Komarawidjaja Peneliti di Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Abstract Macro invertebrate study in Upper Citarum Watershed conducted for a few target, such as understanding some organisms indices and the function in aquatic ecosystem.in this study, besides identified macro invertebrate type also measured some water quality parameter that influence to the exchange of its habitat quality. Water quality laboratory analysis indicates that pressure to macro invertebrate life happened due to the change in environmental quality Upper Citarum Watershed, either by physical impact (erosion) and also chemical impact (domestic, industries and agriculture). To overcome the problem mentioned, environmental monitoring enhancement to be needed, so that calamity of aquatic organism losses can be avoided. Key words : waters quality, aquatic organisms, macro invertebrate. 1. PENDAHULUAN 1.1 Kondisi Lingkungan DAS. Di Jawa Barat, sungai Citarum merupakan sungai utama dari DAS Citarum yang mengalir dari Gunung Wayang dan bermuara di Laut Jawa. Sedangkan DAS adalah hamparan yang meliputi daerah administrasi Kota bandung, Kabupaten bandung dan Cimahi yang terbentang dari Gunung Wayang sampai Waduk Saguling (Gamabr-1). 1,2) DAS ini telah banyak mengalami tekanan dari pemanfaatan yang melebihi daya dukungnya, seperti terjadinya ekstensifikasi dan inten-sifikasi pertanian, pertumbuhan pemukiman, industri, dan perikanan. 1,2,3). Tekanan tersebut sudah terasa sejak di bagian hulu yang penuh aktifitas pemukiman, kemudian aktifitas industri dan pertanian. Sebagaimana disebut-kan dalam Salim (2002), bahwa mulai dari Waduk Saguling sampai ke Majalaya diperkirakan 6 juta jiwa penduduk menghuni kawasan DAS dengan kepadatan penduduk 400-12000 orang/km 2. Dengan kepadatan penduduk itu, diperkirakan beban pencemaran BOD limbah domestik yang masuk ke DAS berkisar antara 160.000-200.000 ton/hari. 2) Sumber : BPLHD Jabar. Gambar 1. DAS Komarawidjaja. W. 2005: Status Makro.J. Tek. Ling. P3TL BPPT. 6. (3). 446 451 446

Sebaliknya, aktifitas industri menimbulkan beban pencemaran BOD yang yang meningkat, dimana pada tahun 2000 beban pencemaran BOD sebesar 81.363 ton/hari dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 109.114 ton/hari. 1) Sedangkan aktifitas pertanian telah menimbulkan akumulasi nitrogen dan posfor di perairan (eutrof), yang memacu pertumbuhan gulma dan memicu penurunan kualitas perairan yang dibutuhkan oleh organisma perairan untuk hidup. Hasil perhitungan nitrogen dan posfor yang masuk perairan DAS masing masing berkisar antara 6.460-187.852 ton N per tahun dan 3.060-21.992 ton P per tahun. 2) Tekanan aktifitas pertanian tidak hanya menimbulkan pencemaran oleh pencucian pupuk tetapi juga dengan meningkatnya pembukaan lahan baru dan bertambahnya lahan yang terbengkalai menimbulkan erosi (22ton/ha/tahun) yang akhirnya masuk ke perairan DAS Citarum. 4) 1.2 Makro Invertebrata Perairan. Makro invertebrate perairan diartikan sebagai hewan air tanpa tulang belakang yang hidup di perairan. Hewan ini terdiri dari berbagai jenis yang hidupnya, baik seluruh daur hidup berada didalam air maupun sebagian daur hidupnya didalam air. Makro invertebrate menurut Davis dan Christidis (1997) digolongkan kedalam 8 kelompok meliputi platyhelminthes, nematoda, annelida, mollusca, arachnida, crustacean, dan insecta. 5) Hewan invertebrate ini, sebagaimana disebutkan dalam Tjokrokusumo (2000) dapat digolongkan menurut klasifikasi lain sebagai zooplankton, nekton dan benthos. Hewan makro invertebrate yang termasuk zooplankton adalah crustacean kecil seperti cladocera dan copepoda merupakan perenang pasif, sebaliknya kutu dan kumbang air sebagai perenang aktif dikelompokan sebagai nekton. Sedangkan benthos adalah hewan invertebrate yang hidup di dasar perairan, seperti siput, kerang dan cacing. 6) Di Sungai Citarum, menurut Zahidah dkk. (2000), bahwa hewan benthos sebagai salah satu jenis hewan makro invertertebrata yang dijumpai selama periode penelitian termasuk genus Gastropoda, genus Chironomideae, genus Tubificidae dan Oligochaeta. 7) Tentunya keragaman benthos yang tercatat tersebut sangat tergantung kepada perubahan kualitas air sungai dimana hewan makro invertebrate tersebut dijumpai. Semakin baik kualitas perairan, akan semakin tampak keaneka ragaman hewan tersebut, sebaliknya penurunan kualitas perairan akan tampak jelas dominansi suatu jenis hewan invertebrate yang ditemukan. Kecenderungan tersebut muncul sebagaimana dikemukakan oleh Tebbutt (1992) dalam Tjokrokusumo (2000) bahwa ketersediaan sumber-daya air yang aman baik kualitas maupun kuantitasnya dan dapat diandalkan sumberdayanya yaitu terjaga dan terjamin kualitas dan kualitasnya, merupakan persyaratan utama untuk memantapkan keberadaan suatu komunitas biota yang stabil, bila tidak maka akan terjadi migrasi atau punahnya suatu komunitas. 6) Dengan demikian, secara ekologis, keaneka ragaman invertebrate di DAS (Gambar 1) akan dipengaruhi oleh kualitas perairan (kesuburan). Bahkan kesuburan perairan yang berlebih (Eutrofik) dapat dikatakan sebagai faktor kunci bagi fungsi ekologis, karena pada akhirnya akan berpengaruh buruk terhadap kehidupan di ekosistem tersebut. Oleh karena itu, memperhatikan dinamika perubahan ekosistem dan komunitas di DAS Citarum Hulu, maka upaya mengkaji keanekaragaman invertebrata dan kaitannya dengan perubahan kualitas perairan sangat relevan untuk dilakukan. 2. METODOLOGI Secara umum kegiatan ini dilakukan di S, memanjang dari Gunung Wayang sampai ke Waduk Saguling. Pengambilan sample biota perairan dilakukan pada dua musim (musim hujan dan musim kering). Oleh karena itu, kegiatan yang dilakukan pada kajian ini adalah mencakup beberapa hal sebagai berikut : 2.1. Inventarisasi Data Sekunder Studi pustaka tentang makro invertebrata Kompilasi data sekunder dari Laporan Monitoring Kualitas Air anak sungai di 447 Komarawidjaja. W. 2005: Status Makro..J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 6. (3): 446-451

2.2. Inventarisasi Data Primer Pengambilan contoh makro invertebrata Sungai pada beberapa titik. Identifikasi biota perairan benthos, pemeriksaan dilakukan di Laboratorium SEAMEO BIOTROP, Bogor. Kemudian dilakukan analisis indeks kelimpahan, keragaman dan dominansi jenis 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kelimpahan Makroinvertebrate DAS Kelimpahan makro-invertebrata di DAS Citarum bagian hulu berfluktuasi baik terhadap faktor musim dan keragaman subekosistem di perairan DAS Citarum. Kelimpahan makro-invertebrata pada musim kemarau cenderung lebih banyak apabila dibandingkan pada musim hujan terutama di kawasan tengah/pemukiman (Gambar-2). Kepadatan makro-invertebrata pada musim hujan terjadi peningkatan di bagian hulu sungai, yaitu dari stasion 1 sampai stasion 8. Namun kelimpahan ini cenderung menurun kembali di daerah bagian tengah DAS Citarum bagian hulu/pemukiman (stasion 13, 14 dan 16). Kelimpahan makroinvertebrata cenderung meningkat di daerah perairan Waduk Saguling, yaitu di daerah inlet (stasion 17) dan berfluktuasi sampai daerah dam (stasion 19). Keadaan yang sebaliknya terjadi pada musim hujan, dimana kelimpahan makroinvertebrata menurun dari bagian hulu (stasion 1) sampai di stasion 8 dan cenderung meningkat di daerah tengah DAS Citarum bagian hulu/pemukiman (stasion 13, 14 dan 16). Kenaikan kelimpahan makroinvertebrata ditemukan di ekosistem perairan tergenang/ waduk pada stasion 17, 18 dan 19. 3.2. Keragaman Makroinvertebrate DAS Nilai indeks keaneka ragaman, keseragaman dan dominansi merupakan indeks yang dapat digunakan untuk menilai strategi adaptasi dan kestabilan komunitas makro-invertebrata di perairan dalam hubungannya dengan kondisi perairannya. Nilai keanekaragaman makroinvertebrata di daerah pengamatan, cenderung mempunyai pola yang sama pada musim hujan dan musim kemarau, kecuali di stasion 1 (hulu sungai), dimana pada musim kemarau indeks keanekaragamannya lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan (Gambar- 3). Ind/m2 1500 1200 900 600 300 0 Gambar 2.Kelimpahan Makroinvertebrata musim kemarau dan musim hujan Nilai keanekaragaman pada musim kemarau cenderung menurun dari daerah hulu (stasion 1, 3, 7 dan 8) ke arah bagian tengah DAS Citarum bagian hulu/pemukiman. Keadaan ini dapat menggambarkan bahwa di daerah tengah (stasion 13 dan 14) pada musim kemarau kualitas perairannya cenderung rendah (DO, TOM, BOD dan COD). Sebaliknya, lingkungan perairan di bagian hulu (stasion 1,3,7 dan 8) mempunyai kualitas air lebih baik dibandingkan di bagian tengah. Peningkatan nilai indeks keanekaragaman neningkat dan berfluktuasi ke arah ekosistem tergenang/waduk (stasion 17, 18 dan 19). Pola indeks keanekaragaman pada musim hujan mengikuti pola keanekaragaman musim kemarau, dimana terjadi penurunan nilai indeks keanekaragaman dari bagian hulu (stasion 1,3,7 dan 8) ke arah stasion 13 dan 14 (subekosistem DAS Citarum hulu bagian tengah/ pemukiman) dan terjadi peningkatan indeks di ekosistem waduk. Komarawidjaja. W. 2005. Status Makro..J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 6. (3): 446-451 448

Nilai 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Juli 2003 maret 2004 Nilai indeks dominansi makroinvertebrata cenderung menurun dari bagian hulu DAS Citarum dan selanjutnya meningkat sampai di bagian tengan DAS Citarum bagian hulu pada pengamatan musim hujan (Gambar-5). Selanjutnya nilai indeks dominansi menurun dari bagian tengah/ pemukiman sampai di ekosistem Waduk Saguling. Jenis-jenis yang mendominansi yaitu dari kelompok moluska (43% di stasion 1), olygochaeta masingmasing di stasion 14 dan 16(100% di stasion 14 dan 86% di stasion 16). Gambar3. Indeks keanekaragaman makro invertebrata musim kemarau dan musim hujan Nilai indeks keragaman pada musim hujan menunjukkan peningkatan dari daerah hulu ke arah bagian DAS Citarum hulu bagian tengah dan berfluktuasi nilai indeks keragamannya di ekosistem tergenang (waduk). Kisaran nilai indeks keseragaman pada musim hujan menunjukkan bahwa kondisi perairan pada saat pengamatan mempunyai keragaman yang sedang (moderat) sampai baik yang dapat menunjukkan tingkat stabilitas ekosistem yang baik. Sebaliknya kisaran nilai indeks keseragaman pada musim kemarau, di bagian hulu berkisar antara moderat sampai baik, sedangkan dibagian tengah DAS Citarum bagian hulu ditunjukkan dengan nilai indeks keseragaman dari moderate sampai buruk (Gambar-4). Keadaan stabilitas ekosistem di bagian tengah ini cenderung tidak stabil. Peningkatan stabilitas ekosistem terlihat di daerah kawasan Waduk Saguling yang ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan indeks keseragam dengan kisaran moderate. Nilai 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Juli 2003 Matet 2003 Gambar-5. Indeks dominansi makro invertebrata musim kemarau dan musim hujan. Pola yang sama nilai indeks dominansi terlihat pada pengamatan musim kemarau. Nilai indeks dominansi di daerah tengah DAS Citarum bagian hulu cenderung tinggi dengan jenis-jenis yang mendominasi berasal dari kelompok olygochaeta (75% di stasion 14) dan jenis-jenis moluska di stasion 16 dan i8, masing-masing 100% dan 88%. 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Nilai Gambar-4. Indeks keseragaman makro invertebrata musim kemarau dan musim hujan. 3.3. Suksesi Makro Invertebrata di DAS Mempelajari suksesi ekologi di daerah pengamatan sangat penting untuk melihat stabilitas ekosistemnya dengan menggunakan diagram Frontier.Pada prinsipnya diagram Frontier menggambarkan suksesi ekosistem dalam tiga stadia. Stadia 1 (juvenile ekosistem) mencerminkan terdapatnya dominansi dari species dan ditunjukkan dengan ekosistem yang tidak stabil. Stadia 2 (stadia mature) menggambarkan keadaan ekosistem yang 449 Komarawidjaja. W. 2005: Status Makro..J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 6. (3): 446-451

sudah matang dan stabil, sedangkan stadia 3 menggambarkan ekosistem dalam keadaan climax dan tidak terjadi lagi kompetisi dan ekosistemnya sangat stabil (Gambar-6, 7 dan 8). Hasil pengamatan stabilitas ekosistem di bagian hulu (stasion 1, 3, 7 dan 8) baik pada musim kemarau dan musim hujan berkisar pada stadia 2 dan 1. Stasion 1 dan 3 pada musim kemarau termasuk pada stadia 1, sedangkan pada musim hujan di stasion 1 meningkat ke arah stadia 2, sedangkan di stasion 3 tetap berada pada stadia 1. Keadaan stabilitas ekosistem di stasion 7 baik pada musim kemarau dan hujan ditunjukkan pada stadia 2, sedangkan stadia 2 di stasion 8 hanya ditemukan pada saat musim kemarau. Di daerah tengah/pemukiman di stasion 13 pada musim kemarau stabilitas ekosistemnya ditunjukkan pada stadia 2, tetapi pada musim hujan cenderung terjadi proses re-juvenation, yaitu berubah dari stadia 2 (stabil) ke stadia 1 (tidak stabil), sedangkan di stasion 14 baik pada musim hujan dan kemarau stabilitas ekosistemnya berada pada stadia 1. 1 0.1 Frekuensi 1 0.1 0.01 0.001 1 10 100 Peringkat Gambar-7. Stasiun-4, Katapang, Ekosistem tidak Stabil di semua musim (stadia-1) Di kawasan inlet Waduk Saguling (stasion 16 daerah Nanjung) keadaan ekosistem waduk pada musim hujan pada stadia 1, sedangkan di inlet Waduk Saguling (stasion 17) terjadi perbaikan ekosistem dari stadia 1 pada saat musim kemarau ke arah stadia 2 pada musim hujan. Stabilitas\ekosistem di daerah dam Waduk Saguling (stasion 19) merupakan ekosistem yang lebih stabil (stadia 2) baik pada musim kemarau maupun musin hujan, namun di daerah tengah waduk (stasion 18) pada musim hujan terjadi re-juvenation dibandingkan pada musim kemarau. Frekuensi 1 0.01 0.1 0.001 1 10 100 Peringkat Frekuensi 0.01 Gambar-6.Stasiun-, Wangisagara, Ekosistem lebih stabil di semua musim (stadia-2) 0.001 1 10 100 Peringkat Gambar-8. Stasiun-17, Inlet W Saguling, Perbaikan Ekosistem, stadia-1 (musim kemarau) menjadi stadia-2 (musim hujan) Komarawidjaja. W. 2005. Status Makro..J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 6. (3): 446-451 450

Telah perbedaan kelimpahan dan keragaman temuan makro invertebrata pada musim kemarau dan musim hujan sebagaimana diuraikan diatas, sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan upaya melakukan kegiatan monitoring lingkungan DAS Citarum, khususnya di perairan DAS. Dengan memperhatikan perubahan status pada beberapa stasiun pengambilan contoh makro invertebrata, maka pemilihan alternatif makro invertebrata sebagai bio-indikator dalam monitoring lingkungan diharapkan dapat memenuhi harapan upaya pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. 4. KESIMPULAN Dari beberapa hasil pengamatan pada bebrapa stasiun menunjukkan bahwa: a. Trend Nilai keanekaragaman makro zoobentos pada musim kemarau cenderung menurun dari daerah hulu ke arah bagian tengah DAS Citarum. Sebaliknya, setelah mencapai Waduk Saguling, nilai tersebut cenderung meningkat dibanding dengan kondisi di DAS bagian Tengah. b. Nilai indeks dominansi di daerah tengah DAS Citarum bagian hulu cenderung tinggi dengan jenis-jenis yang mendominasi berasal dari kelompok olygochaeta (75% di stasion 14) dan jenis-jenis moluska. (100% di stasion 16) c. Pada umumnya stabilitas ekosistem di stasiun 13 s/d 16 sulit dicapai baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Sedangkan di Stasiun lain, stabilitas ekosistem pada musim musim tertentu dapat dicapai. DAFTAR PUSTAKA 1. Bukit, N T dan I A Yusuf. 2002. Beban pencemaran limbah industri dan status kualitas air sungai Citarum. J.Teknologi Lingungan : 3(2): 98-106 2. Salim H. 2002. Beban pencemaran limbah domestik dan pertanian di DAS Citarum. J.Teknologi Lingungan : 3(2): 107-111 3. Kurniasih, N. 2002. Pengelolaan DAS Citarum berkelanjutan. J.Teknologi Lingungan : 3(2): 82-91. 4. Ilyas M A. 2000. Sedimentasi dan dampaknya pada DAS. J.Teknologi Lingungan : 3(2): 159-164. 5. Davis J A and Christidis F. 1997. A Guide to Wetland Invertebrate of Southwestern Australia. Western Australia Museum, Australia. 6. Tjokrokusumo S W. 2000. Biomonitoring lahan perairan untuk pengelolaan dan pemanfaatan danau dan waduk serbaguna secara berkelanjutan. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Universitas Padjadjaran Bandung, 7 Nopember 2000. 7. Zaidah, Iskandar dan I Nurruhwati. 2000. Inventarisasi dan identifikasi organisma plankton dan benthos di sepanjang aliran sungai citarum antara waduk Saguling dan waduk cirata. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Universitas Padjadjaran Bandung, 7 Nopember 2000. 451 Komarawidjaja. W. 2005: Status Makro..J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 6. (3): 446-451