BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. Pertama (SMP) atau sederajat. Jenjang pendidikan ini dimulai dari kelas X sampai kelas XII

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memegang peranan penting agama dalam

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda. Salah satu universitas swasta, yaitu Universitas Y, merupakan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. berdiri sebagai Sinode (dulu Rad - Rageng) pada tanggal 14 November Gereja ini tidak

BAB I PENDAHULUAN. Agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam agama Katolik, terdapat struktur kepemimpinan gereja. Pemimpin tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

2015 HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT PADA PENGASUH DENGAN SELF-DISCLOSURE REMAJA DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK WISMA PUTRA BANDUNG

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

iii ABSTRAK Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

LAMPIRAN A. Skala Penelitian (A-1) Beck Depression Inventory (A-2) Skala Penerimaan Teman Sebaya (A-3) Skala Komunikasi Orangtua-Anak

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. lanjut usia atau lansia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Keberadaan panti

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

52 Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB IV ANALISA DATA. A. Analisis Tentang Proses Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

134 Perpustakaan Unika LAMPIRAN

Bab I Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat atau dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. teknologi informasi yang saat ini sering digunakan oleh banyak orang ialah

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dalam keluarga membuat remaja akan merasakan bahwa dirinya

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kisi-kisi Alat Ukur. merujuk pada. lingkungan sosial seberapa sering saudara 5

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

LAMPIRAN A. Uji Coba dan Hasil Uji Coba. 7. Tabulasi Skor Uji Coba Skala Psychological Well Being. 8. Tabulasi Skor Uji Coba Skala Religiusitas

BAB I PENDAHULUAN. untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan serta dalam perkembangan konsep diri anak, sehingga pengalaman kedekatan dengan orang tua merupakan faktor signifikan yang akan mempengaruhi tumbuh kembang anak (Hoffman, 1994). Orang tua juga menjadi sandaran bagi anak ketika anak sedang mengalami masalah, anak akan mencari orang tuanya ketika mereka sedang sakit, dalam kondisi kelelahan, maupun ketika mereka sedang berada dalam situasi yang membahayakan. Orang tua dipercaya dapat memberi rasa aman dan perlindungan, serta kasih sayang dan perhatian, oleh sebab itu orang tua memegang peran yang penting dalam pembentukan attachment dengan anak. Attachment adalah suatu relasi kelekatan yang terbentuk antara anak dan pengasuh, dalam relasi ini anak menjadikan pengasuh utama sebagai dasar yang aman ketika bereksplorasi, sebagai tempat perlindungan dan memberi rasa nyaman (Bowlby, 1979 dalam Ju-Ping Chiao Yeo, 2010). Orang tua memainkan peran yang penting bagi kehidupan anak-anak mereka sebagai figur attachment utama, namun sayangnya tidak setiap anak memiliki orang tua yang lengkap. Ada anak yang sejak kecil telah kehilangan salah satu atau bahkan kedua orang tuanya karena faktor kematian, bencana alam, peperangan, maupun faktor kesulitan 1

2 ekonomi sehingga terpaksa dititipkan dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Menurut Weiss (1982 dalam Kirkpatrick, 2005), kehilangan orangtua yang adalah figur attachment utama memiliki sejumlah implikasi penting bagi individu, salah satunya mencakup kerentanan untuk mengalami kesepian (loneliness). Kesepian (loneliness) merupakan suatu pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika jejaring relasi sosial seseorang kurang terpenuhi dalam beberapa cara yang penting, baik secara kualitas maupun kuantitas (Peplau, 1981). Kesepian berbeda dengan sepi meskipun kata dasar dari kesepian adalah sepi, karena sepi merujuk pada keadaan yang sunyi, sedangkan kesepian berarti perasaan yang sunyi (KBBI, 2014). Kesepian tidak hanya muncul dalam situasi lingkungan yang sepi, karena seseorang bisa merasa kesepian di tengah suasana yang hiruk pikuk dan hingar bingar, kesepian dapat muncul di tengah keramaian dan perkumpulan orang banyak. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rubenstein, Shaver, dan Peplau (1979) bahwa hampir semua orang pernah mengalami kesepian, namun perasaan ini muncul bukan karena kondisi atau situasi yang dialami individu melainkan dari bagaimana individu memaknakan situasi yang dialaminya. Penelitian yang dilakukan oleh Rubenstein, Shaver, dan Peplau (1979) menunjukkan bahwa loneliness paling tinggi terjadi pada usia remaja, hal tersebut disebabkan karena pada masa remaja individu akan menghadapi tugas perkembangan yakni menetapkan identitas diri yang memungkinkan timbulnya perasaan loneliness. Selain itu, kurangnya status atau pengakuan dari lingkungan

3 terutama dari orang dewasa, masalah penyesuaian diri, kegagalan dalam relasi lawan jenis, tekanan sosial, perasaan tidak yakin diri, maupun gagal memenuhi kebutuhan juga dapat memperkuat kemunculan loneliness pada diri remaja. Survei yang dilakukan oleh Parlee (1979 dalam Perlman & Peplau, 1984) juga menunjukkan bahwa sebanyak 79 % responden yang sering merasa kesepian adalah responden yang berusia di bawah 18 tahun. Kehilangan orang tua atau ketidakhadiran figur orang tua juga dialami oleh para remaja LKSA Kristen di kota Bandung. Remaja LKSA Kristen di kota Bandung dititipkan di panti dengan alasan yang beragam, ada yang karena orang tuanya tidak dapat menafkahi atau menyekolahkan sehingga terpaksa dititipkan, ada yang orang tuanya bercerai, ada pula yang orang tuanya meninggal sejak masih kecil sehingga oleh keluarga dimasukkan ke panti karena tidak ada yang merawat. Remaja LKSA Kristen di kota Bandung ada yang sejak kecil sudah dititipkan di panti, ada pula yang saat menginjak usia remaja baru masuk ke panti. Remaja yang sejak kecil sudah masuk ke panti menjalin relasi yang lebih lama dengan pengasuh, sementara remaja yang baru masuk pada saat usia remaja sudah mengenal dan ingat siapa orang tua kandungnya sehingga cukup sulit untuk menjalin relasi yang dekat dengan pengasuh. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 10 orang remaja LKSA Kristen di kota Bandung, 40 % remaja sejauh ini mengaku cukup dekat dengan para pengasuh, mereka sering bermain dan bercanda dengan pengasuh, ketika ada masalah mereka berani bercerita kepada pengasuh. Bagi para remaja tersebut para pengasuh telah memberikan perhatian dan kasih sayang yang

4 cukup bagi mereka sehingga mereka tidak merasa kesepian meskipun jauh dari orang tua atau tidak lagi memiliki orang tua. Sedangkan 60 % remaja lainnya menyatakan bahwa mereka merasa kesepian. Alasan yang diungkapkan beragam, seperti diantaranya remaja merasa sendiri karena tidak ada orang tua yang bisa mendengarkan curahan hati mereka atau mengajak bermain pada saat liburan, ketika sakit tidak ada orang tua yang menemani di sisi mereka, ketika melihat orang lain bisa berkumpul bersama keluarga ada perasaan sedih di hati para remaja tersebut karena tidak bisa merasakan dan mengalami hal yang sama. Remaja juga mengaku cukup sulit untuk berelasi dengan pengasuh karena sering berbeda pendapat, mereka juga merasa segan dan sungkan ketika ingin meminta sesuatu atau menceritakan sesuatu karena menyadari bahwa pengasuh bukan orang tua kandung mereka. Remaja yang tidak memiliki orang tua atau kehilangan figur orang tua akan berusaha untuk menemukan figur attachment pengganti. Pada usia remaja figur attachment utama biasanya akan dialihkan kepada teman sebaya, namun pada kenyataannya teman sebaya yang lemah tidak dapat berperan seperti orang tua yang biasa melindungi, memberi rasa aman dan nyaman (Weiss, 1986 dalam Kirkpatrick, 2005). Oleh sebab itu, Weiss mengungkapkan jika dalam proses pencarian figur attachment tersebut remaja terbuka terhadap ide-ide tentang agama, maka figur attachment utama akan lebih beralih kepada Tuhan daripada teman sebaya. Relasi yang terjalin antara individu dengan Tuhan oleh Kirkpatrick (2005) disebut sebagai attachment to God. Compensation Hypothesis menyatakan bahwa attachment to God merupakan relasi pengganti (substitute attachment) bagi

5 individu yang kurang memiliki ikatan dengan orang tua atau pengasuh karena Tuhan dipandang mampu mengisi kekosongan/ kehampaan akibat tidak adanya attachment dengan orang tua atau pengasuh (Kirkpatrick, 2005). Attachment to God merujuk pada situasi ketika seseorang membentuk suatu relasi kedekatan dengan Tuhan dan menganggap Tuhan sebagai figur pemberi kasih sayang atau attachment figure (Kirkpatrick, 2005). Peneliti kemudian mewawancarai empat orang pengasuh dari beberapa LKSA Kristen di kota Bandung, dari hasil perbincangan tersebut para pengasuh mengungkapkan keterbatasan mereka dalam memenuhi kebutuhan kasih sayang dan perhatian bagi para remaja di LKSA. Pengasuh berupaya agar kebutuhan remaja akan perhatian dan kasih sayang tetap dapat terpenuhi, yakni dengan mengarahkan remaja untuk membangun kedekatan dengan Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai figur pengganti orang tua. LKSA Kristen di kota Bandung memfasilitasi anak asuh mereka dengan berbagai kegiatan kerohanian, seperti persekutuan doa, pendalaman Alkitab, saat teduh, dan ibadah di gereja setiap hari minggu, dengan tujuan agar remaja semakin mengenal Tuhan sehingga mampu menjalin hubungan yang dekat dengan Tuhan dan tidak ragu untuk menjadikan Tuhan sebagai sandaran di kala suka maupun duka. Berbagai kegiatan kerohanian yang diberikan tersebut diharapkan dapat membantu remaja meningkatkan attachment dengan Tuhan. Remaja dengan attachment to God yang tergolong tinggi akan merasa nyaman untuk bergantung pada Tuhan, mempercayai Tuhan dan berusaha membangun komunikasi yang mendalam dengan Tuhan. Mereka juga

6 menunjukkan toleransi emosional yang sesuai, seperti secara efektif mengatasi dan menoleransi saat-saat ketika Tuhan seolah terasa jauh dan sedang tidak menunjukkan kasih sayang. Remaja tersebut juga tidak cemburu dengan hubungan yang Tuhan bangun dengan orang lain, mereka merasa dikasihi oleh Tuhan dan tidak terpaku atau cemas terhadap hubungannya dengan Tuhan. Di sisi lain, remaja dengan attachment to God yang rendah dapat mengarah pada dua kecenderungan yakni merasa sulit untuk bergantung pada Tuhan, dan enggan untuk terikat secara emosional dengan Tuhan, atau mereka justru merasa takut ditinggalkan oleh Tuhan dan menjadi cemburu ketika Tuhan nampaknya lebih mengasihi dan dekat dengan orang lain. Penelitian yang dilakukan Kirkpatrick & Shaver (1992 dalam Kirkpatrick, 2005) menunjukkan bahwa responden dengan attachment to God yang tinggi memiliki skor yang rendah pada pengukuran mengenai kesepian (loneliness), sebaliknya pada individu dengan attachment to God yang rendah menunjukkan derajat kesepian (loneliness) yang lebih tinggi. Peneliti selanjutnya melakukan wawancara terhadap 10 remaja yang sama di LKSA Kristen kota Bandung untuk mengetahui bagaimana taraf kedekatan yang terbentuk antara mereka dengan Tuhan. Dari perbincangan tersebut diperoleh data bahwa 70 % remaja memiliki attachment to God yang cenderung tinggi, mereka meyakini bahwa Tuhan peduli pada mereka dan selalu melindungi, mereka percaya bahwa Tuhan selalu ada menolong mereka pada saat mengalami kesulitan, Tuhan menjadi teman curhat ketika mereka mengalami pergumulan, mereka memandang sosok Tuhan sebagai sahabat sekaligus orang tua, mereka tidak merasa iri ketika melihat orang lain juga dekat dengan Tuhan karena mereka

7 percaya Tuhan juga mengasihi dan dekat dengan mereka. Remaja membangun komunikasi dengan Tuhan melalui doa, pembacaan Firman Tuhan (Alkitab), dan kebaktian di gereja. Bagi mereka figur Tuhan selalu dapat diandalkan dalam segala situasi dan selalu menemani mereka kapanpun dan dimanapun. Sedangkan 30 % remaja lainnya memiliki attachment to God yang cenderung rendah, mereka merasa sulit untuk mengungkapkan perasaannya kepada Tuhan karena mengganggap Tuhan tidak peduli, mereka seringkali merasa ragu apakah Tuhan benar-benar menyayangi mereka atau tidak, mereka takut Tuhan akan meninggalkan mereka, mereka sering dibayang-bayangi oleh kecemasan bahwa Tuhan tidak benar-benar mengasihi mereka. Dari hasil survei awal terlihat bahwa 70 % remaja LKSA Kristen di kota Bandung memiliki attachment to God yang cenderung tinggi. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kirkpatrick & Shaver (1992 dalam Kirkpatrick, 2005), sejatinya pada remaja yang memiliki attachment to God yang tinggi maka derajat kesepian di dalam dirinya akan berkurang karena Tuhan telah menjadi figur pengganti orang tua, namun berdasarkan survei masih terlihat bahwa 60 % remaja menunjukkan penghayatan bahwa dirinya merasa kesepian. Oleh sebab itu peneliti merasa tertarik untuk menggali lebih jauh bagaimana sebenarnya keterkaitan antara rasa kesepian yang dialami para remaja LKSA Kristen di kota Bandung dengan adanya Tuhan sebagai figur pengganti attachment orang tua. Peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan yang negatif antara attachment to God dan loneliness pada remaja LKSA Kristen di kota Bandung.

8 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan negatif antara attachment to God dan loneliness pada remaja LKSA Kristen di kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah: 1) Mendapatkan gambaran mengenai attachment to God pada remaja di LKSA Kristen kota Bandung. 2) Mendapatkan gambaran mengenai loneliness pada remaja di LKSA Kristen kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan antara attachment to God dan loneliness beserta faktor-faktor yang mempengaruhi pada remaja LKSA Kristen di kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian berikut: Adapun kegunaan teoretis dan praktis dari penelitian ini adalah sebagai

9 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1) Memberi tambahan informasi mengenai hubungan attachment to God dan loneliness terhadap bidang ilmu Psikologi Perkembangan. 2) Memberikan masukan atau tambahan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai attachment to God dan loneliness. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1) Memberikan informasi kepada remaja LKSA Kristen di kota Bandung mengenai hubungan kedekatan mereka dengan Tuhan dan kaitannya dengan perasaan kesepian yang mereka alami. 2) Memberikan informasi kepada para pengasuh LKSA Kristen di kota Bandung mengenai hubungan kedekatan remaja dengan Tuhan dan kaitannya dengan perasaan kesepian yang dialami para remaja di LKSA. 3) Memberikan informasi kepada pihak yayasan LKSA Kristen di kota Bandung mengenai hubungan kedekatan para remaja dengan Tuhan dan kaitannya dengan perasaan kesepian yang dialami para remaja LKSA. 1.5 Kerangka Pemikiran Keterpisahan dengan figur attachment dalam jangka waktu yang lama dikarenakan kematian, faktor ekonomi, maupun karena perceraian orang tua dapat mengakibatkan remaja LKSA Kristen di kota Bandung merasa kesepian (Rubenstein & Shaver, 1982). Kesepian (loneliness) merupakan suatu pengalaman

10 tidak menyenangkan yang terjadi ketika jejaring relasi sosial seseorang kurang terpenuhi dalam beberapa cara yang penting, baik secara kualitas maupun kuantitas (Peplau, 1981). Remaja LKSA Kristen di kota Bandung yang masih memiliki satu atau kedua orang tua mengaku jarang sekali berkomunikasi dengan orang tuanya, baik itu melalui telepon maupun dengan mendapat kunjungan di panti, hal ini dikarenakan keterbatasan sarana dan ketiadaan biaya dari pihak keluarga. Terlebih lagi pada remaja yang sejak kecil sudah tidak memiliki kedua orang tua, keinginan untuk menjalin komunikasi tampaknya hanyalah sebuah angan-angan karena hal tersebut tidak mungkin terwujud. Kondisi yang demikan dapat menjadi suatu pengalaman yang tidak menyenangkan bagi para remaja LKSA Kristen di kota Bandung karena relasi dengan orang tua yang mereka harapkan tidak terpenuhi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Perlman dan Peplau (1982) mengungkapkan ada faktor-faktor yang menyebabkan remaja rentan mengalami loneliness, yang pertama adalah karakteristik individu (characteristics of the person). Sejumlah besar penelitian telah menyelidiki bahwa loneliness diasosiasikan dengan karakteristik individu yang pemalu (shyness) dan self-esteem rendah. Remaja yang mengalami loneliness juga menunjukkan kurangnya keterampilan sosial yang menyebabkan mereka sulit untuk membentuk atau mempertahankan suatu relasi. Menurut Pilkonis (1977 dalam Perlman & Peplau, 1981), shyness memiliki kontribusi yang besar terhadap loneliness. Remaja LKSA yang pemalu akan mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial baik secara verbal maupun non-verbal, misalnya dengan tidak mengambil inisiatif dalam percakapan dengan orang lain.

11 Self-esteem yang rendah juga dapat menimbulkan loneliness. Remaja LKSA yang memiliki self-steem yang rendah akan menyalahkan diri mereka atas kegagalannya dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain sehingga dapat memperkuat kemunculan loneliness. Selain itu, remaja dengan keterampilan sosial yang kurang memadai (gaya interaksi yang self-focused dan non-responsif), cenderung memiliki hubungan sosial yang kurang memuaskan sehingga berkontribusi terhadap loneliness. Faktor situasional juga dapat menyebabkan remaja rentan mengalami loneliness, beberapa hal diantaranya berkaitan dengan waktu, jarak, dan uang. Remaja LKSA Kristen di kota Bandung yang memiliki jadwal harian yang padat akan memiliki sedikit waktu untuk tidur dan menjalin pertemanan, selain itu karena keterbatasan jarak mereka tidak dapat bertemu dengan keluarga mereka, remaja tersebut juga tidak bisa membeli apa yang mereka inginkan atau mencari kesenangan yang mereka mau karena tidak memiliki cukup uang, akibatnya mereka menjadi semakin kesepian karena situasi dan kondisi di sekitar mereka yang tidak menguntungkan. Weiss (1982, dalam Kirkpatrick, 2005) menyatakan bahwa kesepian (loneliness) mengindikasikan ketidakhadiran figur attachment dalam dunia internal remaja, pada waktu tersebut banyak remaja yang berpaling kepada Tuhan sebagai figur pengganti attachment. Kirkpatrick (1992 dalam Ju-Ping Chiao Yeo, 2010) berpendapat bahwa Tuhan seringkali digambarkan sebagai sosok ayah dan mendapat sebutan orang tua, seperti Bapa. Freud (1961 dalam Kirkpatrick, 2005) juga berpendapat bahwa Tuhan adalah sosok yang dimuliakan dan merupakan gambaran figur ayah yang melindungi. Tuhan juga berperan sebagai

12 figur attachment dan relasi yang terjalin antara individu dengan Tuhan merupakan ikatan attachment yang oleh Kirkpatrick (2005) disebut sebagai attachment to God. Attachment to God merujuk pada situasi ketika seseorang membentuk suatu relasi kelekatan dengan Tuhan dan menganggap Tuhan sebagai figur pemberi kasih sayang (Kirkpatrick, 2005). Menurut Brennan, Clark, dan Shaver (1998 dalam Beck & McDonald, 2004), attachment to God dibentuk oleh dua dimensi utama yakni: (1) avoidance of intimacy, dan (2) anxiety about abandonment. Secara spesifik avoidance of intimacy with God melibatkan tema-tema hubungan seperti kebutuhan untuk bebas (mandiri), merasa sulit untuk bergantung pada Tuhan, dan ketidakmauan untuk dekat secara emosional dengan Tuhan. Sebaliknya, anxiety about abandonment melibatkan tema-tema hubungan seperti ketakutan akan ditinggalkan oleh Tuhan, protes kemarahan (kebencian atau frustrasi atas kurangnya perhatian yang diberikan Tuhan), cemburu ketika melihat Tuhan nampaknya lebih dekat dengan orang lain, merasa cemas tentang keberhargaan diri di mata Tuhan, dan terakhir individu merasa terpaku atau khawatir mengenai relasinya dengan Tuhan. Kombinasi kedua dimensi tersebut akan menentukan derajat kedekatan yang terbentuk antara remaja dengan Tuhan, yakni attachment to God yang tergolong tinggi atau attachment to God yang tergolong rendah. Remaja dengan attachment to God yang tergolong tinggi meyakini bahwa Tuhan senantiasa hadir, selalu ada dan peduli, khususnya ketika mereka menghadapi situasi yang buruk dan mengancam. Remaja juga secara konsisten mengalami kepedulian dan kepekaan Tuhan padanya, sehingga secara yakin akan

13 melibatkan Tuhan dalam perjalanan hidupnya, menyadari bahwa Tuhan selalu ada dalam situasi di mana dukungan, rasa nyaman, pertolongan dan perlindungan dibutuhkan. Remaja berani menjelajah masuk ke dalam dunia, meskipun di dalamnya terdapat banyak tantangan sekaligus menawarkan berbagai kesempatan untuk bertumbuh. Remaja dengan attachment to God yang tergolong tinggi, secara umum memandang Tuhan dalam istilah yang positif, seperti peduli, melindungi, penuh kasih, selalu ada saat dibutuhkan, siap sedia menolong kapan pun dan dimana pun, dan selalu dapat diandalkan. Mereka juga memahami bahwa dirinya dicintai dan dikasihi Tuhan sehingga mereka merasa bersemangat untuk menjalani hidup. Remaja dengan attachment to God yang tergolong rendah di satu sisi dapat merasa ada jarak antara dirinya dan Tuhan. Mereka merasa bahwa Tuhan telah menarik diri darinya dan telah meninggalkannya, khususnya pada saat diperlukan. Remaja meyakini bahwa Tuhan tidak selalu sedia, tidak dapat ditemui dan tidak responsif, mereka dapat memandang Tuhan tidak tertarik padanya sebagai seorang pribadi, menghindar untuk bergantung pada Tuhan, memiliki keinginan untuk mandiri, dengan mengandalkan kekuatan sendiri dan terbebas dari Tuhan. Di sisi lain, remaja dengan attachment to God yang tergolong rendah merasa bahwa kehadiran Tuhan tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Remaja menjadi kurang yakin mengenai apa yang Tuhan rasakan tentang dirinya, atau bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya sendiri, mereka merasa cemas dan ambivalen dalam berelasi. Remaja juga akan merasa tidak yakin tentang keberhargaan dirinya di mata Tuhan, apakah Tuhan mengasihi dan memperhatikannya atau

14 tidak. Remaja dengan attachment to God yang tergolong rendah cenderung melihat Tuhan dalam gambaran yang negatif sebagai sosok yang tidak peduli, mengabaikan, dan tidak hadir saat individu merasa terancam dan membutuhkan pertolongan. Kedekatan dengan Tuhan sebagai figur pengganti orang tua (attachment figure) akan membantu mengatasi rasa kesepian yang dialami oleh remaja LKSA Kristen di kota Bandung. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Weiss (1982 dalam Kirkpatrick, 2005) bahwa attachment to God merupakan alternatif yang baik guna mengatasi kerentanan remaja mengalami kesepian (loneliness) akibat ketidakhadiran figur attachment dalam dunia internal remaja. Remaja dengan attachment to God yang tinggi idealnya mampu mengatasi rasa kesepian di dalam dirinya karena mereka memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan sebagai figur pengganti orang tua. Sebaliknya pada remaja dengan attachment to God yang rendah kerentanan untuk merasa kesepian masih mungkin didapati dalam diri para remaja tersebut karena mereka belum mampu membentuk relasi yang erat dengan Tuhan sebagai figur attachment yang ideal untuk menggantikan orang tua. Dari seluruh rangkaian pemikiran yang telah dipaparkan di atas, apabila dirumuskan dalam suatu skema, maka kerangka pemikirannya akan seperti berikut:

15 Attachment to God Dimensi attachment to God: Avoidance of intimacy Anxiety about abandonment Remaja LKSA Kristen di kota Bandung Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan loneliness: Karakteristik individu Faktor situasional Experience of loneliness Indikator loneliness: Feeling of loneliness & social isolation Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

16 1.6 Asumsi Penelitian 1) Remaja LKSA Kristen di kota Bandung merasa kesepian (loneliness) karena mengalami keterpisahan dengan figur orang tua. 2) Pengasuh LKSA Kristen di kota Bandung belum mampu menjalankan peran sebagai figur attachment pengganti yang ideal bagi remaja LKSA. 3) Remaja LKSA Kristen di kota Bandung mengganggap Tuhan sebagai figur attachment pengganti yang ideal dan mulai membentuk attachment to God. 4) Pada remaja LKSA Kristen di kota Bandung yang memiliki attachment to God yang tinggi, derajat loneliness akan berkurang/ menurun. 5) Pada remaja LKSA Kristen di kota Bandung yang memiliki attachment to God yang rendah, derajat loneliness cenderung meningkat. 1.7 Hipotesis Penelitian Berdasarkan asumsi di atas maka hipotesis penelitiannya adalah terdapat hubungan negatif antara attachment to God dan loneliness pada remaja LKSA Kristen di kota Bandung.